Search

Saturday, November 28, 2020

Brainwashing

 


Di satu grup 'telegram' yang saya ikuti, seorang perempuan curhat bahwa dia memiliki pandangan yang berbeda dari suaminya tentang satu ormas yang tidak perlu saya sebut namanya. Tatkala sang ketua ormas itu minggat ke satu negara di Timur Tengah, 'persengketaan' perempuan ini dengan sang suami menurun drastis, meski dia masih kadang memergoki sang suami membaca buku-buku yang meneguhkan pandangannya pada ormas satu itu sebagai satu kebenaran tunggal.

 

 

Tatkala sang ketua yang berbadan besar itu (akhirnya) kembali ke Indonesia, perseteruan suami istri ini kembali memanas. Si istri berkeyakinan bahwa mudah untuk memilah pemuka agama yang sesungguhnya dengan yang hanya mengaku-ngaku saja, yaitu dari apa yang dia katakan. Jika yang dia katakan merugikan orang lain, bahkan cenderung merusak masyarakat, ya berarti dia hanya mengaku-ngaku saja. "Bahkan anak saya jauh lebih mudah diberi pemahaman ketimbang ayahnya."

 

 

Perseteruan ini akhirnya membuat suami istri ini berpisah rumah. Sang istri yang sudah tidak tahan dengan perilaku sang suami mengajak anaknya untuk pergi meninggalkan sang suami yang kembali 'gila' setelah sang ketua berbadan besar (juga bermulut besar) kembali.

 

 

Hal ini mengingatkan saya pada seorang eks siswa saya, sekitar 12 tahun yang lalu. Saya punya seorang siswa yang nampak ogah-ogahan jika berangkat sekolah. Dia hampir tidak pernah datang ke sekolah on time. Setiap pagi selalu ada drama dimana sang ibu harus merayu sang anak untuk berangkat sekolah. Dia selalu ketinggalan mata pelajaran yang pertama.

 

 

Di sekolah si anak yang biasa duduk di barisan paling depan, di sisi paling kiri selalu sibuk menggambar, nampak tidak peduli sang guru sedang menjelaskan tentang sesuatu, meski sebenarnya telinganya mendengarkan dengan seksama. Lebih sering diam, tidak banyak bicara pada yang lain, dan sama sekali bukan seseorang yang troublesome, hanya ya itu tadi, dia susah diajak berangkat sekolah tepat waktu, dan selalu diam nyaris sepanjang hari.

 

 

Satu kali ketika ada agenda parent-teacher interview, sang ibu curhat. Anaknya itu dulunya ceria, sociable hingga satu kali dia dimasukkan ke satu sekolah yang berbasis agama. Dia yang sejak kecil diajarkan untuk selalu beragama dengan baik, bertutur sapa dengan sopan, berbagai rezeki pada yang kurang dengan ikhlas memiliki pandangan bahwa semua orang yang hidupnya berdasarkan pada agama adalah sebaik-baik manusia, di sekolah itu melihat sesuatu yang bertolak belakang dari apa yang dia yakini. Dia tidak melihat guru yang sabar ketika melihat ada siswa yang mungkin kedapatan sedang ngobrol: sang guru melempar entah penghapus entah apa ke kawannya. Dia melihat orang-orang yang di matanya seharusnya memberi contoh bagaimana menjadi manusia yang baik karena memahami agama dengan semestinya ternyata jauh dari apa yang dia bayangkan. Dan hal ini membuatnya stress berat.

 

 

Dia tidak mau berangkat sekolah selama nyaris satu tahun. Setelah dipindah ke sekolah dimana saya menjadi salah satu guru dia mau berangkat sekolah, meski tidak pernah datang on time, meski selalu ada hari dimana dia tidak masuk dalam satu minggu. Meskipun begitu, itu sudah termasuk peningkatan bagi orangtuanya karena si bocah (waktu saya jadi wali kelas dia duduk di kelas 10) mau berangkat sekolah setelah mogok sekolah selama hampir satu tahun di sekolah sebelumnya.

 

 

Mungkin dia bukan satu-satunya orang yang mengalami hal ini. Pertanyaan saya hanyalah: jika seorang anak yang masih berusia belasan tahun saja bisa mengerti bahwa orang yang mengerti agama seharusnya orang yang welas asih kepada yang lain, mengapa orang-orang tua itu justru begitu beringas pada yang lain, meski mereka berafiliasi pada ormas berbasis agama?

 

 

PT56 08.47  25/11/2020

 


Sunday, November 08, 2020

P a s s i o n

 


Beberapa waktu lalu seorang kawan medsos menulis tentang 'passion'; dia memberi definisi passion sebagai sesuatu yang kita lakukan karena kita suka; kita tetap akan melakukannya meski (1) kita tidak dibayar (2) butuh waktu dan energi untuk melakukannya.

 

Seketika aku berkaca pada diriku sendiri. Satu kali duluuu aku pernah berkata bahwa aku ingin mengajar/berbagi ilmu dengan yang lain sampai pada hari terakhirku menghembuskan nafas. Waktu aku kuliah di program studi "American Studies" di Universitas Gadjah Mada, ada seorang dosen senior yang masih mengajar, tahun itu usianya mencapai angka 70 tahun dan masih nampak sehat dan bahagia duduk di depan kelas di hadapan sekian puluh mahasiswa. Dia langsung menjadi role model bagiku.

 

Mengajar

 

Kupikir pasti 'teaching' adalah passion-ku.

 

Sekian tahun berlalu. Sekarang aku mulai berpikir-pikir untuk mengaku bahwa teaching is my passion. Apakah (1) aku akan tetap mengajar meski tidak dibayar? (2) akankah aku menghabiskan waktu dan energi tanpa dibayar untuk berbagi ilmu dengan orang lain?

 

Pandemi covid 19 yang ternyata berlarut-larut ini membuatku berpikir ulang akankah aku tetap mengaku bahwa teaching is my passion. Sekian bulan aku menganggur di rumah, tidak ada kelas yang kuampu, dan aku menjadi malas ngapa-ngapain; apalagi cukup dengan 'rebahan' aku bisa menjadi pahlawan kesehatan. Hihihi …

 

 

Setelah berpikir-pikir, aku sampai ke kesimpulan (sementara): bahwa mengajar itu kan tidak harus berarti kita pergi ke satu tempat, kemudian bertemu dengan sejumlah orang yang menjadi siswa/mahasiswa. Yang penting adalah terjadi transfering knowledge to others. Sebelum pandemi, aku cukup sering bertemu dan berkumpul dengan kawan-kawan. Saat-saat demikian itu, di tengah-tengah obrolan, akan sangat mungkin terjadi kita saling bertukar informasi, bisa jadi sampai ke pengetahuan ini itu itu ini. My main interest sih jelas tentang kesetaraan jender dan spiritualitas; dua hal yang dulu (saat mengampu kelas 'conversation' dimana kadang aku memberlakukan 'free topic to discuss') sering juga aku jadikan pembahasan.

 

Namun, jika teaching ini memasukkan syarat pergi ke suatu tempat, membutuhkan waktu sekian menit/jam, dan tidak dibayar, apalagi perginya ke satu institusi resmi, ya aku ga mau dong ya. Hihihi …

 



 

Menulis

 

Kawan medsos yang kusebut di paragraf pertama kemudian menyebut bahwa menulis adalah passion-nya. Dia akan tetap menulis sampai kapan saja, meski tidak dibayar.

 

Ahaaa … kayaknya itu cocok buatku!

 

Pertama kali membuat blog di akhir tahun 2005, di satu situs yang kemudian hilang. Tentu aku menulis ini untuk membagikan apa yang ada di otakku kepada pembaca. Saat itu lumayan banyak orang yang membaca tulisanku (situs ini ber-home-based di England) dan menulis komen. Tentu aku senang sekali. Meski aku tidak dibayar, meski untuk mengunggahnya di blog aku kudu ke warnet, mengeluarkan biaya sekian ribu rupiah per jam (masih jarang, atau mungkin nyaris belum ada wifi dimana-mana), menanggung resiko mungkin disket bakal terkontaminasi virus, lol.

 

Mungkin karena seperti kata Charlotte Perkins Gilman, seorang penulis Amerika yang lahir di abad 19, bahwa "writing is cure", aku menemukan kepuasan tersendiri setelah menyelesaikan satu tulisan. Entah apakah akan ada yang membacanya, aku tidak peduli. Dan jelas aku tidak peduli apakah aku dibayar atau tidak, aku akan tetap menulis.

 

Saat aku malas 'mempekerjakan' otak untuk menulis sesuatu yang 'serius' yaaa minimal aku akan menulis pengalamanku bersepeda kesini kesana kesitu kemari. Pokoknya menulis, kemudian mengunggahnya di blog atau media sosial lain.

 



Bersepeda

 

Selain menulis, aku berpikir bersepeda itu juga passion bagiku. :D

 

Beberapa kali ketika dolan bersepeda antar kota antar propinsi dengan Ranz, aku bertemu orang yang 'menginterogasi' kegiatan kita bersepeda berhari-hari, yang intinya adalah bagaimana mungkin seseorang bisa dolan berhari-hari di tanggal-tanggal yang tidak berwarna merah, dan nampak nyantai, apakah kita dibayar untuk itu? Jadi, pekerjaan kita adalah bersepeda dari satu kota ke kota lain, dari satu propinsi ke propinsi lain. Dan jika dibayar, siapa yang membayar? Untuk apa?

 

Menghadapi orang-orang seperti itu, biasanya aku dan Ranz Cuma senyum-senyum saja. Tapi saat kita hanya berdua dan memperbincangkan tentang hal itu, kita akan tertawa, namun sembari berharap, "Kapan kita beneran dibayar hanya untuk sepedaan?"

 

Nah, karena kita bersepeda dengan suka cita, tidak dibayar, untuk kemudian mengabarkan pada dunia bahwa salah satu cara menikmati hidup adalah bersepeda dan mengenali kota-kota yang kita lewati dari atas sadel sepeda, berbagi foto-foto lokasi yang eksotis dan cantik, yang berarti juga berbagi kebahagiaan dengan mereka yang membaca kisah kita atau melihat foto-foto hasil jepretan Ranz (mostly), bisa kan jika kukatakan bahwa bikepacking is also my passion?

 

Memasak

 

Akhir-akhir ini, gegara pandemi dan aku menjadi pengangguran full time, lol, entah mengapa aku mulai iseng memasak masakan yang sebelum pandemi belum pernah kumasak. Misal: pempek, selat Solo, ayam rica, ayam betutu, capcay, sup jagung, dll. Dan … yang bahagia dengan kegiatanku yang baru ini tak lain dan tak bukan tentu Angie, anakku. Setiap hari dia membawa bekal makan siang ke kantor, dan selepas lebaran tahun 2020, ibunya kian bervariasi memasak untuknya, ga melulu hanya sup sosis, sosis goreng, ayam goreng dan sambal bawang, tumis buncis. Hahahah …

 

Apakah memasak bisa menjadi passion-ku juga? Well, mungkin saja, tapi tentu hanya untuk keluargaku, terutama untuk Angie. Untuk orang lain? Hmmm … pikir-pikir dulu, karena aku ga pede dengan masakanku, eh, belum pede. Hahahahahah … eh, kalau pun pede, mungkin aku ga akan seantusias jika dibandingkan dengan harus bersepeda, harus menulis. Hohoho …

 

Jadi?

 

Yaah … kesimpulannya adalah bahwa passion-ku itu menulis dan bersepeda. Yeay. :D

 

PT56 18.04 08/11/2020

 


Daddy's princess

 


"Every girl may not be the queen to her husband,
but she is always a princess to her father."

 

Waktu 'menemukan' meme ini, aku ingat seorang kawan (laki-laki) yang nampak memiliki hubungan yang begitu romantis dengan anak perempuannya. Aku juga ingat seorang teman sekolah dulu yang juga memiliki pengalaman yang mirip. Kemudian aku share meme itu di satu grup alumni, postingan itu mendapatkan 'reaction' lebih dari 200, dan puluhan komen yang semua mendukung pernyataan itu. Bahkan ada satu komen yang mengatakan bahwa dia memiliki 3 anak perempuan, dan semuanya adalah princess baginya.

 

Hubunganku dengan almarhum ayahku dulu tidak seromantis kawan sekolah yang kutulis di atas. Ayahku mungkin termasuk tipe orangtua jadul yang membuatnya merasa perlu menjaga citra di depan anak-anaknya. Begitu aku mengingat beliau. Tapi tentu aku tidak tahu bagaimana perasaan beliau terhadapku, anak perempuan pertamanya. (kakakku 2 laki-laki, yang satu meninggal di usia 5 bulan, yang satu meninggal tahun 2019, di usia 53 tahun. 2 adikku perempuan semua.) Meskipun begitu, aku ingat, cerita ibuku bahwa ayahku begitu bahagia ketika tahu bahwa anak ketiganya perempuan, ketika menggendongku pertama kali, beliau memanggilku, "Nona." mungkin begitu kaum laki-laki Gorontalo memanggil anak perempuan pertamanya? Ibuku yang 'mengubah' nama NONA menjadi NANA karena katanya satu saat nanti setelah dewasa, dan aku menikah, mosok akan dipanggil, "Ibu Nona", atau 'Nyonya Nona". Hihihi …

 

Tidak banyak yang kuingat dari hubunganku dengan ayahku.

 

Waktu SD -- kelas 1, 2, 3 -- ayahku yang mengajariku dan kakakku membaca Alquran. Aku yang dikaruniai otak lebih encer dibanding kakakku bisa dengan mudah membaca huruf-huruf hijaiyah itu, maka ayahku nampak tidak pernah emosi ketika mengajariku, namun beliau sering nampak emosi ketika mengajari kakakku. Ah … jadi ingat, waktu kecil dulu aku dan kakakku akrab sekali. Jika kakakku dimarahi ayah, aku yang menangis, sampai beliau bingung, yang dimarahi kakaknya kok yang nangis adiknya. :)

 

Ayahku juga yang mengajari Matematika saat masih SD. Beliau mengajari aku dan kakakku, membuatkan soal-soal cerita, dll. Aku selalu dengan mudah mengerjakannya, sedangkan kakakku harus mati-matian mengerjakannya. (Padahal beliau sibuk bekerja, tapi masih sempat mengajari membaca Alquran dan Matematika.)

 

Waktu lulus SD (MI Al-Khoiriyyah 1 Semarang), ayahku menawari aku melanjutkan sekolah di sekolah yang sama atau ke Muhammadiyah, seperti kakakku. Aku tidak mau satu sekolah dengan kakakku, lol, maka aku memilih melanjutkan ke SMP (Madrasah Tsanawiyah) Al-Khoiriyyah, ayahku mengiyakan. Namun ketika ada seorang kawan mengajakku mendaftar ke SMP N 1 Semarang, aku bilang ke ayahku, dia langsung antusias, dan membolehkanku. Syukurlah aku keterima, ga jadi balik ke sekolah lama, lol.

 

Saat duduk di bangku SMP, aku ikut kegiatan ekstra kurikuler karate (karena terinspirasi tokoh2 di komik milik Kho Ping Hoo yang dulu disewa oleh kakak sepupuku yang pernah mondok di Gontor, namun selama libur Ramadhan tinggal di Semarang). Ketika ada tes kenaikan (aku ingat dulu diadakan di STM Pembangunan, kadang di masjid Baiturrahman) ayahku yang mengantar dan menunggu sampai selesai.

 

Saat lulus SMP, dan akan mendaftar SMA, aku ingin melanjutkan ke SMA N 3, satu sekolah favorit. Ayahku menawar, "Tidak ke SMA N 6 saja?" beliau khawatir jika aku tidak keterima di SMA N 3 karena setahun sebelumnya, kakakku gagal diterima di sekolah yang terletak di seberang balaikota Semarang itu. Aku jawab, "Trust me, I know my capability." (eh, tidak dalam Bahasa Inggris ding, dalam Bahasa Indonesia saja, :) ) dan, ya, aku diterima.

 

Waktu akan penjurusan menjelang semester 2, ayahku menyarankan aku masuk ke IPS, diam-diam beliau ingin aku kuliah di Fakultas Hukum. "Jadilah hakim yang adil, seorang hakim kaki kanannya ada di surga, kaki kirinya ada di neraka, jadi terserah Nana, mau memilih seorang hakim yang adil atau sebaliknya." namun aku tidak tertarik. Kemudian ayahku menawar, "Ambil Ekonomi saja, Nana ga ingin bekerja di Bank kayak Papi?"  Tapi aku yang keras kepala tetap ingin masuk jurusan Bahasa. Dan ayahku yang demokratis membiarkan aku masuk jurusan yang aku idamkan.

 

Saat dapat formulir pendaftaran PMDK, diam-diam aku mendaftar di Universitas Gadjah Mada Fakultas Sastra jurusan Sastra Inggris. Aku diam-diam melakukannya karena khawatir orangtua tidak akan mengizinkanku keluar kota. Namun setelah ada pengumuman resmi aku diterima di UGM, waktu pulang dari sekolah, aku langsung ke kantor ayahku, mengabarinya, "Nana keterima di UGM." dan beliau bengong, hihihi. Tentu aku jauh lebih dekat dengan ibuku, namun saat itu, entah mengapa, aku lebih memilih mengabari ayahku terlebih dahulu, baru pulang ke rumah. Sorenya, saat ayah pulang dari kantor, ibuku mengabari, "Nana keterima di UGM.' ayahku dengan tenang menjawab, "Sudah tahu, tadi siang Nana ke kantor, ngabari." hihihi …

 

Tanpa aku tahu, 2 tahun setelah aku lulus SMA, ayahku pensiun. Seperti orang-orang lain yang pensiun, tanpa aku tahu, ayahku sebenarnya merasa gelisah akankah keuangannya cukup untuk membiayai 4 orang anak, dengan 1 anak kuliah di luar kota. Yang aku tahu 'hanya' kekhawatiran orangtua anak perempuannya akan kuliah di luar kota. Ibuku sempat bilang, "Ga usah lah melanjutkan kuliah di Jogja. Di Semarang saja." aku beralasan ini itu itu ini. :)

 

Meskipun begitu, saat akan dikarantina selama 2 hari (saat itu, calon mahasiswa yang keterima via PMDK dikarantina selama 2 hari ketika lulusan SMA lain tes masuk perguruan tinggi, yang saat itu disebut SIPENMARU, seleksi penerimaan mahasiswa baru), ayahku yang mengantar ke Jogja. Kita menginap dua malam di rumah (eks) kawan kerja ayah yang pindah ke Jogja.

 

Tahun 1987, ayahku berangkat naik haji sendiri. Waktu seorang sepupu yang sedang kuliah di Jogja bertanya, "Kenapa Tante Ida ga berangkat sekalian bareng Om?" aku jawab, "Karena Mami harus menjaga 3 orang anak di rumah," sepupuku bilang, "Loh, kan bisa bilang sama saya. Nanti saya akan ke Semarang untuk menjaga adik-adik."

 

Tahun 1988 gantian ibuku yang berangkat naik haji. Saat ini ayahku sudah pensiun. Kebetulan waktunya berbarengan dengan libur panjang semester genap, maka selama ibuku pergi, aku di Semarang. Ayahku mengajariku menyetir mobil, mencarikan SIM A untukku. Hampir tiap pagi kita pergi ke pasar belanja, aku benar-benar menggantikan posisi ibuku di rumah selama satu bulan lebih.

 

Tahun 1989 bulan September ayahku meninggal, setelah dirawat di rumah sakit selama kurang lebih satu minggu, itu adalah pertama kali ayahku sakit dan dirawat di rumah sakit. Saat pertama kali dibawa ke rumah sakit, beliau bilang, "Tidak usah ngabari Nana, nanti dia tidak bisa konsentrasi kuliah." namun  ibuku akhirnya menulis surat mengabari (belum ada telpon di rumah, juga belum ada telpon di rumah kos yang kutinggali) bahwa ayahku masuk rumah sakit. Surat dikirim hari Jumat, sampai kos hari Sabtu siang. Setelah membaca, aku langsung pulang ke Semarang. Tidak ada yang menunggu beliau di rumah sakit karena dengan halus beliau mengusir ibu dan kakak adikku saat bezoek di sore hari, "Sana kalian pulang. Nanti kalau Nana pulang, rumah dalam kondisi terkunci, Nana tidak bisa masuk rumah," demikian cerita ibuku.

 

Aku tidak punya firasat apa pun, jadi setelah sampai Semarang, aku tidak merasa perlu harus langsung ke rumah sakit untuk menjenguk ayahku. Kebetulan aku sampai rumah tak lama setelah ibu dan kakak adikku sampai rumah. Ketika kita sedang ngobrol-ngobrol di ruang makan, tahu-tahu ada utusan dari RS Telogoredjo datang, meminta kita ke rumah sakit. Ayahku 'nglimpe' kata ibuku. Beliau ingin istri dan anak-anaknya pulang karena beliau ingin pergi tanpa memandang wajah penuh isak tangis di sisinya. Mungkin.

 

Mungkin yang memiliki waktu-waktu 'romantis' dengan ayahku hanya aku, dibanding kakakku dan dua adikku. Kakakku mungkin tidak merasa begitu nyaman dengan ayahku karena pengalaman waktu kecil dulu, ayahku nampak lebih sayang kepadaku dibanding dia. Sedangkan dua adikku masih lebih kecil, apa lagi adik bungsuku, tidak banyak yang dia ingat dari ayahku; saat ayah kita meninggal, dia baru berusia 12 tahun.

 

Mungkin saja ayahku memandangku sebagai his princess, meski beliau tidak seromantis ayah kawan SMAku.

 

Al fatihah, Papi. Rest in peace forever. I love you.

 

PT56 18.48 06/11/2020