Search

Thursday, August 22, 2019

Nostalgia




Beberapa bulan lalu setelah lelah browsing beberapa barang yang kita butuhkan di dua toko buku yang letaknya tak berjauhan, kita beristirahat di satu kedai teh yang terletak di satu area dengan satu toko buku yang kita kunjungi. Sembari menunggu pesanan kita datang, aku membuka plastik buku yang barusan kubeli, untuk mengecek bahwa buku yang baru kubeli memiliki halaman yang lengkap. Tentu sambil kita berdua lanjut ngobrol.


Waktu itu hari Jumat, menjelang pukul 11.00 siang. Tak lama kemudian aku mendengar suara puji-pujian dari masjid terdekat, yang terletak di area Simpang Lima. Suara puji-pujian itu dengan serta merta membawaku kembali ke ingatan ketika masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah. Dulu, saat duduk di bangku SD, aku sering ke masjid itu, kadang bersama kawan sekolah, kadang bersama keluarga. (Waktu SD, libur sekolahku hari Jumat.)


Ingatan ke masa kecil ini membuatku merasa nyaman. Nampaknya setelah puluhan tahun berlalu, puji-pujian yang sama masih diputar di masjid yang sama, menjelang waktu Shalat Jumat.


Kemudian aku bercerita kepada Ranz tentang hal ini. Bahkan aku ingat ketika duduk di bangku kuliah S1, satu kali diajak berkunjung ke rumah seseorang (entah oleh siapa) yang rumahnya terletak di satu gang tak terlalu lebar, dimana ada masjid di dekatnya. Aku juga mendengar suara puji-pujian yang sama.


Hal ini mengingatkanku pada satu masa dulu ingin memiliki rumah yang terletak tak jauh dari masjid.


You can imagine, Ranz pun melengak keheranan mendengarnya. Nana, si agnost pernah ingin tinggal di rumah yang tak jauh dari masjid? Lol. Bukannya banyak orang yang komplain dengan suara-suara yang disambung dengan TOA dari masjid yang mengganggu kenyamanan, entah tidur malam hingga menjelang Subuh di pagi hari, hingga istirahat siang (afternoon nap).


Hal ini membuatku mencoba menganalisis rasa itu. Inilah hasilnya:


Yang paling penting adalah suara yang melantunkan puji-pujian maupun adzan itu merdu, jadi enak didengar. Yang kedua mengapa terbersit rasa damai nan syahdu ketika mendengarnya tentu karena nada suara-suara itu sangat familiar bagi telingaku ketika kecil, masa kecil yang biasanya membahagiakan bagi banyak orang. Hanya itu.


Mengapa jika aku mendengar puji-pujian maupun adzan dari masjid dekat kos Ranz – jika aku sedang solitaire butuh menyendiri disana berjam-jam – aku merasa terganggu (hingga kadang aku memilih memasang earphone sambil mendengarkan lagu) karena (1) suaranya sember (2) nadanya ga ngalor ga ngidul. Apalagi tajwidnya.


Ouw em ji … ternyata hanya sesimpel itu! Lol.


LG 15.15 22-Aug-2019

Tuesday, August 20, 2019

Berbusana pantas

pic diambil dari link ini



Di satu grup parenting yang (tak sengaja) saya ikuti, beberapa saat yang lalu ada seorang perempuan yang menulis status, meminta saran bagaimana mengatasi anak perempuannya yang berkeinginan mengenakan celana pendek ke sekolah di hari Jumat, karena kebetulan peraturan sekolahnya para siswa bebas mengenakan baju apa saja. Si perempuan ini melarang anaknya mengenakan celana pendek karena menurutnya itu tidak pantas. Sementara sang anak bersikeras ingin melakukannya dengan alasan kawan-kawan sekolahnya melakukan hal yang sama. Ibu anak ini pun bersitegang tentang hal ini. Si ibu khawatir jika dia terus menerus melarang anaknya, satu saat nanti, ketika (mungkin) terlepas dari kontrol orang tua, si anak akan melanggar larangan sang ibu. You know, sifat khas remaja adalah melanggar aturan.


Curhatan ini mengingatkan saya pada pengalaman saya ketika mengajar di satu sekolah swasta yang mengacu ke kurikulum internasional. Sekolah ini pun membebaskan anak-anak dari seragam di hari Jumat. Banyak anak perempuan dari SD hingga SMA yang mengenakan celana pendek.


"Praktis dan nyaman Miss," ini adalah alasan yang selalu mereka kemukakan.


Mungkin karena saya juga perempuan, bagi saya pakaian mereka biasa-biasa saja. Entah kalau guru laki-laki ya? Namun sepengamatan saya selama bekerja disana, tidak pernah saya mendapati pelecehan seksual kepada anak-anak perempuan 'hanya' karena mengenakan celana pendek. Satu hal yang saya angkat topi disana adalah terbangunnya kultur saling menghormati: apa pun pakaian yang kamu kenakana, entah terbuka maupun tertutup, kamu berhak saya hormati. Memilih baju yang kamu kenakan itu adalah hak prerogatifmu secara penuh.


Itulah sebabnya saya pun menulis komen bernada mendukung si anak. Jika seorang anak merasa nyaman di sekolah, minimal dengan mengenakan busana yang mereka pilih sendiri, dia tidak akan mogok berangkat sekolah. They will feel at home at school.


Namun banyak komen lain yang bernada mengecam, yang intinya adalah "kamu adalah baju yang kamu pakai." misal ada komentar, "jika kamu ingin laki-laki menghormatimu (atau tertarik padamu) karena apa yang ada dalam otakmu, jangan undang laki-laki untuk lebih fokus pada kulit luarmu (alias busanamu yang terbuka."


Well, laki-laki memang (kebanyakan) makhluk lemah kan ya. Disodori daging langsung deh lupa isi otak. Kekekekekeke …


Komen-komen yang lain pun kemudian menjalar kemana-mana, tidak hanya dibatasi mengenakan celana pendek ketika berangkat sekolah, namun juga bercelana pendek ke tempat-tempat lain, misal ke mall. Salah satu komen menulis, "Jangan salahkan laki-laki yang menyuit-nyuitin kamu di mall karena pakaianmu yang mengundang." Dan komen sejenis ini ditulis oleh perempuan-perempuan, tidak hanya laki-laki yang ingin disadari bahwa mereka harus 'diselamatkan' dari godaan syahwat.


Kembali ke pernyataan saya di atas, laki-laki memang makhluk lemah. Ketika dia dituduh melakukan 'cat calling' mereka akan menyalahkan perempuan. Lol.


Bercelana pendek ke sekolah menurut saya pribadi masih bisa diterima. Lingkungan sekolah itu terbatas, tidak seluas mall, misalnya. Seberapa pun besar sebuah sekolah, anak-anak yang bersekolah di sekolah itu tentu tahu batasan wajar/tidak wajar dalam kultur sekolah. Sedangkan kalau di tempat lain, misal mall, beda lagi kasusnya, menurut saya. Meski, well, sebagai seorang feminis yang mendukung penuh perempuan mau mengenakan busana apa saja, seharusnya ya bebas juga lah.


"Ajari anak laki-lakimu menutu matanya dari pandangan yang sekiranya akan menggodanya (secara syahwat)." ada hadits yang berbunyi begini kan ya? Mengapa perempuan melulu yang harus dikarungi?


Namun, ya, saya setuju dengan komen yang menyarankan untuk berdiskusi antara ibu dan anak mengenai batasan busana yang pantas/tidak pantas ketika berada di satu tempat. Diskusi yang nyaman untuk kedua belah pihak, bukan 'diskusi' yang bersifat 'mengancam', misal dengan mengatakan, "jangan salahkan laki-laki jika dia menggodamu karena kamu bercelana pendek." bull shit ini.


  1. B.
    mendadak saat menulis ini, saya rindu saat berjalan-jalan di Bali bersama siswa-siswa SMA saya -- laki-laki / perempuan -- saat kita field trip besama. Seperti anak-anak, saya pun bercelana pendek waktu itu. Ketika berkunjung ke pura, pihak pura meminjami kita kain batik, yang berarti kita tidak dilarang mengenakan celana pendek kan? Karena mereka sudah mempersiapkan solusi agar kita nampak pantas di depan altar pura.


LG 11.30 19-Aug-2019

Friday, August 02, 2019

Perempuan dan Usia




Seorang kawan fb saya tengarai adalah pemuja perempuan karena dia begitu perhatian pada apa-apa yang biasa dirasakan atau dipikirkan oleh perempuan. Di salah satu status, dia menulis bahwa perempuan paling tidak suka ditanya tentang berat badan dan usia. (sounds familiar? Hihihihi …)

Well, di medsos, tidak semua perempuan ingin menyembunyikan usia mereka sih. Saya mengenal beberapa kawan perempuan yang tidak sungkan menyebut usia mereka. Namun tentu lebih banyak lagi perempuan yang memilih untuk tidak berbicang tentang usia. :D

Beberapa hari lalu ada seseorang ngeshare satu link berita di satu grup yang saya ikuti. Berita itu membahas tentang para selebriti perempuan yang nampak jauh lebih muda ketimbang usianya.

Jadi ingat beberapa dekade lalu, (saya masih duduk di bangku SMP) beberapa kawan perempuan di sekitar saya membahas perempuan-perempuan yang nampak kinclong padahal kalau diperhatikan wajahnya biasa saja, tidak cantik-cantik amat. Kesimpulan kita waktu itu -- tentunya juga sudah banyak diketahui umum -- adalah uang banyak bisa membantu perempuan (lebih cenderung perempuan ya ketimbang laki-laki) yang sebenarnya biasa saja nampak lebih cetar. Untuk perawatan ke salon untuk 'sekedar' perawatan kulit dll dan beli skin care butuh dana ga sedikit kan ya.


Postingan itu menarik saya simak bukan lantaran isi beritanya. Melainkan komen-komen yang ada di thread tersebut. Banyak perempuan yang menyertakan foto diri dan menyatakan usianya berapa. Mengherankan ini buat saya. Lha biasanya perempuan-perempuan itu menyembunyikan usia, lha kok kali ini mereka nampak berlomba-lomba memamerkan usia mereka berapa disertai dengan foto diri, dimana banyak foto itu terlihat dijepret menggunakan aplikasi beauty plus atau minimal menggunakan hp yang memiliki kamera 'jahat'. Kekekekekekeke …

Seorang perempuan yang beberapa bulan lalu sempat jadi salah satu teman di friendlist saya, dan sempat saya kepoin identitas dirinya, juga menulis komen, menyertakan satu foto, dan menulis, "ini saya, usia 50-an ke atas." lhah saya heran, lha wong di akun fbnya dia menulis tahun lahirnya tahun 1975. entah yang mana yang dia tulis dengan jujur: di komen di thread itu, atau di akun fbnya? Lol.

Well, yes, kadang saya memang se'selaw' itu. Kekekekekeke …

LG 16.16 02-08-2019


N. B.:

keterangan foto

yang di atas foto tahun 2008, yang di bawah tahun 2006, saat saya sering "dituduh" berusia di bawah 30 tahun, padahal Angie, anak saya sudah duduk di bangku SMA kelas 11 (2008) dan SMP kelas 9 (2006) hingga tuduhan berikutnya adalah, "kamu hamil waktu masih duduk di bangku SMA ya?" haghaghaghag ...