Search

Monday, April 23, 2007

Di Kelas

Hari Jumat 13 April 2007 dalam kelas “Telaah Puisi”, aku sengaja memberikan puisi Wanda Coleman yang berjudul “Women of My Color” ke para mahasiswa untuk dibahas. Salah satu topik yang kusampaikan kepada mereka adalah bagaimana kita bisa melihat keterlibatan seorang penyair dalam puisi yang ditulisnya.

(You can refer to my interpretation on the poem in the previus post.)

Satu background yang kuberikan kepada mahasiswa yakni bahwa Wanda Coleman adalah seorang penyair Amerika berkulit hitam, hidup di abad ke 20 dan awal abad 21 ini. jumlah mahasiswa yang hadir 8 orang, 4 perempuan 4 laki-laki. Bukan bermaksud bias gender kalau kemudian aku mengelompokkan mereka ke dalam dua kelompok berdasarkan jenis kelamin, keempat mahasiswa perempuan berdiskusi dalam satu kelompok, dan keempat mahasiswa laki-laki berdiskusi dalam satu kelompok lain.

Setelah sekitar 10 menit berlalu.

Aku berikan kesempatan pertama kepada kelompok laki-laki. Salah satu mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan kata “black” di puisi itu bukan mengacu ke warna kulit melainkan nasib kaum perempuan yang jatuh ke lembah “hitam” dengan menjadi prostitute. Stanza pertama yang menyebutkan

i follow the curve of his penis

and go down

diinterpretasikan sebagai rendahnya posisi seorang perempuan yang menjadi prostitute di mata kaum laki-laki.

Kebalikan dari itu, dari kelompok perempuan, seorang mahasiswa menyatakan bahwa si perempuan di sini justru menikmati actionnya karena kata yang dipilih oleh Coleman “follow the curve...”. sangat menarik karena hal ini mengingatkanku pada salah satu scene dalam serial “Sex and the City” ketika Samantha Jones terlihat begitu menikmati to do blow job kepada seorang courier yang mengantarkan sebuah barang ke kantornya. Samantha menikmati posisinya sebagai sang “subjek”.

Aku jelaskan seandainya puisi itu berhenti hanya pada stanza pertama, bisa jadi interpretasi itu benar. Namun stanza-stanza berikutnya menjelaskan keluhan para perempuan atas nasib yang menimpa mereka.

Yang ingin kugarisbawahi dari diskusi itu adalah betapa dari “kubu” perempuan terlihat jelas mereka menyalahkan kaum laki-laki yang egois, baik laki-laki berkulit putih maupun laki-laki berkulit hitam yang telah memperpuruk nasib kaum perempuan kulit hitam di Amerika. Ternyata hal ini sangat menyinggung seorang mahasiswa laki-laki yang terlihat emosi. If I am not mistaken, mahasiswa ini mungkin masih berusia muda, di bawah 25 tahun, sedangkan dari kelompok perempuan ada seorang mahasiswa yang sudah terlihat dewasa di atas 30 tahun.

“kalian ga bisa dong nyalahin kaum laki-laki melulu! Ga semua laki-laki brengsek seperti yang ditulis dalam puisi ini,” kata si mahasiswa.

“Loh, kita kan cuma mengemukakan interpretasi kita atas puisi ini? kita ga bermaksud stereotyping kok bahwa semua laki-laki seperti itu.”

And what did I do? Ya ketawa geli ajalah mendengar diskusi itu. LOL. LOL.

PT56 12.30 140407

Saturday, April 14, 2007

Credit Card? No Thanks!

Sekitar satu dekade yang lalu, memliki kartu kredit merupakan salah satu hal yang tidak mudah karena persyaratan ini itu yang harus dipenuhi, terutama jumlah minimal gaji/pemasukan tiap bulan yang kita terima. Itu sebab para pemilik kartu kredit sering dianggap sebagai orang kaya, karena hanya orang kayalah yang mampu memiliki kartu kredit.

Sebagai ganti kartu kredit, menurutku, adalah kartu ATM. Banyak bank berlomba-lomba mengeluarkan kartu ATM untuk menarik nasabah. Mengapa aku katakan kartu ATM bisa dianggap sebagai ganti kartu kredit? Fungsi utama—menurutku yang orang awam ini—kartu kredit adalah memudahkan kita ketika aan belanja, selain memang lebih aman membawa kartu kredit dari pada membawa uang kontan dalam jumlah besar. kartu kredit amat membantu terutama untuk buy on impulse—yang sialnya sering dihubungkan dengan kaum perempuan yang hobby shopping dan buy on impulse, bukan karena kebutuhan. Bagi mereka yang tidak memiliki (karena belum mampu LOL) kartu kredit, keberadaan anjungan tunai mandiri di banyak pusat perbelanjaan sangat membantu. Tatkala windowshopping, kemudian tertarik satu barang, kita tinggal mampir ke ATM, mengambil sejumlah uang yang kita perlukan, dan jadilah kita berbelanja. (Frankly, aku adalah salah satu korbannya. LOL.)

Untuk bercanda, kadang-kadang ketika mengetahui seseorang yang memiliki kartu kredit, aku suka menggoda, “Kasihan deh kamu, orang miskin ya? Mau belanja aja pakai utang dulu.” LOL. Bukankah ide kartu kredit, adalah membeli barang lebih dahulu dan membayar belakangan, bulan depan misalnya?

Dan menyadari aku adalah orang yang gampang tergoda to buy on impulse, aku tidak tergoda untuk memiliki kartu kredit, meskipun belakangan syarat-syarat untuk memiliki kartu kredit sangatlah mudah. Siapa pun dapat memilikinya. Ketika ada orang bertanya, dengan nada suara dan mimik wajah heran, “Kamu ga punya kartu kredit Na? Ketinggalan jaman amat sih? Atau kamu ga suka shopping ya?”

“That’s it. Aku suka sih shopping. Dan untuk menghindari godaan to buy on impulse itulah makanya aku tidak mau memiliki kartu kredit.”

Dan orang itu akan semakin menunjukkan wajah keheranan mendengar jawabanku. LOL.

Hari ini aku membaca satu artikel di koran Suara Merdeka—bukan bermaksud promosi, namun apa daya di rumah koran inilah yang menjadi langganan LOL—berjudul “Mitos Kartu Kredit yang Menyesatkan”. Eye catching kan?

Aku langsung tertarik, mitos apaan sih tentang kartu kredit yang menyesatkan? Ternyata yang disebut mitos yang menyesatkan adalah, “Mitos yang mengatakan bahwa kartu kredit adalah utang masih beredar kencang.” Hahahaha ... dan kemudian ditulis “pembenaran” oleh si penulis artikel, “sebenarnya konsep dasar dari kartu kredit adalah “Beli sekarang, bayar nanti.” Wakakakaka ... apa bedanya coba??? Sama dengan para tukang becak (semoga tidak ada tukang becak yang membaca artikel ini, kalau pun ada, semoga mereka tidak tersinggung LOL) yang kadang suka ngebon di warung langganannya karena belum ada uang setoran. Itu namanya apa? “Beli sekarang bayar nanti!” do you agree???

FYI, di atas artikel ada tulisan, “UANG DAN GAYA HIDUP. Kerjasama SUARA MERDEKA & Citibank” NAH LO!!! Maklum yang menulis mau promosi kartu kredit, so ya begitu deh. hahahaha ... coba kalau yang menulis si Nana, “Cara ampuh untuk menghindari buy on impulse (mboh bahasa Indonesiane opo yo??? Hahahaha ...) adalah, “JANGAN PERNAH MEMILIKI KARTU KREDIT dan JANGAN MEMBAWA KARTU ATM KETIKA ANDA WINDOWSHOPPING DI MALL.”

Hahahahaha ...

Btw, jadi ingat satu waktu aku ngomongin tentang kartu kredit ini dengan Abangku seorang. Dia heran ketika aku tidak—atau belum—memiliki kartu kredit karena di negara dimana dia tinggal kartu kredit merupakan satu barang yang harus dimiliki, demi keamanan dan kemudahan transaksi. Well, di Indonesia, terutama di kota-kota kecil, dimana Semarang bisa juga dimasukkan, berbelanja dengan kartu kredit masih milik orang-orang the haves. Menurutku begitulah.

Eh, jadi ingat juga satu waktu aku ditraktir makan mantan siswa privatku yang suaminya kaya raya. Aku berdua dengan seorang teman. Dan siswa privatku itu juga mengundang seorang teman lain yang sok kaya. Setelah pesanan kita datang, si teman yang sok kaya ini mengeluarkan kartu kredit dan menyerahkannya kepada waiter. Sayangnya si waiter menolaknya dengan mengatakan, “Di sini kami tidak menerima pembayaran dengan kartu kredit. Kontan saja Mas.” Sayangnya (lagi) si teman yang sok kaya ini tidak membawa uang di dompetnya. Wakakakaka ... Tengsin berat ga sih? hahahaha ... dia mau sok kaya, mau bayarin makan kita berempat (yang aku percaya he did it on impulse, karena dia tidak persiapan membawa uang di dompetnya) namun gagal. FYI, occasion makan siang ini adalah untuk merayakan ulang tahun siswa privatku yang cantik jelita itu. Sesuai dengan culture yang ada di Indonesia, yang ulang tahun yang menraktir. Bukankah begitu?

Oh well ... this is Semarang, masih buanyak tempat yang hanya menerima pembayaran kontan, dan bukan lewat kartu kredit. :)

PT56 13.40 100407

Ms. Black

Ngomong-ngomong tentang warna pakaian yang kupakai ketika bekerja, hasil questionnaire yang dibagikan ke para siswa/mahasiswa di tempat kerja setahun lalu, ada beberapa siswa yang mengomentari kesukaanku memakai baju warna hitam.

“Emang dikira kita ga bosen apa ngeliat Ms. Nana pakai baju warna hitam melulu?”

“Ms. Nana yang cantik, tentu akan lebih cantik kalau memakai baju warna lain selain hitam. Oke?”

Tapi ada juga yang menyukai pilihanku.

“Salah satu alasan mengapa saya menyukai Ms. Nana adalah karena dia suka mengenakan baju berwarna hitam. Saya juga suka warna hitam.”

“Ms. Nana keren dan funky dengan baju warna hitamnya.”

Oh well ...orang Indonesia tentu mengenal pepatah, rambut sama hitam, dalam hati siapa tahu? Karena satu hal yang sama, orang-orang bisa memiliki pendapat yang berbeda. (Justru perbedaan itu indah bukan? J)

Aku ingat dari hasil questionnaire itu, bosku sempat menegurku untuk sekali-sekali memakai baju berwarna lain. (Goodness, baju-baju yang kumiliki di jaman jahiliyyah ku LOL, telah kusumbangkan kepada orang-orang yang membutuhkannya. LOL.). Akhirnya sebagai jalan tengah, untuk blouse atau t-shirt yang kupakai di balik blazer, aku variasi dengan warna-warna lain sehingga tidak melulu hitam dari kepala sampai kaki.

(Jadi ingat para mahasiswa di tempat kerjaku yang dulu yang suka godain aku kalau aku kebetulan berangkat ke kantor tidak memakai baju berwarna hitam. “Wah tumben Bu Nana ga pakai hitam hari ini. Ada apa Bu?” terutama si centil Merlin. LOL. Dan aku jawab sekenanya saja, “I am in love today.” LOL. LOL.)

Beberapa minggu lalu waktu akan dilaksanakan questionnaire lagi, aku sempat bertanya kepada para siswa yang berada di satu kelas, “When your class teacher always wears black, does it bother your eyes?” Ketika mereka belum menjawab pertanyaanku itu, aku mengulang lagi dengan lebih specific, “Okay, I am talking about myself. Does it trouble you when I always wear black everytime I come to class?”

Seorang siswa—male—yang kuketahui suka ngeblog juga tersenyum geli mendengar pertanyaanku itu, “Of course not at all Miss. If you are pinky all the way, nah ... it will disturb our concentration.”

Seorang siswa lain—a male student too—menjawab, “If you wear nothing, that will disturb me. I will run away.” Wakakakaka ...

Seorang siswa lain, a female one, berkomentar, “Where will you run away? To Ms. Nana? Or outside the classroom?” LOL.

“To the teacher of course.” Jawab siswa yang tadi. LOL. LOL.

“How if the class teacher is male?” tanya siswa lain.

Aku yang tertawa terbahak-bahak, langsung berkomentar, “No problem. Male or female is ok. As long as the class teacher is naked, you will run to him/her, right?” Wakakakaka ...

Dan aku lega, karena kesukaanku memakai baju hitam tidak terlalu mengganggu pemandangan siswa/mahasiswaku. Kayaknya sih begitu. LOL. LOL.

“Nana, I think it is necessary for you once in a while to wear another color.” Komentar Abang beberapa bulan lalu waktu aku cerita ke dia tentang kesukaanku ini. Dia sendiri juga meng-claim diri sebagai Mr. Black. Nevertheless, kadang-kadang dia pakai juga warna lain.

Ga kebayang betapa membosankan kalau semua guru mengenakan seragam yah? LOL. Untunglah tidak ada peraturan mengenakan seragam di tempat kerjaku. Aku akan menjadi orang pertama yang tidak setuju barangkali. LOL.

PT56 10.50 100407

Chat in the Teachers' Room

Obrolan bermula dari warna lipstick yang kupakai pada hari Senin 9 April 2007, warna scarlet. Seorang teman yang bisa dikategorikan sebagai seorang guru baru di afiliasi tempatku mengajar (pindahan dari afiliasi Solo) ternyata mengamati warna lipstickku dan berkomentar, “Lipstick baru ya Ma’am?”

Aku agak kaget (maklum kalau sudah berangkat mana ingat lipstick warna apa yang kupakai? Sama seperti ketika sehabis potong rambut, orang-orang memandangku dengan rasa penuh ketertarikan—kayaknya begitu sih LOL—aku sendiri sudah lupa kalau baru saja potong rambut.) Kemudian aku ingat kalau out of the blue sewaktu mempercantik diri sebelum berangkat ke tempat kerja aku tiba-tiba memilih lipstick warna scarlet untuk memadankan T-shirt yang kupakai yang berwarna merah. (FYI, semenjak membaptis diri sebagai Ms. Black di tahun 2001, aku jarang memakai warna-warni lain ketika berangkat ke kantor selain hitam. Kasihan siswa/mahasiswaku kali ya? Bosen melihat warna hitam melulu melekat di tubuhku?)

“Bukan, ini bukan lipstick baru. Iseng aja pengen pakai yang warna ini.” jawabku ke rekan kerjaku itu.

Kemudian rekan kerja yang mengaku tidak feminin itu bercerita tentang seorang guru rekan kerjanya di Solo. Guru itu suka memakai warna lipstick yang sama dengan yang kupakai kemarin, scarlet. Padahal, katanya, orangnya lemah lembut, suara selalu terjaga nadanya, tidak pernah berteriak, tidak pernah marah, sabar, baik hati, dll, not to mention, sexy. (Ga ada hubungannya ya dengan kesukaannya memakai lipstick berwarna scarlet? LOL. Ga papa dong ya? LOL.)

Satu hari guru kesayangan siswa-siswi itu memakai rok panjang berwarna merah dengan belahan sampai pertengahan paha. Ehemmm!!! LOL. Kebetulan salah satu siswa yang sedang daydreaming (kok bisa yah daydreaming di kelas? Lagi banyak masalah kali. J) sorot matanya memandang ke rok yang belahannya lumayan mengundang itu. Mengetahui itu, sang guru yang cantik jelita kaget, dan berteriak (lupa dia mengontrol nada suaranya)< “Hey!!! What are you looking at???” Sang siswa yang sedang daydreaming gelagapan, dan langsung minta maaf, “I am sorry Miss. No, believe me, I didn’t see anything! I didn’t mean to be impolite to you.”

Kata rekan kerjaku konon guru yang cantik dan feminin dan lemah lembut itu sejak itu tidak pernah memakai rok lagi ketika mengajar, dan ganti mengenakan celana panjang.

Rekan kerjaku itu kemudian bercerita tentang dirinya yang beberapa tahun lalu lumayan memiliki loud taste untuk urusan warna pakaiannya, misal, rok bawahan hijau, atasan kuning, tas selempang oranye. )Harusnya merah yah? Pas dengan warna traffic light. LOL.) Tapi sekarang ga lagi.

Aku langsung ikutan nimbrung.

“Dulu, waktu aku masih konvensional—CATAT, sekarang mungkin jauh lebih konvensional LOL—warna kesukaanku adalah maroon. Karena itulah aku punya beberapa celana panjang, beberapa blazer, beberapa blouse, beberapa T-shirt/polo shirt, beberapa rompi, beberapa sepatu, dan beberapa tas yang berwarna maroon. Aku kurang pede mengenakan sepatu berwarna scarlet, so aku belum pernah punya. LOL. Warna netral lain seperti hitam, coklat, dan beige tentu saja aku punya. Setiap hari aku menyibukkan diri dengan berganti tas tangan waktu akan berangkat bekerja, kusesuaikan dengan warna baju yang kupakai pada hari itu. Walhasil, kadang-kadang karena terburu-buru, kadang ketinggalanlah dompet, dll karena belum sempat memindahnya ke tas yang kubawa. LOL.”

Rekan-rekan kerjaku yang mengenalku sebagai Ms. Black semenjak mereka datang bergabung ke tempat kerjaku terlihat heran mendengarku bercerita seperti itu. “Ternyata Ms. Nana pernah fussy juga yah dengan urusan penampilan seperti itu?” mungkin begitu cara mereka berpikir. LOL.

Aku ingat komentar seorang teman sekolah Angie yang pernah menjadi siswaku. “Ibumu funky bener yah? Suka memakai baju berwarna hitam, dan sepatu bootsnya. Keren, euy. Apalagi kalau dia memakai rok panjangnya yang berbelah di pinggir kiri dan kanan, wah ... seksi habis!” LOL. LOL. Memang dari beberapa rok panjang yang kupunya ada satu yang berbelah di pinggir kiri dan kanan. Belahannya ga sampai paha kok, baru nyampe lutut. LOL. Jadi ingat komentar nakal seorang rekan kerja beberapa tahun lalu, “Wah mbak, belahannya jangan nanggung gitu dong! Sekalian aja sampai pangkal paha.” Wakakakakaka ...

PT56 10.20 100407

Saturday, April 07, 2007

Time ...

Time bears away all things, even our minds.
[fr. Eclogues]-Virgil (Publius Vergilius Maro)



If this is so,
then we'd better live our lives wisely
and for today...
make every second count,
and every hour answer
with equal propriety
for the answer of one
leads to the answer of all...

from a friend's blog at http://wensum24.blog.co.uk/

Monday, April 02, 2007

Seksualitas


 

Anda pasti pernah ditanya, “Mana yang lebih penting, kualitas atau kuantitas?” Anda mungkin menjawab kuantitas. Anda mungkin menjawab kualitas. Tapi bisa jadi Anda tak bisa menjawab. Karena Anda tidak tahu, Kenapa tidak bisa tahu? Karena Anda perempuan. Kenapa kalau perempuan tidak tahu? Karena alat kelamin perempuan tidak seperti alat kelamin laki-laki. Tanpa perlu belajar tentang mana yang enak dan mana yang tidak enak, laki-laki lebih mudah memahami kebutuhan kelaminnya sendiri. Mereka mengalami tanda-tanda yang dapat segera dirasa dan dikenali. Ketika terangsang, mereka ereksi. Ketika mencapai puncak kenikmatan, mereka ejakulasi.


Sebenarnya alat kelamin perepuan pun mengalami tanda-tanda yang sangat signifikan seperti halnya alat kelamin laki-laki. Ketika terangsang, alat kelamin perempuan mengeluarkan cairan. Ketika mencapai puncak kenikmatan, otot vagina mengalami kontraksi dan mengencang. Tapi kenapa mayoritas perempuan, bahkan perempuan menikah sekali pun, tak bisa menjawab dengan pasti, apakah mereka benar-benar pernah mengalami orgasme?


Persoalannya tak hanya sebatas perbedaan alat kelamin. Tapi represi terhadap alat kelamin perempuan telah membuat mereka kesulitan mengenali tubuhnya sendiri. Persoalannya tak hanya sebatas perbedaan alat kelamin. Tapi mitos!


Laki-laki menciptakan mitos perempuan ideal. Perempuan ideal adalah perawan. Alat kelamin perempuan yang ideal adalah tidak kelebihan cairan dan otot vaginanya kencang.


Bagaimana perempuan bisa menikmati hubungan seksual jika sejak awal mereka sudah ditakut-takuti oleh mitos keperawanan? Sejak awal mereka sudah dibodohi secara massal bahwa hubungan seksual di hari pertama sakitnya tak terkira akibat robeknya selaput dara. Jika selaput dara robek, vagina mengeluarkan darah. Itulah bukti kesucian yang harus dijaga sampai tiba saatnya malam pertama. Padahal kenyataannya, banyak sekali perempuan yang vaginanya tidak mengeluarkan darah ketika pertama kali melakukan hubungan seksual. Bahkan banyak yang tidak merasakan sakit seperti informasi yang mereka terima. Selain itu, selaput dara tidak hanya robek akibat hubungan seksual. Hal-hal kecil seperti mengendarai sepeda atau menari ballet sekali pun bisa mengakibatkan selaput dara pecah. Tak heran masih banyak orang tua yang tidak setuju putrinya ikut les tari ballet, karena takut putrinya tak lagi “suci” di malam pengantin. 


Tidak hanya sampai di situ pembodohan massal yang terpaksa, mau tak mau, harus diterima oleh perempuan sebagai kebenaran absolute, yaitu, mitos tentang enak atau tidak enaknya alat kelamin perempuan ditentukan oleh kekencangan otot vagina dan tidak banyaknya cairan. Banyak mitos-mitos berkembang tentang etnis-etnis tertentu yang alat kelaminnya sudah terbukti mewakili atau tidak mewakili standar ideal yang diciptakan oleh laki-laki. Biasanya prempuan berkulit putih kelebihan cairan. Tidak enak. Becek. Yang berkulit hitam, selain tidak kelebihan cairan, otot vaginanya pun lebih alot. Akibatnya perempuan berusaha keras mengatasi kelebihan cairan dan kelenturan otot vagina. 

Mereka minum jamu. Mereka ikut senam seks dan body language. Mereka memasukkan tongkat madura ke dalam vagina sebelum melakukan hubungan seksual selama lima menit. Mereka merendam vagina ke dalam daun sirih. Dan paling parah dari itu semua itu, perempuan takut terangsang. Perempuan menahan rangsangan supaya bisa “mengelabui” reaksi tubuh agar vagina tak terlalu mengeluarkan banyak cairan. Alhasil, perempuan melakukan apa pun hanya untuk dinikmati tanpa diberi kesempatan untuk menikmati.


Bagaimana perempuan bisa menikmati ketika sedang melakukan hubungan seksual mereka tak nyaman dengan reaksi tubuhnya sendiri? Mereka begitu ketakutan pasangannya tidak nikmat kalau otot vagina mereka tidak kencang, atau kelebihan cairan. Padahal perempuan mutlak mengeluarkan cairan. Mereka mutlak terangsang supaya bisa menikmati hubungan seksual. Ketika vagina tidak cukup mengeluarkan cairan, bisa berakibat iritasi kulit vagina. Jika kulit vagina mengalami iritasi, akan lebih mudah terjangkit bakteri dan penyakit kelamin. Dan yang terpenting, perempuan tidak akan pernah merasa nikmat dalam kondisi vagina kurang cairan seperti itu. Mereka pasti mengalami kesakitan. Dan rasa sakit bukanlah bentuk kenikmatan yang selayaknya diterima perempuan.


Mitos ini juga mengakibatkan perempuan tak kuasa mempertahankan kesehatan alat kelaminnya sendiri. Laki-laki banyak yang menghindari kondom dengan alasan, tidak enak karena terlalu licin. Akibatnya, tak hanya risiko terkena penyakit kelamin saja, tapi juga risiko kehamilan. Sementara yang menanggung akibat kehamilan ini hanyalah perempuan. Bukan laki-laki.


Laki-laki juga meciptakan mitos bagi kaumnya sendiri. Laki-laki yang bisa memuaskan perempuan, adalah laki-laki yang bisa bertahan berjam-jam. Laki-laki yang memiliki penis sebesar jaran. Laki-laki yang menguasai posisi puluhan. Karena itu, dengan modal penis besar dan nonton film porno mereka sudah layak diberi anugerah laki-laki perkasa. Mereka melupakan bahwa perempuan yang bagian-bagian sensitifnya tersembunyi tak seperti laki-laki mutlak dirangsang supaya mengeluarkan cairan dan siap menerima penetrasi. Tapi tidak, laki-laki banyak yang langsung asal hajar. Yang penting mereka bisa lama bertahan. Yang penting mereka mampu membolak-balik tubuh perempuan seperti membakar sate ayam. 


(NAYLA by Djenar Maesa Ayu, 2005: 77-81)

Another different thing betwen men and women’s genital is that men’s penis has 3 functions at the same time. It is for peeing (biogical need), spurting sperm (for reproduction) and ejaculation (to get the highest sexual satisfaction  orgams  sexual need). While for women, women have 3 different areas that has respective function, a hole for peeing (biogocial need, placed at the bottom), vagina for accepting sperm (for reproduction, placed in the middle), and clitoris to get stimulated (for sexual need, placed above vagina).