Search

Thursday, June 08, 2006

Perempuan dalam kultur patriarki

 


Tulisanku kali ini terilhami dari message yang ada di milis sastra-pembebasan. 


Ketika kecil aku bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah dekat rumah. Kata ibuku, aku, kakakku dan adikku disekolahkan di MI tersebut demi efisiensi waktu (hanya berjarak kurang lebih 30 m dari tempat tinggal kita waktu itu). Namun tentu saja ada alasan lain; yakni agar aku dan kedua saudaraku itu di’didik’ (sekarang aku lebih menggunakan kata ‘diindoktrinasi) secara Islami.


Ketika di MI, aku (dan semua murid tentu saja) diharuskan bisa mengaji Alquran. Untunglah sejak TK aku sudah diajari mengaji oleh kedua orang tuaku, sehingga hal ini bukanlah sesuatu yang aneh apalagi sulit bagiku. Bahkan aku ingat ketika kelas 4 MI, aku sudah diberi mandat oleh guru kelasku untuk mengajari beberapa teman sekelas yang belum bisa mengaji. FYI, waktu itu, sekolah libur di bulan Ramadhan. Namun di MI tempat aku bersekolah, hal tersebut tidak berlaku. Kurang lebih 3 minggu selama bulan Ramadhan kita tetap berangkat ke sekolah. Yang kita pelajari tiap hari bukanlah mata pelajaran biasa, namun lebih difokuskan ke pelajaran agama, sebangsa Fiqih, Tauhid, Hadits, dan tentu saja mengaji. Tiap pagi sebelum memulai ‘pelajaran’, kita semua diharuskan mengaji. Dan aku mendapatkan tugas tambahan; setelah aku sendiri mengaji beberapa lembar Alquran, aku mengajari beberapa teman sekelas yang duduk di sekitar bangkuku.


Yang ingin kutekankan di sini adalah salah satu hadits mengenai betapa anak-anak harus lebih menghormati sang ibu daripada sang bapak. Aku juga diindoktrinasi bahwa apa pun yang dikatakan oleh sang ibu kepada anak-anaknya akan sangat manjur. Karena sejak kecil aku didoktrin seperti itu, (masa kanak-kanak adalah masa yang paling mudah untuk ‘membentuk’ seseorang bukan?), aku percaya sekali akan hal ini.


Dan begitulah yang terjadi. Apa-apa yang diucapkan oleh ibuku (terutama, well, hal-hal yang tidak begitu bagus) selalu aku ingat dengan baik, dengan hati yang tidak menentu. Seorang ibu adalah seorang manusia juga, dengan segala keterbatasannya, juga emosinya. Aku paham betul bahwa kadang-kadang tentu ibuku hanya lepas kontrol dan kemudian mengatakan sesuatu yang sayangnya tidak berkenan di hatiku. Namun karena dia adalah ibuku, dan aku HANYALAH seorang anak, aku tak berkuasa untuk menyanggah. (FYI, hubunganku dengan orang tuaku adalah hubungan konvensional, anak mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang tua; orang tua lebih mengerti tentang segala hal di dunia ini dibandingkan sang anak; orang tua berhak melakukan apa saja dan anak tidak boleh protes. Well, begitulah ajaran yang didoktrinkan ke aku sejak aku kecil.)


Orang bilang, ketika kita percaya pada suatu ramalan, hal tersebut akan terjadi, semacam sugesti. Ketika ibuku mengatakan sesuatu yang aku sebenarnya tidak suka, akan selalu kuingat itu, sambil was-was bahwa hal tersebut akan terjadi dalam hidupku. Dan ketika hal-hal yang ‘buruk’ itu benar-benar terjadi, aku hanya bisa menyesali, mengapa ibuku harus mengatakan hal-hal buruk tersebut sehingga aku harus menerima getahnya. 


It made me learn about mother-child relationship.


Tapi mungkin hal tersebut hanya terjadi padaku, namun tidak terjadi kepada kakak adikku. Aku yang mungkin memang terkadang terlalu perasa.


Belajar dari hubungan antara ibuku dan aku, aku menerapkan pola hubungan yang lain dengan anakku.
Aku sangat hati-hati dengan apa pun yang aku ucapkan terhadap anak semata wayangku. (aku yakin hal ini kulakukan bukan karena aku hanya punya satu anak dalam hidupku.) Sebisa mungkin aku tidak mengucapkan kata-kata yang sekiranya menyakiti hati anakku, atau pun sebangsa umpatan, misal, “Kalo kamu begini, lihat saja nanti besok kamu akan jadi anak yang bla bla bla ...”


Selain itu, aku yang kemudian ‘tumbuh’ menjadi seorang ‘pemberontak’ dari tradisi, aku tidak percaya dengan bahwa seorang ibu harus selalu dihormati oleh sang anak, harus didengar apa pun yang dia katakan, bahwa aku pemahamanku akan segala hal di dunia ini lebih banyak daripada anakku, dll. Aku lebih menekankan hubungan antar teman, tidak ada ‘pemujaan’ dari seorang anak ke ibu, komunikasi akan menghasilkan hubungan yang lebih sehat daripada “I-know-this-life-better-than-you-coz-I-am-older-than-you-are, coz-I-am-your-mother” relationship.


Aku hanyalah seorang manusia biasa dengan segala keterbatasan bukan seorang ibu yang laksana dewi. Aku hapuskan pengindoktrinasian bahwa seorang ibu adalah kepanjangan tangan Tuhan untuk anaknya, bahwa ridho Allah kepada anaknya dipengaruhi oleh ridho seorang ibu kepada anaknya. Di mataku, aku dan anakku memiliki kedudukan yang sama di mata Tuhan. Aku akan bertanggung jawab terhadap apa pun yang kulakukan, sama seperti anakku pun akan bertanggung jawab terhadap apa pun yang dia lakukan sendiri. Aku lepaskan anakku dari tanggung jawab bahwa dia harus memujaku karena aku yang melahirkan dia, yang menyusui dia, membesarkan dia. Bukankah aku yang menginginkan kehadirannya di dunia ini agar hidupku terasa lebih lengkap? Mengapa kemudian aku masih menuntutnya untuk harus selalu menghormatiku? Mendengarkan apa pun yang kukatakan without any reserve, hanya karena aku adalah ibunya? Kata-kata Buddha “Believe nothing, no matter where you read it, or who said it, no matter if I have said it, unless it agrees with your own reason and your own common sense.” Pun aku terapkan dalam hubunganku dengan anakku. 


Anakku, Angie, sekarang berusia 15 tahun. Hubunganku dengannya lebih merupakan hubungan antar teman, dia curhat kepadaku tentang apa pun yang dia alami, seperti aku pun selalu cerita kepadanya pengalaman-pengalaman sehari-hariku. 


Satu hal yang dia tahu pasti, I love her. 


Seandainya aku belum bisa menikmati kultur di mana seorang perempuan dianggap setara dengan laki-laki, aku ingin Angie nantinya akan lebih menikmati kultur tersebut; di mana seorang perempuan tak lagi dibebani berbagai macam tuntutan; seorang perempuan harus bersifat keibuan, harus selalu penuh cinta, harus selalu patuh apa pun yang dikatakan oleh kaum lelaki; seorang perempuan harus lebih mendahulukan kebahagiaan suami dan anak daripada kebahagiaan dirinya sendiri; seorang perempuan adalah tonggak suatu keluarga yang kemudian akhrinya menjadi tonggak suatu negara.


Perempuan pun boleh menjadi seseorang yang egois, memikirkan kepentingannya lebih dari pada kepentingan sang anak, apalagi suami. 


Lepaskan perempuan dari hal-hal yang ideal seperti itu, sehingga dia akan lebih menikmati hidupnya; sehingga dia tidak akan merasa tertekan yang mungkin saja akan membuat dia depresi sehingga mengeluarkan sumpah serapah kepada dunia, kepada orang-orang di sekitarnya; yang akhirnya hanya akan merugikan bagi semua pihak.

No comments: