Search

Thursday, February 22, 2007

Love Again ...

I didn’t think it could happen again
Im just too old and set in my ways
I was convinced I would always be lonely
All of the rest of my days
Maybe I give up on romance
In my longing to give up the pain
I just didnt believe I would ever love again


Di atas adalah bait pertama dari lirik lagu John Denver yang berjudul “LOVE AGAIN”.
Aku kenal beberapa orang—untuk tidak menyebut diri sendiri LOL—yang berpikir seperti apa yang ditulis oleh John Denver pada baris keempat dan kelima “Maybe I give up on romance in my longing to give up the pain”. Orang-orang yang menurutku pada dasarnya bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta dan merasa sangat terluka tatkala harus mengakhiri hubungan cintanya kadang-kadang berpikir “mending ga usah menjalin hubungan dengan seseorang deh daripada entar terluka lagi, patah hati lagi”. Meskipun untuk itu, orang-orang tersebut harus siap untuk ber-lonely-lonely ria. LOL. “mending lonely deh daripada harus melihat yang kita sayangi pergi satu saat nanti.” (Siapa yang bisa menjamin kita bahwa orang yang kita sayangi saat ini tak akan pernah pergi meninggalkan kita?) Mungkin begitulah cara berpikir tipe orang-orang yang dikatakan oleh seorang teman baikku “foolishly loyal”. LOL. Teman baikku ini bilang, “Kok ada sih orang-orang geblek seperti itu?” wakakakaka … Yang bisa kuinterpretasikan dia pun menganggapku geblek. LOL. LOL.
Nevertheless …
Kudapati orang-orang yang katanya ga mau jatuh cinta lagi itu—agar ga ngerasa patah hati lagi—toh jatuh cinta lagi. LOL. Mungkin memang pada dasarnya Tuhan menciptakan makhluk yang kita sebut sebagai manusia dalam bahasa Indonesia ini dengan sifat dasar mencintai, sebagai sesuatu yang innate inside us? Atau belum tentu juga yah, banyak orang yang merugikan orang-orang lain hanya untuk memperkaya diri sendiri yang berarti sifat dasar mencintai ini tidak terdapat dalam dirinya. Kalau pun ada … yah … lebih banyak mencintai diri sendiri mungkin.
Seperti yang ditulis oleh John Denver di akhir lirik lagu “LOVE AGAIN”, dia pun jatuh cinta lagi. Dunia pun terasa indah lagi. Kalau nanti patah hati lagi? Yah … dipikirin nanti-nanti aja dah. LOL. LOL.

P.S.: Ditulis dalam rangka ikut menyemarakkan the Valentine’s Day. Better late than never, wise people say. LOL.
PT56 13.05 220207

Sunday, February 11, 2007

Expensive shoes, anyone?

Tulisan ini terilhami dari serial film Sex and the City episode "Single Girl's Right to Shoes"
Bagi yang belum pernah nonton episode ini (final season, lupa nomor berapa), summary cerita begini.
Ketika Carrie mengunjungi temannya yang sedang mengadakan upacara selamatan atas kelahiran anaknya yang ketiga, Carrie harus melepaskan sepatunya di depan pintu karena Kyra, nama si teman ini, mempunyai peraturan di rumahnya bahwa sepatu dilarang dipakai masuk ke dalam rumah karena takut ada bakteri atau virus semacamnya yang menempel di sepatu, demi kesehatan ketiga anaknya. Sebagai tamu yang datang karena diundang, Carrie pun mengikuti peraturan itu meskipun dia merasa tidak nyaman karenanya.
Masalah muncul ketika akan pulang, Carrie tidak mendapati sepatunya. Sepatu itu hilang. (Kayak kejadian di masjid aja yah, ketika shalat Jumat atau shalat tarawih di mana masjid biasanya penuh pengunjung. LOL.) Carrie tampak kecewa karena dua hal: pertama sepatu itu merupakan sepatu kesayangannya (yang kebetulan harganya mahal 485 dollar), kedua, Kyra tidak menunjukkan rasa penyesalan sama sekali. "Kecelakaan" kehilangan itu kan terjadi di rumahnya, dan Carrie melepaskan sepatu ketika masuk ke rumah Kyra itu untuk menghormati peraturan yang dibuat Kyra. Tidak berlebihan bukan kalau Carrie mengharapkan, paling tidak, Kyra merasa bersalah dan menyesal?
Beberapa hari kemudian Carrie berkunjung ke rumah Kyra lagi untuk menanyakan kabar sepatunya apakah sepatu itu telah ditemukan. Sekali lagi Carrie kecewa karena Kyra justru telah melupakan 'kecelakaan' itu, dan heran mengapa Carrie harus 'memperkarakan' masalah sepele tersebut. Lebih kecewa lagi, tatkala Kyra mengatakan itu salah Carrie mengapa membeli sepatu yang harganya sangat mahal, 485 dollar, sehingga kalau sampai hilang, tidak akan merasa begitu kecewa.
Carrie ngomel-ngomel kepada ketiga sobatnya, Charlotte, Miranda, dan Samantha. Masalah terletak bukan kepada seberapa mahal harga sepatu itu, tapi lebih kepada betapa Kyra--dan juga banyak orang lain, kukira--tidak menghargai pilihan Carrie untuk membelanjakan uangnya untuk membeli sepatu yang seharga "tidak masuk akal" itu bagi seorang Kyra yang sudah menikah dan memiliki tiga anak.
Ini adalah masalah pilihan. Kyra memilih untuk menikah, memiliki anak, sehingga dia dan suaminya harus "membagi" pendapatannya untuk lima orang, yang pada akhirnya menyebabkan membeli sepatu seharga 485 dollar merupakan suatu pemborosan baginya. Carrie menghormati pilihan Kyra tersebut. Dia pun ikut berbahagia dengan pilihan itu, dengan, menghadiri pesta pernikahan Kyra (yang berarti menyumbang), dan memberi Kyra hadiah ketika dia melahirkan anak pertama, kedua, dan ketiga. Kyra seharusnya pun menghormati pilihan Carrie untuk tetap single, dan membelanjakan 'paycheck'nya untuknya sendiri, yang memungkinkan Carrie untuk memanjakan diri sendiri dengan membeli sepatu yang berharga 'tidak masuk akal' bagi orang lain yang menikah dan punya anak.
Now ... masih berhubungan dengan memilih sepatu yang pas untuk karakter diri sendiri.
Di tempat kerjaku akulah satu-satunya guru perempuan yang suka memakai sepatu berhak tinggi, not necessarily expensive though. :) Pada waktu aku belum mem'baptis' diri sebagai Ms. Black, aku suka memakai beberapa warna sepatu, mulai dari hitam, coklat, beige, dan maroon. Semua mempunyai hak minimal 5 cm.
Beberapa tahun yang lalu ada seorang rekan kerja yang 'nosy' menanyakan kepadaku apa enaknya memakai sepatu hak tinggi. Aku jawab aja karena aku telah biasa melakukannya, jadi kurang pede aja kalau memakai sepatu yang berhak kurang dari 5 cm. (Kayak di film SATC tersebut, Carrie langsung manyun ke Stanny temannya yang gay, sewaktu dia harus melepaskan sepatunya di rumah Kyra, "Now I feel so tiny." LOL)
Beberapa tahun kemudian, kebetulan ada seorang mantan siswa yang menjadi guru di tempat kerjaku itu, sehingga dia pun menjari rekan kerjaku, dia bilang, dia dan teman-temannya paling suka memperhatikan model sepatu yang kupakai, karena akulah satu-satunya guru perempuan yang suka memakai sepatu berhak tinggi. Meskipun aku agak tersinggung, LOL, (the students preferred looking at my shoes to listening to me), aku anggap aja itu sebagai compliment. :)
Sejak tahun 2004, aku suka memakai sepatu boots berhak kurang lebih 7 cm. (Memakai sepatu boots dengan hak rendah hanya akan membuatku tampak seperti satpam, menurutku, LOL.) Selain itu, aku juga suka memakai sepatu kets, kebiasaan ketika kuliah yang terbawa ke tempat kerja. Lumayan sering, siswa yang merasa aneh melihatku memakai sepatu kets di balik rok panjang hitamku, mereka berkomentar, (ke guru lain, tidak langsung ke padaku), "Mengapa Ms. Nana suka memakai sepatu anaknya?" hahahaha ... Komentar siswa atas sepatu bootsku? "Ms. Nana funky yah?" LOL.
Oh well ... what's so special in choosing what shoes to wear?
Aku cuma pengen nulis sesuatu untuk blogku tercinta ini. LOL.
Anyway, semua orang punya hak penuh untuk memilih, dan kemudian bertanggung jawab atas pilihan itu.
Kyra, yang memilih untuk menikah, memiliki anak, sehingga tidak mungkin baginya untuk membeli sepatu mahal. (karena pendapatannya tidak memungkinkannya untuk melakukannya.)
Carrie yang memilih untuk single, dan membelanjakan uangnya untuk membeli apa aja yang dia inginkan, termasuk sepatu mahal.
Aku yang memilih memakai high-heeled shoes/boots karena aku merasa nyaman dan pede melakukannya. :)
Rekan-rekan kerjaku yang memilih memakai sepatu tidak berhak tinggi, karena merasa tidak bisa berjalan kalau memakai sepatu hak tinggi. LOL.
KPDE 13.05 011206

Saturday, February 10, 2007

P E T I R

Aku baru saja selesai membaca PETIR, novel Dewi Lestari alias Dee serial Supernova yang ketiga. Too late, huh? LOL. Better late than never, wise people say. (Nana cuma ngeles nih. LOL.) Akhir Mei 2006 yang lalu, aku membeli kumpulan prosa Dewi Lestari yang bertajuk FILOSOFI KOPI dan menyukai pandangan hidup Dee yang tersirat dalam karya-karya yang terkompilasi dalam buku itu. Namun, aku belum juga tergoda untuk membeli buku-buku Dee yang lain. Alasan utama yang pasti adalah: HARGA. LOL. Ga murah harga novel-novel Dee bagiku. Aku sendiri membatasi diri bersedia membeli buku yang berharga di atas Rp. 50.000,00 kalau buku itu tema utamanya adalah tentang feminisme/gender/perempuan. Di luar tema favoritku tersebut, aku mematok harga paling mahal yang mampu menggerakkan hatiku untuk membelinya berkisar antara Rp. 30.000,00 sampai Rp. 35.000,00.
PETIR pertama kali diterbitkan tahun 2004, tidak jelas bulan apa. Namun, pada bulan Mei 2004 aku membeli jurnal PROSA EDISI “Yang Jelita Yang Cerita”, dan ada nukilan cerita PETIR di situ, yang sangat kusukai. (In short, bagi yang belum tahu storyline PETIR, Dee melukiskan—atau menuliskan yah? LOL—konflik yang dialami oleh seorang anak Chinese by blood, tapi pribumi by nature, diramu dengan konflik spiritual d/h agama. (d/h apaan sih Na? Entahlah, cuma ketularan Dee aja nih. Wakakakaka ...)
Adikku membeli PETIR beberapa bulan lalu, dan bercerita sedikit tentang konflik yang ada di dalamnya, yang mengingatkanku pada cerpen Dee yang kubaca tahun 2004 lalu. Saat itu aku belum NGEH juga kalau cerpen yang kubaca di jurnal PROSA tersebut merupakan nukilan novel Dee, yang menunjukkan ternyata aku juga seorang yang telmi. LOL. NOTE: Adikku membeli PETIR setelah diprovokasi seorang temannya, setelah dia juga menikmati membaca karya-karya Dee dalam buku FILOSOFI KOPI (hasi pinjam dari kakaknya—aku—tentu saja. LOL.)
Mengapa aku tidak segera ngecek di jurnal PROSA waktu itu? Oh well, hal ini disebabkan terjadi masalah teknis. LOL. Aku sekarang tinggal di satu singgasana yang sering kupaksatulis PT56, sedangkan bukuku tersebut tertinggal di singgasana yang lain, dimana aksesku ke situ ga begitu bagus. LOL.
Dan hari ini aku baru saja selesai membaca PETIR. Lha kok akhirnya aku terprovokasi juga membacanya, padahal adikku membelinya beberapa bulan yang lalu? Sekitar setengah tahun lah. Jawabannya adalah karena akhir-akhir ini mood membaca novel sedang menguasaiku. Pertama: sepulang dari Cirebon, aku membaca Princess Diary. ketika sedang jalan-jalan di Gramedia Grage Mall, Angie spotted that favorite teenlit of hers, setelah menunggu penerbitan Princess Diary serial keenam ini selama lebih dari satu tahun. Di awal membaca PD, aku terganggu dengan sulitnya berkonsentrasi untuk membaca satu buku penuh. Maklum, aku terbiasa membaca artikel-artikel ilmiah (cie .. sok ilmiah nih???) dalam Jurnal Perempuan (dan buku-buku lain, sebangksa KAJIAN BUDAYA FEMINIS) yang paling banter cuma 30 halaman. Pada waktu itu, seorang teman kerja meminjam PETIR dari adikku yang tentu saja harus melalui aku sebagai kurir. Sebelum menyerahkan novel tersebut kepada rekan kerjaku, aku sempat membuka beberapa halaman depan, wah ... kok aku langsung suka?
Alhasil, setelah menemukan keasikan membaca PD—Princess Diary maksudku—dan menyelesaikannya, aku memprovokasi rekan kerjaku yang juga menikmati membaca PD. “Eh, kalau kamu sudah selesai membaca PETIR, entar tukeran dengan PD yah? Aku belum baca tuh novel.”
Sebelum menulis ini, aku mencari arsip postingan blog yang tentang Dewi Lestari dan Filosofi Kopi. I wrote them by the end of May 2006. Dalam PETIR, sangat terlihat jelas perjalanan spiritualitas Dee, mengapa dia pindah dari satu agama ke agama lain. Aku sendiri merasa mengalami perjalanan spiritualitas yang serupa dengan Dee, dalam hal mempertanyakan apakah orang yang tidak ke gereja, atau ke masjid, atau yang tidak melakukan ritual ibadah secara kasat mata—bagi orang Islam tentu saja shalat, membaca Alquran—berarti orang tersebut jauh dari Tuhannya? Tuhan ada dalam hati kita masing-masing, seperti juga setan pun ada dalam diri masing-masing manusia. Perang antara the good and the bad itu ada dalam diri kita, yang tidak kasat mata tentu saja. Mengapa orang-orang yang sok relijius itu kemudian membakukan definisi bahwa orang-orang yang tidak melakukan ibadah yang kasat mata tersebut adalah orang-orang yang tidak bagus kualitas keimanannya? Bukankah yang tahu kualitas keimanan seseorang hanyalah THE OMNIPOTENT? Human beings tahu apa sih? LOL.
Nah lo!!! Si Nana yang sekuler ini pun telah menjadi seorang a spiritual SNOB yang menyebalkan karena merasa sok bener juga, karena telah menuding-nuding orang-orang yang berada di seberang jalan dariku ini sebagai MENUDINGKU SEBAGAI ORANG YANG TIDAK BERIMAN. Oh well, bukannya tidak beriman sih, tapi kurang iman. LOL.ternyata aku pun sama-sama annoyingly judgmental juga dengan orang-orang yang kutuduh judgmental. LOL. LOL.
Bagi mereka yang mengalami perjalanan spiritual sepertiku dan Dee, baca PETIR deh. Bakal ga nyesel. LOL.
PT56 22.30 090207

Perempuan ...

Pernah dengar para perempuan Jepang marah karena disebut sebagai “mesin beranak”?

Kaum feminis menyatakan bahwa menikah, hamil, melahirkan, dan menyusui tak lagi dikategorikan dalam KODRAT perempuan, namun lebih sebagai suatu pilihan dalam hidup. Perempuan TIDAK PERLU merasa HARUS menikah, HARUS hamil, yang konsekuensinya HARUS melahirkan, dan kemudian HARUS menyusui. Perempuan memiliki KUASA PENUH untuk menentukan apa yang ingin dia lakukan dalam hidup ini.

Nampaknya hal ini sangat disadari oleh kaum perempuan di Jepang—suatu negara yang blue film produksinya lebih sering melecehkan kaum perempuan, hanya sebagai pemuas kaum laki-laki, dimana si perempuan digambarkan sangat pasif, lemah tak berdaya di hadapan sang laki-laki yang digambarkan begitu gagah perkasa menguasai ranjang (oh well, Nana yang sok tahu ini cuma baca gambaran tentang ini dalam buku Si Parasit Lajang, if I am not mistaken, dan satu referensi dari seorang teman yang katanya hobby nonton blue film dari berbagai negara, sementara blue film produksi negara-negara Barat kadang mengisahkan si perempuan juga ikut andil aktif dalam adegan ranjang, yang berarti si perempuan itu MENIKMATI si laki-laki, dan tidak hanya pasif DINIKMATI—terbukti dari menurunnya tingkat kelahiran yang cukup drastis sehingga Perdana Menteri Jepang merasa perlu menyerukan kaum perempuan untuk menjadi “mesin beranak” kembali yang kemudian menyulut kemarahan kaum perempuan di Jepang.

Ketika membaca berita tersebut di surat kabar lokal, aku ingat seorang teman yang dilecehkan oleh suaminya karena tubuhnya menjadi gemuk setelah melahirkan. “Kamu tahu ga sih kalau tubuhmu itu memalukan?” kata si suami yang rasanya ingin kupukul kepalanya dengan sepatu bootku yang berhak 7 cm. Pelecehan secara psikologis ini berulang-ulang kali terjadi, dibarengi dengan kekerasan ekonomi—temanku ini tidak diberi uang belanja bulanan oleh suaminya dengan alasan uangnya untuk berbisnis.

Karena mereka beragama Katolik lah sehingga prosedur untuk bercerai menjadi sangat rumit, ketika akhirnya temanku memiliki keberanian untuk menggugat cerai suaminya. Sebagai sesama perempuan—not to mention my being feminist—tentu saja aku mendukung tindakan tersebut.

Namun beberapa bulan setelah peristiwa tersebut, aku dikagetkan oleh pernyataannya, “Setelah lulus kuliah ini, program berikutnya adalah memberi adik untuk anakku. Setelah itu baru bercerai.” Oh God, kayak ga ada laki-laki lain saja yang lebih pantas untuk menjadi bapak anak keduanya? Mengapa dia masih mau memiliki anak dari laki-laki yang telah melecehkannya sedemian rupa? Yang lebih mengherankan lagi adalah: dia membaca buku-buku feminisme yang juga kubaca yang nota bene dia seharusnya tahu bahwa kaum perempuan berhak mengambil keputusan, menentukan pilihan untuk melakukan apa saja dalam hidupnya, tanpa harus dibatasi oleh keberadaannya sebagai perempuan.

Apakah pilihan untuk hamil lagi dari laki-laki yang pernah dicintainya dan dipujanya namun kemudian melecehkannya hanya karena tubuhnya yang menjadi lebih gemuk dibanding ketika dia masih gadis adalah pilihan yang masuk akal?

Bagiku TIDAK. Temanku yang katanya seorang feminis ini masih belum mampu melepaskan diri dari belenggu dikotomi gambaran perempuan sebagai a whore and a prostitute.

PT56 21.40 060207

Anak-anak itu ...

Jadual kelas EC ku setiap hari Senin dan Rabu pukul 15.30-17.00. (NOTE: EC = Elementary Children Class, yang berisikan anak-anak SD. Kebetulan kelasku berisi anak-anak kelas ISD, berusia sekitar 6-7 tahun.) Sementara kelas Angie—dia di level High Intermediate sekarang—hari Senin dan Rabu pukul 17.00-19.00. Demi efisiensi (alias bisa dibaca: Angie malas berangkat sendiri), Angie berangkat ke tempat kursus dimana aku juga tercatat sebagai salah satu pengajarnya bareng aku, meskipun untuk itu dia bakal bengong kurang lebih 2 jam.
Salah satu kebiasaan Angie—bareng teman-temannya—adalah ke kamar kecil khusus perempuan yang kebetulan terletak di samping kelas EC-ku, sekitar pukul 16.30. Angie dan teman-temannya kadang mengintip dari balik kaca kecil yang terletak di tengah pintu, kemudan melambai ke arahku, “Hello Ma!”
Seminggu yang lalu hal itu terjadi lagi. Kebetulan pada waktu itu, aku sedang mengecek tugas para siswa, kemudian menandatangani buku-buku mereka. Sementara sebagian siswa perempuan mengitariku, sebagian duduk-duduk manis di kursi mereka masing-masing, sebagian siswa laki-laki asik mainan tirai di jendela, menariknya ke atas, kemudian menurunkannya, begitu berulang-ulang. Kadang-kadang, ada yang membuka pintu, keluar kelas, kemudian pintu ditutup oleh mereka yang masih berada di dalam kelas, dan main dorong-dorongan pintu. Aku pikir mereka melakukannya karena mereka tidak bisa duduk diam tanpa melakukan apa pun juga. Tahu kan tipe anak-anak yang hiperaktif yang tidak bisa tanpa melakukan kegiatan apa pun?
Tiba-tiba salah satu siswa perempuan yang mengitariku berbisik di telingaku, “Ms. Nana tahu ga kenapa anak-anak cowo itu mainan tirai? Bahkan keluar kelas?”
Aku balik bertanya, “Enggak tuh. Emangnya kenapa?”
Dia menjawab, “Itu loh Ms. Godain anak-anak SMA yang ke kamar kecil!” dia mengatakannya dengan sok tahu dengan nada orang-orang dewasa yang hobby ngerumpi. LOL.
Aku cuma tersenyum sambil berkomentar pendek, “Oh ya?”
Dia bilang, “Iya, liat aja. Hmm .. . masih kecil begitu kok udah godain cewe-cewe SMA. Kalau sudah besar mau jadi apa mereka?” dengan nada lebih sok tahu. LOL. LOL.
Bayangin, kalimat seperti itu diucapkan oleh seorang anak perempuan berusia 6 tahun!!! Darimana dia belajar ngerumpi seperti itu? Dari lingkungannya tentu, entah orang tuanya, entah mbaknya (NOTE: mbak yang diartikan sebagai pembantu rumah tangga. LOL.) entah tetangganya, atau siapa lagi lah.
Dia mengomentari teman-teman sebayanya yang bertingkah seperti anak-anak remaja dengan godain cewe-cewe remaja, tanpa dia sendiri sadari bahwa caranya berbicara, maupun berpikir, sudah seperti anak-anak remaja juga, atau bahkan lebih tua dari itu. LOL.
Hari Rabu yang lalu, ketika aku memberi waktu istirahat 5 menit di tengah-tengah kelas, sebagian anak-anak berhambur ke kantin untuk membeli jajan yang mereka inginkan, untuk kemudian balik ke kelas, sebagian yang lain kulihat hanya duduk-duduk di kursi masing-masing, sembari ngobrol, sebagian lagi, memilih mengitariku, sambil menontonku mengoreksi pekerjaan mereka.
Siswa perempuan yang kuceritakan di atas kembali ke kelas dengan membawa snack yang bernama LEO. Dia pamerkan snack itu kepadaku, sambil berkata, “Ini enak loh Ms. Namanya LEO.”
Dengan iseng aku bilang, “I am a LEO.”
Dia bertanya, “Hah? Ms. Nana apa?”
Aku bilang, “I am a LEO. Ms. Nana is a LEO.”
Dengan mimik muka yang tetap tidak mengerti ke arah mana pernyataanku, dia bertanya, “Maksud loe?” dengan logat kejakarta-jakartaan (atau betawi yah?) yang sekarang sedang ngetop. Wakakakakakaka ...
Sesampai di rumah, Angie bertanya kepadaku, “Siswa EC Mama yang kecil, item, nakal itu namanya siapa Ma?”
“Emang kenapa?” tanyaku.
“Tadi waktu Angie dan teman-teman ke kamar kecil, tuh anak keluar kelas, trus godain kita, “Cewe ...!”
HAH????????????????????
Gosh, anak-anak itu ... apa yang membuat mereka menjadi matang lebih cepat daripada waktunya??? Baik yang laki-laki, maupun yang perempuan.
PT56 14.30 090207

Why Men Can't Win

From a friend's blog at http://doncasterhaikupoet.blog.co.uk/
anyway, you know, it is just a joke. I don't absolutely agree with all the statements, of course.

If you put a woman on a pedestal and try to protect her from the rat race, you are a male chauvinist. If you stay home and do the housework, you are a pansy.

If you work too hard, there is never any time for her.. If you don't work enough, you are a good for nothing bum.

If she has a boring repetitive job with low pay, it is exploitation. If you have a boring repetitive job with low pay, you should get off your rear and find something better.

If you get a promotion ahead of her, it's favoritism. If she gets job ahead of you, it's equal opportunity.

If you mention how nice she looks, it's sexual harassment. If you keep quiet, it's male indifference.

If you cry, you are a wimp. If you don't, you are an insensitive bastard.

If you make a decision without consulting her, you are a chauvinist. If she makes a decision without consulting you, she's liberated woman.

If you ask her to do something she doesn't enjoy, that's domination. If she asks you, it's a favor.

If you appreciate the female form and frilly underwear, you are a pervert. If you don't, you are gay.

If you like a woman to shave her legs and keep in shape, you are a sexist. If you don't, you are unromantic.

If you try to keep yourself in shape, you are vain. If you don't, you are a slob.

If you buy her flowers, you are after something. If you don't, you are not thoughtful.

If you are proud of your achievements, you are full of yourself. If you don't, you are not ambitious.

If she has a headache, she is tired. If you have a headache, you don't love her anymore.

If you want it too often, you are over-sexed. If you don't, there must be someone else.

Shalat

Beberapa hari terakhir ini Semarang sedang dilanda hawa yang cukup dingin. Satu keadaan yang tentu saja sangat jarang terjadi karena biasanya Semarang selalu panas. Penyebab utama tentu karena memang sekarang sedang musim penghujan, dan hujan cukup sering turun akhir-akhir ini.

Aku amati aku menjadi mudah merasa lapar, dan sering kebelet pee. Ternyata, bukan hanya aku. Tadi sewaktu maghrib break di kantor, rekan-rekan kerjaku juga mengeluhkan hal yang sama. Tidur malam pun terganggu dengan keinginan tiba-tiba ke kamar kecil to pee. Seorang teman mengatakan, “Sebelum tidur aku sengaja minum dulu, agar paginya mudah bangun karena kebelet pee. Agar sholat Subuhnya ga telat.” Nampaknya kebelet pee ini menjadi alarm yang jauh lebih manjur dibanding alarm di hape ataupun di jam meja.

Aku tiba-tiba ingat seorang teman kos waktu aku masih S1. Agar bangun di tengah malam untuk belajar, dia sengaja berangkat tidur sebelum shalat Isya. “Burden” (kalau aku boleh menyebutnya sebagai BURDEN) untuk shalat ini akan membuatnya tidur tidak begitu nyenyak sehingga dia akan (lebih) mudah terbangun di tengah malam untuk belajar, daripada alarm jam mejanya.

Yah begitulah. Shalat yang notabene berarti untuk menyembah Allah, untuk mengingat Allah bukan menjadi suatu kebutuhan rohani namun telah menjadi suatu beban.

“Aku merasa menjadi tidak bebas untuk melakukan ini itu kalau belum shalat.”

“Kalau sudah shalat tuh rasanya lega.”

Some people said so.

Nah kan? Dengan kata lain, shalat menjadi suatu beban? Seandainya para guru agama tidak menjejali ajaran, “Kalau kamu tidak shalat kamu masuk neraka...” dan perasaan bahwa shalat hanya menjadi satu beban, apakah orang-orang itu tetap akan melakukan ibadah ini?

PT56 23.30 050207

Monday, February 05, 2007

Tempat Nongkrong



Akhir chat-ku dengan Abang beberapa bulan lalu.
Abang: “Dari warnet mau kemana Na?”
Aku: “Pulang lah Bang. Mau kemana lagi emangnya?”
Abang: “Kamu ga punya tempat untuk nongkrong ya Na?”
Aku: “Tempat untuk nongkrong yang kayak mana maksud Abang?”
Abang: “Ya selain kantor dan warnet lah Na. Kamu ga pernah jalan-jalan kemana kek. Main ke rumah teman barangkali?”
Aku: “Temanku tuh ya teman-teman kerjaku Bang. Udah ketemu di kantor. Ngapain juga main ke rumah mereka?”
Abang: “Iya ya? kamu ga ikut organisasi sosial apa kek begitu untuk memperluas pergaulanmu.”Aku: “Aku ini orang yang asosial Bang. Untuk sementara ini males lah Bang.”
Abang: “Oke, do what you like ajalah. Kalau kamu enjoy di rumah ya ga papa.”
Ketika akhirnya tiba masa aku jenuh dengan kamarku—ukuran 3 x 3.5 m, kudiami bareng anak semata wayangku—aku bingung mau kemana? Ketika di Yogya, aku biasa melarikan diri ke perpustakaan. Di Semarang? Entahlah.
Namun akhirnya aku menemukan tempat nongkrong yang sesuai dengan yang kuinginkan! Satu tempat yang lumayan sunyi dan sepi, tidak banyak orang yang berkeliaran, maupun berteriak-teriak. Aku bisa membaca buku dengan tenang, atau menulis diary, tanpa ada yang menganggu. Salah satu bangku yang terletak di sebelah timur (kalau aku tidak salah membaca mata anginnya LOL) kolam renang Paradise Club. Dengan ditemani secangkir cappuccino, mendengarkan musik dari MP, hape—ini menunjukkan bahwa aku ga asosial amat kok yah? LOL—barangkali ada yang kangen padaku mengirimiku sms, LOL, aku bisa betah duduk berjam-jam untuk membaca buku.
By the way, am I really that asocial? I am quite friendly to people—sebagai guru sebaiknya aku memang friendly to everybody. Namun untuk ngobrol—teman nongkrong sampai berjam-jam—untuk saat ini aku sedang tidak punya. Yulia pindah ke Bandung tahun 2003. Tahun 2005, Yuli diboyong suaminya ke Holland. (katanya tahun 2007 ini balik Indonesia. Kok dia belum kirim kabar yah?) April 2006 Julie pindah ke Malang. Juli 2006 Eta ke Amerika to pursue her study with grant from AMINEF. Asih—teman kuliah American Studies—bukan asli Semarang. Kita dulu sempet suka ngobrol lama-lama, discussing trivial things—such as my ex private student yang cantik sekali but rada o’on (kamu tahu o’on kah? Kalo pake istilah Yulia, telmi. Ga tahu juga istilah telmi? Kurang cerdas deh pokoknya. LOL.), agama—Asih bilang, “Lihat bentuk tangan kita yang begitu indah ini. tidak mungkin tangan seperti ini akan ADA begitu saja tanpa campur tangan sang OMNIPOTENT. Terlalu naif kalau orang meragukan keberadaan Sang Maha Kuasa.” Nevertheless, Asih sangat receptive dengan ide-ideku yang mungkin bagi telinga orang-orang yang sok religious terdengar atheis, sampai ke pragmatisme William James, atau John Dewey yah? LOL. Sistem kapitalis Amerika, bla bla bla ...
Di luar kelima orang itu—Yulia, Yuli, Julie, Eta, Asih—masak aku ga punya teman lain? Oh well, beberapa tahun lalu aku bertemu dengan teman sekelas waktu SMA, dulu aku dan dia dekat sekali, meskipun aku tahu dia menganggapku rival terbesarnya untuk diterima Sipenmaru—alias UMPTN atawa SPMB sekarang—tanpa tes. Dari obrolan kita, aku tahu, I have changed a lot, dan ga bakal kita bisa nyambung.
Hari Senin kemarin kebetulan ada salah satu teman erobik yang ngajak ke rumahnya, makan-makan, entah dalam rangka apa. Aku ngikut aja—dan merelakan waktu yang bisa kupakai untuk nongkrong di bangku favoritku—karena ... rasanya ga etis aja menolak ajakan makan gratis. Hahahaha ... di sana, sembari makan, aku mendengarkan obrolan teman-teman yang lain. Gosh, aku bakal ga kuat ngobrol sama mereka. GA NYAMBUNG!!! LOL. LOL.
So? Yah ... begitulah, kulanjutkan nongkrongku seorang diri, membaca buku, menulis diary, menulis untuk blog, mendengarkan musik sendiri. Satu-satunya—oh no, dua-duanya LOL—orang yang aku enjoy bersama adalah my Lovely Star, and my Guardian Angel.
PT56 22.50 02020774

Bill Gates

“What would you do if you were Bill Gates?”
Ini adalah salah satu pertanyaan ketika di kelas Intermediate level 3 membahas tentang SUCCESS STORY. Karena hari itu waktu tinggal sisa 10 menit (untuk review The Conditional Sentence type I), aku bagi kelas menjadi 4 kelompok, yang terdiri masing-masing 4 siswa karena ada 16 siswa yang hadir ketika itu.
Jawaban:
If I were Bill Gates, I would burn some money I have, coz it is too much.
Aduh, kurang ajar banget yak kelompok ini? Aku sempet melongo dengan “kekreatifan” atawa “kekurangajaran” jawaban kelompok ini. Kemudian, aku menjawab, “Why dont you just give it to me instead of burning it?”
Jawaban kelompok itu, “Ma’am ... it is because Bill Gates doesnt know you. If I were Bill Gates and knew you, of course I would give the money to you.” diplomatic, eh? LOL.
If I were Bill Gates, I would build a very luxurious house and marry Ms. Universe.
Aku bertanya, “Which Ms. Universe you would marry? Last year who is from Puerto Rico?” Jawaban mereka, “I would get married every year, Ma’am, different Ms. Universe as my wife every year.” Pelecehan bener yak? L berhubung waktu tersisa hari itu ga banyak, aku ga ngeluarin taring dah. LOL. Liat aja NEXT TIME!!! LOL. LOL.
If I were Bill Gates, I would marry many beautiful girls.
Oh well, kelompok ini idem ditto dengan kelompok sebelumnya. L mata keranjang, eh? (Un)fortunately, di kelompok ini ada cowo yang ditaksir, oh well, mantan lebih tepatnya, LOL, my lovely star. Ketika pulang dari ngajar dan aku bercerita kepadanya, I could see disappointment in her eyes (mungkin dia berpikir mengapa cowo yang dia sukai—meskipun sudah putus, Angie masih suka berat sama cowo itu). Namun yang keluar dari mulut Angie adalah, “Kira-kira Angie termasuk yang dipilih ga ya Ma?” GUBRAK. Masak sih Angie mau aja HANYA jadi “salah satu istri-istrinya yang cantik”?
Btw, kalau aku boleh ngikut cara menulis Meg Cabot sebagai Mia Thermopolis, APAKAH ANGIE AKAN MEMBUNUHKU KARENA AKU TELAH MENCERITAKAN HAL INI KEPADA PUBLIK?
Wakakakakakaka ...
Kalau menggunakan kata-kata Abang, APAKAH KAMU BELUM PERNAH DICEKEK ORANG SAMPAI KLENGER?
Huahahahahaha ...
(NOTE: Abang mengatakan hal itu kepadaku ketika aku bilang SETUJU POLLL dengan poliandri. LOL.)
If I were Bill Gates, I would help Indonesia by giving lotsa scholarship so that they can study in the USA.
Oh VERY SWEET, isn’t it? Aku langsung jatuh cinta pada kelompok ini. LOL.
Oh well, aku tahu, mungkin ketiga kelompok lain hanya bermaksud joking in class, the more creative, the more fun. Begitu barangkali cara berpikir anak-anak itu?
“What would you do if you were Bill Gates’ son/daughter?”
If I were Bill Gates’ son/daughter, I would have fun all of my life.
Oh well, not really interesting, is it?
Bingung kan punya guru kayak aku ini? semua dikomentarin!!! LOL.
If I were Bill Gates’ son/daughter, I would continue my study at Harvard.
“Why is that?” tanyaku.
“Because my father used to study at Harvard, but he didnt finish it.”
Oh good, so this group thought that the children can continue the parents’ dream, or make the parents’ dream come true.
If I were Bill Gates’s son/daughter, I would ask my father to build Disneyland at home. And I would play all the time.
Yeah, everybody has “childish” character in them, no matter how old they are. But this response showed that Angie’s dream boy—if she still dreams of having him as her boyfriend, LOL—is still very childish. What can Angie expect from him? Angie can be considered as more mature than her friends.
If I were Bill Gates’ son/daughter, I would invent a more sophisticated program than Microsoft for the welfare of people around the world.
Oh, once again, I really liked this sweet response from the same group.
However, as usual, if all is uniform, boredom will come easily, right? The same as other cases in our life. Difference is very natural.
PT56 22.15 020207