Search

Thursday, July 19, 2018

Xenophobia 2




Sekian tahun lalu, saat aku ‘hijrah’ dari seorang Muslim (sok) relijius menjadi seorang Muslim sekuler, kemudian ‘hijrah’ lagi menjadi seorang Agnostik, aku merasa aku telah mampu melepaskan diri dari kubangan xenophobia. Aku tak lagi menganggap orang-orang yang beragama selain Islam adalah calon penghuni neraka, bahwa orang-orang Muslim jelas akan masuk surga, betapa pun mungkin mereka melakukan kejahatan di dunia ini, asalkan mereka tidak menyekutukan Tuhan. Menyekutukan Allah – baik dengan cara murtad maupun percaya bahwa ada ‘kekuatan’ lain yang menyerupai tuhan – adalah satu dosa yang tak terampuni bagi orang-orang Islam; neraka ganjarannya.

Aku mengagumi diriku sendiri sebagai seseorang yang open-minded dan tidak judgmental.

Benarkah begitu?

Akhir-akhir ini aku baru menyadari bahwa aku ternyata ‘hanya’ berpindah wadah. L Kepada orang-orang yang non Muslim, aku memang tidak judgmental, namun justru kepada Muslim yang dari penampilannya nampak sangat Islami (misal mengenakan baju syar’i, yang rajin menghadiri majlis taklim) aku tidak bisa jauh dari berpikir bahwa mereka tentu bersuudhon pada orang-orang non Muslim, termasuk suudhon padaku yang berpindah ke ranah Agnostik. L
 
Sekian tahun lalu, di satu lapak media social (yang sudah almarhum sejak tahun 2012), seorang kawan mengadakan lomba menulis dengan tema xenophobia. Dari sekian puluh tulisan yang masuk, aku baru memahami mengapa orang-orang yang dari penampilannya nampak Islami, yang kutuduh pasti mengidap xenophobia pada orang-orang yang beragama berbeda, namun ternyata mereka berpikir lumayan liberal adalah dikarenakan sejak kecil mereka hidup di keluarga besar yang sangat heterogen. Sejak kecil mungkin mereka mengenal pakde, bude, atau kakek nenek atau bahkan ayah maupun ibu yang beragama berbeda dengan mereka. Sejak kecil mereka belajar toleransi – dalam makna sesungguhnya, dan tidak hanya di bibir saja – sehingga mereka bisa berkumpul bersama di perayaan-perayaan agama, misal Lebaran atau Natal. 

Merunut ke masa kecilku, keluargaku – sekarang satu-satunya keluarga berfam Podungge di Semarang – merupakan keluarga homogen. Keluarga besar Podungge di Gorontalo pun sama. Inilah hasil tumbuh besar dalam keluarga yang homogen. Tentu aku mengenal istilah toleransi, namun itu hanya berhenti di kepala, tidak sampai ke pergaulan yang sesungguhnya. (Satu kali di facebook, aku berkawan dengan seseorang yang tinggal di Gorontalo, dia mengaku terheran-heran bagaimana mungkin aku, seorang Podungge, menjelma menjadi seorang Agnostik.) Bisa dipahami jika duluuu, aku sangat xenophobic pada mereka yang beragama lain karena aku tidak punya pengalaman bergaul akrab dengan anggota keluarga yang beribadah ke gereja, misalnya, atau kawan akrab yang beribadahnya ke vihara, misalnya. (Untunglah dulu aku melanjutkan sekolah ke SMP Negeri, babak baru dalam hidupku untuk memiliki kawan sekolah yang bragama berbeda. Untunglah di decade itu, jualan agama belum ngetrend di tengah masyarakat kita. Lol. 

 Membaca tulisan-tulisan di lapak yang telah almarhum itu, yang bertemakan xenophobia, membuatku belajar banyak bahwa tidak semua yang berpenampilan Islami alergi pada mereka yang beragama lain. Ini karena keluarga mereka sendiri heterogen. Akan tetapi, di zaman milenial ini, ketika masyarakat kian dicecar dengan hal-hal “sok relijius” yang tak masuk akal, (misal syarat menjadi seorang pejabat di satu daerah harus hafal Alquran, siswa perempuan di sekolah negeri harus berjilbab, di pagi hari para siswa membaca doa ala orang Muslim keras-keras, satu hal yang dulu tidak kualami di sekolah negeri) aku pun kembali gamang. Bukankah tidak salah jika aku menjadi xenophobic pada mereka yang dengan sengaja mengeksklusifkan diri? Yang menunjukkan kesan bahwa hanya mereka lah ahlul jannah?

Seorang sobat pernah bercerita dengan bangga bahwa dia tidak mengenal xenophobia karena dia terlahir dalam keluarga besar yang heterogen. Kebetulan memang satu keluarga sepupunya yang tinggal tak jauh dari tempat tinggalnya beribadah ke gereja. Namun, tahun lalu ketika aku berkesempatan ikut piknik bersama keluarga besarnya, aku melihat banyak anggota keluarganya yang nampak berbusana syar’i, jilbab tidak cukup jilbab yang bisa menutupi rambut, namun jilbab yang sangat lebar. Aku sempat heran waktu itu; nampaknya sepupunya yang beribadah ke gereja termasuk kelompok minoritas. Beberapa saat lalu, dia mulai mengeluh, grup WA keluarga besarnya mulai terkesan menindas kelompok yang minoritas ini. Ketika dia mencoba menegur sepupu atau bulik atau paklik agar menghormati perbedaan spiritulitas yang ada, jawaban mereka adalah, “Kita wajib mensyiarkan agama Islam, agar sepupu-sepupu yang masih tersesat itu mendapatkan hidayah.”

Nah lo! Kemana toleransi itu pergi? “Perkembangan” (atau justru “kemunduran” ya?) membawa-bawa relijiusitas atau spiritualitas dalam kehidupan pergaulan kita sehari-hari sekian tahun terakhir kian mengesankan bahwa kata ‘toleransi’ hanya tinggal ada di kamus bahasa belaka. L Kian banyak orang yang berjualan agama demi memperkaya diri.
Dan .. aku tetap berkutat dengan mencoba untuk melepaskan diri dari xenophobia. L

IB180 14.44 17072018

Membaca "Semua untuk Hindia"

di blog sebelah, aku menulis aku tengah kehilangan antusiasme untuk menulis kisah mbolangku. tapi, eh, memang aku juga jarang sepedaan sekarang. hanya bersepeda ke kantor. well, tentu saja bike to work terus kujalankan, namun bersepeda di hari Minggu, apalagi mbolang berdua dengan Ranz, sangat jarang kulakukan akhir-akhir ini.


namun, untunglah, aku tidak kehilangan keinginan untuk membaca. beberapa minggu yang lalu, aku, angie, bersama dua adikku dan dua keponakan jalan-jalan ke satu toko buku, dan aku membeli beberapa buku. satu buku yang selama beberapa minggu terakhir menghuni tasku berjudul "semua untuk hindia" karangan iksaka banu, satu buku yang dilabeli sebagai buku kumpulan cerpen berlatar belakang sejarah. untuk menulis ini, iksaka banu melakukan riset mendalam dari buku-buku sejarah yang ada.

satu cerita yang pertama kali menarik perhatianku -- hingga aku termangu-mangu seusai membacanya -- berjudul "stambul dua pedang". aku membacanya sambil membayangkan satu masa yang telah berlalu sekian puluh atau ratus tahun. ada ya kisah cinta segitiga seperti itu di waktu yang begitu lampau. tapi, well, kisah cinta memang tak akan pernah bergeser jauh, tidak ada yang baru dalam kisah cinta, seharusnya begitu kan ya.

well, meski berlatar sejarah, aku yakin semua kisah di buku itu fiktif belaka, aku mengakui iksaka banu -- satu nama yang baru saja kukenal beberapa bulan terakhir ini karena seorang kawan medsos mempromosikannya -- sangat piawai meramu alur dan konflik cerita. aku yang pernah belajar sastra pun terpana, terutama ketika si laki-laki bule belanda mengaku mencintai perempuan pribumi yang dia cintai sebagai perempuan seutuhnya, bukan hanya sekedar menjadikannya seorang 'nyai', namun benar-benar seorang istri.

satu cerita yang kubaca di pinggir sungai banjirkanal barat, seusai ngeloop bkb sekian kali naik sepeda, berjudul "semua untuk hindia" judul yang diambil sebagai judul buku. latar belakang kisah ini adalah perang puputan di bali. well, aku sudah pernah mendengar tentang perang puputan, tentang sekelompok orang (keluarga istana) yang tidak mau melawan penjajah belanda, dan memilih mati secara terhormat. bahkan ketika mereka ditembak oleh penjajah, dan hampir mati, mereka melempar kepeng atau perhiasan kepada tentara penjajah yang "membantu mereka cepat mati". dan ... di pinggir sungai, sore itu, aku menangis. :( cengeng yaaa

IB 180 10.33 190718

note:
aku sedang malas menggunakan capslock. :P