Search

Tuesday, June 30, 2020

PAJAK SEPEDA?

Beberapa hari lalu beredar kabar bahwa kemenhub akan menarik pajak dari para pemilik sepeda, menyikapi kian maraknya pengguna sepeda setelah pandemi covid 19. meski sehari kemudian sudah ada berita ralat bahwa yang benar adalah kemenhub justru akan mengeluarkan regulasi untuk mendukung keselamatan pesepeda.

 

diambil dari sini


 

Sebagai seorang pengguna sepeda sebagai moda transportasi -- tidak melulu hanya untuk alat olahraga -- dan sadar diri bahwa masih banyak tuntutan pesepeda yang belum dipenuhi oleh pemerintah (tuntutan ini mengacu ke UU lalu lintas no. 22 tahun 2009 pasal 62 ayat (1) pemerintah harus memberikan kemudahan berlalulintas bagi pesepeda; ayat (2) pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas) saya tidak keberatan jika memang sepeda akan dikenai pajak, seperti halnya kendaraan bermotor.

 

Akan tetapi, mengacu ke UU no 22 tahun 2009 pasal 62 ayat 2, apakah pemerintah sudah memberikan dukungan keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran bagi pesepeda? Sekian dekade yang lalu, masih ada banyak jalur lambat di banyak ruas jalan-jalan protokol di Semarang; jalur lambat ini bisa dipakai oleh pesepeda maupun pengendara kendaraan tak bermesin lain, misal becak atau gerobak, dan mereka terpisah dari jalur cepat yang lebih digunakan oleh pengendaraan kendaraan bermotor. Dan penduduk Semarang tentu tahu, semakin 'kesini' semakin sulit mendapati jalur lambat ini. Jalur lambat dihilangkan dengan maksud melebarkan jalur cepat untuk mengurangi kemacetan. Namun apakah benar badan jalan yang lebar ini benar-benar efektif mengurangi kemacetan?

 

jalur sepeda di Purwokerto, tahun 2013



Kita lihat saja pemberlakukan 'satu arah' di beberapa ruas jalan di kota Semarang. Saya ambil contoh Jalan Pemuda yang biasa saya lewati. Apakah Jalan Pemuda yang lebar itu (dari Paragon Mall hingga Tugumuda) setelah diubah menjadi satu arah, benar-benar bebas dari kemacetan di jam-jam sibuk? Sebelum pandemi, jawabannya jelas TIDAK. Kemacetan tetap saja terjadi. Ketika seluruh ruas jalan diubah menjadi jalur cepat dengan meniadakan jalur lambat, lalu dimana para pengendara kendaraan non mesin bisa melaju dengan aman? Ketika semua badan jalan menjadi jalur cepat, tidak salah dong jika kemudian pesepeda pun memenuhi badan jalan, persis seperti kendaraan bermotor yang melakukan hal yang sama. Ketika selama ini pesepeda termarjinalkan, dan ketika saat jumlah pesepeda meningkat, mengapa orang-orang mengeluh dengan pesepeda yang memenuhi jalan? (Akhirnya, jika sampai sini, kebijakan SHARE THE ROAD memang yang paling tepat untuk diaplikasikan. Tidak perlu ada yang merasa lebih memiliki jalan raya.)

 

penyerobot jalur lambat ditegur, di Magelang, diambil dari sini
 


Kendaraan bermotor dikenai pajak, salah satunya mungkin, uang pajak bisa dipakai di sektor kesehatan mengingat polusi yang disebabkan oleh kendaraan bermotor kian tahun kian tinggi. Sementara sepeda dan kendaraan non mesin lain sama sekali tidak mengeluarkan polusi yang membahayakan lingkungan. Bukankah justru yang terjadi seharusnya ada apresiasi kepada rakyat yang menggunakan sepeda sebagai moda transportasi karena turut menjaga lingkungan? Beberapa negara di Eropa telah memberikan incentive kepada mereka yang menggunakan sepeda sebagai moda transportasi. Mengapa pemerintah Indonesia tidak meniru hal yang baik ini?

 

PT56 16.32 30-June-2020


Friday, June 26, 2020

Sekolah Favorit (2)

Tahun lalu, menjelang penerimaan siswa baru, masyarakat heboh tentang rayonisasi. Satu sekolah negeri yang mungkin terletak dekat rumah, belum tentu satu rayon, (eh, zona ya? Ah, anggap saja sama ya. :) ) misal: rumah saya terletak di Pusponjolo Dalam, SMP negeri terdekat SMP N 40, namun karena sekolah yang terletak di Jl. Suyudono ini masuk kecamatan Semarang Selatan, sedangkan Pusponjolo masuk Semarang Barat, maka SMP N 40 beda zonasi.

 

 


Ternyata tahun ini ada satu hal lagi yang dihebohkan orang (boleh juga dibaca sebagai 'dikeluhkan'): umur! Ketika aku kecil dulu (puluhan tahun lalu gaes, lol), duduk di bangku TK itu tidak wajib, usia seorang anak masuk SD itu 'biasanya' 7 tahun, (biasanya = tidak wajib). Asal sudah umur 7 tahun, seorang anak bisa masuk SD, meski mungkin belum bisa membaca menulis. Ya zaman orba belum ada kebijakan 'wajib belajar', jadi jika ada orangtua yang mampu memasukkan anaknya sekolah, pemerintah selayaknya harus bersyukur banget.

 

 

Ketika anakku mulai masuk TK, rata-rata usia seorang anak masuk TK itu 4 tahun. Angie masuk SD umur 6 tahun. Meski waktu TK dia kumasukkan ke TK Nasima, ketika masuk SD, Angie kumasukkan ke SD Siliwangi (sekarang namanya SD Kalibanteng Kidul). Dia beruntung bisa masuk ke SD ini karena dia tidak kusekolahkan di TK PGRI 10 yang terletak satu area dengan SD Siliwangi; (FYI, 90% anak-anak SD Siliwangi 'lulusan' TK PGRI 10) Seorang guru SD Kalibanteng Kidul yang tinggal tak jauh dari rumahku (saat itu) bilang, seorang calon siswa kelas 1 SD negeri wajib berusia minimal 6 tahun. Jika kurang dari itu, jangan harap bisa masuk sekolah negeri, apalagi sekolah negeri yang dianggap cukup 'favorit'. Saat itu, SD Siliwangi ternyata dianggap satu sekolah favorit di kecamatan Semarang Barat.

 

 

 

Tahun ini, masih dengan semangat menghapuskan anggapan 'sekolah favorit', pemerintah mengeluarkan satu kebijakan baru: untuk masuk SD negeri, MINIMAL usia seorang calon siswa adalah 7 tahun. Usia MAKSIMAL seorang calon siswa SMP 15 tahun; untuk masuk SMA MAKSIMAL 21 tahun. Kebijakan 'zonasi' tetap diberlakukan ya, jadi jika ada 2 calon siswa memiliki nilai yang sama, zonasi sama, jika harus bersaing, yang berusia lebih muda terpaksa kalah. Dengan kebijakan WAJIB BELAJAR dari SD hingga SMA, pemerintah benar-benar ingin merangkul semua anak-anak Indonesia untuk sekolah.

 

Permendikbud no. 44/2019

 

Pasal 25

(1) seleksi calon peserta didik baru kelas 7 SMP dan kelas 10 SMA dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam wilayah zonasi yang ditetapkan

(2) jika jarak tempat tinggal calon peserta didik dengan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  sama, maka seleksi untuk pemenuhan kuota/daya tampung terakhir menggunakan usia peserta didik yang lebih tua berdasarkan surat keterangan lahir atau akta kelahiran.

 

 

 

Sebagai orangtua yang pernah mengalami disindir-sindir melulu saat ada agenda pertemuan antara orangtua siswa dan sekolah saat Angie duduk di bangku SMA, dan sebagai seseorang yang pernah bekerja di sebuah sekolah swasta yang tidak favorit, lol, aku mendukung langkah apa pun yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghapuskan anggapan sekolah favorit. Tapi, ya memang seharusnya pemerintah mengeluarkan kebijakan ini tidak 'ujug-ujug' lah. Permendikbud di atas dikeluarkan seharusnya untuk diaplikasikan 6 tahun ke depan. Jangan mak bedunduk ujug ujug sak det sak nyet, lol.

 

 

N.B.

 

  1. Angie masuk SMA tahun 2006 dimana SMA N 3 saat itu WAJIB mengikuti kebijakan rayonisasi/zonasi, hingga SMA N 3 terpaksa menerima siswa-siswa dengan jumlah NEM di bawah 18 karena mereka bertempat tinggal satu rayon dengan SMA N 3. and you know what, selama 3 tahun Angie sekolah disana, hal ini terus-menerus disebut berulang-ulang oleh kepala sekolah setiap ada pertemuan pihak wali siswa dan sekolah. Kepala sekolah dan guru-gurunya komplain keras karena mendadak harus 'mencerdaskan' anak-anak yang mungkin bibitnya tidak sebagus yang mereka harapkan. Komplain ini pun didengarkan pemkot loh karena tahun-tahun berikutnya sekolah yang waktu itu mendapat lisensi 'sekolah berstandar internasional' diizinkan untuk tidak memberlakukan zonasi, sampai lisensi SBI ini tidak berlaku lagi.
  2. Well, paling tidak, aku dan Angie pernah merasakan sekolah di sekolah favorit, lol, dimana jika kita berjalan dengan seragam sekolah kebanggaan, orang-orang yang melihat akan terkagum-kagum, lol. Untuk masa nanti, setelah Angie punya anak, ya dipikir nanti saja. At least, aku sudah melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa sekolah di sekolah favorit tidak selalu menjamin 'kesuksesan' (sukes yang bermakna memiliki pekerjaan yang mentereng, menghasilkan uang banyak bisa untuk membeli rumah dan mobil berderet, lol) meski kesuksesan yang seperti itu belum tentu membawa kebahagiaan. :)

 

PT56 11.35 26-Juni 2020


Tulisan senada bisa diklik disini ya 


Thursday, June 25, 2020

Someone from the past

Everybody absolutely has past. Sometimes we want to just forget our past; although some other time, we will not leave some of our past just like that.

 

Have you ever tried avoiding some people online? Or is there anybody who wants to avoid you online? Due to your past experience with him or her?

 



I have one, at least. :) once upon a time, we were connected on friendster until she removed me because I bullied her. (Hahahahah … I had an experience to bully someone too, lol.)

 

Many years have gone. I never knew her new 'life'.

 

And … out of the blue she put her thumb on my post on one alumni group. This is the nth time she put her thumb on my joking posts. And just like that, she reminded me of 'our' past, lol. This made me visit her account. Ah … she is as mysterious as hell. Lol. 


Btw, if I were using my Podungge name, perhaps she would recognize me. Lol.


16.00 25 June 2020

Bersepeda dalam peleton

Sebagai seorang 'bike to worker' a.k.a pekerja bersepeda, jelas saya tidak punya banyak pengalaman bersepeda dalam peleton. Peletonan dengan siapa? Lol. Jam kerja saya berbeda dari kebanyakan orang yang mungkin memilih berangkat bekerja dengan naik sepeda. Misal: dulu waktu masih bekerja di satu sekolah yang terletak di bukit Gombel, saya biasa berangkat dari rumah pukul lima pagi jika naik sepeda. Di jalan kadang bertemu dengan orang yang bersepeda untuk berolahraga, tapi tidak banyak. Di sore hari saya bekerja di tempat lain, masuk jam 17.00, biasa meninggalkan kantor yang terletak di Gombel pukul empat sore, 30 menit kemudian sampai di kantor yang terletak di Jl. Imam Bonjol. Bukan jam berangkat bekerja yang lazim kan ya. :)

 

 

Akhir-akhir ini -- Juni 2020 -- pesepeda sedang banyak disorot orang karena mendadak pamor sepeda melonjak tinggi di tengah masyarakat yang jenuh terus menerus harus tinggal di rumah. Entah bagaimana awalnya, mendadak banyak orang beralih ke bersepeda sebagai alternatif olahraga yang cukup 'aman' karena bisa dilakukan sendirian, dan bukan dalam kelompok (misal: basket, voli, sepakbola, dll.) Namun ternyata, orang-orang itu tetap bersepeda dalam kelompok, kebanyakan dari mereka. Dan bayangan bahwa sepeda itu tidak perlu mengikuti peraturan yang ada untuk para pemotor/pengendara mobil "mentang-mentang" tidak bermesin itu tetap mereka imani; hasilnya? Mereka bersepeda bergerombol, namun ketika melewati lampu merah, mereka merasa tetap boleh menerabas lampu merah itu, tanpa peduli bahwa apa yang mereka lakukan akan mencelakakan diri mereka sendiri, dan juga orang lain.

 


 

Maka tidak heran jika postingan saya di grup Bike to Work Semarang tentang pentingnya SHARE THE ROAD viral hingga lebih dari 1200 kali dibagikan orang. Entah yang membagikannya itu juga pehobi sepeda, atau justru malah orang-orang yang kesal karena kian sering menemui kasus orang yang bersepeda memenuhi badan jalan, plus merasa lampu merah di traffic light itu hanya tanda untuk pemotor/pengendara mobil.

 

 

Di satu acara yang dipandu oleh majalah Intisari dan National Geographic Magazine Indonesia, Om Poetoet -- ketua umum Bike to Work Indonesia -- bercerita tentang satu kasus yang terjadi di Tangerang, kota tempat tinggalnya. Di satu pagi, ada rombongan pesepeda sedang latihan (dilihat dari jenis sepeda yang mereka naiki, plus outfit lengkap yang mereka kenakan) menerobos lampu merah. Pemotor yang datang dari arah yang lampunya telah berubah hijau, tidak menyangka bahwa peleton ini cukup panjang, hampir menabrak pesepeda yang berada di belakang. Dia berhasil menghindari menabrak sang pesepeda, namun ternyata dia menabrak pihak lain sehingga tetap menyebabkan kecelakaan.

 

 

Beberapa hari lalu, saya melihat beberapa kelompok peleton sepeda seperti ini di Jl. Dr. Cipto, jalan yang lumayan panjang di kota Semarang. Mungkin karena jalan ini panjang, banyak pesepeda suka 'latihan' kecepatan disini. Saya yang bersepeda santai pun kaget melihat kecepatan mereka. Ketika menjelang lewat perempatan dimana lampu merah sedang menyala, pesepeda yang paling depan terus mengayuh pedal dengan kencang, sambil berteriak, "terus … terus …". Di satu traffic light (yang lain), dari arah Barat saya lihat seorang pemotor melaju, untungnya dia pelan, sehingga tidak terjadi tabrakan. :(:(:(  Ini membuat saya berpikir, apa tidak sebaiknya mereka yang latihan kecepatan dalam peleton yang lumayan panjang ini memilih waktu yang 'tepat' (baca => sepi, masih jarang orang-orang berlalu lalang di jalan raya) atau area yang sepi, untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan?

 

SHARE THE ROAD itu berarti semua orang berhak menggunakan jalan raya bersama, dengan saling menghormati pengguna jalan lain. Jangan mentang-mentang berada dalam satu kelompok besar, kemudian menguasai jalan untuk kelompok sendiri.

 

PT56 11.55 25-Juni-2020


Wednesday, June 24, 2020

Have you ever been on my shoes?

Kadang -- atau malah justru sering -- orang sulit memahami kondisi orang lain karena mereka belum pernah mengalami apa yang dialami orang lain. Meski tentu ini tidak berarti bahwa tidak ada orang yang bisa memahami cara pandang orang lain tanpa perlu berada pada situasi seperti itu; mungkin cukup dengan membaca buku dan menghayati apa yang dia baca; atau mungkin ada seseorang terlahir dengan rasa empati yang dalam sehingga cukup melihat orang lain mengalami sesuatu, dan dia akan paham mengapa dan bagaimana.

 

*********

 

Sekitar 10 tahun lalu di satu lapak yang akhirnya almarhum di akhir tahun 2012, seorang kawan maya mengadakan lomba menulis dengan tema 'xenophobia'. (Saya dan kawan maya satu ini terus berkawan di facebook sampai sekarang.) Saya takjub membaca tulisan-tulisan bertema xenophobia ini dan saya belajar satu hal. Saya lahir dan besar dalam keluarga yang homogen, bersekolah di sekolah Islam  -- meski hanya waktu di sekolah dasar -- tinggal pun di lingkungan Islami dimana setiap jarak 50 meter ada masjid, saya harus bersusah payah melepaskan brainwashing yang kuat bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, bahwa hanya orang Muslim lah yang akan masuk surga, dan bahwa alquran akan selalu terjaga keasliannya (plus interpretasi tunggal dari kacamata laki-laki) hingga akhir zaman.

 


Membaca tulisan-tulisan lain bertema xenophobia yang ditulis oleh orang-orang yang 'nampaknya' berada di posisi saya yang dulu namun mereka memiliki cara pandang yang jauh lebih rileks ketimbang saya yang dulu itu sungguh-sungguh menakjubkan. WL -- inisial kawan yang mengadakan lomba -- pun jika ditilik dari postingan-postingannya seharusnya adalah seseorang yang saklek. Namun ternyata tidak. Dari 'diskusi' di komen-komen tulisan-tulisan itu, akhirnya saya tahu penyebabnya: mereka terlahir dalam keluarga yang heterogen. Mereka terbiasa tumbuh dalam keluarga yang heterogen sehingga terbiasa menghormati perbedaan-perbedaan yang niscaya.

 

 

***********

 

 

Barangkali orang tidak akan paham bahwa untuk menjadi saya yang sekarang -- saya 'bermetamorfosa' dari seorang Muslim yang saklek, menjadi seseorang yang sekuler, hingga menjadi seorang agnostik -- gegara saya 'bertemu' dengan ideologi feminisme -- sebuah 'isme' yang ternyata ditertawakan oleh sebagian (atau 'banyak'?) orang. Padahal bagi saya, mungkin tanpa isme satu ini, saya masih akan menjadi Nana yang sama, atau pun jika saya berubah, saya akan butuh waktu yang jauh lebih lama.

 

 



Anak saya lahir dalam keluarga yang sama; waktu kecil juga dia belajar membaca alquran dan shalat sejak TK -- tidak beda dengan saya ibunya; belajar berpuasa sejak kelas 1 SD. Yang sedikit membedakan adalah saya tidak 'membebaninya' untuk mengaji satu juz satu hari di bulan Ramadhan, tidak seperti orangtua saya dulu. Namun saat dia menginjak jenjang SMP, ibunya mulai berkenalan dengan feminisme yang kemudian membawanya ke ranah agnostik. Dia melihat ibunya rakus membaca buku-buku tentang kesetaraan, juga melihat ibunya mulai melepas kemelekatan pada agama. Dia jarang saya ajak berdiskusi hal ini namun bahwa dia kuliah di Psikologi mau tidak mau itu membuatnya memahami saya dan ternyata kemudian menjadikannya memiliki cara pandang seperti saya, meski mungkin dia tidak akan melabeli dirinya seorang feminis -- no matter what, pengalaman hidup kita berbeda. Dia 'hanya' mengaku sebagai seorang agnostik, yang jika saya runut maknanya adalah 'deist', bukan agnostik seperti saya. But what is in a name, anyway?

 

PT56 16.23 24-June-2020


Tuesday, June 23, 2020

Mencintai Diri Sendiri

Barangkali ini adalah salah satu yang merupakan hal baru dalam hidupku. Sejak kecil, kebanyakan dari kaum perempuan -- aku yakin bukan hanya aku -- diajarkan untuk lebih mementingkan suami dan anak. Meski dalam satu hadits ada ajaran bahwa seorang ibu jauh lebih penting tiga kali lipat dibanding ayah, dalam kenyataan banyak hal dibebankan pada kaum perempuan, apalagi kultur patriarki mengemasnya sebagai satu takdir. (Wuiiih, sudah lama lho aku ga menyinggung hal ini: patriarki. Lol.)

 



Aku tidak ingat apakah Ibu dulu pernah benar-benar mengajari aku bahwa setelah menikah aku harus bangun lebih pagi dari semua anggota keluarga -- suami dan anak-anak -- untuk mempersiapkan ini itu, misal: menyiapkan sarapan, menyiapkan anak-anak berangkat sekolah dan suami berangkat bekerja.  Padahal, aku masih ingat waktu kecil dulu, ketika aku bangun pagi, Ayah dan Ibu sama-sama sibuk di dapur, mereka bekerja sama mempersiapkan sarapan untuk anak-anak, padahal di rumah ada seorang PRT. PRT mulai mengerjakan tugas-tugas rumah, pukul tujuh pagi, menyapu mengepel, mencuci baju, baru kemudian memasak untuk makan siang dan malam. Atau mungkin aku 'mempelajari' hal ini dari majalah wanita yang dulu rajin dibeli oleh Ibu. Majalah 'wanita' yang sayangnya artikel-artikel di dalamnya justru seperti melanggengkan patriarki, satu hal yang dulu tidak pernah kukenal.

 

Setelah menikah, jelas aku lebih memprioritaskan anakku dan ayahnya. Setelah bercerai, anakku adalah poros kehidupanku. Setelah aku mengenal feminisme sekitar tahun 2003, aku mulai menyadari bahwa aku pun layak diperhatikan: aku berhak memilih bahagia atas caraku sendiri. Tapi mungkin aku baru benar-benar melakukan hal-hal 'hanya' demi kebahagianku semata setelah aku mengenal bikepacking alias dolan dari satu kota ke kota lain dengan bersepeda. (Big thanks to my biking soulmate!)

 



Satu ketika, sepulang aku dari bikepacking, anakku bercerita bahwa dia ditanya neneknya (Ibuku), "Kenapa sih Mama suka sepedaan jauh-jauh?" anakku menjawab, "Mama bahagia ketika bersepeda. Itu membuatnya tidak stress." Hal ini membuatku termangu, jangan-jangan seumur hidupnya, Ibuku belum pernah benar-benar mencintai dirinya sendiri, melakukan hal-hal yang akan membuatnya bahagia, lepas dari 'tanggung jawab'nya sebagai seorang Ibu dan istri.

 

*******

 

Pandemi covid 19 yang tak berkesudahan ini membuatku (dan Ranz) benar-benar kangen dolan ke kota-kota yang belum kita kunjungi dengan bersepeda. Aku bisa sih bersepeda sendiri ke kota-kota sekitar Semarang -- misal Demak, Kudus, Purwodadi, Kendal, Ungaran -- tapi rasanya ada yang ga lengkap tanpa Ranz. Ga ada yang motretin. Hihihi …

 

PT56 16.26 22 Juni 2020


Friday, June 19, 2020

Keselamatan di Jalan Raya

Dari obrolan virtual yang diselenggarakan oleh National Geographic Magazine Indonesia pada hari Kamis 18 Juni 2020 yang saya ikuti, saya ingin menggarisbawahi apa yang disampaikan oleh Om Poetoet sebagai ketua Bike to Work Indonesia : keselamatan pengguna jalan raya itu tanggung jawab kita semua.

 

 


Mumpung sepedaan sedang ngetren setelah pemerintah Indonesia membuka diri menuju 'new normal' lifestyle, obrolan ini sangat menarik diikuti. Obrolan diawali oleh dokter Aristi yang seorang pesepeda dan peturing antarnegara menyampaikan pentingnya mengikuti protokol kesehatan yang ketat ketika bersepeda: memakai masker itu penting untuk melindungi diri sendiri, sekaligus juga melindungi orang lain, siapa tahu kita adalah OTG alias orang tanpa gejala. Selain itu, dia juga menyarankan mengenakan face shield agar kita merasa lebih aman dari 'serangan' droplet orang-orang yang mungkin kita temui di jalan. Selain mengenakan masker (dan face shield), kita juga sebaiknya bersepeda sendirian, atau maksimal dengan 4 orang lain, itu pun kalau bisa ya orang-orang yang serumah dengan kita, yang kita tahu pasti kesehariannya bagaimana, apakah dia positif/negatif covid. Memilih rute yang sepi dan waktu yang tepat juga penting agar kita bisa terhindar dari kemungkinan ketularan covid 19.

 

 

Om Poetoet yang diberi kesempatan untuk berbicara setelah dokter Aristi menyoroti pentingnya menjaga keselamatan diri dan orang lain.

 

 

"Saat kita keluar rumah kita harus memastikan bahwa dalam perjalanan nanti kita tidak celaka -- ini ada hubungannya dengan persiapan yang harus kita lakukan, misal ngecek sepeda yang prima kita naiki dll -- juga kita jangan sampai menyebabkan orang lain celaka disebabkan oleh kita."

 

 

Seperti yang kita tahu bahwa sepedaan yang ngetren beberapa minggu terakhir ini tentu melibatkan para 'pemain baru'. Para 'newbie' yang sedang senang-senangnya sepedaan (dan biasanya mereka melakukannya beramai-ramai, yang berarti melanggar kebijakan new normal (karena justru berkerumun) nampaknya berpikir bahwa mentang-mentang sepeda ini tidak memiliki mesin, mereka bisa sesuka hati melanggar lampu lalu lintas. (Eh, bukan  hanya newbie ya yang melanggar lampu merah? Lol) Mereka juga kadang terlihat enak saja bersepeda berjajar tiga sampai empat orang hingga memakan badan jalan dan pengguna jalan lain kesulitan untuk menyalip.

 


 


Hal ini membuat jagad dunia maya seolah terbelah menjadi tiga: orang-orang yang sama sekali tidak tertarik bersepeda mengatakan para pesepeda ini semacam hama di jalan raya sehingga mereka harus dibasmi (duh, rasane pingin ngumpat 'your grandpa!"); pesepeda yang secara inosen mengajukan 'excuse' "loooh, kita kan pesepeda, boleh dong ga ngikutin aturan?" dan jenis ketiga: pesepeda yang mengikuti aturan sehingga mereka terjepit antara kelompok satu dan dua.

 

 

Mengacu ke keluhan orang-orang dari kelompok pertama, Om Poetoet mengambil sikap, "ya silakan kalau pesepeda juga akan ditindak jika melanggar lalu lintas, tapi ingat, pesepeda juga dilindungi UU loh." UU lalu lintas nomor 22 tahun 2009 pasal 62 mengatakan bahwa (ayat 1) pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda; (ayat 2) pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas; dalam hal ini bisa berupa jalur sepeda.  Pasal 106 ayat 2 menyatakan "setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda dipidana dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)".

 

 


Nah, jika tidak ada jalur sepeda, terpaksa pesepeda memakai jalur umum yang dipakai oleh kendaraan bermotor. Secara hirarki, di jalan raya, di Indonesia pejalan kaki dan difabel itu pihak yang paling harus dilindungi, yang kedua adalah pesepeda. Trotoar dibangun utamanya untuk pejalan kaki dan difabel, namun jika tidak ada jalur sepeda, pesepeda boleh menggunakan trotoar, terutama jika trotoar dalam kondisi memungkinkan pesepeda untuk lewat trotoar (pas jarang ada pejalan kaki atau difabel) dan badan jalan dipenuhi kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor roda di atas 4 yang seyogyanya berada di jalur kanan yang paling harus menghargai keberadaan kendaraan bermotor roda 4 dan roda 2.

 

Keluhan mereka yang tidak bisa memahami pesepeda biasanya disebabkan mereka merasa ruang gerak mereka di jalan raya berkurang karena pesepeda. Nah, setelah tahu UU lalu lintas nomor 22 tahun 2009 harusnya paham dong bahwa pesepeda juga manusia, eh, pesepeda juga BERHAK menggunakan jalan raya bersama pengendara kendaraan bermotor.  Seandainya ada jalur sepeda namun pesepeda menggunakan jalur kendaraan bermotor, sila ditilang. Sebaliknya juga pengendara kendaraan bermotor menggunakan jalur sepeda, mereka juga harus ditilang.

 

Mengenai mereka yang melanggar traffic light saat lampu merah menyala, kira-kira berapa jumlah pesepeda / motorist yang melanggar? Mana yang lebih banyak? Lol. But, anyway, kita semua tahu bahwa melanggar lampu merah bisa jadi akan mencelakakan diri kita, namun bisa juga justru akan mencelakakan orang lain. Kembali ke pernyataan Om Poetoet, saat di jalan raya, jangan sampai kita mencelakakan diri kita, maupun mencelakakan diri orang lain. Kita SEMUA BERHAK selamat sampai tujuan.

 

PT56 16.04 19 Juni 2020


Thursday, June 18, 2020

Pemotor versus Pesepeda

Kebanyakan pemotor itu bisa naik sepeda, namun belum tentu pesepeda bisa naik motor; minimal saya punya dua orang kawan yang bisa naik sepeda, kuat mengayuh pedal sepedanya hingga lebih dari seratus kilometer sehari, namun tidak bisa mengemudikan kendaraan bermotor dengan lancar. :)

 

 

Tetapi, pemotor yang mungkin waktu kecil dulu bersepeda, apakah mereka masih bersepeda di masa dewasa? Kalau iya, apakah mereka bersepeda untuk berolahraga? Atau mereka memanfaatkan sepeda sebagai moda transportasi? Beda lho pengalamannya, meski sama-sama bersepeda.

 

 

Ini pengalaman pribadiku ya.

 

 

Kalau tidak salah, pertama kali aku dibelikan sepeda oleh ayahku saat aku duduk di kelas 4 SD, setelah aku bisa naik sepeda, dengan mencoba sepeda milik kakakku. Tentu saja sepeda ini hanya kumanfaatkan untuk bermain-main saja, karena sekolahku terletak hanya sekitar 200 meter dari rumah, jadi tidak perlu moda transportasi. Awalnya, ibuku tidak keberatan melihatku bermain sepeda, hingga aku ikut-ikutan kawan saat bersepeda aku duduk di bangku boncengan di belakang, jadi kakiku menjulur ke depan untuk mengayuh pedalnya. Nampaknya karena khawatir terjadi sesuatu pada selaput daraku -- gegara cara dudukku yang tidak lazim -- ibuku akhirnya sering melarangku sepedaan.

 

 

Kalau tidak salah, ketika aku duduk di bangku SMP, aku sudah sangat jarang sepedaan. Aku juga lupa apakah sepedaku masih ada di rumah, atau mungkin sudah berpindah pemilik entah siapa. Kakakku yang masih rajin bersepeda, dia berangkat sekolah dengan naik sepeda, juga mengantarku sekolah (SMP) dengan naik sepeda. Oh ya, aku pernah sekali naik sepeda ke sekolah waktu duduk di bangku kelas 3 SMP dengan alasan sepele: cowo gebetanku yang duduk di bangku kelas 1 naik sepeda ke sekolah. Lol.

 

Sejak kelas 2 SMA aku mulai naik motor. Kakakku juga sudah mulai naik vespa. Entah kemana sepeda-sepeda saat kita kecil itu.

 

Sekitar tahun 1990 kakakku pindah ke Cirebon, ternyata kesukaannya bersepeda berlanjut, dia membeli sepeda federal, yang saat itu sedang booming. Setelah itu, dia membeli satu sepeda lagi, yang dia kirim ke Semarang untuk adik-adiknya. Maka, terkadang aku sepedaan lagi, hanya untuk berolahraga, meski jarang sekali.

 

Tahun 2008, aku dijawil oleh beberapa kawan medsos untuk bersama 'membentuk' wadah pesepeda ke kantor di kota Semarang, Bike to Work Chapter Semarang. Karena merasa turut serta bergabung dalam satu komunitas pesepeda, aku pun mulai mempraktekkan bersepeda ke kantor, menggunakan sepeda yang dikirim oleh kakakku ke Semarang di tahun 1992 itu. Dan … aku mulai memperhatikan bagaimana tingkah laku pemotor terhadap pesepeda, tidak seperti dulu waktu kecil.

 

Tahun 2008 itu, sepeda masih merupakan satu moda transportasi yang tidak begitu lazim, (Well, duluuuu mungkin sepeda pernah menjadi 'raja jalanan' ya, dekade2 sebelum 1980-an. Ayahku pernah bercerita beliau pernah bersepeda keliling Jawa Tengah di dekade 1960-an, mungkin sebelum menikahi Ibuku.) terasa banget para pemotor itu -- baik naik kendaraan bermotor roda 2 maupun roda 4 -- tidak menganggap pesepeda itu berhak menggunakan jalan raya; apalagi kendaraan bermotor yang lebih besar, misal bus dan truck.

 


 

Bukan satu hal yang lebay jika kukatakan dengan terbentuknya wadah pesepeda, tahun-tahun berikutnya kian banyak orang bersepeda, meski bukan untuk berangkat kerja ke kantor. Kian banyak pihak-pihak tertentu yang menyelenggarakan event fun bike. Ini adalah satu kemajuan yang bagus karena aku sendiri mulai merasakan bahwa pengguna jalan lain mulai memperhatikan pesepeda. Jika di tahun 2008 aku sering diklakson orang ketika menyeberang jalan, semakin 'kesini' semakin kulihat mereka sedikit bersabar dengan menekan rem kendaraan mereka ketika melihat seorang pesepeda menyeberang.

 

 

Satu kali hal ini menjadi obrolan dengan kawan-kawan pesepeda. Jika seorang pemotor beralih menjadi pesepeda -- meski mungkin hanya seminggu sekali -- dia akan menjadi lebih sabar di jalan raya ketika naik motor dan berpapasan dengan pesepeda. Dia tidak akan grusa grusu melihat pesepeda menyeberang jalan, atau ketika ada rombongan pesepeda di depannya.

 

 

Aku pikir (well, berharap) bahwa akan kian banyak orang yang semakin menghormati keberadaan pesepeda di jalan raya. Namun nampaknya ini hanya menjadi angan-anganku belaka, entah sampai kapan. Ketika kaos lawas disain seorang kawan mendadak viral , komentar-komentar yang ditulis menunjukkan ketidaksadaran orang-orang bahwa bagaimana pun juga, saat lingkungan kian terpolusi, saat jumlah BBM kian menipis, sepeda adalah pilihan moda transportasi yang paling handal, apalagi di tengah pandemi covid 19 ketika orang-orang disarankan untuk mengurangi ketergantungan pada moda transportasi massal. Bersepeda ke tempat kerja atau dimana pun kita melakukan kegiatan adalah pilihan yang paling tepat: (1) kita berolahraga sehingga kita bisa meningkatkan imun tubuh (2) kita menjaga jarak dari orang lain karena tidak naik moda transportasi massal (3) tetap mengurangi polusi yang terbuang ke udara (4) tetap mengurangi ketergantungan pada BBM sekaligus mengirit keuangan.

 

 

Jadi, bagi para pemotor yang tidak pernah memahami pesepeda, bagaimana kalau anda mencoba bersepeda ke tempat kerja, minimal satu minggu saja, dan rasakan sendiri bahwa frasa "SING PINTER NGEREM SING GOBLOK NGLAKSON" itu memang benar adanya.

 

 

PT56 16.23 18/06/20


M a t a n g

Dulu, aku berpikir bahwa seseorang yang telah menikah akan memiliki cara berpikir dan bertindak yang lebih dewasa ketimbang yang belum menikah. Pengalaman berbagi hidup dengan orang lain akan memaksanya untuk menjadi lebih matang ketimbang seseorang yang belum pernah memiliki pengalaman yang sama.

 

 

Tidak hanya pernikahan -- entah memilih dengan sadar untuk menikah maupun 'terpaksa' menikah karena sesuatu hal -- kegagalan dalam hidup akan menambah kematangan seseorang. Dalam hal ini, yang kumaksud adalah kegagalan dalam berumah tangga. 

 

 

Namun ternyata tergantung individu yang bersangkutan ya.

 

 

mangga matang nan menggoda


Beberapa bulan lalu, seorang kawan maya yang biasanya mengaku jomblo entah sejak kapan (saking lamanya) mendadak menjadi seorang bucin. Ehem. Usut punya usut ternyata akhirnya dia memiliki seorang kekasih. Kekasih inilah yang membuat kawanku menjadi sastrawan dadakan (meski dia sebenarnya juga seorang penulis yang telah menerbitkan beberapa novel), menulis status-status bucin. Aku sangat menyukai membaca status-status bucin itu; mengingatkanku pada aku yang dulu, bucin terhadap rasa cinta, lol, bukan pada seseorang loh. Lol.

 

 

Sekitar tanggal 21 Mei 2020 dia mengumumkan akan melakukan satu program 'afirmasi self-love' yang akan memakan waktu kurang lebih 2 minggu. Sejak saat itu kuamati dia tidak pernah lagi menulis status-status bucin untuk kekasihnya. Tanggal 6 Juni dia mengumumkan dia sebenarnya telah putus dari kekasihnya sejak tanggal 21 Mei 2020 dan melakukan program afirmasi self-love untuk lebih mencintai dan menghargai diri sendiri.

 

 

Kawan maya ini masih single, dan dia 'mengakhiri' relationship-nya (yang konon hanya 'online relationship' namun dia jalani dengan sepenuh hati) dengan gaya yang elegan. Well, dia sempat aplod foto seorang perempuan lain, yang konon kawan lamanya. Mereka berdua ternyata sama-sama mengikuti satu situs dating.

 

 

Sekarang tentang seorang kawan lain lagi, J. Awal aku mengenalnya sekitar 3 tahun lalu; kupikir dia 'bujang lapuk'. (Hahaha … istilah ini kudapatkan dari seorang kawan lama duluuu.) Dia mengaku sebagai seorang pemalu sehingga tidak berani mendekati perempuan. Dia akan sangat malu -- katanya -- jika menembak seorang perempuan dan ditolak. Lol. (resiko dong yaaa, lol) itulah sebabnya dia 'awet' single. Lol.

 

 

Beberapa bulan yang lalu J 'akhirnya' menemukan tambatan hati. Cie … Aku turut berbahagia melihatnya. Dia unggah foto-foto berdua dengan kekasihnya. Satu kali, dia sempat curhat padaku bahwa kekasihnya seseorang yang super sibuk hingga tidak punya waktu spesial untuk berduaan dengan J. Saat meminjamkan telingaku untuk mendengarkan dia curhat itu aku baru tahu ternyata dia seorang duda, pernah menikah satu ketika duluuu, kemudian bercerai karena satu hal.

 

 

Kemarin 16 Juni 2020 mendadak dia aplod foto seorang perempuan yang bukan kekasihnya. Usut punya usut ternyata hubungannya dengan kekasihnya putus. Di postingan foto perempuan nan cantik jelita itu kekasihnya menulis komen yang yaaa … gitu deh. Komen-komen ini ditambahi komen seorang perempuan lain yang konon juga (pernah) dipacari oleh J sekian tahun lalu. Setelah itu, J juga aplod foto-foto dia dengan perempuan lain. Lol. Wis jiaaan kayak cah cilik tenan kae loh. Lol.

 

 

Mungkin Cuma keisengan tingkat tinggi yang dilakukan J. tapi, aku bisa menyimpulkan bahwa pernikahannya dulu yang gagal tidak serta merta membuatnya menjadi matang, membuatnya menjadi seseorang yang akan berpikir berkali-kali sebelum melakukan sesuatu yang akan membuatnya justru nampak konyol.

 

 

Memang ya, kedewasaan seseorang itu tidak bisa ditilik dari apakah seseorang sudah pernah menikah atau belum; apakah seseorang pernah mengalami kegagalan atau belum. Lalu, apa dong yang membuat seseorang menjadi dewasa dengan belajar dari pengalaman di masa lalu? Entahlah.

 

 

PT56 19.17 17-Juni-2020


Tuesday, June 16, 2020

Konspirasi Covid-19?

Seperti yang kutulis di artikel "mazhab covid 19", salah satunya adalah mazhab konspirasi. Di tulisan itu, aku menulis tuduhan negara China terhadap Amerika yang mengirim salah satu serdadu untuk mengikuti satu acara lomba olahraga khusus untuk para serdadu/militer. Satu serdadu Angkatan Darat yang dikirim Amerika telah menularkan virus corona kepada rakyat Wuhan. Selain itu, ternyata Amerika juga menuduh China tidak mau jujur tentang keberadaan virus corona yang belum bisa diatasi, namun China tetap mengirim orang-orangnya ke luar negeri, termasuk ke Amerika. Dua negara besar ini saling menuduh bahwa mereka ingin melemahkan ekonomi negara masing-masing.

 



Seperti kita tahu, semenjak Uni Soviet 'bubar' sebelum dekade terakhir abad 20, Amerika otomatis menjadi satu-satunya negara adikuasa. Namun, memasuki dekade ke-2 abad 21, China ternyata bangkit dengan drastis sampai banyak orang meramalkan bahwa China akan mengalahkan Amerika dalam waktu dekat. Hal inilah yang membuat Amerika tidak suka sehingga ingin menjatuhkan China. Amerika juga menuduh WHO hanya merekayasa dengan pernyataan bahwa covid 19 adalah satu jenis penyakit yang sangat mematikan. Dengan kebutuhan menemukan vaksin covid 19, WHO telah berusaha mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari negara-negara yang ada di dunia ini.

 

Namun ternyata, kata 'konspirasi' ini juga berkembang. Aku membaca beberapa komen di status kawan medsos tuduhan negara turut menyebar ketakutan akan covid 19 pada rakyatnya, entah demi apa. Jika satu komen yang kubaca di lapak seorang kawan mengaitkan dengan pemerintahan Jokowi dan rezim Cendana, aku langsung 'mencium' bau amis: pemerintahan Jokowi mendapatkan keuntungan dari menakut-nakuti rakyatnya. Cuma aku tidak jelas, apa yang diuntungkan pemerintah dari menakut-nakuti rakyatnya ini?

 



Dan baru hari ini aku membaca jenis konspirasi lain: covid 19 hanyalah konspirasi elit global untuk memiskinkan negara-negara di dunia ini. Mungkin karena aku sensi kala membacanya, aku jadi berpikir apakah pemerintahan Jokowi terlibat dalam konspirasi elit global ini karena membiarkan pemerintah2 lokal memberlakukan PSBB maupun PKM? Tuduhan konspirasi elit global ini dibarengi dengan 'himbauan' orang-orang untuk keluar rumah, untuk menyongsong rezeki, jangan terus tinggal di rumah saja.

 

Hmmm … bukankah sejak awal Juni 2020 Presiden Jokowi telah menyatakan bahwa rakyatnya dipersilakan untuk mempraktekkan NEW NORMAL: bagi mereka yang masih bisa tinggal di rumah: bekerja dari rumah (pegawai) dan belajar dari rumah (siswa/mahasiswa) sila lanjut tinggal di rumah. Yang harus keluar rumah untuk menyongsong rezeki, dipersilakan, asal tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat: mengenakan masker, jaga jarak, menghindari kerumunan/keramaian, dan rajin cuci tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir. Dan toh, meski pada pertengahan bulan Maret 2020 Presiden Jokowi menghimbau untuk 'stay at home', pemerintah tidak pernah memberlakukan LOCKDOWN secara ketat seperti yang dilakukan di negara-negara lain, misal India, dan Italia. Jika sebagian rakyat masih keluar rumah dengan alasan apa pun, pemerintah tidak melakukan apa-apa, misal menangkap mereka dan menjebloskannya kedalam penjara. Hanya ketika mendekati lebaran, pemerintah melarang orang-orang untuk mudik. Selain sebagian pemerintah daerah memberlalukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) atau PKM (Pembatasan Kegiatan Masyarakat).

 

Tulisan ini ditrigger oleh rasa sensiku ketika membaca status seorang 'kawan' maya.

 

PT56 17.56 16-Juni-2020

PESEPEDA DAN ADAB SOPAN SANTUN

'Gerakan moral' Bike to Work Indonesia secara resmi berdiri pada tahun 2005, setelah para 'founding fathers' berkumpul untuk membahas dan menggodog gerakan ini sejak satu tahun sebelumnya. Mereka yang bergabung dalam 'founding fathers' ini adalah mereka yang hobi bersepeda dan ingin menyalurkan hobi ini dalam bentuk memanfaatkan sepeda sebagai moda transportasi sehari-hari, dan bukan melulu sebagai alat olahraga. Mereka berpikir bahwa jika mendirikan sebuah 'wadah' resmi seperti komunitas mereka akan bisa memiliki kekuatan hukum ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang mungkin bisa diandalkan untuk membantu memasyarakatkan kegiatan yang sangat berorientasi ke masa depan -- misal: dengan bersepeda kita mengurangi polusi udara, kita juga mengirit penggunaan BBM.

 

Setelah B2W Indonesia 'terjun' ke masyarakat dan mengajak komunikasi pihak yang memiliki otoritas -- pemerintah -- UU lalu lintas no 22 tahun 2009 menyertakan beberapa ayat yang melindungi pesepeda.

 



Pasal 62 ayat (1) pemerintah harus memberikan kemudahan berlalulintas bagi pesepeda.

Pasal 62 ayat (2) pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas.

Pasal 106 ayat (2) setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda.

Pasal 122 ayat (3) Pengendara gerobak atau kereta dorong yang berjalan beriringan harus memberikan ruang yang cukup bagi kendaraan lain untuk mendahului.

 

Khusus untuk pasal 122 ayat (3) di atas, pesepeda juga termasuk ya, apalagi jika sedang bersepeda berombongan.

 

Selain itu masih ada PP no 79 tahun 2013 pasal 114 (58) yang berbunyi:

  1. Trotoar disediakan khusus untuk pejalan kaki
  2. Trotoar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan pesepeda apabila tidak tersedia jalur sepeda
  3. Penyedia trotoar sebagaimana dimaksud: (a) keamanan (b) keselamatan © kenyamanan dan ruang bebas gerak individu dan (d) kelancaran lalu lintas.

 

Nah, setelah mendapatkan perhatian dari pemerintah (better than nothing, ya gaes) kita harus tahu adab sopan santun di jalan raya dong ya.

 



SHARE THE ROAD

 

Sudah sekian tahun B2W Indonesia mengusung jargon SHARE THE ROAD alias berbagi jalan. Jika kita tidak mau pengendara kendaraan bermotor memenuhi jalan tanpa menyisakan ruang bagi pesepeda, (misal sama sekali tidak ada jalur lambat atau jalur sepeda)  maka selayaknyalah pengendara kendaraan bermotor menyediakan ruang bagi pesepeda.

 

Apakah kemudian pesepeda bisa sewenang-wenang memenuhi badan jalan?

 

Ya jelas TIDAK. Layaknya, pesepeda memilih jalur yang paling kiri. Jika ternyata ada yang menempati -- misal pejalan kaki karena tidak tersedia trotoar -- pesepeda bisa memilih jalur yang agak ke kanan. Yang paling penting disini adalah pesepeda memanfaatkan jalan raya dengan mengutamakan keselamatan untuk diri sendiri, juga untuk pengguna jalan lain. UU no. 22 tahun 2009 pasal 122 ayat (3) cukup memberi info yang jelas.

 



Akan tetapi, tidak semua pesepeda mengayuh pedal sepedanya pelan-pelan, ada atlit sepeda yang harus rajin latihan naik sepeda dengan kecepatan yang kadang menyamai kendaraan bermotor, misal dengan kecepatan sampai 30-40 km perjam. Khusus untuk rombongan ini, mereka diizinkan untuk mengambil lajur kanan, tentu dengan melihat kondisi jalan ya. Yang penting disini adalah saling menghormati pengguna jalan yang lain. Pengendara kendaraan bermotor menghormati pengendara kendaraan tidak bermotor, dan begitu juga sebaliknya.

 

Jangan sampai apa yang pernah terjadi di satu negara luar beberapa tahun lalu juga terjadi di Indonesia: ketidaksukaan pengendara kendaraan bermotor kepada para pesepeda membuat mereka menabrak pesepeda yang memenuhi jalan, ketika mereka mengikuti satu event sepedaan!

 

PT56 16.26 15-June-2020


Sunday, June 14, 2020

Pandemi Covid-19 dan Pesepeda



Di "awal2" pandemi (pertengahan bulan Maret 2020, saat pemerintah mulai menghimbau rakyatnya untuk 'stay at home') beberapa kawan yang berbisnis sepeda mengeluh penjualan mulai seret. (Well, sebenarnya (hampir) semua usaha seret ya? Tapi di tulisan ini saya Cuma fokus ke bisnis penjualan sepeda.) Baik mereka yang memiliki toko sepeda (fisik) maupun mereka yang berjualan sepeda online.

 


Yang mengherankan mendadak sekitar awal /pertengahan bulan Mei seorang kawan menulis status di timeline-nya, "maaf, yang menelpon tidak bisa saya layani karena saya sibuk di toko." Selidik punya selidik ternyata saat itu mulai banyak orang tertarik membeli sepeda. Dan saya mulai memperhatikan jika saya sepedaan di pagi hari setelah sahur, apalagi jika di hari Minggu, saya berpapasan dengan banyak pesepeda.

 

Selepas Idul Fitri 24 Mei 2020, jalanan kian ramai dengan pesepeda, pagi dan sore, apalagi jika hari Sabtu/Minggu. Kebetulan hari Minggu 14 Juni 2020 saya lewat Kota Lama Semarang, yang menjadi destinasi wisata idola baru setelah direnovasi oleh pemerintah Kota Semarang. Situasinya ramai sekali, banyak pesepeda lewat, apalagi yang nongkrong untuk berfoto-foto. Selepas Kota Lama, sepanjang jalan Pemuda hingga Tugumuda pesepeda bertebaran dimana-mana, tidak jauh beda dengan kondisi ketika ada funbike.

 

Ini adalah fenomena yang menarik untuk dikaji menurut saya. Ada apa?

 

Saya sempat ngobrol tentang hal ini dengan adik saya yang juga memilih sepeda sebagai moda transportasi untuk pergi ke tempat-tempat yang tidak terlalu jauh dari rumah, sekaligus berolahraga.

 

Untuk anak-anak yang masih usia sekolah -- sekitar 8 - 18 tahun -- mungkin mereka telah mencapai titik jenuh untuk terus berada di rumah. Bermain game online pun lama-lama membosankan. Akhirnya mereka memilih keluar rumah dengan bersepeda. Dua tiga anak, akhirnya mereka menularkan kegiatan satu ini ke kawan-kawan yang lain. Sekelompok anak-anak mengundang berkelompok-kelompok anak lain untuk melakukan hal yang sama. Yang mengherankan, ini tidak hanya terjadi di satu kota. Semarang, Solo, Pemalang, Bandung, dan mungkin juga kota-kota lain terjadi hal yang sama. Ranz yang tinggal di Solo bilang harga sepeda di Solo meningkat tajam!

 

Bagaimana dengan mereka yang berusia dewasa?

 

Beberapa hari lalu kebetulan saya membaca status seorang kawan facebook: dia berhasil 'ngompori' kawan-kawan sekolahnya dulu untuk bersepeda! Tentu ini ada hubungan dengan pandemi dimana pemerintah menghimbau rakyatnya untuk jaga jarak. Beberapa lokasi yang biasa menjadi tujuan untuk berolah raga (misal di Semarang lapangan 'Tri Lomba Juang' yang juga sempat menjadi primadona tempat berolahraga yang murah meriah) tutup; kolam renang umum juga tutup. Sementara itu, rakyat diharapkan untuk meningkatkan imun tubuh dengan salah satu caranya adalah berolahraga.  Bersepeda adalah salah satu solusi yang lebih menyenangkan ketimbang jalan kaki atau jogging. Dengan bersepeda kita bisa mencapai jarak yang lebih jauh dengan mudah ketimbang jalan kaki atau jogging, terutama bagi pemula. Selain itu, jogging lebih memberatkan tubuh dibandingkan bersepeda. Bersepeda santai -- misal dengan kecepatan rata-rata 10km/jam -- lebih disarankan untuk dilakukan mereka yang sudah berusia di atas 40 tahun ketimbang jogging.

 

Kota Lama 14 Juni 2020



Bersepeda sangat disarankan untuk dilakukan di masa pandemi seperti sekarang ini terutama jika kita melakukannya sendirian, atau maksimal dengan sekelompok orang tak lebih dari 5 orang, dan tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat: mengenakan masker, memilih tempat yang sepi, waktu yang tepat, biasanya di pagi hari setelah Subuh dimana hawa masih segar dan belum banyak orang beredar di jalan raya. Usahakan untuk tidak mampir kemana-mana, misal angkringan/warkop; jika sampai harus mampir, lakukan protokol kesehatan seperti cuci tangan yang bersih menggunakan sabun dan air mengalir sebelum mulai makan/minum, dan selalu ingat untuk tidak menyentuh hidung, mulut, dan mata dengan tangan yang belum dicuci.

 

Sampai pertengahan Juni ini, saya masih tetap memilih bersepeda sendiri. Eh, lha memang biasanya sendiri, kecuali jika sedang bikepacking dengan Ranz. Dan kecuali-kecuali yang lain. Lol.

 

PT56 17.00 14-Juni-2020


Tata cara gowes New Normal bisa diklik disini. 

Thursday, June 11, 2020

Shelationship

Aku baca istilah ini di satu komen pada satu artikel di satu media yang kubaca, lol. Bukan 'relationship' yang mungkin dimaknakan kedua belah pihak "she" dan "he" memiliki posisi yang sama, namun 'shelationship' yang mengacu bahwa dalam 'relationship' 'she' memiliki posisi yang lebih mengatur, dalam segala hal. Hohoho …

 



Artikel itu sendiri membahas tentang seorang perempuan yang baru ngeh makna 'men are visual creatures'. Si penulis terkaget-kaget setelah membaca satu buku yang menjabarkan bahwa kalimat 'men are visual creatures' itu bukan hanya bahwa kaum lelaki itu lebih tertarik pada wajah seorang perempuan, namun benar-benar bermakna bahwa laki-laki akan dengan cepat tertarik menatap perempuan dari atas hingga bawah. Misal, ketika seorang laki-laki berjalan di satu tempat publik, ketika berpapasan dengan seorang perempuan, adalah hal yang "wajar" bagi laki-laki ini untuk menatap si perempuan, mungkin tidak hanya sekilas, namun 'berkilas-kilas". Lol. Bahkan kalau perlu dari rambut hingga ujung kaki. Apalagi jika perempuan itu nampak sangat menarik / cantik.

 

Dia 'beruntung' karena kebetulan pasangannya bukan tipe laki-laki yang "haus" melihat perempuan, lol, sehingga dia tidak pernah bermasalah dengan pasangannya gegara pasangannya menatap perempuan lain dengan rakus, lol, saat bersamanya. Namun, akhirnya dia paham bahwa sebenarnya pasangannya pun ga jauh beda dengan laki-laki lain ketika dia bertanya,

 

"How often do you look at women in a given day? A week? A month?"

 

"You mean how often in a minute?" tanya balik si laki-laki. Lol.

 

Dan si perempuan pun terkaget-kaget dan menyadari betapa inosennya dia. Lol.

 

Aiiih, gile ya. Di budaya Barat, yang biasa kita 'tuduh' begitu terbuka dan tak terbatas, di tahun 2019 masih ada perempuan yang berpikir sebegitu lugu. Lol.

 

------

 

Duluuu, beberapa dekade yang lalu, ketika aku menonton satu film yang diputar di televisi, ada adegan seorang aktor -- kalau tidak salah diperankan oleh Robby Sugara -- yang menatap seorang perempuan datang -- diperankan oleh Yenny Rahman --; di adegan itu dikisahkan bagaimana sang aktor 'menguliti' si aktris, menatap tanpa berkedip dari rambut hingga ujung kaki, padahal busana yang dikenakan si aktris busana yang cukup menutup tubuh (zaman itu), rok sepanjang tengah betis, berbentuk A-line (melebar ke bawah) bahkan berlengan panjang.

 

Adegan ini memberiku satu 'pelajaran' pertama apa makna "men are visual creatures". Lol.

 


Jika kembali merunut ke budaya Indonesia, sepengalamanku dan beberapa perempuan di sekitarku -- plus dari artikel2 yang kubaca -- bisa jadi 'shelationship' itu ada saat berpacaran, dimana yang laki-laki mencoba mengambil hati kekasihnya hingga saat mereka menikah. Setelah menikah, apalagi jika si perempuan tergantung secara finansial ke suaminya, tak ada lagi itu 'shelationship', adanya 'helationship' kali ya. Hohoho … laki-laki akan mengatur segalanya. Mungkin ada pengecualian: seorang laki-laki yang memuja istrinya. Lol.

 

 

Anyway, pesan pendek buat mereka yang belum menikah: pasanganmu akan memiliki karakter yang berubah, bahkan bisa jadi berubah hingga 180 derajat setelah menikah, tak peduli seberapa lama kalian berpacaran, eh, bertaaruf. Lol.

 

LG 15.33 11-Juni-2020


Wednesday, June 10, 2020

Uang saku

Seingatku orangtuaku bukan tipe orang yang suka makan di luar; jadi jarang anak-anaknya diajak 'ngiras' (bahasa Jawa) alias eating out (English, lol). Bahkan ketika ada acara 'outing' a.k.a piknik di kantor ayahku, ibuku akan mempersiapkan sendiri cemilan-cemilan untuk anak-anaknya. Jadi di tempat yang dituju, kita tidak akan jajan di warung/resto, tapi makan cemilan yang dibawa sendiri.

 

dua setengah rupiah, atau dulu juga disebut 'seringgit'


 

Mungkin karena itu, aku tidak ingat apakah ibuku memberiku uang saku ketika berangkat sekolah, apalagi ketika duduk di bangku SD. Apalagi letak sekolah dekat sekali dari rumah, mungkin hanya sekitar 100 - 200 meter. Waktu itu ketika istirahat, kita diperbolehkan keluar sekolah untuk jajan, di sekolah tidak ada kantin khusus. Nah, saat istirahat tentu aku akan pulang ke rumah untuk minum atau ngemil sesuatu di rumah. Pastinya ibuku memberi uang saku, tapi tidak banyak, dan terutama jika di hari itu ada pelajaran 'olah raga' karena kita perlu pergi ke lapangan olahraga Kalisari untuk kegiatan olahraga ini, sekolahku tidak punya lapangan olahraga yang memadai. Jarak Kalisari ke rumah lumayan jauh lah, jadi tentu aku butuh uang saku untuk beli minum.

 

Tentang jajan saat duduk di bangku SD ini, sampai saat ini yang masih kuingat dengan baik adalah uang dua setengah rupiah, alias 'seringgit', yang dulu waktu duduk di kelas 2 SD, uang seringgit cukup untuk membeli sebungkus mihun. Karena jarang jajan, rasanya waktu jajan sebungkus mihun dengan harga seringgit aku merasa sangat kaya. Hahahaha …

 

Saat itu aku sekolah di satu sekolah Islam, yang liburnya jatuh di hari Jumat. Jadi bisa dibayangkan susahnya ayahku mengajak 'dolan' aku (dan kakakku plus adikku) karena beliau libur kerja kan hari Minggu.

 

lima rupiah, atau dulu juga disebut 'mangpi'


Masuk SMP tentu aku mulai diberi uang saku secara kontinu; sekolahku lumayan jauh (dibandingkan waktu SD yang hanya satu menit sampai, lol) untuk uang transport (berangkat aku diantar kakakku naik sepeda, baru pulang naik bus kota) dan jajan di sekolah. Tapi seingatku ya secukupnya, ga sampai aku bisa beli makan 'besar' (nasi + lauk + sayur) untungnya dulu itu jam 13.00 sekolah sudah selesai.

 

Ketika mulai punya kawan pena, sehingga aku butuh beli perangko, aku mulai membiasakan diri pulang sekolah jalan kaki, agar uang jatah bayar transport kupakai untuk beli perangko.

 

Masuk SMA, ayahku memberi uang saku mingguan; aku masih ingat jumlahnya, empat ribu rupiah seminggu. Dan karena ayahku bekerja di satu bank BUMN, beliau selalu memberi uang kertas gres baru; yang bikin orang eman-eman untuk memakainya membayar. Hihihi … Teman sebangkuku menerima uang saku seribu rupiah SEHARI! Wow. Lol. Tapi, aku ga perlu ngiri-ngiri banget sama dia, karena teman satu kelas ada yang sama sekali tidak mendapat uang saku buat jajan, kecuali untuk uang transport. Dan kawanku yang satu itu suka nraktir kawan-kawan sekelasnya. Lol. (Waktu aku SMA, aku masuk jurusan Bahasa, dengan jumlah siswa hanya 4 orang satu kelas.)

 

SMA kelas 1 aku masih diantar kakakku untuk berangkat sekolah. Pulangnya aku kadang jalan kaki, agar uang transport bisa kupakai untuk beli perangko. Hihihi … Setelah aku naik kelas 2, aku mulai naik sepeda motor ke sekolah, hadiah dari ayahku karena aku diterima di sebuah sekolah negeri. Jadi aku ga pernah jalan kaki lagi pulang sekolah, juga ga pernah naik bus kota lagi. Hmmm … mungkin ini sebabnya aku tidak memiliki banyak pengalaman naik bus kota.

 

Waktu kuliah? Jelas aku menerima uang saku, bulanan, karena aku kuliah di luar kota.

 

LG 12.04 10-June-2020