Search

Tuesday, February 28, 2023

CHILD-FREE versus AWET MUDA

 


Sebenarnya kampanye child-free itu sudah lumayan sering digaungkan, dan belum ada yang sebegitu viral sampai ada seorang seleb medsos 'kepleset' karena membandingkan child-free dengan awet muda. Sontak banyak orang -- terutama perempuan -- yang tidak terima. Ketidakterimaan ini men-trigger para perempuan untuk mengunggah foto mereka dengan kepsyen yang nyaris seragam, intinya adalah mereka tidak terima jika untuk awet muda, seseorang bisa memilih gaya hidup 'tak beranak'. Selain mengunggah foto pribadi, sebagian orang lain lagi menyebut-nyebut artis yang nampak awet muda meski mereka beranak.

 

Sekian minggu yang lalu, seorang kawan sekolah saya meninggal dunia. 'kebetulan' dia adalah ayah dari seorang kawan Angie, my one and only daughter. Kami berdua pernah nonton pameran di Kota Lama dan saat itu bertemu dengan teman Angie dan ibunya. Seingat saya ibunya nampak lebih tua dibanding saya. Saat membahas ternyata kawan sekolah saya yang meninggal dunia itu ayahnya kawannya Angie, saya bilang, "don't you think her mom looks older than me?"

 

Jawaban Angie, "Maklum Ma, you have only one kid, she has three!"

 

Topik yang mirip seperti ini terjadi beberapa kali, dan jawaban Angie sama, "Maklum lah Ma, she has kids." saat membahas perempuan-perempuan lain yang 'nyata' ada di kehidupan kami berdua. Ini terjadi tanpa sadar bahwa Angie ingin menyatakan ada kemungkinan memiliki anak akan membuat beberapa (atau banyak?) orang nampak lebih tua jika dibandingkan dengan mereka yang tidak punya anak.

 

Lalu bagaimana dengan Wulan Guritno maupun Sophia Latjuba yang masih nampak kinyis-kinyis meski mereka beranak dan sudah berusia middle-aged? Kita semua tahu jawabannya:

 

  1. butuh dana banyak untuk merawat kecantikan ini (apakah kalian percaya bahwa hanya mengusap wajah dengan air wudhu saja bisa membuat seseorang nampak awet muda?) tidak melulu untuk pegi ke klinik perawatan, namun juga untuk asupan makanan, minuman yang akan membuat warna kulit cerah dan tubuh kenyal (plus pink di titik-titik tertentu, kata seseorang)
  2. Butuh dana untuk ikut latihan kebugaran, minimal jika latihan yoga ya saat pertama kali ikut yoga, untuk membayar trainer yang tepat agar tubuh benar-benar mendapatkan efek positif
  3. Butuh ketekadan yang bulat untuk latihan kebugaran tanpa pernah merasa bosan
  4. Waktu luang untuk melakukan nomor 1, 2, 3

 

Jika tidak mampu? Ya terima sajalah bahwa memang hukum alam jika orang yang punya anak (apalagi anak banyak) akan nampak lebih tua jika dibandingkan dengan mereka yang tidak punya anak.

 

Jika tetap ingin tampil awet muda? Selfie-lah dengan kamera berfilter! Kalau takut ketahuan aslinya bagaimana saat bertemu kawan medsos? Ya jangan mau diajak ketemuan! Seorang teman cerita dia di-unfriend kawannya setelah 'ngonangi' kawannya itu ternyata tidaklah secantik di medsos. Wkwkwkwkwk …

 

MS48 16.39 28.02.2023

 

Thursday, February 23, 2023

JOGJA O JOGJA

 


Di salah satu web, saya menemukan beberapa artikel yang memiliki tema "saya menyesal mengapa dulu saya tidak kuliah di Jogja" dan artikel lain yang menceritakan tentang rasa syukur si penulis karena dia tidak jadi kuliah di Jogja.

 

Sebagai seseorang yang pernah menghabiskan hidupnya beberapa tahun (dalam 2 kurun waktu yang berbeda) tentu saja tema yang kedua sangat menarik perhatian saya. What seems to be the problem? Kok segitu parahnya Jogja -- kota klangenan saya ini -- sehingga si penulis mengucapkan rasa syukurnya karena dia tidak jadi kuliah di Jogja. Ternyata, penyebab utamanya adalah (masih) maraknya klitih dan kesan pemerintah yang tidak peduli dengan kasus yang telah memakan korban nyawa ini. Baiklah, saya terima.

 

Sementara itu, di topik yang pertama, si penulis membuat 3 kategori mereka yang pernah tinggal di Jogja. Pertama, orang-orang yang memandang Jogja dengan romantis sehingga tidak mudah move on. Meski mereka telah meninggalkan Jogja, mereka akan selalu terkenang pada Jogja. (satu hal yang konon tidak banyak terjadi pada mereka-mereka yang pernah kuliah di kota lain, misal Semarang, Surabaya, Jakarta. Tidak ada kaitan romantisme dengan kota-kota yang pernah mereka tinggali saat kuliah.) Yang kedua, orang-orang yang kemudian memilih tinggal di Jogja, entah karena mendapatkan pekerjaan di sana, atau dapat jodoh orang Jogja. Yang ketiga, gabungan keduanya, namun karena paham sisi 'gelap' Jogja sehingga merasa tidak lagi perlu memupuk rasa romantisme itu.

 

Meski saya tidak pernah pacaran ketika tinggal di Jogja (poor me, eh? Lol) saya termasuk golongan pertama. Dan ternyata hobi bersepeda saya membuat saya jadi sering dolan ke Jogja. Awalnya dulu, saya ngikut di mana kawan-kawan komunitas menginap di daerah mana. Akhir-akhir ini, dengan sengaja saya akan memilih menginap di kawasan Jalan Kaliurang km 5, karena saya pertama kali ngekos di kawasan itu. Setiap berjalan kaki di kawasan itu, saya merasa seperti kembali ke rahim ibu. (lebay ya? Hihihi …) Kecuali jika saya ke Jogja karena mengikuti event sepedaan dan titik kumpul terletak lumayan jauh dari Jakal km 5.

 

Mungkin karena saat kuliah dulu, saya sering mendengar suara marching band di saat Subuh?

 

Waktu kuliah di American Studies, saya dan beberapa kawan pernah membahas suara marching band ini. Seorang kawan bilang dia tidak pernah mendengarnya, dia bilang, "syukurlah aku ga pernah dengar suara marching band di pagi buta itu, yang katanya bakal membuat seseorang bakal kembali lagi ke Jogja. Aku ogah balik lagi ke kota ini."

 

Guess what? Sekitar 7 tahun lalu saya mendengar kabar bahwa dia melanjutkan kuliah S3 di American Studies UGM lagi! Hohoho …

 

Barangkali kita tidak bisa menolak jika rasa romantisme itu mengikat kita pada satu tempat, tanpa kita sadari. Apah? Kita? Saya saja kali ya? Hihihi …

 

PT56 12.43 23.02.2023

 

Tuesday, February 21, 2023

Independent women don't need to marry?

 


Beberapa minggu yang lalu, saya membaca facebook story seorang kawan. Intinya adalah bahwa jika seorang perempuan sudah terbiasa mandiri, apa-apa dia lakukan sendiri, akan sulit baginya untuk 'dijinakkan'. (well, mungkin bukan diksi 'dijinakkan' yang dia pilih, saya lupa, tapi, something like that lah.) Beberapa waktu kemudian, saya bercerita kepada R tentang story kawan ini; let's call her Y. Komentar R adalah: "memang begitu kan? Jika seorang perempuan sudah terbiasa mandiri, buat apa dia menikah?"

 

Dengan pelan, saya menjawab, "menurutku ga begitu sih. Y hanya perlu bertemu dengan lelaki yang tepat untuknya, yang bisa memahami karakternya dan apa yang dia inginkan/butuhkan dalam hidupnya. Aku mengenal banyak perempuan yang mandiri (di medsos) yang menikah kok."

 

Saya ingat satu obrolan ringan dengan Abang -- ini nickname yang saya berikan pada salah satu sahabat saya -- mungkin lebih dari 14 tahun yang lalu. Dia bilang, "Kamu tuh sebenarnya ga radikal-radikal amat sih Na. Cuma memang kamu butuh pasangan yang tepat untukmu. If you meet a man like me in your life, and he is in love with you and you are in love with him, I believe it will be okay for you to marry him." and, damn, I think he was right. Lol.

 

hahaha, this is funny!

 

Sebelum menulis ini, saya membaca beberapa artikel yang membahas beberapa alasan mengapa perempuan tidak ingin menikah juga kisah beberapa perempuan yang memilih menikmati hidup tanpa terlibat komitmen. Masing-masing memiliki alasan sendiri-sendiri yang tidak bisa kita generalisasikan. Namun ada satu hal penting yang mungkin agak susah -- meski tentu saja mungkin dijalani -- jika dilakukan di Indonesia: jika seseorang tidak ingin menjadi gunjingan orang-orang sekitar -- apalagi jika seseorang itu masih hidup di komunitas yang konvensional -- dia sebaiknya menikah agar tidak menjadi sorotan masyarakat karena memiliki seorang partner namun tidak segera menikah. This is something to do related to sex for sure.

 


 

Di beberapa artikel yang saya baca, ada beberapa perempuan yang mengatakan, "why bother getting married and having more responsibilities? Let's just be committed in relationship without getting married." nah, di negara luar sana, sangat mungkin orang hidup bersama dengan life partner tanpa terikat pernikahan dan tidak ada yang nyinyir. Di Indonesia? Mungkin bisa juga ya, jika tinggal di kota metropolitan. Well, saya belum pernah tinggal di kota metropolitan, jadi saya tidak tahu.

 

Sex is a need of many people -- perhaps I can't say it is a need of everyone who is considered adult. You can have sex with your life partner without feeling guilty if you live in communities where the citizens are okay with a couple living together without getting married. In Indonesia? You need to get married first in order that (1) societies do not judge you (2) if your partner is religious, you will not drag him/her to sinful sex. Lol.

 

MS48 18.11 21.02.2023

 

Thursday, February 16, 2023

Do you really understand what you write?

 


Do you really understand what you write?

 

Seperti yang saya tulis tadi malam, di satu grup orang-orang intelek ada yang mendadak menulis bahwa orang agnostik itu bodoh. Mereka saking bodohnya tidak bisa memilih dari pilihan-pilihan yang sudah ada. Saya tertawa saat membacanya, dan ter-trigger mencatut omongan seorang kawan facebook untuk menulis komen begini:

 

"orang-orang atheists maupun theists itu sama-sama bodoh. Memang pintar dan bodoh pun terkadang hanya dilihat dari point of view yang mana."

 

Kalimat kedua di atas untuk meng-counter bahwa siapa pun bisa dianggap bodoh. Jadi ya sudahlah, ga usah ngatain bodoh ke orang lain. Begitu. Dan dia balesin, something like, pokoknya orang yang menganggap orang lain tidak pinter karena tidak sependapat, ya wis lah, 'pek-o dewe pintermu'.

 

Di sini, saya langsung ngakak. Kayaknya kok dia ga paham komentar saya yang sarkas yak? Lol. Waktu cerita ke mamas, dia tertawa, sambil bilang, "ada loh orang yang nulis panjang-panjang, dia pikir orang lain bakal paham, ternyata dia sendiri juga ga paham apa yang dia tulis. Apalagi orang lain yak?"

 

Out of the blue saat baca itu, saya ingat R, my biking partner. Sebagai seseorang yang dyslexic, jelas tulisan tangannya pun tidak jelas, (orang dia baca huruf saja hurufnya 'terbang-terbang' kok, contoh: dia sering bingung which is 'b' which is 'd'), maka dulu dia sering menertawakan diri sendiri saat ingat, dia kadang mencatat sesuatu menggunakan tangan (bukan mengetik di gadget), tapi setelah itu dia ga bisa membaca tulisan tangannya sendiri.  Maka, satu kali dulu saya pernah menjadi 'the reader' buatnya, saat dia tahu saya suka membaca, dia meminta saya membacakan buku buatnya. But, trust me, R is a brilliant person.

 

MS48 18.09 16.02.2023

 

Workmates = friends?

 

di Bukit Cinta Ambarawa, 4 September 2022

 Satu kali dulu waktu saya mengajar di sebuah uni swasta di kota kelahiran saya, saya mengiyakan bahwa "workmates = friends", meski tentu tidak semua workmates bisa menjadi 'friends' kita. Dan, 'friends' di sini pun tidak berarti kita bisa curhat segala hal yang kita rasakan, tetap ada hal-hal tertentu yang membuat saya merasa lebih nyaman menyimpannya sendiri. (saya sempat berhenti menulis diary, terutama setelah menikah hingga bercerai dengan my ex. I was still naïve back then, thinking that our spouse was the closest person for us so we were not supposed to have another 'best friend'.)

 

Saya mulai menulis diary lagi saat kuliah lagi di American Studies, UGM. Saat itu saya punya seorang bestie yang setia mendengarkan saya bercerita tentang apa saja, sama-sama kuliah bareng saya. Kebetulan saat saya lulus dari American Studies, beberapa kawan dekat pindah ke luar kota: Bandung, Malang, dan satu lagi ke Belanda. Yang masih ada yang di Semarang, kami tak lagi mudah bertemu karena sudah sama-sama quit dari uni swasta tempat kami bekerja.

 

Kebetulan pada waktu yang bersamaan, saya mulai blogging, tempat saya menulis keresahan saya sebagai perempuan yang mulai berpikir dengan sudut pandang feminis. Saya tidak lagi berpikir bahwa 'workmates = friends'.

 

Maka, ketika beberapa hari yang lalu Angie bilang ke saya bahwa di mana lagi dia bisa mendapatkan 'friends' selain di tempat kerja karena itulah satu-satunya 'komunitas' yang dia eksis saat ini, saya cerita ke dia tentang pengalaman saya waktu bekerja di uni swasta itu. Usia saya waktu itu ya sekitar usia Angie sekarang. It really makes sense, tapi kita tetap harus ingat bahwa kehidupan kita tidak akan selalu begitu.

 

Saat ini saya memiliki dua orang yang setiap hari saya merasa perlu berbincang, meski hanya via WA. Saya mengenal mereka berdua bukan dari workplace, dan keduanya tinggal lumayan jauh dari kota saya tinggal. Di kota yang sama, saya punya seorang sahabat yang dengannya saya bisa bercerita tentang hal-hal yang mungkin tidak akan bisa ceritakan kepada orang lain. Tapi karena kesibukan kami berdua, kami jarang bertemu, dan tidak merasa perlu berbincang tiap hari via WA. But still I consider her my best friend.

 

Btw, Angie masih keeps in touch dengan some (old) schoolmates, kadang mereka bikin appointment to get together. She still has 'friends' outside her workplace.

 

PT56 13.53 16.02.2023

 

Perhaps you will be interested in reading this writing and that writing

Wang Sinawang

 


"Wang sinawang"

 

Banyak hal (atau mungkin segala sesuatu?) bisa dipandang dari beberapa sudut pandang. Ganteng atau cantik ini jelas tergantung selera masing-masing orang. Bahkan bodoh / tidak bodoh pun tergantung sudut pandang siapa.

 

Ada 2 hal yang mungkin tidak akan saya lupakan mengenai tuduhan bodoh ini.

 

Pertama: seseorang yang 'terkenal' sebagai aktivis pejalan kaki mengatai saya bodoh karena saya memilih sepeda sebagai moda transportasi saya sehari-hari, dengan alasan saya menyediakan diri menghirup udara yang beracun, racun-racun yang dikeluarkan oleh knalpot kendaraan bermotor.

 

Kedua: satu kejadian 4 tahun silam (jebul wis lumayan suwi) yang membuat akun saya viral dan saya dibodoh-bodohkan ribuan orang.

 

Dan malam ini baru saja saya membaca di grup orang-orang intelek itu tuduhan bodoh pada orang yang "memilih berlabuh pada" agnotisme.

 

Banyak orang yang ternyata kaget waktu tahu saya dengan terbuka mengaku diri sebagai seorang agnostik. "Kamu pemberani sekali!" kata beberapa orang kepada saya. Namun, tidak hanya itu tanggapan yang saya terima. Sekian tahun yang lalu seseorang bilang, "Miss, agnostik itu bukannya orang yang beragama tapi males mengerjakan ritual-ritual agama yang ada?" Saya tertawa saja mendengarnya, eh, membaca komentarnya, saya hanya membalas,

 

"Please study more about agnosticism."

 

Dan saat ada yang mengatakan mereka yang memilih menjadi agnostik itu orang bodoh karena "ada jawaban multiple choice tinggal milih saja kok ga bisa". Suwer, saya langsung ingat 'idiom' wang sinawang ini: dia memandang saya bodoh (di grup alumni itu so far baru saya yang dengan terbuka menyatakan diri sebagai agnostik, dulu ada Ki Broto yang mengklaim diri sebagai 'kafir') saya memandang dia juga sama karena jelas he knows nothing about agnosticism. Dulu, Ki Broto orang yang usilnya tingkat tinggi, suka menggoda orang-orang yang (sok) relijiyes. Saya sebaliknya, saya ogah usil seperti itu. :) biarlah orang mau bilang apa tentang agnosticism, saya tidak peduli, cukup tertawa saja.

 

13,10 16/02/2023

 

C U R H A T

 

copas dari sini

Menurutku, orang curhat itu 'kadang' hanya butuh media untuk menumpahkan kekesalan, atau apa pun yang membebani pikiran mereka. Barang kali dengan cerita kepada orang lain, mereka bisa merasa sedikit lega.

 

Aku sendiri, jika dicurhati orang, lebih cenderung hanya meminjamkan telinga (atau mata jika yang curhat memilih media tulisan karena jarak jauh), tanpa merasa perlu memberi nasehat, misal, "kamu kudu begini begitu", kecuali jika yang bersangkutan memang butuh diberi "masukan" dengan bertanya, "what am I supposed to do?" Atau, jika ybs curhat tentang hal yang sama lagi dan lagi sehingga aku menyimpulkan kayaknya orang ini butuh masukan dariku.

 

Dulu, saat masih mengajar di satu uni swasta di Semarang, aku punya beberapa kawan dekat yang selalu bersedia meminjamkan telinganya untuk kucurhati 😚 setelah quit dan beberapa kawan dekat mendadak pindah luar kota bahkan ada yang pindah ke negara lain, aku mulai curhat pada diri sendiri: menulis diary maupun menulis di blog. Aku pernah begitu tergantung pada Abangku untuk masalah curhat ini sampai dia merasa perlu menjewerku karena curhatku "too much" atas hal-hal kecil yang seharusnya bkadang aku se"manja" itu

 

tapi ini duluuu

 

Sekarang aku kembali fokus ke menulis diary, talk to myself. Kadang jika merasa butuh ngobrol sama one beloved of mine namun dia sedang sibuk, aku menulis email buatnya, email yang tidak perlu kukirim. Cukup untuk kubaca sendiri

 


10.20 13.02.2023

 

N. B.:

Perhaps you will find this writing interesting to read? 

 

Monday, February 13, 2023

SERAGAM SEKOLAH

 


Saat anak semata wayang saya masuk SMA, di pertengahan tahun 2006, belum ada pembahasan tentang RUU APP yang (akhirnya) 'menghasilkan' (salah satunya) adalah rok bawahan anak-anak perempuan sekolah negeri harus sepanjang semata kaki, jadi anak saya dan kawan-kawan satu angkatannya masih bebas mengenakan rok selutut, atau mungkin sedikit di atas lutut. Sedangkan anak laki-laki mulai mengenakan celana panjang sejak mulai duduk di bangku SMP, sementara peraturan sebelumnya anak-anak itu mulai mengenakan celana panjang setelah masuk SMA.

 

Adik kelas anak saya persis mulai mengenakan rok sepanjang mata kaki. Saya yang waktu itu mulai getol blogging, menulis berjilid-jilid di blog mengenai RUU APP ini. Intinya saya against dengan peraturan baru ini: bahwa semua murid perempuan harus mengenakan rok panjang, kecuali jika memang itu merupakan sekolah swasta berbasis agama Islam. And guess what? Ternyata, waktu itu anak saya bilang begini ke saya, "Ma, seragam adik-adik kelas kok trendy ya? Keren, pakai rok panjang." hahahahaha … Entah apakah dia masih akan mengatakan hal yang sama jika ternyata dia termasuk angkatan yang diwajibkan mengenakan rok panjang. Ketika saya bertanya apakah dia ingin ganti rok panjang untuk seragam sekolahnya, dia bilang ogah nampak beda sendiri dengan kawan-kawan seangkatannya. 😜

 

Dan kita tahu 'perkembangannya' beberapa tahun kemudian: ada semacam opressi tak tertulis di banyak sekolah pada murid-murid perempuan beragama islam untuk mengenakan jilbab. Anak saya pun pernah menjadi korban opressi ini, dari kawan-kawan seangkatannya yang termakan opressi dari masyarakat bahwa perempuan beragama Islam harus menutupi rambutnya. Untungnya anak saya sudah bermental baja, meniru emaknya, hihihi. Dia cukup curhat ke saya. (Ini terjadi saat reunian kecil-kecilan dengan kawan sekolah/kuliah.) Maka, ketika opressi sejenis ini datang lagi dari rekan kerjanya, dia cuek saja.

 

PT56 12.38 13.02.2023

 

Friday, February 10, 2023

Membesarkan Anak 2

 

Sebuah kasus yang terjadi pada hari ini di tempat aku bekerja langsung mengingatkanku pada sebuah postingan yang kutulis di awal tahun ini (you can view it in my other blog at Membesarkan_Anak ). For further information you can also click 80 Persen Anak Indonesia Berpikiran Negatif

 

Jika di post 'Membersarkan Anak' aku menulis sebuah kasus yang baru pertama kali kuhadapi dalam karir mengajarku, dimana kasus ini terjadi pada si anak kedua, maka di post ini aku dengan sedih akan menulis bahwa ternyata kasus yang sama pun ternyata 'akhirnya' menular ke sang kakak padahal sebelum ini si kakak dikenal sebagai seorang anak yang rajin, serius, dan cerdas dalam kegiatan sekolah.

 

Dalam post yang kusebut di atas, si adik merasa tidak diinginkan, tidak didengarkan oleh teman-teman plus gurunya di sekolah sehingga dia merasa malas berangkat sekolah. Selain itu, dia merasa 'eksistensi diri'nya terganggu karena di kelas ada seorang siswa yang di matanya 'sempurna' -- cerdas, cantik, plus memiliki tubuh yang tinggi dan langsing. Dia ingin seperti itu namun apa daya ... 'Kecemburuan' (?) kepada teman sekelas ini dia gunakan sebagai salah satu alasan untuk menghindari sekolah, karena dia merasa sebagai 'produk gagal'. T.T

 

 

Satu tahun akademik berlalu.

 

Di awal tahun ajaran 2011/2012 si adik 'mendadak' mendapatkan kembali antusiasme untuk berangkat sekolah. (She is in the ninth grade while the 'perfect' classmate has been promoted to the tenth grade. (She no longer needs to 'fight' with jealousy toward a classmate?) Namun ternyata 'kesembuhan' sang adik berbanding terbalik dengan sang kakak. 'Mendadak' pula sang kakak menjadi begitu malas berangkat ke sekolah with no reason except that "I am tired to be someone who is not myself."

 

You can guess that eventually sang adik pun jadi ketularan malas berangkat sekolah. 

 

As a result, dua kakak beradik ini telah membolos dari sekolah selama kurang lebih dua bulan.

 

Hari ini adalah 'parent-teacher interview' day. Sang ibu datang dan curhat dengan sang wali kelas, memiliki dua anak yang baginya begitu sulit untuk dididik. Ketika si ibu berkata kepada dua anak putrinya, "Why don't you understand your sad Mommy?" Mereka menjawab, "Don't you know Mom that our burdens are even far bigger than yours?"

 

Jika di post "Membesarkan Anak" aku menulis 'beban' si kakak untuk selalu membantu mengerjakan apa pun yang dikerjakan oleh sang adik (PR dari sekolah, atau apa pun yang dikerjakan oleh sang adik, misal ketika di sekolah sang kakak membawakan tas, buku-buku bahkan termasuk lunch box sang adik, sehingga sang adik cukup berjalan melenggang tanpa membawa beban apa pun), dan dia tidak protes, maka inilah mungkin saat dia protes. Ketika dia melihat sang orangtua tidak mampu melakukan apa pun untuk 'membenahi' tingkah laku sang adik -- misal membolos dari sekolah selama berbulan-bulan -- kali ini she took revenge: dia melakukan hal yang sama.

 

P.S.

hanya sekedar coretan kecil yang membuatku merenung, sekaligus bersyukur my Lovely Star is a very sweet and nice daughter.

 

GL7 14.00 141011

 

N. B.:

aku copas dari blog ini

 

Membesarkan Anak 1



Membaca artikel di 80.Persen.Anak.Indonesia.Berpikiran.Negatif mengingatkanku pada sebuah kasus yang menurutku tergolong tidak biasa di sekolahku saat ini. Seorang siswa perempuan (sekarang kelas 9) sangat enggan berangkat ke sekolah dengan alasan dia merasa tidak diinginkan, kurang didengarkan oleh teman-temannya maupun oleh gurunya. Sebut saja namanya 'NV'.

 

Sedikit bbackground, waktu duduk di bangku SD, NV pernah bersekolah di sekolah tempatku bekerja sekarang -- yang nota bene berarti tempat dimana dia bersekolah sekarang -- namun kemudian pindah ke sekolah lain ketika seorang teman dekatnya pindah ke sekolah lain. Dia merasa tidak bersemangat berangkat ke sekolah jika teman dekatnya itu tidak bersekolah di sekolah yang sama dengannya. Dan ternyata kejadian ini berulang beberapa kali, pindah ke sekolah satu, kemudian pindah ke sekolah lain, hingga akhirnya NV kembali ke sekolah lamanya, dengan alasan teman dekatnya itu pindah keluar kota.

 

 

Background lain, NV adalah anak bungsu dari dua bersaudara; kakaknya juga perempuan. 'Kebetulan' si kakak termasuk tipe siswa yang serius, rajin, dan cerdas.

 

Sering aku dengar 'kasus' anak kedua (atau pun ketiga dst) yang merasa terbebani ketika memiliki kakak yang di mata keluarga maupun lingkungannya cerdas. Anggota keluarga lain (om, tante, kakek, nenek, sepupu, dll) atau pun lingkungan akan dengan mudah bertanya, tanpa memandang kondisi psikologis si anak, "Kok kamu tidak secerdas kakakmu?" Hal ini sering melukai si adik yang merasa tidak secemerlang sang kakak. Dalam tingkatan tertentu, bisa jadi hal ini akan menyebabkan iri hati yang tidak sehat antara adik kakak.

 

Menurutku di sini peran serta orang tua sangat dibutuhkan agar kecemburuan antar adik kakak tidak berkelanjutan. Bisa diberikan penjelasan bahwa intelligence pun meliputi berbagai jenis; misal linguistic intelligence, technical intelligence, visual intelligence, interpersonal intelligence, intra-personal intelligence, artistic intelligence, dll. Ditambah lagi perlakuan kepada anak yang harus tetap seimbang atau pun sama, tidak play favorite.

 

Kembali ke kasus NV. Sang kakak bercerita dia sudah harus sering mengalah kepada adiknya. Misal: membantu adiknya mengerjakan pe-er meski dia sendiri memiliki pe-er, namun dia harus lebih menomorsatukan adiknya. Dulu, sebelum NV kembali bersekolah di sekolah yang sekarang, dia selalu meminta sopir mengantarnya ke sekolahnya terlebih dahulu, yang padahal letaknya lebih jauh, sehingga sang kakak sering terlambat datang ke sekolah. Sekarang, mereka berdua bersekolah di sekolah yang sama, sering teman-teman sekelas NV melihat sang kakak membawakan buku-buku maupun bekal makan siang NV, sementara NV berjalan melenggang.

 

Kesimpulan (sementara) yang bisa kita ambil adalah perlakuan orang tua yang memanjakan NV telah 'makan korban'. Analisis yang kutulis di atas -- sang adik merasa terbebani oleh bayang-bayang sang kakak yang cerdas -- mungkin juga memiliki peran semakin memperburuk suasana.

 

Sementara itu, mengingat jumlah siswa di kelas NV yang terbatas -- hanya lima anak satu kelas -- alasan NV sering enggan berangkat sekolah karena teman-teman maupun guru-gurunya tidak memperhatikan maupun mendengarkan apa yang dia inginkan terdengar terlalu berlebihan. Hal ini bisa saja terjadi jika di kelasnya terdapat banyak siswa, misal lebih dari 15 anak.

 

Tadi pagi tiba-tiba NV masuk sekolah setelah membolos sejak masuk semester ini, 10 Januari 2011. Namun ternyata ada beberapa 'perjanjian' yang dibuat oleh sekolah dengan NV; misal, tidak boleh terlalu banyak pe-er, apa pun yang dia inginkan, semua harus mengiyakan, (belum jelas dalam bentuk apa), guru tidak boleh menegurnya di depan teman-temannya jika dia melakukan kesalahan, boleh datang terlambat ke sekolah, dan pulang setelah istirahat makan siang.

 

Sang wali kelas merasa khawatir jika 'perlakuan khusus' ini akan membuat teman-teman sekelas NV iri. Mengenal karakter teman-teman sekelas NV dengan baik, aku merasa kekhawatiran ini tidak akan terjadi, asal kita bisa berbicara baik-baik kepada mereka. Misal: NV sendiri yang akan rugi jika dia datang terlambat ke sekolah atau pun pulang terlebih dahulu; dia juga akan rugi jika tidak bersedia mengerjakan pe-er yang tentu para guru memiliki tujuan mengapa memberi pe-er. Satu hal yang pasti: sang orang tua telah berhasil 'disetir' oleh NV untuk membuat perjanjian seperti itu dengan pihak sekolah. Pihak orang tua merasa tidak punya pilihan lain selain setuju dengan permintaan NV karena, no matter what, masih lebih lumayan NV mau berangkat sekolah, dibandingkan benar-benar mogok sekolah. Pihak sekolah pun tidak memiliki pilihan lain selain setuju karena tidak mau kehilangan siswa.😞

 

PT56 23.23 18.01.11 

 

tulisan lama, aku copas dari sini