Search

Saturday, December 30, 2006

Naik Otopet



Guess what???
Nonton film ini--LITTLE MANHATTAN-- aku jadi pengen ngerasain naik otopet barengan Abangku. :) Kapan ya??????????

KPDE 20.50 301206

Little Manhattan



How old were you when you fell in love for the first time?

Indeed love doesn’t require a certain age for someone to feel it. Usually we think that mostly people reach teenage years—or perhaps older than that—to fall in love for the first time. However, it is always possible for children under teenage age to fall in love.

That is the main theme of Little Manhattan movie. The movie is starred by John Hutcherson as Gabe, a ten-year-old boy who falls in love with Rosemary Telesco, played by Charlie Ray. The two other major characters are Leslie, Gabe’s mother, played by Cynthia Nixon, and Adam, Gabe’s father, played by Bradley Whitford.

Some interesting things I spotten from this movie are:

First, in a very young age, boys and girls keep in touch very well, play together, study together at school—for example when they attend nursery school or kindergarten. They don’t pay attention that they are two different sexes—male and female—that consequently have different anatomy of bodies. However, after they realize that they are different creatures, they start to keep distance. Gabe uses term “when a big iron wall separate us—boys and girls”. They oftentimes show disgust to each other. Boys will choose to be with boys only, mostly at school; and so will girls. They will feel embarrassed if they play with friends from different sex. Boys in this patriarchal culture are usually taught by their (patriarchal) parents that they are better than girls.

I am wondering why they should undergo this phase in their life?

It is clearly seen in the movie, where it illustrates the period of hating each other starts when they are in the first grade of elementary school. Since this movie is narrated from Gabe’s point of view, it shows us clearly how Gabe—representing boys—thinks that boys are better than girls, and that girls are just disgusting creatures. It is not clearly depicted , however, whether the girls in the movie consider boys as disgusting creatures too. Rosemary—representing girls—only says in the movie that girls get mature at a younger age than boys. From her observation on her younger sister’s school, she draws a conclusion that girls speak and walk earlier than boys do. In the Karate class where both Gabe and Rosemary attend together, Rose gets the yellow belt first while Gabe still holds the white one.

Based on my observation on my students who attend junior high school (their age ranges from eleven until fifteen years old), they always refuse when I ask them to pair up with the opposite sex. They will strongly complain me by citing their religion’s teaching that boys and girls are not supposed to keep in toush closely. They also sometimes show disgust to each other.

However, this hating the opposite sex doesn’t last forever. I suppose it is because the natural law says that boys and girls (male and female) are created to be attracted to each other; especially from heterosexual people’s point of view. In Little Manhattan, Gabe (ten years old at that time) starts to be attracted to Rosemary when they have to get a sparring-partner in their Karate class. Although at first Gabe doesn’t think it as a good thing—a boy has a girl to be the sparring-partner--, he doesn’t find any other familiar face. (Gabe and Rosemary are kindergarten classmates.) This makes their relationship closer, especially after Rose gets her yellow belt, and she offers Gabe to practice in her house. Realizing that Rose is a pretty and smart girl , Gabe feels something strange in his heart when his heart beats very strongly when looking at her. He realizes he no longer finds girls as disgusting creature anymore. It is not clear how Rose feels toward Gabe except that she enjoys their relationship; especially their fun experience when they are looking for an apartment for Gabe’s father. Gabe’s parents are still in the process of getting divorced.

Second, I am interested in Gabe’s parents’ way to explain to Gabe why they are going to get divorced. They sit together—three of them—and the parents explain what makes them conclude to be separated. The movie doesn’t illustrate it in a long scene but this part attracts me very much. I believe in Indonesia, I find very few examples of this kind of thing. “Gabe, your daddy and I have become a lot different than before. And we cannot live together anymore.” That’s what Leslie said to her only son and Adam nods to show agreement. Explaining about divorce to small kids is not an easy matter. And I really appreciate parents who talk to their children and consider them as mature so that they don’t’ need to hide the biter fact.

Another scene that attracts my attention is when Gabe asks Adam why and how love ends. Adam simply says that he and Leslie take each other’s existence in their life for granted; that they are husband and wife that are supposed to understand each other without saying things that in fact need to be said. And with so many unsaid things compiling in their mind, they realize that they suddenly feel like they face strangers, not a loved spouse anymore. So, the point is, to say everything openly to the loved one is very important so that the other party will know what we feel and think.

This conversation encourages Gabe to make up his mind—to tell his feeling toward Rosemary. The same conversation also encourages Adam to repair his relationship with Leslie.

Love is always interesting to talk about, isn’t it? :)

PT56 10.33 301206

Saturday, December 23, 2006

Feminisme Marxis ...



Mengacu ke tulisanku sebelum ini, terutama yang menyangkut Feminisme Marxis/Sosialis, ada sedikit hal yang ingin kutambahkan di sini. (sebelum diprotes oleh seseorang nih. LOL.) => lihat tulisanku di sini ya.

 

Aku punya seorang teman baik, Y, yang bersuamikan seorang dokter, profesi yang lumayan terpandang di Indonesia. Ketika Y tinggal di Semarang, dia berkarir sebagai seorang guru Bahasa Inggris, sepertiku. Namun, tentu saja penghasilannya jauh di bawah sang suami yang seorang dokter. Apakah hal ini kemudian membuat relasi suami istri ini seperti seseorang dari kelas borjuis dan yang satu dari kelas proletar?

 

Aku harus mengatakan TIDAK. Y yang di mataku memiliki suatu kehebatan yang tidak dimiliki oleh sembarang perempuan—mampu menjinakkan suaminya, dan laki-laki lain, LOL, bercerita kepadaku bahwa di rumah, dia tetap merupakan sang Ratu yang dilayani oleh suaminya. Sebelum mereka memiliki anak, temanku biasa bangun siang, sedang suami karena kadang-kadang harus jaga di rumah sakit pagi hari, jam 6 pagi sudah siap berangkat. Sebelum berangkat, dia bangunkan sang istri tercinta, “Bangun Sayang. Sarapan sudah siap di meja makan. Jangan lupa sarapan yah? Aku berangkat dulu.”

 

Sekarang mereka memiliki dua buah hati yang membuat temanku sibuk mengurusi keduanya. Namun urusan rumah tangga, suaminya yang baru saja lulus dari spesialisnya ini tetaplah mengambil peran. Beberapa bulan lalu ketika mereka ke Semarang, aku bertandang ke rumah mereka. Sementara aku dan Y asik ngobrol, suaminya memasak spaghetti yang lezat buat makan siang kita bersama. Dan Y dengan bangga mengatakan kalau anak-anaknya paling suka spaghetti masakan papinya.

 

Selain Y, seseorang yang dekat denganku juga mengatakan bahwa dia menganggap istrinya tidak seperti kelas proletar dan dia kelas borjuis hanya karena dia laki-laki yang bekerja. Namun dalam hal mengambil keputusa, oh well, dia HARUS yang merupakan the decision maker dalam keluarganya. 

 

Meskipun dia tentu bisa memasak instant noodle, LOL, dia akan sangat suka dimasakin oleh anaknya/istrinya karena dia mengaku sebagai seseorang yang kolokan. LOL. Paling suka kopi tubruk, tapi sering malas bikin sendiri sehingga lebih memilih minum wine yang tinggal ambil dari kulkas, trus ambil gelas, dan gluk gluk gluk. LOL. Untungnya dia bukanlah seorang yang penuntut, minta disiapin makan ini itu. Disiapin apa aja oke, karena dia akan selalu menghargainya.

 

Dan aku harus segera mengakhiri tulisan ini sebelum dia menjewer telingaku karena buka-buka rahasia. Hahahaha ...

 

PT56 12.30 231206

Saturday, December 16, 2006

J e n g l o t

Pernah dengar istilah “jenglot”?
Istilah ini pertama kali kudengar sekitar 8-10 tahun yang lalu ketika ada pameran sebuah (seorang?) makhluk yang menyerupai manusia ini di Semarang. Aku tidak begitu suka pameran hal-hal yang berbau mistis seperti itu sehingga aku tidak datang untuk mengunjunginya. Angie dan bokapnya waktu itu melihatnya. Dan dari cerita mereka berdua, well, memang jenglot ini bentuk fisiknya menyerupai manusia, dengan tinggi berkisar antara 10-20 cm, dengan rambut yang sangat panjang, terlalu panjang bagi ukuran tubuh yang hanya 10-20cm tersebut.
Sepulang dari nonton pameran itu, bokapnya Angie mulai godain Angie dengan menyebut boneka Barbie nya dengan istilah ‘jenglot’. LOL. Hal ini sering membuat Angie ngeri karena membayangkan boneka Barbienya yang imut mendadak berubah menjadi makhluk yang secara fisik menakutkan tersebut.
Sekian waktu berlalu. Dan lupalah aku dengan istilah ini.
Beberapa hari lalu seorang miliser di Sastra Pembebasan tahu-tahu menyebut istilah ‘jenglot’ ini. dan nyebelinnya dia bandingin jenglot denganku!!!    karena ukurannya yang mungil tentu saja. (padahal Abangku tersayang, nyamain aku dengan boneka Barbie. Lah, kan itu mungil dan imut. Kalau jenglot???   ) Abangku yang belum pernah mendengar kata jenglot penasaran, so I explained. Sayangnya, dia tidak percaya padaku awalnya. Dikira aku cuma mengarang cerita kalau ada makhluk menyerupai manusia yang tingginya hanya sekitar 10-20 cm?
Kebetulan bebarapa minggu yang lalu salah satu murid privatku bercerita ketika dia tinggal di pedalaman Kalimantan Tengah sekitar tahun 1998-1999, dia melihat makhluk yang sejenis jenglot ini, hidup di ranting-ranting pohon di sebuah hutan. Tidak hanya satu dua, tapi banyak!!! Konon, ketika terjadi kerusuhan antara suku Dayak dan Madura, makhluk ini keluar dari persembunyiannya dan membantu saudara-saudaranya suku Dayak untuk mengusir suku Madura dari tempat tinggalnya.
Karena Abang tidak percaya juga dengan ceritaku, aku bilang aja ke dia untuk browse di google. And ... VOILA!!!! Muncullah website-website yang menulis tentang makhluk mistis yang bentuknya menyerupai manusia dengan rambut yang sangat panjang ini, dan banyak tinggal di daerah Indonesia. Lebih lengkapnya lagi, di Kalimantan Tengah. Di Kalimantan, mereka dikenal sebagai masih satu saudara dengan suku Dayak. Info yang ini kudapatkan dari murid privatku yang melihat makhluk-makhluk tersebut dengan mata kepalanya sendiri.
Hanya kuasa Tuhan semata yang membuat dunia ini begitu kaya dengan segala macam makhluk.  dan aku yakin, belum semuanya telah dieksplorasi oleh manusia. So, kalau belum muncul di Discovery Channel, ya jangan gampang bilang ga percaya bahwa ada makhluk tertentu. (khusus buat Abangku nih. Hahahahaha ...)
PT56 13.29 141206

G u l i n g

Seberapa tergantungkah kamu dengan guling?
Semenjak kecil aku terbiasa tidur dengan memeluk guling, sehingga guling ini fungsinya, menurutku, sangat penting dibandingkan dengan bantal. Mottoku dalam tidur: lebih mending tidak pakai bantal daripada tidak pakai guling. LOL. Aku ingat ketika tahun 1977 aku dan keluarga berkunjung ke keluarga besar di Gorontalo, ortuku sampai perlu minta disediakan guling khusus untuk aku agar aku bisa tidur nyenyak. (Sedangkan untuk Nunuk adikku, yang dia butuhkan adalah tempe ketika makan, karena ketika kecil, dia hampir tidak mau makan tanpa tempe.) Loh, Na, apa hubungannya antara guling dan tempe? LOL.
Yang aku ingat guling yang disediakan waktu itu besar (untuk ukuranku yang masih duduk di bangku kelas 4 SD), dan keras, sama sekali tidak empuk. Pengalaman dengan guling yang sama sekali tidak menyenangkan bagiku. LOL.
Ketika aku ngekos di Yogya, tak satu kos pun yang pernah kutinggali yang menyediakan guling. Untunglah banyak toko yang menjualnya, sehingga it was really not a big deal.
Tahun 2004 ketika aku balik ngekos lagi di Yogya, to pursue my Master’s Degree study, aku beli bantal dan guling di Mirota Kampus Jl. C. Simanjuntak. Sampai sekarang guling ini merupakan guling kesayanganku, yang selalu kupeluk ketika aku beranjak tidur, maupun hanya duduk di depan monitor komputer sembari mengetik ataupun nonton VCD.
Masalahnya adalah, ketika aku balik ke Semarang, Angie pun suka pakai guling ini. walhasil, kita sering rebutan guling deh. Dalam hal lain aku biasa mengalah, namun dalam hal guling, aku pengennya menang. Hahaha ... Sayangnya, Angie yang sudah terbiasa kumenangkan ketika aku dan dia rebutan sesuatu, dia tetap saja maunya menang. Sehingga, dengan berat hati, aku pun mengalah. Kalau ke Abang aku sering bilang, “Sing waras ngalah Bang” (dan dia sempet ngomel-ngomel ketika alku menggunakan senjata ini, wakakakaka ...), kalau ke Angie tentu saja beda, “Sing gedhe ngalah ...”  Tapi, ada syaratnya, yang pakai guling kesayangan ini, harus tidur di pojok dekat tembok, jauh dari kipas angin. Hahahaha ... Angie setuju.
Beberapa bulan lalu, kala di Semarang hawa panas menyengat tidak saja di siang hari, namun juga di malam hari, Angie memilih untuk tidur di dekat kipas angin, dan aku yang di pojok. Dengan serta-merta aku minta guling spesial menjadi milikku, dan Angie memeluk guling yang lain.
Beberapa bulan berlalu.
Beberapa hari yang lalu, entah mengapa, tiba-tiba Angie memintaku untuk tukar tempat waktu tidur, dia di pojok dekat tembok, aku di pinggir, dekat kipas angin. Dan untuk ini, Angie memaksa guling kesayangannya menjadi miliknya. Aku oke-oke aja sih. Namun, ternyata ketika di malam hari mau tidur, aku ga bisa tertidur dengan mudah, karena guling yang kupakai terlalu mungil untukku. Aku pengennya guling yang gedhe. Well, aku pikir, aku hanya butuh waktu beradaptasi aja dengan guling mungil ini. Toh, aku sendiri orangnya ya mungil. LOL. Namun, ternyata, it was not as easy as I thought. Akhirnya aku berpikir, untuk membeli guling baru aja lagi, yang lebih besar, lebih empuk, enak untuk dipeluk, mengantarku ke alam mimpi, sembari menunggu sms dari orang yang kusayangi.
Heran, kenapa ga sejak aku balik ke Semarang aja yah aku beli guling baru lagi aja, biar ga rebutan melulu dengan Angie? Tapi, rebutan dengan Angie kadang-kadang enak juga kok. Kalau ga gitu, ga ramai lah. Hahahaha ...
PT56 11.35 151206

Rape ...

Beberapa tahun lalu dalam perjalanan dari Yogya ke Semarang, seorang laki-laki yang duduk di sebelahku dalam bus mengajakku berbincang-bincang yang lumayan mengasikkan, meskipun aku sudah lupa apa tepatnya topik kita waktu itu. Satu hal yang kuingat adalah ketika dia komplain bahwa perempuan-perempuan jaman sekarang ini sudah mulai lupa “keperempuanannya”. Jelas, pernyataan yang akan sangat mudah menyinggung perasaanku. Namun ketika kutanya apa maksud pernyataan tersebut, dia malah menghindar, dan berujar, “Yah ... seandainya tiba saatnya nanti perempuan memperkosa laki-laki, aku akan dengan senang hati mengajukan diri untuk menjadi volunteer.”

Aku sudah lupa apa yang kuucapkan untuk meresponsnya. Yang kuingat hanyalah aku berbicara dalam hati, “Seandainya terbetik keinginan dalam hati untuk memperkosa laki-laki, kamu tidak aku masukkan dalam daftar itu.” Wakakakaka ...

Beberapa bulan kemudian, aku ngobrol dengan seseorang lain—sangat keren, LOL, bayangin aja seperti Lelaki Terindah yang diilustrasikan oleh Andrei Aksana dalam novelnya—yang kemudian membuatku teringat atas perbincangan yang terjadi di atas bus Yogya-Semarang itu. Ketika kukemukakan pendapat laki-laki dalam bus kepada laki-laki yang Indah itu, LOL, dia tertawa, dan berkata, “Wow .. that’s a great idea. I suppose I will volunteer myself too if that happens.” Dan berhubung yang mengatakannnya seseorang yang sangat keren, aku jadi tersipu-sipu. Wakakakaka ...

Beberapa waktu lalu, aku berdiskusi tentang topik ini—perempuan memperkosa laki-laki—dengan Abang. Dia membantah keras bahwa tak akan pernah hal seperti ini berhasil terjadi. Definisiku : “perkosaan terjadi tatkala hubungan seks itu terjadi antara satu pihak yang menginginkannya, dan pihak lain menolaknya. Kalau kedua-duanya mau, itu bukan perkosaan namanya, melainkan hubungan mau sama mau.” Dengan mengatakan hal ini, aku ingin mementahkan pernyataan laki-laki dalam bus, dan juga si Lelaki Terindah itu—kalau mereka bersedia, itu bukan perkosaan namanya. LOL.

Dengan serta merta Abang bilang, “That’s it Na. Makanya laki-laki tak akan bisa diperkosa. Seandainya si laki-laki itu menjadi ereksi—meskipun awalnya dia ogah—itu berarti akhirnya dia pun jadi berhasrat untuk melakukannya. Kalau si laki-laki tidak ereksi, bagaimana cara si perempuan memperkosa laki-laki itu?

Ah entahlah Bang. LOL. Tumben aja si Nana mau ngalah sama Abangnya. Biasanya suka ngeyel dulu. Salah juga ga papa, yang penting ngeyel dulu. Wakakakaka ...

“Sing waras ngalah ya Bang?” ç senjataku yang kadang-kadang dia pakai untuk menyerang aku balik. Wakakakaka ...
PT56 22.39 151206

Penulis Perempuan

Penulis perempuan (Indonesia) yang hasil karyanya kumiliki tentu lebih banyak daripada penulis laki-laki. Maklum, I love women (because I am a feminist, not because I am a lesbian LOL)



Pertama, Ayu Utami dengan dwiloginya Saman dan Larung. Bukunya yang berjudul Si Parasit Lajang merupakan salah satu buku favoritku, yang tak bosan-bosannya kubaca. :) Gaya menulis khas Ayu Utami adalah menyentil masalah sosial—terutama yang berhubungan dengan perempuan—dengan gaya ringan dan bercanda yang membuatku sangat suka membacanya.


Kedua, Oka Rusmini. Aku memiliki beberapa novelnya, seperti Tarian Bumi dan Kenanga. Kumpulan cerpennya yang berjudul Sagra juga ada di antara buku-buku koleksiku. Topik khas tulisan Oka Rusmini tentu saja sentilannya tentang nasib perempuan Bali yang meskipun telah bekerja keras, masih saja direndahkan oleh masyarakatnya yang patriarki.



Ketiga, Djenar Maesa Ayu. Aku memiliki ketiga kumpulan cerpennya yang berjudul Mereka Bilang Saya Monyet, Jangan Main-main dengan Kelaminmu, dan Cerpen tentang Cerita Cinta Pendek. Aku juga memiliki novel tulisan Djenar yang berjudul Nayla. Meskipun sama-sama mengkritik tentang nasib perempuan yang kurang beruntung hidup dalam kungkungan patriarki—seperti Ayu Utami—satu hal yang jelas dan gampang terlihat adalah gaya menulis Djenar yang sangat sarkastis dan sinis. Suasana cerita lebih sering terasa gloomy.


Aku memiliki dua buah buku hasil karya Aquarini Priyatna yang bukan merupakan fiksi (baik novel maupun kumpulan cerpen). Yang pertama berjudul Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Femininitas, dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Yang kedua, salah satu buku favoritku, berjudul Kajian Budaya Feminis, Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Aku juga memiliki terjemahan buku Feminist Thought milik Rosemary Tong, diterjemahkan oleh Aquarini.


Aku sangat suka dengan buku Filosofi Kopi hasil karya Dewi Lestari. Meskipun sangat suka, hal ini tidak berarti aku telah berhasil diprovokasi untuk membeli buku Dewi Lestari yang lain, seperti Supernova.



Aku memiliki dua buah buku hasil karya Gadis Arivia, si pemrakarsa terbitnya Jurnal Perempuan, jurnal favoritku. Pertama, berjudul Filsafat Berperspektif Feminis, dan yang kedua Feminisme: Satu Kata Hati.


Melulu tentang perempuan, feminisme, dan gender, eh? :-D Nana banget kan? LOL.


Selain buku-buku tersebut di atas, buku-buku lain yang kumiliki adalah buku berbahasa Inggris, yang membantuku dalam menulis tesis, buku-buku tentang Amerika, (maklum alumni American Studies), buku-buku sastra—baik yang teori maupun novel, kumpulan cerpen, antologi, dll, juga buku-buku terjemahan, seperti buku-buku tulisan Asghar Ali Engineer, Amina Wadud, Riffat Hassan dan Fatima Mernissi, Qasim Ali.


PT56 21.37 151206

Agus Noor

Potongan Cerita di Kartu Pos adalah kumpulan cerpen ketiga karya Agus Noor yang kumiliki, setelah Selingkuh Itu Indah dan Rendezvous: Kisah Cinta yang Tak Setia. Bisa dikatakan bahwa aku suka karya-karya penulis laki-laki satu ini mengingat aku memiliki tiga buah buku hasil tulisan laki-laki yang dilahirkan di Tegal 1968 ini. Seingatku sangat jarang aku memiliki buku tulisan penulis laki-laki lebih dari satu. Eka Kurniawan dengan novelnya yang berjudul Cantik Itu Luka dan mampu menghenyakkanku tatkala membacanya dari lembar ke lembar berikutnya, dan membuatku ternganga dengan kepiawaiannya merangkai alur cerita yang sangat kompleks, maju mundur dengan indahnya, pun hanya mampu memprovokasiku untuk membeli satu bukunya yang lain, yang berjudul Lelaki Harimau. Total hanya dua buah buku karya Eka Kurniawan yang kumiliki. Aku memiliki buku Pramudya Ananta Toer hanya satu buku, dan bukan satu dari buku tetraloginya yang sangat terkenal itu. Umar Kayam aku memiliki novel klasiknya yang berjudul Para Priyayi. Penulis (Indonesia) laki-laki mana lagi ya yang kumiliki bukunya? Lupa. LOL. Kayaknya memang hanya ketiga orang ini yang bukunya berada di rak bukuku. LOL. Gosh, hampir lupa, Andrei Aksana dengan Lelaki Terindahnya. :) Banyak puisi romantis dalam novel ini yang mampu menginspirasiku untuk menulis puisi-puisi romantis untuk Lelaki Terindahku. LOL. Namun toh, sampai sekarang aku belum terprovokasi untuk membeli novel-novelnya yang lain.
Kembali ke kumpulan cerpen terbaru dari Agus Noor yang kumiliki. Harus kuakui bahwa gaya menulisnya semakin matang, cerita mengalir dengan nikmat dan indah, meskipun itu merupakan tulisan surealis (yang terus terang saja, sebenarnya tidak begitu kusukai. LOL.) Tentu saja hal ini jika kubandingkan dengan kedua kumpulan cerpennya yang sebelumnya. Ada sembilan cerpen di buku ini, dan saat ini baru lima cerpen yang kubaca, karena memang kusengaja untuk tidak segera menghabiskan membaca semua cerpen itu dalam satu kali duduk. Dari kelima cerpen yang telah kubaca—masing-masing judulnya “Komposisi untuk Sebuah Ilusi”, “Sirkus”, “Cerita Buat Bapak Presiden”, “Pagi Bening Seekor Kupu-Kupu” dan “Dongeng buat Pussy”—yang membuatku tercenung dalam waktu yang cukup lama setelah usai membacanya adalah “Sirkus”.
Dalam “Sirkus”, Agus Noor mengungkapkan kegundahan hatinya melihat masalah-masalah sosial yang ada di Indonesia, seperti harga BBM yang melambung tinggi yang menyebabkan harga-harga sembako pun melonjak, tak terjangkau masyarakat kecil, dan akhirnya menyebabkan puluhan juta balita kekurangan gizi, yang di kemudian hari tentu akan menghasilkan generasi penerus yang tidak mumpuni. Poor us!!!:( :( :(
Guess where I read this short story? Di Paradise Club sewaktu aku melakukan cycling. I did three things at the same time: cycling, listening to music from my MP, and reading.
Btw, belum tahu penulis laki-laki siapa lagi yang bakal kubeli bukunya untuk menambahi koleksiku. :) Banyak penulis lain tentu saja, hanya aku belum tergoda saja untuk membelinya. :)
PT56 20.59 151206

Thursday, December 14, 2006

The English Lesson

from a friend's blog at http://doncasterhaikupoet.blog.co.uk/2006/
12/14/the_english_lesson~1436102

We must polish the Polish furniture.
He could lead if he would get the lead out.
The farm was used to produce produce.
The dump was so full that it had to refuse more refuse.
The soldier decided to desert in the desert.
This was a good time to present the present.
A bass was painted on the head of the bass drum.
When shot at, the dove dove into the bushes.
I did not object to the object.
The insurance was invalid for the invalid.
The bandage was wound around the wound.
There was a row among the oarsmen about how to row.
They were too close to the door to close it.
The buck does funny things when the does are present.
They sent a sewer down to stitch the tear in the sewer line.
To help with planting, the farmer taught his sow to sow.
The wind was too strong to wind the sail.
After a number of injections my jaw got number.
Upon seeing the tear in my clothes I shed a tear.
I had to subject the subject to a series of tests.
How can I intimate this to my most intimate friend?
She could not live with a live mouse in the house.
It was just a minute prick and over in a minute.
His mistake was putting his left foot forward while putting.
We would probably read more Shakespeare if we understood what we read.
There was a bow tied in the ropes on the bow of the ship.
You should spring that on us next spring!

Vibrator

Vibrator.

Apaan nih? Kok nulis jorok sih Na? Wakakakaka ...

Well, vibrator juga muncul menjadi salah satu topik perbincanganku dengan Abangku. (CATAT: Abangku cuma satu di dunia ini. LOL.) dari browsing tentang jenglot, katanya dia sampai membuka satu website konsultasi seks. Kok bisa? Entahlah. LOL.

Dan, berbincang tentang vibrator, aku jadi ingat Samantha Jones, salah satu tokoh dalam Sex and the City. Vibrator adalah sahabat Sammy—ini adalah nickname buat Samantha Jones ketika aku dan Abang memperbincangkannya—yang terbaik ketika dia tidak memiliki steady sex partner. Di salah satu episode Season kelima, Sammy kecewa ketika vibratornya tidak bekerja dengan baik. Itu sebab keesokan harinya dia membawa vibrator itu ke toko tempat dia membeli, kurang lebih enam bulan sebelumnya. Berikut ini adalah dialog pendek antara Sammy dan the salesperson (a man) è seingatku aja nih. LOL. Males harus ngecek lagi di VCDnya. LOL.

Sammy: I come here to complain about this vibrator.

Salesperson: Sorry, Miss, we dont sell vibrator here.

Sammy: What? But I bought this vibrator six months ago and it is still in warranty period. It failed to work last night. That’s why I take it here to ask for a replacement.

Salesperson: I have told you we dont sell vibrator here. We sell neck massager.

Sammy: What? A neck massager? Oh come on, I dont need a neck massager, I need a vibrator.

Bla bla bla ... akhirnya Sammy yang ngalah dengan tidak menyebutnya sebagai vibrator, melainkan neck massager. Hahahaha ...

Kesimpulan: ternyata di New York, di mana orang bisa menemukan toko yang menjual barang-barang semacam sex toys seperti ini pun orang tidak mau secara terbuka mengakui mereka menjual vibrator, dan menggantinya dengan istilah neck massager. What’s the point? Kepuasan seks masih dianggap tabu untuk dibicarakan di tempat umum? Barangkali. Sex is a natural need, and very humane, do you agree? Wah, apalagi di Indo ya yang orangnya masih sangat hipokrit?

PT56 13.43 141206

Monday, December 04, 2006

Friends



Friends see beyond the black and white to discover your true colors....



Friends always offer their shoulder to lean on :)

KPDE 12.45 041206

Friday, December 01, 2006

Funny Quotes

Here are some funny quotes from Abraham Lincoln. I got them from a friend's blog at
http://doncasterhaikupoet.blog.co.uk/

If I were two-faced, would I be wearing this one?

***
Better to remain silent and be thought a fool than to speak out and remove all doubt.

***
He can compress the most words into the smallest ideas better than any man I ever met. (referring to a lawyer)

***
It has been my experience that folks who have no vices have very few virtues.

***
You can fool some of the people all of the time, and all of the people some of the time, but you can not fool all of the people all of the time.

***
When I hear a man preach, I like to see him act as if he were fighting bees.

KPDE 13.48 21112006