Search

Tuesday, October 16, 2018

Dolan ke Tana Toraja 2

aku dan nte Ria di Bori Kalimbuang


di Lolai, Hesti, Da, nte Ria, aku, Avitt


Kamis 13 September 2018
                                                            
Kita berencana meninggalkan penginapan pukul empat pagi menuju LOLAI, satu daerah yang terletak di ketinggian 1300 mdpl sehingga juga disebut sebagai “Negeri di atas Awan”. Karena akan berangkat pukul empat pagi, tentu saja kita harus mulai melakukan ritual pagi (di kamar mandi lol) sebelumnya.

Well, kenyataannya kita meninggalkan penginapan MARIA menjelang pukul 04.30, ga usahlah ditulis who was the culprit that made our departure late. LOL. Konon, yang menarik di Lolai bukanlah pemandangan matahari terbit seperti di Punthuk Setumbu – Magelang atau Gunung Bromo – Probolinggo, melainkan sekumpulan awan yang elok, yang bisa kita lihat berada DI BAWAH tempat kita berdiri. Tidak heran lah jika LOLAI ini disebut sebagai NEGERI DI ATAS AWAN.

Meski kita baru berangkat pukul 04.30, Lolai terletak tak begitu jauh dari penginapan kita. (Ingat, kita ke Lolai naik mobil, bukan bersepeda. Lol.) Kita pun sampai di Lolai sebelum pukul lima pagi. Suasana masih gelap gulita, dan suhu udara masih cukup dingin, meski tidak sampai membuat gigi-gigi gemeletuk. LOL. Dua sopir kita – om Ali dan om Anto – sangat piawai menyetir mobil meski trek tinggi curam. Berbeda dengan area Gunung Bromo dimana kita harus menyeberangi lautan pasir, di Lolai tak ada lautan pasir.





Di Lolai kita bertemu dengan kawan sesama pehobi sepeda lipat dari Tasikmalaya, om Ayung Lim dkk. Benar-benar banyak peserta jamselinas 8 yang memanfaatkan kedatangan mereka di Makassar untuk sekaligus berkunjung ke Tana Toraja. J

Pagi itu kita kurang beruntung. Saat sang mentari terbit, sekumpulan awan menutupinya. J Namun seperti yang saya tulis di atas, Lolai adalah tempat yang paling pas untuk melihat awan yang berarak di bawah tempat kita berdiri. Semakin siang, awan yang berarak terlihat semakin banyak, pun semakin indah.

Tidak banyak yang kita lakukan disini kecuali berfoto-foto, baik dengan latar belakang awan yang berarak, maupun dengan deretan tongkonan yang Nampak cantik dan semarak. Deretan tongkonan yang terletak tak jauh dari lokasi berfoto ini merupakan ‘guest house’ yang bisa disewa para turis yang ingin menikmati sensasi menginap di dalam rumah adat Toraja sekaligus sensasi kedinginan yang pastinya bakal bikin kita meringkuk lebih dalam semalaman. Lol. Oh ya, selain menyewa tongkonan untuk bermalam, para turis juga diperbolehkan membangun tenda di tempat yang disediakan. Selain itu tentu ada juga kafe tempat ngopi dan menikmati kudapan yang disediakan.

Sebelum pukul 08.00 kita sudah sampai di penginapan MARIA. Kita langsung menuju tempat dimana kita bisa sarapan. Sarapan kita berupa setangkup roti tawar yang diberi margarine dengan satu butir telur rebut. Untuk minum kita bisa memilih teh panas maupun kopi hitam panas.

Usai sarapan, saatnya kita mandi dan berkemas-kemas. Kita harus meninggalkan Rantepao dan kembali ke Makassar.

Sekitar pukul 10.30 WITA kita meninggalkan penginapan Maria, menuju satu lokasi yang disebut sebagai KALIMBUANG BORI. What is it? Well, I myself had no idea. LOL. (Jadi ingat waktu ke Probolinggo bulan Desember 2017. Ranz yang bikin plan, bikin itinerary, dan saya ngikut saja. Kenyataannya saya tetap menikmati dolan ke Gili Ketapang dan BJBR (Bee Jay Bakau Resort).




Dalam perjalanan menuju destinasi wisata yang kadang juga ditulis sebagai BORI KALIMBUANG, saya membayangkan akan mengunjungi satu tempat dimana kita akan menemukan deretan tongkonan. Kebetulan dalam perjalanan menuju Bori Kalimbuang kita beberapa kali melewati kawasan yang ada deretan tongkonannya. Namun, menurut google maps (hahaha … baik om Ali maupun om Anto belum pernah berkunjung ke Bori Kalimbuang, jadi kita menggunakan google maps), kita masih diminta untuk terus dan terus. Mana kita sempat ‘tersesat’ pula dalam perjalanan. Lol.

Hingga akhirnya … kita pun sampai ke lokasi. Bori Kalimbuang terletak di Jalan Poros Barana, kelurahan Bori, kecamatan Sesean, kabupaten Toraja Utara. Letaknya hanya sekitar 5 kilometer dari pusat kota Rantepao. (Namun toh kita sempat tersesat juga. Lol.)

Begitu masuk ke area Kalimbuang, alamaaaak … I LOVE THIS PLACE! Berasa ada di satu kawasan yang mirip STONEHENGE. (judulnya ngarep.com lol.) ratusan batu menhir dengan ukuran beragam tersusun seakan muncul dari bawah tanah dan menjulang tinggi. Ada yang tinggi sekali (jika kita berdiri di sampingnya kita bakal merasa bak liliput) ada juga yang berukuran kecil. Di antar ratusan batu menhir itu, konon yang tertua ditanam pada tahun 1657, warna batunya yang paling gelap. Konon saat itu 100 ekor kerbau disembelih untuk upacara kematiaan Ne’ Ramba. Upacara kematian yang kedua di lokasi ini dilakukan pada tahun 1807 dimana sekitar 200 kerbau disembelih dan 5 buah batu menhir ditanam untuk pemakaman Ne’ Padda’.  

Batu-batu tersebut mewakili tokoh-tokoh bangsawan atau sesepuh adat yang telah meninggal. Upacara adat yang disebut “Rapasan Sapurandan” dilaksanakan sebagai bagian dari proses penanaman batu. Untuk ‘menanam’ batu disini keluarga harus menyembelih minimal 24 ekor kerbau. Untuk ukuran batu, terserah pihak keluarga yang menginginkan jasad satu anggota keluarganya untuk ditanam disini. Namun tentu saja jika memilih batu yang besar, biayanya akan semakin banyak, karena mencari batu yang pas itu tidak mudah, apalagi membawanya menuju Bori Kalimbuang. Butuh bantuan banyak orang sekitar yang berarti butuh banyak biaya.



Selain deretan batu menhir, di lokasi ini kita juga bisa mendapati “Balakkayan”, satu bangunan seperti rumah panggung yang difungsikan untuk tempat membagikan daging sembelihan kerbau maupun bagi dalam ritual yang dikenal dengan sebutan “mantunu”. Selain “balakkayan” disini juga ada “Lakkian” tempat disemayamkannya jenazah selama berlangsungnya upacara kematian. “Lakkian” terbuat dari kayu, bagian atapnya seperti atap tongkonan, seperti perahu. Perbedaan lakkian dari tongkonan adalah ukuran lakkian lebih kecil, serta tidak berdinding, meski juga terdiri dari 2 tingkat. Tingkat atas digunakan untuk meletakkan jenazah, sedangkan tingkat di bawah digunakan untuk tempat duduk anggota keluarga selama upacara pemakaman.



Di daerah yang agak jauh dari tempat ‘menanam batu menhir’ ini, kita bisa mendapati ‘baby graves’ alias tempat memakamkan bayi, setelah melewati tangga batu sekian ratus meter. Bayi-bayi yang belum tumbuh gigi namun sudah meninggal bisa dimakamkan disini, yakni di dalam batang pohon ‘tarra’ yang sudah dilubangi. Setelah jasad bayi dimasukkan ke dalam pohon, lubang pohon ditutup menggunakan ijuk serta pasak-pasak kayu. Konon, lama kelamaan lubang pohon tersebut akan tertutup dengan sendirinya.

Tidak jauh dari lokasi ‘baby graves’ ada tongkonan yang dihiasi dengan 200 tanduk kerbau. Coba bayangkan betapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk dekorasi ini.

Oh ya, di lokasi ini kita bertemu dengan rombongan ‘bikeberry’ komunitas sepeda lipat dari Surabaya. Mereka baru sampai di Tana Toraja! Jika dari Bori Kalimbuang kita berencana balik ke Makassar, mereka baru akan ke Londa dan keesokan hari ke Lolai. J

Setelah kita merasa cukup (bagi saya pribadi belum, lol) kita kembali ke arah pusat kota Rantepao. Kita makan siang di satu rumah makan Surabaya. Ternyata letaknya tidak jauh dari penginapan Maria tempat kita menginap semalam. (yaaah … Rantepao mah Cuma ‘segitu’ luasnya. Hihihi …)




Usai makan siang, om Ali dan om Anto mengarahkan mobil ke jalan poros Makale, untuk kembali menempuh jarak ratusan kilometer yang akan kita tempuh selama  8 jam, menuju Makassar. Namun sebelumnya kita ingin mampir dulu ke Buntu Burake dimana para turis bisa melihat patung Yesus dalam ukuran raksasa di atas bukit.

Sesampai di patung Selamat Datang Toraja, ada sedikit salah komunikasi. Mobil om Anto tidak mengarah ke Buntu Burake, namun langsung menuju luar kota. Setelah berkoordinasi lewat hape, dua mobil kita beriringan menuju Buntu Burake.


Buntu Burake terletak di atas bukit, trek menuju kesana cukup bikin hati keder, curam dan berkelok-kelok. Duh, kalo bersepeda kesini ogah lah. Lol. Kalau di Semarang ini sedikit mirip tanjakan awal naik jalan Papandayan, tapi trek seperti itu terus menerus tanpa henti. Lol. Ngilu nih dengkul mbayangin nanjak Buntu Burake naik sepeda. Hahahahah …

Sesampe Buntu Burake, kembali kita bertemu rombongan pehobi sepeda lipat dari Jakarta. Wuiiiih … banyak banget yaaa. Thanks to Jamselinas 8, Tana Toraja jadi dikunjungi tambah banyak turis domestik. Kita pun heboh foto-foto bareng. LOL.


Ternyata Buntu Burake masih dalam kondisi sedang dibangun. Masih banyak yang harus dibenahi disana sini, termasuk areal parkir. Masih di daerah yang sama, namun arah yang berbeda juga ada ‘Goa Maria’ namun trek menuju kesana belum beraspal, masih jalan batu-batu. Dan … karena kita sudah cukup kelelahan, mana masih harus menempuh perjalanan 8 jam lagi, (padahal kita Cuma tinggal tidur dalam mobil, om Ali dan om Anto yang ‘berjuang’ nyetir. Lol) kita ga lama berkunjung kesana. Setelah foto-foto, kita langsung kembali ke mobil, melanjutkan perjalanan.

Ada sedikit masalah dalam perjalanan balik ke Makassar. Om Ali yang tidak bisa menyetir mobil dalam kecepatan sedang (harus ngebut dia lol), dengan cepat meninggalkan mobil yang disetir om Anto. Sampai di satu lokasi, (mungkin kita baru menempuh jarak kurang lebih 60 kilometer), om Anto menelpon mengabari jika salah satu ban mobilnya meletus. Waktu ditanya dimana lokasinya, om Ali bilang jarak kita terpaut 20 kilometer! Hwaaaa … lol. Om Anto meminta kita balik ke arah mereka. Tapi gelinya, setelah kita sampai kesana, mobil yang disetiri om Anto sudah siap melanjutkan perjalanan. Lol. Om Ali bersungut-sungut lah. LOL. Sebelum melanjutkan perjalanan, om Ali meminta om Anto berada di depannya. Ini berarti om Ali harus mencoba nyetir mobil dengan kecepatan sedang. Lol.

Mobil yang saya naiki – disetiri om Ali – kembali berhenti ketika kita tak lagi melihat mobil yang satunya. Setelah menelpon, kita baru menyadari bahwa kembali mobil yang disetiri om Anto tertinggal jauh di belakang. Hahahahahah …

Di Pare-Pare kita berpisah dengan om Ali yang ternyata tidak bisa mengantar kita sampai Makassar. Om Ali diganti seorang kawannya, tapi saya lupa namanya. J

Akhirnya kita sampai di hotel tempat kita menginap di Makassar menjelang pukul dua dini hari, Jumat 14 September 2018. Alhamdulillaaah … 

To be continued ...