Search

Sunday, August 23, 2020

Kembali ke Candi Cetha dan Sukuh nan Mistis

 Honestly, alasan utama yang merupakan 'trigger' aku kembali ke kedua lokasi ini adalah Taman Hutan Rakyat KGPAA Mangkunegoro I yang terletak di lereng Gunung Lawu, tak jauh dari Candi Sukuh.

 

'Kok bisa?'

 

Iya. Ada dua alasan mengapa Tahura satu ini membawaku kembali ke dua candi yang bentuknya mirip satu sama lain, meski terletak sejauh sekitar 13 kilometer. Pertama, waktu aku dan Ranz berkesempatan mengunjungi Tahura tahun 2013, kita tidak sempat explore sampai lumayan jauh. Keterbatasan waktu saat itu jelas merupakan alasan mengapa kita tidak menyempatkan diri. Yang kedua, taman hutan rakyat ini merupakan salah satu latar tempat yang disebut-sebut dalam novel 'Aroma Karsa', tempat Jati Wesi yang memiliki kemampuan mencium aroma yang luar biasa menjelajah hutan untuk mencari Puspa Karsa.

 



(Aku memang sering 'kebablasan' begini jika sedang membaca satu karya. Hihihi …)

 

Setelah menahan keinginan ini selama kurang lebih dua tahun, alhamdulillah awal Agustus 2020 aku bisa mewujudkannya, dengan ditemani Ranz, Angie, dan Fitri.

 

Aku, Angie, dan Fitri berangkat ke Solo hari Jumat 31 Juli 2020, naik motor. Ya, kita kembali bertualang dengan naik motor.

 

Sabtu 1 Agustus 2020

 

Kita berempat meninggalkan rumah Ranz di kawasan Laweyan pukul 07.00. karena Angie dan Fitri ingin sarapan nasi liwet, kita sarapan nasi yang di Semarang disebut 'nasi ayam' ini di satu lokasi yang tidak begitu jauh dari rumah Ranz. Setelah sarapan ini, kita menuju RM soto segeer Hj. Fatimah yang terletak di Jl. Bhayangkara, Solo. Sarapan lagi kitaaa. Porsi nasi liwet yang kecil jelas ga begitu 'nendang' laaah. Tapi, memang aku sudah nyidam sarapan nasi soto ayam disini kok.

 

Sekitar pukul 08.00 kita selesai sarapan, kemudian kita langsung menuju arah Karanganyar. Dari Jl. Bhayangkara, Ranz mengajak kita ke arah Jl. Veteran, kemudian luruuus hingga Bekonang, luruuuuus hingga melewati Danau Lalung (yang pernah kita berdua kunjungi naik sepeda di tahun 2012) dan kita pun sampai Karanganyar. Setelah membeli bensin di satu SPBU, Ranz mengajak kita ke arah jalan propinsi yang cukup lebar.

 

Sekitar pukul 09.30 kita sudah sampai di tempat parkir. Angie dan Fitri memang bisa diandalkan, padahal trek tanjakannya super curam, terutama sekitar 3 kilometer menjelang Candi Cetha. Kalau aku, mending naik sepeda deh. Jika ketemu tanjakan securam itu, ya kutuntun deh sepedanya, lol.

 





To our surprise, Candi Cetha dikunjungi banyak orang! Sebagian dari mereka nampak akan mendaki Gunung Lawu. Nampak ada puluhan orang yang membawa carrier yang menandakan mereka akan mendaki gunung. Hmmm … ga lagi 'new normal' inih, tapi 'back to the old normal'. :( bener-bener unpredictable.

 

Setelah mlipir ke toilet yang terletak di satu lokasi tempat kita memarkir sepeda motor, kita berjalan ke loket penjualan karcis. Untuk membeli satu tiket, kita membayar Rp. 10.000,00. Setelah membeli tiket, kita 'digiring' ke tempat kita akan diberi kain batik yang harus kita kenakan di pinggang. Oh ya, saat dipinjami kain batik ini, kita dimohon untuk menyumbang seikhlasnya, untuk perawatan kain. Untuk berempat, aku menyumbang sepuluh ribu rupiah.

 





Kawasan Candi Cetha berkabut tebal saat kita datang, dan kabutnya ga hilang-hilang sampai kita meninggalkan lokasi ini. Bener-bener tidak menyangka bahwa Candi Cetha telah memiliki 'penggemar'; meski berlokasi yang cukup sulit dijangkau, banyak orang yang menyempatkan diri kesini, setelah 'new normal' diterapkan. Padahal menurut berita yang kubaca, pengunjung Candi Cetha 'hanya' sekitar 30% dibandingkan sebelum pandemi. Gileee.

 

Ini aku membandingkan dengan saat aku dan Ranz kesini bulan Januari 2013 ya. Waktu itu kayaknya ga ada sampai 10 orang deh yang kita jumpai di area Candi Cetha. Aku cukup bersyukur bahwa pihak pengelola tidak berpikir untuk menyediakan 'instagrammable spots' yang ga penting. :D jadi, meskipun ramai, aku tidak 'pangling' dengan lokasinya.

 




Another 'surprise' adalah saat kita akan melanjutkan jelajahan kita ke Puri Saraswati. Ada loket penjualan tiket lagi. Per orang dikenai biaya Rp. 7000,00. 'Blessing in diguise' bagiku karena lokasi Puri Saraswati jadi sunyi, persis seperti yang kuharapkan. Enak buat menyepi dan meditasi.

 

Dari Puri Saraswati, aku mengajak keluar, ga melanjutkan ke lokasi Candi Kethek, karena aku ingat, disana tidak ada bangunan 'fisik' berbentuk candi. :)

 

Otw ke tempat parkir, kita sempat jajan serabi dan cilok. Angie dan Fitri sudah kelaparan nampaknya, padahal paginya kita sarapan dua kali, nasi liwet dan soto segeer, lol. Pastinya mboncengin aku dan Ranz naik sepeda motor ke Candi Cetha yang menantang adrenalin cukup melelahkan mereka berdua sekaligus membuat mereka kelaparan, lol.

 

Dalam perjalanan menuju Candi Sukuh, ada trouble menimpa sepeda motor yang dikendarai Fitri -- rem sebelah kanan blong! Inilah resiko naik sepeda motor matic di lokasi tanjakan/turunan curam. Kata Angie, "sepeda motor matic itu enak buat nanjak Ma, tapi turunnya beresiko." Pertama kali meninggalkan Cetha, Ranz dan Fitri di depan. Sampai di satu belokan tajam, aku melihat mereka berhenti di ujung, kirain mereka menunggu aku dan Angie. Angie terus melenggang memacu sepeda motor yang dia kendarai, dipikir setelah itu Fitri akan segera menggeber gas dan menyusul kita. Namun, ketika aku dan Angie sudah sampai di perkebunan teh, kira-kira berada 5 kilometer di depan, kita tidak melihat penampakan Fitri dan Ranz. Kita pun berhenti, menunggu. 15 menit kemudian mereka baru muncul. Fitri bercerita kasus rem sebelah kanan blong. Maka, Angie pun kemudian memilih terus berada di belakang motor yang dikendarai Fitri.

 

Tak lama dari situ, Fitri merasakan rem sebelah kanan bermasalah lagi, kita berhenti lagi di depan sebuah rumah yang berhalaman cukup luas. Kebetulan ada seorang laki-laki yang berdiri di depan rumah itu memperhatikan kita, kemudian menyapa, "Ada masalah kah?" saat tahu bahwa rem sepeda motor yang dikendarai Fitri, trouble, dia langsung menyarankan menyemprot bagian rem yang panas dengan air; kebetulan ada pipa air di halaman.

 

"Kalau naik matic di tanjakan/turunan tajam, jangan lupa bawa air buat menyiram rem yang panas. Ini sangat membantu memecahkan masalah rem mendadak terasa blong," sarannya. Satu hal yang benar-benar 'baru' buat kita berempat. :)

 








Setelah mengucapkan terima kasih, kita melanjutkan perjalanan. Aku bilang ke Ranz ingin makan siang di "Ndoro Dongker"; satu tempat yang mendadak ngetop di telingaku setelah tempat ini menjadi tujuan bersepeda saat Jamselinas 5 Solo tahun 2015. Tahun 2013 dulu, sepulang dari Candi Cetha, Ranz mengajakku mampir ke resto "Kemuning Indah.

 

Setelah makan siang, kita melanjutkan perjalanan ke Candi Sukuh, kurang lebih 4 kilometer dari Ndoro Dongker, dengan trek tanjakan yang lumayan curam juga, meski tidak securam ke Candi Cetha.

 

Sekitar pukul 15.15 kita sampai di kawasan Candi Sukuh. Saat berencana kesini lagi, aku bilang ke Ranz aku pingin menginap di rumah penduduk yang dulu kita inapi juga di tahun 2013. lokasinya yang sangat dekat dengan Candi Sukuh lah yang membuatku ingin menginap disini lagi. Tapi Ranz agak keberatan karena (1) kamar mandinya terletak di luar. (2) tidak ada air panas. Dia ingin menginap di hotel yang dia browsing bernama "Sukuh Cottage" dengan pemandangan yang spektakuler, tapi terletak agak jauh dari Candi Sukuh.

 

"Toh kita naik motor? Gampang kan ke Sukuhnya?" kata Ranz.

 

Tapi aku bergeming. :D

 

Sesampai kawasan ini, aku melihat tulisan HOMESTAY di warung sederhana milik si Ibu yang rumahnya kita inapi 7 tahun lalu. "Ah … dia sudah memberi tulisan HOMESTAY di warungnya agar orang-orang tahu." kata Ranz. Tak jauh dari situ, di sebelah kanan, aku melihat satu penginapan baru, bertulisan GRIYA SUKUH BUMI DEWATA. Aku melangkah ke arah situ, ingin tahu kamarnya seperti apa dan harga sewa berapa. Penginapan ini juga lumayan dekat dengan Sukuh.

 







Penginapan ini jelas masih baru, bangunannya juga nampak masih baru, meski ketika aku bertanya kepada yang menjaga bangunan penginapan ini sudah dibangun sekitar 2 tahun yang lalu. Lumayan banyak penginap sebelum pandemi. Dia membanderol Rp. 350.000,00 per kamar, yang kata Ranz, "Wih, dia berani pasang harga mahal, di masa pandemi seperti ini." aku jatuh cinta pada balkon yang memiliki pemandangan lembah dan sawah di kejauhan. Apalagi sore hari begitu, mudah mendapatkan pemandangan sunset dari situ. Aku tambah jatuh cinta lagi ketika melihat satu kamar yang terletak di sebelah kiri, samping balkon, jendela kaca yang lumayan lebar memudahkan kita memandang lembah dan sawah itu hanya dari kamar! Wow!

 

Tanpa pikir panjang aku langsung memberi tanda setuju ke Ranz. Ranz sempat menawar, "Dua kamar enamratus ribu nggih?" tapi oleh si penjaga tidak dikabulkan. Padahal waktu berangkat dari rumah, aku berencana menginap di HOMESTAY aku hanya menganggarkan dana maksimal duaratus ribu rupiah untuk menginap kita berempat. Sekarang malah harus merogoh kocek sampai tujuhratus ribu rupiah. Tapi Ranz memberi sinyal bahwa dia mau ikut membayar sejumlah uang, aku cukup lega. Hohoho …

 

Dari artikel yang kubaca di internet, aku tahu bahwa Candi Cetha dan Sukuh buka jam 09.00 sampai pukul 15.00 (sebelum pandemi buka jam 07.00 tutup jam 17.00) maka aku tidak berharap bakal bisa masuk ke dalam area Candi Sukuh. Tapi, si penjaga penginapan memberitahuku bahwa kita masih bisa masuk area, jika meminta izin ke satpam. Meskipun begitu, aku merasa tidak nyaman. Aku mengajak Ranz, Angie dan Fitri berjalan ke arah Tahura. Ternyata, di samping kanan Tahura ada satu destinasi wisata baru: TENGGIR PARK. Kata seorang ibu penjaga warung disitu, ini adalah area selfie.

 

Kita berempat berjalan kesana. Melihat kawasan Tenggir Park yang nampak seperti mendaki bukit, aku mendadak lelah, lol. Aku dan Ranz hanya berdiri di halaman parkir yang cukup luas. Sementara itu, di jalan masuk Tahura, ada palang penutup dengan tulisan di mmt TAHURA TUTUP SELAMA PANDEMI. Waduh, aku langsung patah hati. Lha aku ke Sukuh tuh ya demi menjelajahi Tahura je. Kok malah ga bisa masuk? Sementara aku dan Ranz berdiri sambil ngobrol, Angie dan Fitri berjalan ke arah jalan setapak Tahura. Dari halaman parkir Tenggir Park ke jalan setapak Tahura memang tidak ada pagar pembatas, yang berarti kita bisa saja bebas masuk jalan kedalam. Apalagi kita juga melihat beberapa orang naik sepeda motor keluar dari arah dalam Tahura.

 

Waktu itu cuaca mendung. Sekitar pukul setengah lima Ranz mengajak balik ke penginapan. Dia ingin mencoba peruntungan memotret sunset dari arah balkon penginapan. Namun, mendung benar-benar tebal, menutupi sinar matahari.

 

Sekitar 20 menit kemudian, mendadak matahari muncul dari balik awan. Waaah … penjaga penginapan meyakinkan kita bahwa sore hari begitu cahaya di kawasan candi sedang bagus-bagusnya. Dia bilang dia sudah menelpon satpam yang menjaga candi bahwa tamunya akan berkunjung sebentar. Akhirnya kita berempat berbondong-bondong ke candi, mumpung sang mentari nampak bersinar.

 



Meski pak satpam membolehkan kita masuk, dia meminta kita untuk tidak stay lama di dalam. Aku malah jadi tidak jenak. Ada 3 orang lain lagi yang juga diijinkan masuk waktu itu, selain kita berempat. Kulihat yang seorang dari mereka melakukan sembahyangan, sedangkan yang 2 orang hanya mengikuti dari belakang. Saat mereka melakukan meditasi di depan candi, aku mau ikutan duduk bersila, Ranz langsung menegurku, "Ga usah ikut-ikutan. Pak satpam tadi bilang jangan lama2." hadeeeh … benar-benar tidak menyenangkan. :(

 

Akhirnya kita berempat cepat-cepat meninggalkan lokasi, saat kita lihat matahari kembali bersembunyi di balik awan. Kita langsung kembali ke penginapan.

 

Malam itu kita makan malam dengan memesan nasi goreng 2 porsi dan mie goreng 2 porsi ke penjaga penginapan, entah mereka memesannya dari mana. :) Kita makan di balkon sambil ngobrol. Setelah itu, kita masuk ke kamar masing-masing. Hawa dinginnya masih okelah, masih bisa dinikmati dengan syahdu. :D

 

Sekarang waktu menulis ini aku nyesel, kenapa kita ga mencoba keluar penginapan untuk melihat suasana di luar seperti apa ya, saat malam begitu? 7 tahun yang lalu waktu menginap disini, malamnya hujan, jadi kita ya hanya ngendon di dalam kamar.

 

Minggu 2 Agustus 2020

 

Pagi itu ternyata aku mager. :D Jika 7 tahun yang lalu sekitar pukul enam pagi aku sudah 'menyeret' Ranz untuk keluar jalan-jalan melihat suasana sekitar -- termasuk masuk ke Tahura -- kali ini aku dan Ranz masih sama-sama mager. Apalagi dari kamar, kita bisa menikmati pemandangan lembah dari jendela yang cukup lebar. Sengaja aku meminta Ranz untuk tidak menutup korden agar dari dalam kamar kita bisa menatap langit, sekaligus memandang cahaya lampu yang banyak berpendar di kejauhan.

 

Jam tujuh aku dan Ranz sudah mandi. Fitri ternyata sudah keluar, untuk berolahraga, sementara Angie masih nyantai di kamar, dia belum mandi. Karena sarapan belum juga disediakan, aku bertanya ke penjaga jam berapa sarapan diantar. Ternyata, mereka menunggu kita mau pesan sarapan apa, lol. Menunya sama dengan yang semalam, hanya ada nasi goreng dan mie goreng. Untuk minum bisa memilih teh atau kopi.

 

 

Jam delapan seperempat, setelah sarapan dan packing, aku dan Ranz keluar berjalan menuju Tahura. Seperempat jam kemudian, Angie mengabariku bahwa dia dan Fitri akan menyusul. Kita berjalan di jalan setapak Tahura pelan-pelan; sering kali kita berhenti untuk foto-foto. Hingga di satu lokasi dekat tempat berselfie-ria, mereka bertiga berhenti, aku yang penasaran masih terus berjalan hingga sampai di kawasan dimana ada petunjuk "Camping ground. Office. Tempat parkir." aku berhenti disitu, sembari memotret petunjuk itu. Kemudian balik ke tempat Ranz, Angie, dan Fitri menungguku.





 

Jam setengah sepuluh, Angie dan Fitri kembali ke penginapan, aku mengajak Ranz masuk ke Candi Sukuh. Harga tiketnya sama dengan harga tiket masuk ke Candi Cetha: Rp. 10.000,00. Saat mengenakan kain batik yang dililitkan ke sekitar pinggang, kita juga diminta menyumbang seikhlasnya.

 

Jam 10 lebih aku dan Ranz balik ke penginapan. Ternyata Angie dan Fitri menunggu kedatanganku dengan leyeh2 di kamarku, Angie ngiri karena dari kamar yang kuinapi bersama Ranz memiliki jendela kaca besar sehingga kita bisa menikmati pemandangan lembah dengan hanya leyeh2 di tempat tidur. Hihihi …

 

Jam setengah sebelas, kita meninggalkan penginapan. Kita menuju Telaga Madirda yang terletak kurang lebih 1,5 kilometer dari Sukuh. 7 tahun yang lalu rasanya jauh sekali, karena meski 'hanya' terletak kurleb 1,5 kilometer, namun dengan trek naik turun yang curam, dan kita naik sepeda, kita butuh waktu lama untuk mencapainya, lol.

 




To our disappointment, Telaga Madirda yang dulu sunyi (meski waktu aku dan Ranz kesana 7 tahun yang lalu ada rombongan orang yang camping) sekarang ramai sekali! Meski pandemi, tetap banyak orang yang datang. Duh, ga nyaman banget. Mana Angie sudah terlihat manyun, lol, dia inginnya kita sudah sampai rumah Semarang sebelum maghrib.

 

Tiket masuk Telaga Madirda juga dibanderol Rp. 10.000,00 per orang. Namun, karena aku dan Ranz sudah telanjur patah hati melihat suasana yang ramai sekali, ditambah Angie yang pingin buru-buru balik, kita ga lama berada di dalam. Ga ada 15 menit kemudian kita sudah keluar. Di jalan yang menuju Tawangmangu, jalanan terlihat cukup padat dengan mobil-mobil yang menuju Tawangmangu. Pandemi? New normal? Ga terlihat tanda-tanda seperti itu. Kondisi sudah seperti balik ke old normal. Hmft …

 



Sebelum pukul 14.00 kita sudah sampai di Tenda Biru, tempat kita makan siang. Usai makan siang, kita mampir ke rumah Ranz sebentar. Pukul 15.00 aku, Angie, dan Fitri sudah on the way ke Semarang.

 

Pukul 17.30 aku dan Angie sudah sampai rumah, safely. Alhamdulillah.

 

Sampai jumpa di kisah jalan-jalan kita berikutnya!

 

PT56 22.34 09/08/2020

Thursday, August 20, 2020

Libur akhir tahun 2019: ke Pantai Ngobaran

 

#latepost

 


Setelah dolan ke Ngawi berdua dengan Ranz, akhir Desember 2019 aku dolan lagi; kali ini tidak hanya kita berdua, namun bersama Dwi dan Tami. Aku lupa menulisnya, atau mungkin saat itu aku berpikir itu hanya dolan biasa, sehingga aku merasa tidak perlu menulisnya. Setelah lebih dari setengah tahun berlalu, aku mencari catatan itu, loh, kok ga ada? Hihihi … Jadi, di note ini, aku menulisnya berdasarkan ingatanku saja.

 

Sabtu 28 Desember 2019

 

Jumat malam, aku dan Ranz 'menggawangi' segowangi akhir tahun yang dihiasi hujan yang lumayan mengganggu. Sabtu pagi, kita berempat berangkat ke Solo naik travel. (Jadi, sepulang dari mbolang ke Ngawi, aku dan Ranz ke Semarang naik travel, Austin kutinggal di Solo.)

 

 

Minggu 29 Desember 2019

 

Pagi itu kita berempat bersepeda ke area CFD Solo, di Jalan Slamet Riyadi. Kawan-kawan Seli Solo berkumpul untuk menyelenggarakan LAST SUNDAY RIDE. Sebenarnya aku berencana ikut LSR bersama kawan-kawan Komselis di Semarang, tapi ternyata aku kalah; termakan rayuan Ranz untuk menemani duo Dwi dan Tami untuk dolan ke Solo. Hihihi …

 




Kita berempat sempat berfoto-foto dengan para lipaters yang sudah berkumpul. Tapi, aku pamit ke Om Awan sebagai salah satu 'pengundang' LSR kita hanya ikut kumpul tapi tidak ikut gowes ke arah Pengging. Setelah rombongan LSR berangkat, kita sarapan. :)  usai sarapan kita bersepeda ke arah benteng Vastenburg, berfoto-foto di jembatan yang dihiasi pernak-pernik Imlek. (Imlek masih sebulan lagi sebenarnya.) Kemudian kita pulang, siap-siap dolan ke area pantai DIY.

 

Dwi dan Tami sebenarnya pingin berfoto-foto di Gumuk Pasir Parangkusumo, gumuk pasir yang terletak pas sebelum pantai Parangtritis. Namun, kalau membayangkan foto-foto di lautan pasir di siang hari, kok rasanya males yah. Maka, kusarankan kita ke tempat lain dulu, baru ke Gumuksari sore harinya.  Semua setuju. Sebagai 'pengisi waktu' sebelum ke Parangkusumo, Ranz menawari kita dolan ke tempat lain dulu, "Pantai Cemara" (pantai yang masuk check point di J150K 2019 namun ternyata peserta tidak benar-benar kesana, hanya muncul di peta, lol), "Pantai Indrayanti" atau "Pantai Ngobaran". Ahaaa … sudah lamaaa aku pingin ke Pantai Ngobaran, satu pantai di daerah Gunung Kidul yang ada bangunan pura di pinggirnya, sempat nyaris nyidam kesana, dulu, lol, tapi kata Ranz dengan kemampuan dengkul kita yang tidak seberapa, lol, kita ga bakal mungkin bisa sampai kesana jika bersepeda hanya sehari dari Solo. Dan jika harus menginap somewhere, Ranz tidak tahu kita bisa menginap dimana, lol. (Lha, padahal kita saja bisa nyampe Pantai Klayar di Pacitan lhooo. Hihihi …)

 





Apa pun itu, akhirnya 'berjodoh'lah aku dengan Pantai Ngobaran di akhir tahun 2019. Setelah memendam keinginan bertahun-tahun, aku pun melangkahkan kaki ke Pantai yang kuidam-idam itu. Ternyata lokasi pura tidak persis di pinggir pantai, maksudku di pantai berpasir yang landai. Hihihi … Ya seperti Tanah Lot ya. Sebenarnya Ranz mengajakku 'turun' ke area yang berpasir, tapi karena butuh ekstra kerja keras, lol, mana cuaca panas sekali, aku enggan.

 

Saat itu, kita ditawari seorang 'fotografer' yang mangkal disana. Meski Ranz membawa kamera, sebagai kenang-kenangan, kita menerima tawaran itu. Maka, tidak heran, jika Ranz pun muncul di banyak foto kita. Hihihi …

 

FYI, kita tidak hanya berempat ke Pantai Ngobaran, ada mas Martin, kakak ipar Ranz yang menyetir mobil, dan ada kakaknya Ranz, mbak Niken, dengan dua anaknya. Saat kita berempat jalan-jalan, mas Martin sekeluarga nongkrong2 di satu gazebo. Mas Martin seorang sopir yang piawai lho, jadi aman dah. Btw, dalam perjalanan ke pantai, melihat trek yang naik turun naik turun naik turun, mana jalannya muter kesana kemari, lol, aku paham mengapa Ranz ga yakin kita bakal bisa nyampai Pantai Ngobaran hanya sehari gowes dari Solo/Jogja. Hmft … Dan, kalau harus menginap semalam di tengah jalan, tidak tahu mau menginap dimana, kekekekeke …

 

Setelah merasa cukup puas berfoto-foto (ah ya, banyak 'fotografer' yang mengais rezeki menjadi tukang foto para wisatawan disini, sekali mereka setuju dengan 'sekelompok' wisatawan, mereka akan ngikut kemana saja kelompok itu berjalan. Setelah selesai, wisatawan bisa memilih foto-foto mana yang akan dicetak, sedangkan foto-foto lain bisa ditransfer ke flash disk. Tentu berdasar harga yang disetujui kedua belah pihak ya) kita kembali ke gazebo untuk makan siang. Nah, saat kita makan ini, mendadak hujan turun. Padahal sebelumnya panas banget loh.

 

Hujan yang cukup deras ini membuat kita membatalkan dolan ke Parangkusumo. Kalau mau foto-foto di atas gundukan pasir, tapi pasirnya basah, ga enak kan ya. Lol. Untunglah Dwi dan Tami yang semula pingin ke Parangkusumo ga keberatan kita ga jadi kesana. Setelah makan, kita pulang ke Solo.

 

Senin 30 Desember 2019

 

Hari ini aku setengah memaksa mengajak anak-anak bersepeda ke arah Sukoharjo, untuk (1) menikmati ayam goreng di rumah makan Mbah Karto yang kondang itu (2) sebagai ganti tidak ikut LSR sehari sebelumnya, lol. Tami yang semula pingin cari kain di PGS untuk persiapan lamaran di akhir Januari 2020 mengalah, lol.

 




Otw ke Sukoharjo, kita mampir ke Mbak Lies Serengan untuk sarapan. Dwi dan Tami belum pernah diajak kesini, maka mereka suka berfoto-foto di rumah makan yang memang ditata sedemikian instagrammable. Setelah itu, kita bersepeda ke Sukoharjo. Makan lagiiiii. Lol. FYI, gowes ke Sukoharjo pp sejauh 35 kilometer sudah lumayan lho buat mereka berdua karena mereka sudah lamaaa tidak bersepeda "jauh". Hohoho …

 

Sorenya kita pulang ke Semarang naik travel.

 

Liburan akhir tahun 2019 usai sudah. :)

 

PT56 09.11 20-August-2020

Monday, August 17, 2020

Samori Blusukan ke Gubug

 "The Journey is the destination"

 

Sejak Juni -- setelah bergrandfondo ke Kudus sendiri naik Snow White -- aku sudah kepingin bersepeda seratusan kilometer lagi. Ternyata baru di bulan Agustus 2020 aku mendapatkan mood yang tepat. :)



 

Sabtu 08-08-2020

 

Meski Jumat malam aku baru bisa tertidur di jam yang cukup larut, pagi ini aku terbangun pukul setengah lima, memiliki kesempatan beberapa puluh menit untuk menimbang-nimbang aku akan bersepeda di pagi hari atau engga. Beberapa minggu ini aku rada males bersepeda di pagi hari, lebih memilih molor gegara hawanya sejuk, enak buat terus memeluk guling. Hihihi …

 

Pukul lima pagi aku ke toilet, pipis, ke dapur sebentar untuk menyiapkan air minum dalam bidon, kemudian ganti baju. Jam 05.15 aku keluar. Aku sudah menetapkan hati untuk ke arah Purwodadi; aku akan menyambangi 'Api Abadi Mrapen'.

 

Tahun 2016 terakhir ke Mrapen, aku ingat jarak yang tercatat adalah 80 kilometer.  Jika ingin mencapai jarak tempuh 100 kilometer, berarti aku harus menambah jarak dong. Ini sebabnya aku tidak langsung menuju arah Simpanglima dan seterusnya setelah meninggalkan Pusponjolo. Aku ke arah Indraprasta, Imam Bonjol, Kota Lama, Pengapon, Kaligawe, kemudian belok ke kanan di pertigaan Bangetayu. Dari sini jika lurus aku akan sampai jalan arteri Sukarno Hatta, kemudian 'njedul' ke Jl. Majapahit atau sekarang disebut Jalan Brigjend Sudiarto.

 

Atas pertimbangan itu, ketika bertemu dengan pertigaan, aku langsung belok kiri; aku berharap akan bertemu jalan yang kulewati sekian bulan lalu saat bergrandfondo ke Demak, jalan yang akan membawaku sampai pasar Mranggen. Belum jauh aku belok, ada seorang pesepeda laki-laki yang menjajariku, mengajak bareng. (Sedikit obrolan dengannya akan kuunggah di tulisan terpisah ya?)

 

Meski yakin aku akan menemukan jalan yang akan tembus ke Mranggen, aku tetap bertanya kepada si laki-laki itu. Dia mengiyakan, jika kita lurus terus di jalan yang kita lewati, kita akhirnya akan sampai Demak. Di perempatan yang nantinya kita lewati akan ada papan petunjuk, jika belok kiri kita akan ke arah Onggorawe, belok kanan Mranggen, lurus Demak, disitu lah aku nanti belok kanan, sedangkan laki-laki itu belok kiri, rumahnya di daerah yang bernama Bulusari katanya.

 

Kita bersepeda bareng sampai di perempatan yang kusebut di atas. Dia belok kiri, aku belok kanan. Luruuus sampai jalan raya, akuakan  sudah sampai di jalan raya yang menghubungkan Semarang dan Purwodadi. Aku pun belok kiri.

 

Jika bulan Juni lalu, perutku rasanya anteng sampai aku bersepeda sejauh 50 kilometer, kali ini perutku telah meronta-ronta meski jarak yang kutempuh baru sekitar 25 kilometer. Maka, aku pun mulai melihat ke kiri kanan untuk mencari rumah makan yang bisa kuampiri. Di kilometer 29 kilometer, aku berhenti di satu rumah makan yang bertuliskan SOTO SEGER KAHURIPAN.

 

Aku kaget ketika pesananku datang karena ternyata soto daging sapi, bukan soto ayam. Haduw. Aku bukan vegetarian yang anti makan daging dari binatang berkaki empat sih, tapi aku lebih memilih soto ayam. Tapi, ya sudahlah. Aku makan satu mangkuk soto daging, satu tempe goreng, satu krupuk, kemudian minum segelas teh hangat. Untuk itu, aku membayar Rp. 13.000,00. wah, murah yah?

 

Setelah itu, aku melanjutkan perjalanan. Aku sampai di pabrik sarung tangan ZUNA ketika jarak di strava menunjukkan angka 39 kilometer, hanya beberapa puluh meter dari gerbang perbatasan masuk Gubug! Wahhh …

 

Setelah melewati pertigaan Gubug, aku ambil jalan ke kiri. (Jika ke kanan aku akan sampai stasiun Kedung Jati, tapi ogah ah kesana, lha treknya rolling banget je dari pertigaan itu, lol.) sempat ragu kok ga sampai-sampai setelah ambil jalan ke kiri dari pertigaan Gubug, aku sempat ngecek google map. Tapi ternyata arah yang kupilih benar. Aku tinggal melanjutkan perjalanan.

 

Aku sampai di pintu gerbang masuk Api Abadi Mrapen saat jarak tempuh di strava menunjukkan angka 49 kilometer.

 

To my disappointment, Api Abadi Mrapen belum dibuka untuk umum. :( aku sempat bertanya kemungkinan memotret Snow White di dalam, ke satpam yang jaga, namun mendapatkan jawaban yang cukup menyebalkan, lol. Ya sudah. Toh, dalam perjalanan ini mottoku adalah THE DESTINATION IS THE JOURNEY. Bukan melulu 'Api Abadi Mrapen' atau apa kek. Yang penting adalah 'bersepeda sejauh 100 kilometer'. :D

 

Setelah bertanya dua tiga hal ke satpam, aku langsung kembali ke arah jalan raya. Aku juga langsung mengayuh pedal Snow White ke arah Semarang. Dalam perjalanan balik, aku sempat tergoda belok dua kali. Yang pertama, ketika aku melihat ada petunjuk WISATA TENGAH SAWAH 200 meter. Ini di sebelah kanan (aku menuju arah Barat ya) ketika memotret Snow White, ada seorang laki-laki naik sepeda motor yang lewat, dia berhenti melihatku memotret Snow White. Kemudian dia menyapa,

 

"Sendirian saja Bu?"

 

"Iya." jawabku.

 

"Rumahnya mana?"

 

"Semarang."

 

"Wah … Semarangnya mana?"

 

"Karangayu." jawabku, berpikir bahwa nama pasar ini tentu lebih dikenal ketimbang Pusponjolo. :D

 

"Wah … jauh juga ya? Biasanya orang malas bersepeda sendirian. Apalagi tiyang putri," katanya heran.

 

"Selama pandemi, saya lebih memilih sepedaan sendirian, Pak."

 

"Tapi njenengan ikut komunitas sepeda kan?"

 

"Nggih. Tapi memang selama pandemi saya menghindari sepedaan ramai2. khawatir jika ramai2, saya akan lupa diri, lupa jaga jarak, lupa melepas masker, misal ketika foto bareng atau jajan bareng."

 

"Iya sih, tapi kalau sepedaan sejauh ini sendiri kan orang biasanya malas."

 

"Memang. Ini kebetulan mood saya sedang bagus buat sepedaan jauh."

 

Dia mengangguk-angguk sambil mengundangku mampir ke WTS. Aku pun mengayuh pedal Snow White ke arah dia melaju, hingga sampai di kawasan itu. Entah dia pemilik WTS atau siapa, tapi dia mengizinkanku masuk tanpa beli tiket. (Tiket masuk Rp. 2000,00 untuk weekdays, untuk akhir pekan/hari besar Rp. 5.0000,00)

 

Setelah mengitari kawasan WTS, sambil memotret beberapa spots, aku keluar, minta pamit ke Bapak itu, kemudian melanjutkan perjalanan.

 

Sesampai perbatasan Gubug, aku melihat petunjuk TANGGUNGSARI. Ah, tiba-tiba aku ingat stasiun Tanggung yang pernah kukunjungi bareng beberapa kawan 4 tahun lalu. Well, demi menambah jarak di strava, lol, aku pun belok kiri. Kucek di google maps, stasiun Tanggung terletak kurang lebih 6 kilometer dari jalan raya. Hmmm … jauh juga ya? Tapi, yaaah … gapapa deh.

 

Aku sempat ngecek google map 2 kali untuk memastikan aku berada di jalan yang benar, lol, akhirnya aku pun sampai di stasiun Tanggung. Alhamdulillaaah.

 

Aku ga sempat masuk ke tempat menunggu penumpang. Aku hanya memotret Snow White 3 kali disana, kemudian langsung balik kanan, kembali ke jalan yang kulewati semula. Sebelum sampai jalan raya, aku mampir ke satu warung es degan. Siang yang panas begitu tentu enak minum es degan. Lumayan lo, ternyata harganya murah banget! Hanya tigaribu rupiah per gelas!

 

Cukup minum segelas es degan saja. Aku terus melanjutkan perjalanan. Karena air di bidon habis waktu dalam perjalanan ke stasiun Tanggung, aku mampir ke satu minimarket, beli air mineral dan teh kotak dingin. Setelah itu, aku terus melanjutkan perjalanan, tanpa sekali pun beristirahat. Sempat ada kemacetan yang cukup panjang, namun aku bisa terus mlipir lewat kiri.

 

Sesampai Semarang, kebetulan setiap kali lewat traffic light, lampunya terus berwarna hijau, sampai Tugumuda! Akhirnya aku memiliki kesempatan untuk beristirahat karena traffic light berwarna merah disini. Aku ngecek strava, jarak yang telah kutempuh 97,7 kilometer. Setelah lampu berubah hijau, aku melanjutkan perjalanan, aku belok ke Jalan Jayengan, untuk mampir belanja dapur sebentar.

 

Menuju rumah, aku lewat jalan Suyudono, terus hingga jembatan Lemah Gempal, masuk ke Jalan Pusponjolo Selatan. Sesampai di depan pintu gerbang rumah, aku ngecek strava, jarak tempuh 100,4 kilometer. Alhamdulillah, grandfondo tercapai!

 

Dengan lega, aku masuk rumah. Yeay. Next time lagi yuk Na! demi ngeksis! Hihihi …

 

PT56 16.23 10 Agustus 2020

Friday, August 07, 2020

K a c a

 Selepas bepergian, sebagian dari kita akan menyibukkan diri menonton foto2 yang kita hasilkan selama bepergian. Bahkan, beberapa orang ga perlu menunggu pulang dari bepergian itu; setelah foto dijepret, para gadis pelor sobat mbolangku langsung mengerumuni kamera Ranz untuk melihat hasilnya, lol. Jika ada yang dirasa kurang "sreg" mereka akan meminta Ranz mengulang atau memotret mereka kembali, lol.




Aku engga; cuma ketawa2 saja melihat mereka rebutan nonton hasil jepretan potogawer pribadiku itu. Bukan karena aku tidak penasaran, tapi ada rasa enggan melihat "perkembangan"ku, lol. Satu kali Ranz memuji hasil jepretannya sendiri saat menyodorkan hasil jepretannya kepadaku,

 


"Fotoku bagus kan?" Entah dia sebenarnya bertanya untuk memastikan diri atau pamer ðŸ˜›ðŸ˜›ðŸ˜›

 


Kadang aku cuek, hanya menjawab, "iyalaaah, kamu kok." sambil menatap kameranya sesaat. Di saat lain, aku serius memandang hasil foto, trus komplen, "akan lebih bagus lagi kalau kamu bisa bikin aku nampak langsing di foto." ðŸ¤­ðŸ¤­ðŸ¤­


 

Ranz langsung uring2an, "itu deritamuuu!" protesnya ðŸ˜“😛🤣


 

Jangan bilang2 ya, ratusan foto hasil jepretan Ranz kadang cuma menuh2in harddisk, karena paling hanya kulihat sekilas. ðŸ˜œðŸ˜œðŸ˜œ


 

You know what akibatnya?


 

Yang aku ingat tentang diriku ini ya penampilanku 7 tahun yang lalu (FYI, angka 7 kupilih random yaaa, lol) yang masih (lebih) muda dibanding sekarang, yang masih nampak seperti "seseembak" (masih dipanggil "mbak" dimana2) bukan "seseibu" yang dipanggil "ibu" dimana2 ðŸ˜“😓😓 apalagi kawan dolanku kan masih berusia duapuluhan, kecuali Ranz, lol. Eh, Ranz pun mengira usianya baru 25 tahun, lol.

 


Jika aku sering cuek dengan foto hasil jepretan Ranz, jadi aku suka "lupa umur"ku berapa, lol, what I look like now, lol, mungkin akan beda jika di kamarku ada kaca yang bisa kupakai mengaca setiap hari. Sebelum pandemi, saat masih #workfromoffice aku kadang melihat penampilan diri sekilas di kaca yang dipasang di kantor.

 



N. B.:

Fotoku dengan Angie Pitaloka tahun lalu, di satu destinasi wisata di Ungaran dijepret oleh Ranz.


 

Pertanyaan (ga ada hadiah buat yang njawab ðŸ¤£ðŸ¤£ðŸ¤£):

 

Ada berapa "lol" di kepsyen ini? ðŸ¤­ðŸ¤­ðŸ¤­

 

PT56 06-August-2020


Thursday, August 06, 2020

C h a n g e s

Tidak ada yang tidak berubah dalam hidup ini; kata orang.

 

Siang ini mendadak aku ingat kisah yang diceritakan oleh Prof. Kenneth Hall, salah satu dosen tamu waktu aku kuliah di American Studies, UGM 17 tahun yang lalu.

 

Waktu SMA, Prof. Hall pacaran dengan seorang siswi dari 'kalangan atas' di sekolah. Orang-orang satu sekolahan menyebut mereka pasangan "Ken and Barbie"; pasangan yang sangat serasi; Ken siswa yang terkenal cerdas (dan mungkin ganteng) sedangkan Barbie jelas cantik. Hubungan mereka putus setelah mereka lulus SMA; Ken melanjutkan pendidikannya somewhere, Barbie memulai karirnya sebagai model somewhere else.

 

gambar diambil dari sini


Setelah berpisah beberapa tahun, mereka bertemu lagi dalam reuni.

 

"Do you think they will be in love with each other again?" tanya Prof. Hall.

 

Aku menjawab, "No. They have grown up; for sure, they are growing up in two different ways although maybe not contradictory."

 

Ada yang bilang, lelaki itu makhluk visual; no matter what mereka akan lebih tertarik pada perempuan yang cantik jelita walau mungkin intelegensianya pas pasan. Namun Prof. Hall beda. 'His' Barbie sudah nampak sebagai sesosok makhluk yang membosankan karena yang di kepalanya melulu hanya tentang penampilan fisik, ini erat kaitannya dengan kehidupannya sehari-hari sebagai model. Bagi Barbie, Ken pun nampak membosankan karena tidak bisa mengerti cara berpikirnya, plus Ken menjelma sebagai seseorang yang 'nerdy'.

 

Berbekal dari kisah ini, juga dari kisahku sendiri, aku tidak terlalu berharap lebih saat bertemu (lagi) dengan kawan lama. Puluhan tahun terpisah, kita 'berkembang' ke arah yang kita pilih sendiri, belum tentu kita akan 'nyambung' seperti dulu. Apalagi sejak pilpres tahun 2014, Indonesia 'nyaris' terbagi menjadi dua, cebong dan kampret, lol. Atau, eh, tiga ya? Kelompok ketiga adalah pengolok-olok cebong dan kampret. Lol.

 

PT56 15.15 06-Aug-2020