Search

Wednesday, December 18, 2019

Why getting married




Di satu serial  GILMORE GIRLS, ada scene dimana Rory sedang ngobrol dengan Paris tentang bagaimana seseorang bisa jatuh cinta. Rory yang baru saja 'jadian' dengan Jess -- setelah mendadak putus dengan Dean -- menjawab something like, "you will fall in love with someone who is compatible with you. Compatible here means having the same interest of kinds of books, watching the same kinds of movies, laughing at the same jokes, things like that." Perasaan yang hadir di hati Rory setelah bertemu dengan Jess, bukan ketika dia bertemu dengan Dean.
 
*********

Aku pernah mengatakan hal yang mirip seperti ini kepada Angie, my one and only daughter, ketika dia duduk di bangku SMP, dengan bahasa yang lebih sederhana, "Cari pasangan yang dengannya kita nyambung."


*********


Beberapa hari lalu,  Angie menghadiri pernikahan seorang sobat yang dia kenal di bangku SMP. Angie tahu bahwa sobatnya ini baru saja pacaran dengan laki-laki yang kemudian menjadi suaminya itu, maka Angie penasaran apa yang membuat sobatnya itu mau diajak menikah. :D "Karena orangtuaku merasa he was the man. Orangtuaku senang dengan cara laki-laki itu membawa diri dalam keluarga besarku." jawabnya.

"Do you love him?" asked Angie.

"I think I am okay with him," she answered.

"Why do people decide to get married with people they are not sure they are compatible?" tanya Angie kepadaku.

Pertanyaan Angie mengingatkanku pada satu topik yang mendapatkan porsi lumayan banyak kutulis di blogku, "why getting married?" Banyak alasan yang telah kutulis di blog, sebagian besar hasil dari ngobrol dengan para mahasiswa/siswaku.

  1. To celebrate sex 
  2. To have (legal) babies (inside wedlock)
  3. To strengthen the bond with the loved ones
  4. To get rid of society's pressure that someone must get married after reaching certain age
  5. To ease financial burden
  6. To continue the family business
  7. To apply their religion's 'demand'

Biasanya jawaban pertama itu yang sering disebut oleh para mahasiswa/siswa, namun pada saat itu, aku menjawab nomor 4, "a very strong social pressure", yang dibenarkan oleh Angie. Sobat Angie yang itu merasa dia sudah mencapai usia tertentu dimana orangtuanya merasa berhak untuk terus menerus bertanya kapan dia menikah. Orangtuanya merasa laki-laki itu financially established sehingga membuat mereka merasa secure 'melepas' anak perempuannya.

IB 20.02 18-December-2019


Tuesday, December 17, 2019

Move On


Gegara nonton serial Gilmore Girls, "episode" Rory dan Jess di youtube, aku jadi ingat curhatan dua orang laki-laki sekitar 10 tahun lalu; seorang dari mereka adalah (ex) mahasiswa, seorang lain lagi adalah seorang laki-laki yang (sempat) pedekate. Ihir. Lol.

Rory and Jess

Si A, ex mahasiswaku, lelaki berusia di awal duapuluh tahunan (saat berada di kelas yang kuampu) dikaruniai wajah yang lumayan menarik, well, at least di mataku. Aku membayangkan dia bakal menjadi an apple of most girls di kampus. Dia mengakui hal ini, namun dia sendiri belum bisa move on dari perempuan yang dia pacari waktu duduk di bangku SMA. Mereka putus ketika A diterima masuk kuliah di universitas negeri di kota Semarang, sedangkan (mantan) pacarnya tetap tinggal di kota kelahiran. Waktu duduk di bangku kuliah, dia beberapa kali berganti pacar, namun karena tak juga mampu melupakan si mantan yang (katanya) dengan semena-mena memutuskannya begitu saja, akhirnya dia memilih untuk tidak pacaran dulu, ketimbang dia melukai hati lebih banyak perempuan yang berharap padanya. Ehem …


Yang satu, sebut saja namanya B, lelaki berusia di awal tigapuluh tahuan ketika curhat padaku. Hampir mirip dengan A, dia dan pacar masa SMA-nya putus karena dia pindah ke Semarang untuk melanjutkan kuliah. Karena masih berharap untuk bisa kembali kepada pacar masa remajanya itu, dia tidak pacaran di Semarang. Hingga dia balik ke kota kelahirannya, memulai hidup baru sebagai seorang pengusaha furniture, dan bertemu dengan mantan pacarnya yang ternyata telah menikah lelaki lain. Akhirnya memang B menikah dengan perempuan lain. Namun dia mengaku setiap kali bertemu secara tak sengaja dengan mantan pacarnya itu, dia selalu ambyar, lol, terkenang masa lalu.


Pengalamanku sendiri, well, memiliki kisah yang hampir mirip. Laki-laki yang pernah kupacari mengaku merasakan hal yang sama dengan A maupun B. Bisa saja mereka sudah menikah, namun tetap ketika bertemu denganku, mereka seperti kerbau dicucuk hidungnya, pingin ngikutin aku kemana aku pergi. Lol. Untunglah aku bukan tipe pelakor yang bakal merasa jumawa jika bisa merebut laki-laki orang. Lol.


Kembali ke serial Gilmore Girls. Dulu, aku menonton session 1 & 2, karena seorang sobat memiliki CD lengkapnya. Kemudian adikku mengunduh session 3. dari serial yang sudah kutonton, Rory digambarkan pernah pacaran dengan Dean, pacar pertamanya, kemudian pindah ke lain hati, Jess, sang pendatang baru di kota Stars Hollow, Connecticut. Selain mereka berdua, masih ada Tristan, dan Logan.


Ketika Rory berpaling ke Jess jelas terlihat Dean tidak rela melihat kekasihnya yang cantik dan cerdas berpaling. Well, meski akhirnya dia sendiri memiliki pacar dan menikah di usia yang masih sangat muda, jelas terlihat dia tidak bisa move on dari Rory. Setelah menikah, Dean sempat terlibat perselingkuhan dengan Rory. :)


Jess, si bengal yang dikirimkan ke Stars Hollow oleh ibunya untuk diasuh oleh Luke, pamannya, jatuh cinta pada Rory karena dia melihat koleksi buku Rory yang sesuai dengan seleranya. Meski sudah 'punya' Dean, ternyata Rory pun tertarik pada Jess, setelah Jess mengembalikan bukunya dengan 'catatan-catatan' di margin, menunjukkan bahwa Jess memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Setelah mereka putus, hingga bertemu lagi di usia mereka yang sudah cukup dewasa, Jess tetap dikisahkan masih memendam rasa cinta pada Rory, sementara Rory telah memiliki keasih yang lain.


Bagaimana kisah Rory dengan Logan? Well, aku kudu nonton dulu gaes. Lol.

LG 12.20 17-December-2019

Wednesday, December 11, 2019

B u c i n

Tahu istilah bucin kan? 😛

Akhir-akhir ini -- Desember 2019 -- seorang kawan facebook mengaku sedang menjadi bucin setelah menjomblo sekian (puluh?) tahun dan gadis incarannya ternyata menyambut perasaannya. Sebut saja namanya B alias Bucin. 😝 kebetulan B ini seorang penulis -- dia pernah menerbitkan lumayan banyak buku, mulai dari novel hingga jenis-jenis buku lain. Bisa kau bayangkan dia akan menuliskan perasaannya (hampir) setiap hari kepada perempuannya itu di dinding ratapan buatan kangmas Mark Zu. 😆😅😄.

gambar diambil dari sini

Bagi seorang penulis -- well, sebenarnya hal ini juga bisa berlaku untuk orang-orang lain yang mau dan bisa melakukannya -- menulis merupakan satu aktifitas yang cathartic, melegakan hati yang (mungkin) galau. Jadi bisa dipahami jika B pun mulai sering menulis status tentang perasaannya kepada sang pujaan.

Lalu, apa hubungannya denganku?

Well, apa yang B lakukan merupakan hiburan bagiku, lol. Membaca status-statusnya mengingatkanku saat jatuh cinta, rasanya ingin selalu menulis untuknya, bahkan kadang rasanya ingin memberitahu seluruh dunia bahwa aku sedang jatuh cinta. Jika aku sedang jatuh cinta, otomatis hal ini terjadi, begitu saja, tanpa perlu aba-aba. lol.

Sebagai seseorang yang percaya bahwa jatuh cinta -- entah apakah kemudian menjadi bucin atau tidak -- itu bisa terjadi pada siapa pun, di usia berapa pun. Apalagi jika yang dijatuhcintai pun membalas perasaannya! Indahnya dunia! Wahhh ... meski kata B, perempuannya yang indah itu pun terkadang menjelma menjadi bedebah, lol. Semenjak mereka jadian, B memiliki hobi membuat perempuannya tersenyum dan tertawa. Sedangkan si perempuan kian suka membuat B rindu, galau, dan semakin gemas kepadanya. lol.

Membaca status-status orang yang sedang jatuh cinta merupakan satu hal yang jauh lebih menyenangkan ketimbang membaca status orang yang membenci, apalagi di tengah-tengah nyaris 45% rakyat Indonesia yang mungkin masih tidak terima Pak Jokowi terpilih lagi menjadi presiden untuk yang kedua kali.

Ye kan? lol.

IB180 20.00 11-Desember-2019

Sekolah Alam

foto diambil dari sini 



Disclaimer: meski judul tulisan ini "sekolah alam" tulisan ini tidak berkisah tentang sekolah alam lho ya. :)


Pertama kali saya mendengar istilah "sekolah alam" 10 tahun yang lalu, tahun 2009, dari seorang kawan yang tinggal di daerah Bekasi. Dia berkisah bahwa sekolah alam ini bertujuan mengenalkan anak-anak pada alam karena 'bangunan' sekolah tempat anak-anak 'menuntut ilmu' merupakan tempat yang terbuka, benar-benar bersatu dengan alam. Mengingat kawan saya ini seseorang yang hobinya trekking, mountain climbing, terkadang bikecamping/bikepacking, saya langsung mendapat gambaran seperti apa itu. Dia tidak menceritakan kepada saya secara detil kurikulumnya seperti apa.


FYI, kawan saya ini pernah berusaha memberi kesan bahwa dia seorang yang liberal cara berpikirnya, lebih tepatnya Muslim yang liberal. Meski pernah tidak setuju dengan beberapa pendapat Gus Dur di masa hidupnya, waktu mendengar kabar Gus Dur meninggal di akhir tahun 2009 itu, dia bilang sangat sedih dan mengakui bahwa Gus Dur adalah salah satu pemikir yang berpikir secara progresif demi kebaikan Indonesia di masa depan.


Namun, seliberal2nya dia, dan (konon) mau memahami saya yang sekuler (saat itu) dia keukeuh mengatakan ingin berusaha membuat saya "kembali" menjadi relijiyes. Lol. Beberapa kali kita sempat 'debat' tentang relijiusitas dan spiritualitas yang sempat membuat saya (nyaris) patah hati, lol, seseorang yang katanya berwawasan luas namun tidak bisa menerima cara pandang saya. Sayangnya, keinginan 'luhur'nya itu tidak terwujud, saya justru "berpindah" ke ranah agnostik dari sekulerisme. Lol.


Beberapa tahun kemudian, saya tahu bahwa ternyata di Semarang pun ada sekolah sejenis. Dari seorang kawan yang pernah menjadi 'pseudo teacher' disana saya mendapat gambaran bahwa sekolah ini dikelola oleh orang-orang yang sejenis kawan yang saya kenal 10 tahun lalu, yang alih-alih bisa menerima saya yang 'berbeda' darinya, namun tetap bersikukuh bahwa cara pandangnya tentang relijiusitas yang benar. Kok begini ya?


Barusan beberapa menit lalu saya menonton (potongan) video di satu grup yang saya ikuti tentang protes seorang guru sekolah alam bahwa negara tidak berhak untuk mencampuri sekolah membuat kurikulum, padahal sekolah itu masih menerima bantuan keuangan dari pemerintah. Si guru bilang bahwa guru bukan alat negara, guru adalah pembangun peradaban, dan dia menyebut Rocky Gerung sebagai satu 'guru' panutannya. Peradaban jenis apa yang ingin dia bangun jika panutannya adalah seseorang yang terus menerus menghujat kebijakan pemerintah yang sah?


Nah lo.


Jadi, sebenarnya, definisi sekolah alam yang benar itu apa ya?


LG 12.12 11-Desember-2019