Search

Monday, December 19, 2011

Gowes Napak Tilas ke Stasiun Kedungjati


18 Desember 2011
sebelum berangkat

Mas Nasir didampingi Lala memimpin doa sebelum berangkat

Bermula dari diunggah kembali sebuah foto dari gowes bareng ke Stasiun Kedungjati kurang lebih tiga tahun lalu oleh Mas Nasir, akhirnya pada tanggal 18 Desember 2011 kemarin aku bersama Mas Nasir dan Mas Tunggal pun jadi bernostalgia kembali, menyusuri jalan sempit padat yang diakhiri dengan tanjakan yang meskipun tidak 'killing' cukup melelahkan. Kita tidak hanya bertiga tentu saja, namun juga disertai beberapa rekan goweser yang lain: my loved one, Ranz, Tami yang mengajak serta Yuni, Andra yang selalu semangat menyambut setiap ide gowes bareng, Eko Widi yang dengan tega meninggalkan sepupunya Asrul, tak ketinggalan Dany yang juga selalu penuh semangat menyambut ajakan gowes tour, meski sering datang terlambat ke meeting point dan mengejar rombongan, Om Topo yang selalu mengajak serta juniornya yang nampaknya bakal jadi pembalap di masa depan, pak guru Anton yang mengaku gowes ini adalah gowes terjauh setelah sempat mengalami cidera dan tidak bisa gowes selama berbulan-bulan, beserta beberapa lain yang tidak bisa kusebut satu-satu. :) Salah satu peserta yang membuat takjub para partisipan lain adalah dik Lala, putri kesayangan Mas Nasir yang masih duduk di bangku kelas 2 SD, meski harus terhenti di tengah perjalanan.

Aku dan Ranz sampai di meeting point sekitar pukul 05.20 dimana Tami sudah duduk manis menunggu yang lain. Dia bilang khawatir ketinggalan seperti ketika gowes ceria menuju Kudus maka kali ini dia berangkat sangat awal. Di samping Tami sudah ada seorang newbie di kelompok Komselis, Teguh yang baru saja mendarat di Semarang, lengkap dengan tas backpacknya yang terlihat cukup berat di punggungnya.

Setelah ngobrol ngalor ngidul sembari menunggu kedatangan peserta lain, akhirnya kita setuju untuk berangkat sekitar pukul 06.10. Diawali dengan doa bersama yang dipimpin oleh Mas Nasir, diikuti dengan sedikit latar belakang mengapa gowes tour ini diadakan (napak tilas gowes tour tiga tahun lalu), akhirnya kurang lebih 23 goweser berangkat bersama dari meeting point. (3 orang menaiki sepeda balap, yang nantinya tidak jadi sampai ke tujuan). Jika 3 tahun lalu semua mengendarai mtb, gowes kali ini didominasi oleh sepeda lipat.Pak Eko ikut bergabung dengan rombongan di perjalanan.

Track memang tidak 'seramah' track menuju alun-alun Demak dimana jalanan lebih lebar, meski sama-sama dipenuhi oleh kendaraan besar, seperti bus dan truck. Selain itu, ada beberapa tempat dimana jalan tidak mulus, berlobang, dan sebagainya, sehingga lebih membutuhkan perhatian dan konsentrasi ekstra.

dalam perjalanan

kita tertib banget dalam perjalanan, karena jalan yang sempit :)

Aku dan beberapa peserta yang lain sempat berhenti di sebuah SPBU setelah melewati sebuah rel kereta api dimana kondisinya sangat berbahaya bagi mereka yang mengantuk. :) Mas Tung dan Ranz sempat buang hajat, sementara kita menunggu yang lain yang ada di belakang, terutama Mas Nasir dan si kecil Lala. Sebagian yang lain telah berada di depan. Di tempat inilah kita mendapatkan informasi bahwa salah seorang yang menaiki sepeda balap, ban sepeda bocor. Lewat telpon Tami mendapatkan informasi bahwa mereka mengizinkan kita untuk meneruskan perjalanan. Ada kemungkinan mereka tidak akan menyusul. Maka tiga peserta ini tidak sampai finish di Stasiun Kedungjati.

setelah melewati sekian tanjakan :)

Meskipun track tidak begitu bersahabat -- sempit dan jalan yang rusak di sana-sini -- perjalanan lumayan lancar sampai kita mulai memasuki track tanjakan. Setelah tenaga lumayan terforsir selama kurang lebih 30 kilometer perjalanan, kita diharuskan menaklukkan tanjakan. :) Maka perjalanan pun mulai tersendat. :-D untunglah pemandangan di kanan kiri jalan lumayan menyejukkan mata, ga kalah dengan pemandangan yang bisa kita lihat dalam perjalanan menuju Banyumeneng Park alias BMP (menurut pandangan seorang Nana Podungge).

Dany berusaha menaklukkan tanjakan :)

istirahat di tengah perjalanan

Sesampai di pasar Kedungjati, sebagian besar dari kita tidak langsung menuju stasiun, namun mampir terlebih dahulu untuk menyicipi pecel gendar. Sempat terjadi percakapan dengan seorang penjual di pasar tersebut bahwa seseorang sedang mencari seorang menantu laki-laki. :-D Nampaknya sih yang waktu itu dimaksud adalah Teguh. hahahaha ...

di pasar

di pasar

Kita sampai di stasiun Kedungjati kurang lebih sekitar pukul 11.15 (molor berapa jam yaaa dari perkiraan? :-D) Setelah memuaskan diri bernarsis ria di hadapan kamera masing-masing, kita setuju untuk meninggalkan lokasi sekitar pukul 12.00. Mas Nasir telah mencarter sebuah truck yang terus mengiringi dari Semarang, (yang di perjalanan sempat dimanfaatkan untuk loading, pertama, oleh si mungil Lala, kemudian juga oleh Yuni dan Pak Khudori :-D)

Perjalanan pulang cukup lancar setelah sebelumnya sempat pusing mengatur sepeda di dalam truck dan masing-masing peserta menempatkan diri di dalam truck, agar bisa 'pewe'. :)

Thank you all. Till our next 'biking tour' yah?
di stasiun Kedungjati

di stasiun kedungjati

berjajar menuruti instruksi sang fotografer :)

Personal note:

Perjalanan ini merupakan pengujian diri apakah aku masih payah seperti dulu sehingga seorang Mas Nasir perlu mendorong sepedaku tatkala melewati tanjakan. Aku selalu berkelit karena pada waktu itu aku masih seorang newbie dalam hal pergowesan dan menaiki sepeda mtb yang jika shifter gear kupindah maka rantainya akan lepas. :) Aku ingat di satu tanjakan waktu itu, aku merasa hampir pingsan karena tidak ada asupan cemilan, mana minum sudah habis. :)

Kali ini aku mengendarai sepeda lipat, Snow White, dimana di boncengan aku membawa tas panier yang di dalamnya berisi ... buku (:-P) dan lain-lain yang tidak begitu penting dalam perjalanan ini kecuali tiga botol berisi air mineral yang begitu kusayangi sehingga aku tidak menerima saran Ranz untuk menaruh tas panier dalam truck. :) Praktis kayuhan yang karena rodanya hanya 20 inchi tidak membawaku jauh melesat ke depan :-P plus berat panier ternyata lumayan mempengaruhi kekuatan dengkulku (I got 3 years older than last time :-P) Tentu aku sangat tidak menerima diri jika aku tidak mampu menaklukkan perjalanan ini, apalagi setelah pada bulan September kemarin aku menempuh track yang kurang lebih mirip dan lebih jauh, sekitar 60 kilometer, dari pintu gerbang masuk kotamadya Wonogiri sampai pertigaan Pracimantoro. And I was ok, meski teler, wkwkwkwkwk ... Analisis Ranz adalah, "Meski kamu bilang tas panier itu tidak memberati dengkulmu, in fact, it really did!" Baiklaaaahhh ... :-P

my darling Ranz, thanks for always being my savior :)

Gowes napak tilas ini jauh lebih ringan dibandingkan tiga tahun lalu karena pulangnya kita naik truck. :) Nampaknya kalau pulangnya tidak naik truck, Mas Tung tidak akan ikut gowes kali ini, sudah menyerah kalah sebelum bertanding. hahahaha ... Setelah perjalanan 3 tahun lalu, konon Mas Tung hampir tidak bisa berjalan selama kurang lebih satu minggu. :-D

Btw, busway, ternyata aku memang belum, atau mungkin tidak akan kapok gowes tour seperti ini.



PT28 18.49 191211

Friday, December 02, 2011

Gowes Nekad!


 
Gowes nekad?

Adalah gowes menuju Pantai Nampu Wonogiri (tepat di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur) dari daerah Jongke Solo. Berdua. Aku dan Ranz. Naik sepeda lipat, urbano 3.0 dan pocket rocket.

Nekad karena belum benar-benar tahu lokasinya di sebelah mana. Juga karena ternyata kita berbekal informasi yang tidak sepenuhnya benar. Informasi yang kita terima adalah, “Jarak dari Solo menuju Wonogiri 40 kilometer. Jarak dari Wonogiri menuju Pantai Nampu juga sekitar 40 kilometer. Rute yang dilewati jalannya ‘biasa’ saja,” kata sang pemberi info.

Maka kita pun nyante waktu meninggalkan rumah Ranz pada tanggal 3 September 2011. Jika semula kita berencana berangkat sekitar pukul 06.00 pagi, namun karena sesuatu hal kita baru meninggalkan rumah sekitar pukul 09.00. Estimasi kita adalah: kita butuh sekitar dua atau tiga jam untuk menempuh Solo – Wonogiri. Kita juga membutuhkan waktu yang kurang lebih sama untuk menempuh Wonogiri – Nampu. Maka kita perkirakan kita akan sampai di Nampu sekitar pukul 17.00, paling lambat.

Apa daya ternyata kita terlalu ‘meremehkan’ perjalanan yang akan kita tempuh. Selama perjalanan Solo – Wonogiri memang kita tidak menemui kendala yang berarti, jalan mulus, datar, dan traffic yang tidak terlalu padat. Begitu masuk kota Wonogiri (sekitar pukul 12.00), kita pun disambut dengan tanjakan-tanjakan yang ternyata tidak kunjung usai hingga kita sampai ke tempat tujuan: Pantai Nampu.

Semula aku tidak yakin bahwa Pantai Nampu terletak di balik bukit (gunung?) dimana untuk sampai disana kita harus terus menerus melewati tanjakan. Setelah melewati tanjakan dimana kita melewati waduk Gajahmungkur, dari satu kecamatan ke kecamatan lain, aku selalu berharap bahwa tak akan lagi aku menemui tanjakan.

“Dimanakah jalan turunan yang nantinya akan membawa kita ke arah pantai?” begitu aku terus menerus berbincang pada diri sendiri. Namun harapanku teruslah hanya merupa harapan kosong belaka.  Tak jua ada turunan yang tak segera diikuti tanjakan lagi di ujung depan sana.  Dan sangatlah tidak mungkin aku menyalahkan Ranz yang memberi informasi yang tidak benar.

Kita berdua sarapan pukul 09.15 di Soto Seger Jalan Bhayangkara Solo. Kita sempat mampir ke sebuah warung di pinggir jalan membeli es campur sekitar pukul 12.00 sebelum masuk Kabupaten Wonogiri dari arah Solo. Dan kita tidak makan apa pun hingga menjelang pukul 16.00, kecuali minum air mineral perbekalan kita karena kita masih tetap saja menyimpan harapan untuk segera sampai pantai sebelum matahari tenggelam. Namun ketika pukul 16.00 dan melewati sebuah rumah makan, aku langsung membelokkan sepeda. Aku butuh asupan makanan untuk melanjutkan mengayuh pedal.

Ranz sudah nampak menyesal pada waktu itu karena informasi yang dia berikan kepadaku melenceng. Yah, sudahlah, apa pun yang terjadi, kita harus meneruskan perjalanan.

Sebelum meninggalkan rumah makan, aku sempat bertanya kepada si empunya apakah aku dan Ranz berada di jalur yang tepat. Kita mendapatkan jawaban yang setengah melegakan: kita berada pada ‘track’ yang tepat, namun tanpa informasi jelas seberapa jauh lagi jarak yang masih harus kita tempuh.

Lewat pukul 17.00, mungkin dikarenakan mendung, jalanan mulai gelap. Tetap tak ada tanda-tanda jalan menurun yang mungkin akan membawa kita ke daerah pantai. Aku mulai tak bisa menyembunyikan kecemasan dari roman wajahku.

“Kita cari hotel saja jika ternyata perjalanan kita harus berhenti di satu tempat malam ini,” kataku pada Ranz. Dia langsung mengiyakan. Kondisi tubuh kita sudah payah.

Sesampai di kota kecamatan Pracimantoro sekitar pukul 18.30 dimana kita menemukan sebuah mini market, kita mampir untuk membeli air minum dan sedikit cemilan penambah tenaga. Sembari beristirahat sejenak, duduk di emperan toko, kita ngobrol, menghibur diri. “This is gonna be a very memorable bikepacking experience,” kata kita berdua.

Di perempatan yang letaknya tak jauh dari terminal bus Pracimantoro, aku bertanya kepada seorang polisi di sebuah pos polisi, “Kemanakah arah menuju Pantai Nampu?”

“Ibu mau ke Pantai Nampu? Naik sepeda? Wahhh...” komentarnya. Dia pun memberikan petunjuk belok ke arah kiri. Kita diminta terus saja ambil arah kiri itu sampai sekitar 7 kilometer. Kita akan sampai ke sebuah perempatan lain, yang daerahnya disebut Giri Belah. Ambil arah kanan, kita akan sampai ke sebuah daerah yang disebut Paranggupito. Disanalah kita akan menemukan pantai Nampu.

Dengan sedikit blank, aku mengikuti petunjuk tersebut. Sementara Ranz yang melihat bahwa jalan yang kita lewati bakal tetap merupakan jalan tanjakan turunan, mana tidak terlihat sebuah lampu pun menyala di pinggir jalan, dia memaksaku untuk kembali ke perempatan Pracimantoro, dan mencari hotel. Aku sendiri berharap akan menemukan hotel juga dalam perjalanan menuju ke arah Giri Belah.

“Ga bakal ada hotel di jalanan yang sunyi senyap tanpa lampu seperti itu,” kata Ranz. Ngeyel.

“Kalau kita balik lagi ke arah perempatan dimana ada pos polisi tadi, kemudian polisi itu melihat kita, dan bertanya mengapa kita balik, lalu mau jawab apa?” tanyaku, ngeyel juga, sambil mendramatisir suasana.
“Bilang saja kita memutuskan mencari hotel untuk menginap malam ini. Baru besok pagi melanjutkan perjalanan lagi,” jawab Ranz, setengah tak mengerti aku yang blank.

Akhirnya kita pun balik lagi ke arah perempatan, letak titik keramaian di daerah itu. Setelah bertanya kepada beberapa orang, ada seorang laki-laki yang memberi petunjuk. Aku dan Ranz mengayuh pedal menuju arah yang ditunjukkan oleh laki-laki itu. Jalanan pun naik turun dan gelap. Setelah sekian ratus meter tak juga kita menemukan hotel yang katanya bernama hotel Aji Mantoro, Ranz bertanya lagi, “Are we on the right track? Kok jauh amat.”

“Do you think that guy lied to us? What’s the point?” tanyaku balik, semakin lelah. “Pokoknya tadi orang itu bilang agar kita terus gowes sampai kita menemukan hotel di sebelah kiri. Sekarang kita belum menemukan hotel itu, mari kita terus gowes saja sambil berharap menemukan hotel yang kita cari.”

Ranz setuju.

Sekitar kurang lebih dua kilometer dari perempatan, kita menemukan hotel itu. Lega yang luar biasa menghinggapi hati kita berdua. Akhirnya kita bisa beristirahat malam itu! Namun ketika melihat pelataran parkir hotel penuh mobil berpelat B, aku sedikit khawatir. Jangan-jangan ...

“Ada kamar kosong Pak?” tanyaku pada resepsionis.

“Kamar penuh, Mbak.” Jawabnya.

Gubrak.

Namun aku tidak kehilangan harapan. Sementara tenaga telah terasa lunglai semenjak melihat penampakan hotel. Aku tidak mungkin mampu gowes lebih jauh lagi untuk mencari hotel lain.

“Bisakah kita nunut duduk di sofa ini?” tanyaku, penuh harap. We could not continue our journey!

“Oh, silakan saja,” jawab sang resepsionis.

Oh leganya! Meski hanya beristirahat di sofa, tak apalah, yang penting malam itu kita tak perlu lagi gowes. Hawa lumayan dingin, namun dengan mengenakan jaket, duduk-duduk di ruangan resepsionis, aku merasa jauh lebih baik ketimbang berkeliaran di jalanan, melanjutkan perjalanan menuju Pantai Nampu.

Bahwasanya kita harus menginap di hotel karena kemalaman di jalan benar-benar di luar perkiraan kita. Pengalaman bahwa kita berhasil menemukan hotel namun tak ada kamar kosong jelas telah membuatnya jauh lebih dramatis. Wow. J untunglah sang resepsionis juga mempersilakan kita menggunakan toilet yang disediakan di dekat musholla untuk kita bersih-bersih diri. Hanya sayangnya malam itu kita harus kelaparan sembari beristirahat karena ternyata di hotel tidak ada restaurant. Mau kembali lagi ke perempatan ‘kota kecamatan’ Pracimantoro untuk mencari camilan kita sudah tak mampu lagi gowes, jadi ya apa boleh buat? Sempet nyesel juga mengapa kita tidak membeli makan dulu sebelum mencari hotel, namun karena kita sudah panik sebelumnya merasa tidak yakin bakal ketemu hotel di daerah situ, jadi ya begitu deh.

Malam terasa merambat pelan karena rombongan yang berasal dari Jakarta membuat kegaduhan ketika bermain kartu. Sebagian lagi ngobrol rame-rame. Nampaknya mereka sedang begitu menikmati kebersamaan mumpung suasana Lebaran. Baru setelah pukul tiga, tak lagi kudengar suara-suara bising.

Pagi sekitar pukul 06.00 aku dan Ranz sudah siap meninggalkan hotel. Yang pertama kita lakukan tentu adalah mencari warung di perempatan Pracimantoro untuk sarapan. Kita butuh asupan makanan untuk tenaga melanjutkan perjalanan dengan gagah berani.

Usai sarapan, mampir toilet di sebuah pom bensin, kita berdua melanjutkan perjalanan sekitar pukul 07.00. Kembali menyusuri jalan yang tak pernah lepas dengan tanjakan maupun turunan, meski landai. Istirahat semalam hanya dengan duduk-duduk di sofa ruang resepsionis hotel dan sarapan semangkok nasi soto ternyata lumayan menyuntikkan tenaga. Tentu juga didorong oleh ketekadan hati bahwa kita harus sampai ke tujuan: Pantai Nampu. Bukan apa-apa, sudah telanjur ‘woro-woro’ di media social network bahwa kita berdua bakal bikepacking ke Pantai Nampu dari Solo naik sepeda lipat. Kalau harus berhenti di tengah jalan, malu dong ya.

Di sepanjang jalan yang kita lewati menuju perempatan Giribelah, kita menemukan penunjuk berapa kilometer dari Wonogiri, juga dari Solo. Kita semakin sadar bahwa informasi yang kita bawa di awal perjalanan memang salah. Dari kota Solo – terutama tempat tinggal Ranz – masuk perbatasan kabupaten Wonogiri memang hanya 40 kilometer, namun ternyata dari situ sampai ke kecamatan Pracimantoro, kita telah menempuh jarak sekitar 60 kilometer. Dari Pracimantoro ke perempatan Giribelah ada sekitar 7 kilometer, seperti kata pak polisi yang kutanya satu malam sebelumnya.

Dan ini semua belum seberapa. Setelah kita sampai di perempatan Giribelah, klimaks dari seluruh perjalanan terbentang di depan mata: tanjakan curam sepanjang puluhan kilometer lah yang akan membawa kita sampai ke tempat tujuan, Pantai Nampu. Boro-boro turunan landai yang akan membawa kita ke pantai. Fiuuuuuhhh ...

Honestly, aku langsung merasa tubuhku tak lagi bisa diajak kompromi. Dengkul sudah tak mau lagi dipaksa mengayuh pedal. Aku mending nuntun dah dari pada harus memaksa diri. (Percayalah bahwa menuntun sepeda itu sangat disarankan dan perlu mana kala lutut memang tak lagi mampu. LOL.) Untungnya, Ranz tidak patah semangat. Padahal sehari sebelumnya, justru dia yang terlihat kepayahan ketika tiba-tiba di satu tanjakan, dia meminggirkan Snow White sambil berkata, “I need to rest.” Sambil memijat-mijat betisnya sendiri. OH NOOOOO ... Kalau ‘savior’ku saja sampai bilang begitu, bagaimana aku?

Meski aku ‘keukeuh’ untuk nuntun sepeda sepanjang tanjakan curam menuju Pantai Nampu, Ranz tetap keukueh juga menaiki sepeda. Dan caranya dia gantian, menaiki Snow White sekian ratus meter, kemudian balik lagi menjemput Pockie untuk dikayuh sekian ratus meter. Begitu terus menerus. Hingga akhirnya kita sampai ke Pantai yang kita impikan sejak sehari sebelumnya.

Meski orang-orang yang suka berpetualang bilang ‘the destination is not as important as the journey’, kali ini bagi kita berdua tujuan itu sangat penting. Bukan untuk apa-apa, hanya sekedar untuk bernarsis ria berfoto bersama sepeda kita untuk bukti bahwa kita akhirnya menaklukkan perjalanan sekitar 130 kilometer dengan naik sepeda lipat dan sampai dengan selamat. Cihuuyyy.  Toh kita juga sudah menikmati perjalanan dimana jalannya penuh tanjakan dan turunan, kebersamaan kita berdua yang membuat perjalanan ini begitu manis dan memorable.

Untunglah pulangnya kita mendapat tumpangan mobil (tetangga Ranz) sampai Giribelah. Dari perempatan Giribelah kita gowes sampai perempatan Pracimantoro dimana kita menggurat kenangan dengan bermalam di salah satu hotel dengan cara duduk-duduk di sofa ruang resepsionis. Dari Pracimantoro kita kembali ke Solo naik bus antar kota.

Sampai sekarang kita berdua masih belum yakin akankah kita mendapatkan pengalaman bikepacking semenantang perjalanan kita ini. Yang pasti adalah, pengalaman salah informasi ini membuat kita lebih berhati-hati untuk mempersiapkan rencana bikepacking selanjutnya.

GL7 08.58 021211

P.S.: Berupa penulisan ulang 'bikepacking ke Pantai Nampu' untuk mengikuti Kontes Menulis "Cycling with Confidence"

Gowes Beresiko!

Bersepeda paling beresiko semenjak aku menggemari bersepeda bulan Juli 2008 adalah ketika aku dan Ranz memutuskan untuk menempuh perjalanan dari pantai Bandengan Jepara ke Semarang naik sepeda lipat.
Tanggal 7 Juli 2011 kapal penumpang ferry Muria yang kita naiki dari Pulau Karimun Jawa merapat di dermaga pantai Bandengan sekitar pukul 15.00.
“Jadi gowes ke Semarang?” tanya Ranz.
“Ayo. Jadi sajalah,” jawabku. “Siapa tahu bisa menyembuhkan mabuk laut selama kurang lebih enam setengah jam di atas kapal Muria.”
Maka tanpa pikir panjang, setelah memasang Snow White dan Pockie, kita berdua keluar dari pelabuhan Bandengan gowes ke arah kota. Sempat bertanya arah menuju kota sekali kepada seorang penduduk yang kita temui di pinggir jalan, dan mampir ke sebuah mini market untuk membeli air minum mineral, kita menuju kota.
Dikarenakan semenjak pagi kita belum sempat sarapan, maka kita memutuskan mampir di sebuah rumah makan untuk makan siang yang sangat terlambat, nunut shalat, juga nunut nge-charge hape.
Sekitar pukul 16.30 kita siap mulai menempuh perjalanan panjang. Ranz menaiki Snow White yang berupa sepeda lipat urbano 3.0 karena di boncengannya duduk tas panier yang penuh barang bawaanku.  Di punggung Ranz juga menggendong tas punggungnya yang tak kalah berat.  Aku menaiki Pockie alias sepeda lipat pocket rocket milik Ranz yang tanpa beban kecuali tas punggung kecil yang kubawa.
Matahari masih bersinar terang kala itu. Kita mengayuh pedal dengan kecepatan sedang, berusaha untuk selalu berada di sisi paling kiri karena di jalur yang kita lalui, mobil-mobil, bus-bus, juga truk-truk besar kadang melewati kita dengan seolah menganggap kita tak pernah ada. Bahkan di satu tempat, Ranz sempat jatuh terpelanting karena sebuah truk menyenggol tas panier. Aku hampir menyarankan untuk tidak jadi gowes ke Semarang karenanya, namun Ranz terus meyakinkan aku bahwa dia baik-baik saja.
Tantangan semakin terasa ketika langit mulai gelap karena sang mentari telah beristirahat di peraduannya. Jika dalam keadaan terang benderang saja kendaraan bermotor berbadan besar itu hampir menganggap kita tidak ada, apalagi dalam kegelapan? Ditambah lagi kita hanya punya sebuah lampu yang dipasang di setang Pockie. Karena itulah aku berada di depan, sedangkan Ranz berada di belakangku. Tidak ada lampu di badan Snow White, aku lupa entah jatuh kemana lampu yang terpasang di bawah sadel semenjak Snow White dibeli setahun yang lalu. Untuk memberitahu pengguna jalan di belakang kita bahwa ada sepeda yang melintas adalah ‘scotchlite material’ yang ada di tas panier.
Terus terang sepanjang perjalanan hati kita berdua deg-deg plas karena nekad bersepeda dalam gelap tanpa penerangan yang cukup. Apalagi jalan yang kita lewati lumayan sempit, selalu penuh dengan kendaraan bermotor yang berbadan besar dan sopirnya sering ngawur, menganggap kita tidak ada. Apalagi waktu di daerah kabupatan Jepara, Ranz sempat jatuh. Namun dengan keyakinan teguh, kita terus mengayuh pedal tanpa henti.
Deg-degan kita lumayan jauh berkurang setelah melewati pertigaan Welahan. Kita akhirnya sampai ke jalan raya pantura yang lebarnya sekitar satu setengah kali dibandingkan jalan yang kita lewati sebelumnya. Juga karena banyak bertabur lampu di pinggir jalan. We were not really in the dark anymore.
Dalam diam kita terus gowes sampai di alun-alun Demak sekitar pukul 20.00. Kita sepakat untuk mencari sebuah mini market untuk membeli air minum dan sedikit cemilan, sekaligus beristirahat sejenak. Tas panier yang duduk manis di boncengan Snow White memang cukup mengabarkan pada mereka yang tertarik memandang kita bahwa kita adalah ‘bikepacker’ yang sedang menempuh perjalanan jauh.  Ketika masih di Jepara, tiap kali ditanya orang, aku menjawab, “Dari Karimun Jawa menuju Semarang,” namun ketika ditanya tukang parkir di mini market tempat kita nongkrong sejenak, aku menjawab, “Dari Karimun, mau menuju Solo.”  (Ranz bertempat tinggal di Solo, sedangkan aku di Semarang.) Sengajalah, biar terkesan dramatis.
Perjalanan Demak – Semarang lumayan lancar kecuali ‘terganggu’ sms-sms dari anakku yang menganggap keputusanku gowes Jepara – Semarang dalam keadaan mabuk laut adalah candaan yang sama sekali tidak lucu.  Tentu saja aku harus membalas sms-sms itu untuk meyakinkan bahwa nyokapnya baik-baik saja, dan sangat berharap mabuk laut itu akan sudah hilang ketika sampai rumah.

Kita sampai di rumahku – di kawasan Semarang Barat – sekitar pukul 22.00. Setelah memastikan aku sampai rumah sehat wal afiat, tak kurang suatu apa, Ranz kembali gowes ke arah Tugumuda, dimana dia menunggu dijemput ‘travel’ untuk melanjutkan perjalanan ke Solo.
Benar-benar pengalaman gowes beresiko yang kita jalani berdua, but for sure, it is unforgettable.
GL7 11.11 301111

P.S.: tulisan ulang yang merupakan bagian pengalaman bikepacking ke Karimun Jawa. ditulis ulang demi mengikuti lomba Kontes Menulis "Cycling with Confidence"

Tuesday, November 22, 2011

Nemu henfon

Alkisah pada satu malam minggu, aku dan seseorang yang paling kusayangi -- selain Angie, my Lovely Star -- makan malam di sebuah warung tenda yang berjualan menu serba penyet. Kita memilih duduk di sebuah meja yang terletak di pojok (aku hobi duduk di pojokan soalnya :-D) Di atas meja yang ukurannya tidak terlalu luas itu, kita taruh beberapa barang milik kita, misal helm, kaos tangan, dompet, topi, kacamata dan hape. Praktis meja itu hampir penuh ketika makanan pesanan kita datang, dua porsi nasi putih, satu ayam bakar plus lalapan, dan satu bebek bakar plus lalapan beserta dua gelas es jeruk.

Tak lama kemudian datanglah serombongan keluarga yang terdiri dari dua perempuan dewasa, dua laki-laki dewasa, dan tiga anak kecil. Satu perempuan dan satu laki-laki dewasa beserta anak-anak duduk di meja sebelahku, sedangkan satu laki-laki dan satu perempuan dewasa duduk di hadapanku, sehingga mereka akan 'share' meja bersamaku dan seseorang yang kusayangi itu. Ketika makanan mereka datang, memang agak sulit bagi 'waiter' untuk menaruh piring-piring makanan mereka. Mungkin itu sebabnya sehingga sang laki-laki berteriak kepada sang 'waiter',

"Mas, ini barangmu dibuang saja!" sambil menyerahkan tempat tissue dan tempat sendok kepada waiter itu.

Sementara itu, si laki-laki yang satu ini terlihat begitu sibuk dengan dua henfon miliknya. Sebegitu sibuknya, hingga dia tidak sesegera mungkin menyantap makanannya. Dan sebegitu tidak perhatiannya, tiba-tiba ketika dia akan minum, dia meraih gelas berisi es jeruk milik seseorang yang kusayangi tersebut karena kebetulan mereka duduk saling berhadapan.

Ranz langsung berkata, "Ini gelas milik saya!"

Laki-laki itu, dengan sedikit malu, berkata, "Oh, maaf." Kemudian kepada istrinya, "Kok aku ga dipesankan es jeruk?" tanyanya.

Sang istri (nampaknya sih sang istri), "Lha kan kupesankan teh?"

Mereka makan dengan cepat atau memang Ranz makan begitu pelan sehingga mereka selesai terlebih dahulu. Walhasil, mereka pun meninggalkan tempat terlebih dahulu.

Ranz nampak sedikit geram kepada laki-laki yang dia anggap tidak tahu sopan santun itu. Namun tak lama kemudian, dia nyadar bahwa si laki-laki yang tidak tahu sopan santun itu telah dengan tidak sengaja meninggalkan salah satu handphone yang telah membuatnya sibuk melulu sebelum makan.

"He accidentally left one cell phone of his!" kata Ranz kepadaku.

Aku kaget dan langsung merasa tidak nyaman. Khawatir 'terlibat' hal-hal yang tidak diinginkan, aku inginnya menyerahkan handphone itu kepada si penjual agar bisa dikembalikan kepada yang kehilangan. Namun Ranz tidak setuju. Dia khawatir jika justru si penjual tidak mengembalikannya kepada yang berhak. Aku pikir kalau sudah kuberikan kepada si penjual dan ternyata si penjual tidak mengembalikannya, that is none of my business. Namun Ranz berpikir jika yang kehilangan itu sadar bahwa telah meninggalkan hapenya di tempat makan itu, dan kembali untuk mengambilnya dan tidak menemukannya, maka mereka akan menuduh Ranz dan aku yang telah mengambilnya dan kemudian ngacir.

Bingunglah aku what to do.

Aku memilih menunggu mereka menelpon nomor hape yang ketinggalan itu. Ranz menyarankan untuk menelpon salah satu nomor yang mungkin nomor istrinya atau salah satu anggota keluarganya. Namun ternyata aku merasa tidak nyaman to do it.

Aku tetap memilih tidak melakukan apa-apa selain menunggu seseorang menelpon nomor hape tersebut. Praktis kemudian kita ga bisa sesegera mungkin meninggalkan tempat tersebut.

Hingga akhirnya Ranz mengambil keputusan untuk menelpon nomor telpon yang di phonebook di hape tersebut bernama "ayah".

Ranz, "Hello, ini hape siapa ya ketinggalan di tempat makan di daerah bla bla bla ..."

Dari suara yang menerima telpon tersebut terkesan bahwa dia sedang panik mencari kira-kira hape tersebut kesingsal dimana.

Setelah menunggu kurang lebih 15 menit, mereka datang kembali. Ranz memintaku untuk menyerahkan hape itu kepada si laki-laki.

Laki-laki itu, "Terima kasih ya mbak?"

Aku, "Sama-sama." sambil tersenyum ramah.

Setelah menyimpan hape itu kedalam kantong celananya, dia mengambil dompet, mengambil dua lembar uang dan menyerahkannya kepadaku.

Aku sempat bengong, mau menolak atau menerimanya.

"Tolong diterima ya mbak? Sebagai ungkapan terima kasih saya." katanya.

Akhirnya aku menerimanya.

Setelah mereka pergi, Ranz bilang, "Itu sebab aku ga mau menjadi pihak yang menyerahkan kepada laki-laki itu karena aku khawatirnya kita bakal dikira mau mengembalikan hape itu karena mengharapkan imbalan tertentu."

hadeeeehhhhh ...

Makanya kan di awal aku sudah kepengen menyerahkan hape itu kepada si penjual agar tidak tertuduh mengharapkan imbalan?

hadeeeeeehhhhhhh ...
PT28 17.04 211111

Tuesday, November 15, 2011

A friend in need is a friend indeed

pic was taken from here


Pertama kali nonton serial “Sex and the City” aku terkesan dengan friendship keempat tokoh utamanya: Carrie, Miranda, Charlotte, dan Samantha. Mulai dari keempatnya masih merupakan single girls sampai dengan Charlotte dan Miranda yang menikah (dalam serialnya), hingga Carrie menikah dalam film layar lebar. Pernikahan tidak lantas membuat keempatnya melupakan komitmen untuk tetap meluangkan waktu untuk berkumpul berempat tanpa perlu mengajak anak (khusus untuk Charlotte dan Miranda) maupun suami (kecuali Samantha yang tetap single dalam film “Sex and the City 2”.


Di Indonesia, at least in my very own life, aku jarang menemukan friendship yang sedemikian solid. Apalagi di kalangan mereka yang sudah menikah. Konsensus yang ada bahwa suami/istri seyogyanya juga menjelma sebagai teman yang paling dekat akhirnya menjadikan friendship yang telah ada semenjak sebelum menikah renggang.


Mengacu ke tulisanku yang sebelum ini – bahwa kebanyakan teman yang kudapatkan berasal dari komunitas yang kumasuki, misal sekolah, kuliah, kos, dan bekerja dimana kemudian ketika aku lulus sekolah/kuliah atau keluar dari satu tempat kos/kerja maka berhenti pula lah hubungan pertemanan, meski tidak semuanya  -- aku jarang merasa perlu meluangkan waktu yang khusus bersama teman karena toh kita bertemu di kampus/kantor.


Ketika aku bekerja di sebuah uni swasta di Semarang, aku dan rekan kerja lumayan sering juga hang out bareng dimana they were all still single hanya aku yang sudah double. Untuk hangout (sekedar piknik kecil-kecilan keluar kota) aku selalu menyertakan Angie kecil dimana tak ada satupun rekan kerja yang komplain karena Angie yang selalu manis dan tidak merepotkan.


Tatkala aku kuliah di American Studies – di luar kota yang notabene berarti aku tinggal jauh dari keluarga, sehingga serasa ‘pure single’ – aku masih sering jalan bareng dengan teman (kuliah) di luar jam kuliah meski itu pun tetap untuk urusan pergi ke perpustakaan, toko buku atau ke dosen pembimbing tesis yang notabene tetap berhubungan dengan kuliah.


Lulus kuliah kembali ke Semarang dimana kebetulan kemudian aku quit dari uni swasta dimana aku sempat menjalin hubungan akrab dengan beberapa teman. Yang satu pindah keluar negeri, yang satu ke Malang, yang satu lagi tetap di Semarang, namun dia sibuk dengan keluarganya mana suaminya tidak memberinya keleluasaan untuk melakukan kegiatan tertentu yang tidak ada hubungan langsung dengan pekerjaan.


Practically aku mulai merasa friendless but my diary, my blogs and Lovely Star. Kehidupanku hanya bekerja dan bekerja. Sesekali hanging out dengan Angie. Aku benar-benar menjelma menjadi the homebody type.


Ketika mulai berinteraksi dengan komunitas b2w, aku mulai (lagi) mengenal kehidupan lain selain bekerja dan hangout bersama Angie: bersepeda. Jika sebelum berbike-to-work sepulang kerja aku langsung pulang ke rumah, setelah itu aku mulai sering kelayapan di jalan-jalan Semarang: city night ride. Merupakan suatu kebetulan jika seorang teman yang pindah ke Bandung pada tahun 2003 untuk mengikuti suaminya melanjutkan kuliah, pada tahun 2008 dia bersama keluarga pindah ke Jogja dimana suaminya mendapatkan pekerjaan. Aku pun mulai merasa perlu dolan keluar kota, my second hometown, Jogja. J Jogja dekat dari Semarang dan I am quite familiar with it karena pernah tinggal disana selama sekian tahun.

Beberapa bulan terakhir ini aku kembali dikaruniai (lebay! LOL) seorang teman yang kedekatan kita berdua membuatku serasa kembali seperti ketika aku masih berusia belasan tahun. Teman yang bersamanya kita akan melakukan hal-hal yang kita ingini tanpa ada kekangan “a married woman is supposed to bla bla bla ...” atau dalam kasusku yang seorang single parent “a mother is supposed to bla bla bla ...” Jika kebetulan kegiatan bersepeda yang mempertemukan kita ya bersepeda bersama kemana-mana yang ingin selalu kita lakukan. Mungkin tak perlu jauh-jauh kembali ke masa usia belasan tahun, kembali saja ke masa aku kuliah di American Studies beberapa tahun lalu, dimana ketika berada di Jogja aku adalah seorang single – without a kid – hingga aku tak perlu merasa tidak nyaman ketika melakukan ini itu bersamanya.

Meski jarak usia kita lumayan besar: 20 tahun. Untunglah dia selalu lupa – atau pura-pura lupa ya – bahwa usianya 20 tahun di bawahku. J Kelupaan yang membuatnya merasa nyaman-nyaman saja berinteraksi denganku, tanpa perlu merasa ‘pekewuh’ yang sering menimpa orang-orang di kultur Timur bahwa yang muda harus menghormati yang tua; yang tua harus memberi contoh yang baik ke yang muda. Hihihihi ... yang penting kita saling sayang deh. :-D

If only this friend of mine were a guy, perhaps I would marry him. LOL. Namun karena dia adalah seorang perempuan, maka jadilah kita “a real friend in need is a friend indeed.“


Kembali ke serial “Sex and the City” dimana friendship keempat perempuan cantik itu tetap kokoh terjaga meski mereka telah menikah maupun memiliki anak, bukankah aku pun layak menikmati friendship yang sedemikan rupa? And my beloved Lovely Star telah menginjak usia duapuluh tahun hingga dia tidak selalu butuh kusiapkan makanan, dlsb setiap hari. I will always be a loving mother for her no matter with whom I have friendship and do anything with my bestest one.


P.S.:
Dedicated to my sweetest and loving Ranz. Let us go bikepacking anywhere we want.

Friends will be friends?

pic was taken from here


Again, demi memenuhi ‘curiosity’ one best friend of mine, aku menulis ini.


Aku yakin, seiring usia kita yang bertambah, seiring pendidikan yang kita serap, juga seiring jenis ‘community’ dimana kita bergaul, maka ‘definisi’ teman atau sahabat yang kumiliki pun berubah dari tiap level kehidupan (misal: kanak-kanak (SD), remaja (SMP-SMA), awal dewasa (kuliah), dan setelah itu.) Maka jika ditanya, “what kinda ‘friends’ have you got so far so that you ‘label’ them friends?” tentu tidaklah mudah aku menjawabnya. But mungkin ada satu hal yang mungkin semua orang akan setuju untuk kriteria ‘teman’: “nyambung ketika ngobrol” tentang apa saja.


Aku sendiri tidak bisa memahami mengapa ketika aku mengatakan bahwa aku ‘friendless’ beberapa waktu lalu kepada seorang best friend, aku lebih mengacu ke bagaimana kultur Barat (alias English speaking countries) membedakan antara ‘friends’ dengan ‘workmates’ ‘playmates’ ‘schoolmates’ ‘classmates’, atau ‘mate-mate yang lain’ juga dengan ‘acquaintances’.


Ketika aku duduk di bangku SMA (selama dua setengah tahun aku menghuni jurusan ‘Bahasa’ aku ‘hanya memiliki 3 teman sekelas) tentu ketiga teman sekelasku juga adalah my best friends (waktu itu), meski dengan yang berjenis kelamin perempuan aku merasa paling dekat. We were soooo close to each other at that time sampai my mom bilang, “Don’t really get close with someone because when accidentally one of you gets hurt, it will be really really hurt. Then if that happens, it will be very difficult for both of you to get close again.” Aku sudah lupa apa kejadiannya namun ternyata ‘prediksi’ ini terjadi. After that ‘accident’ dan saling memaafkan, kita memang tak lagi bisa sedekat sebelumnya. 


Seingatku selain dengan ketiga teman sekelasku ini, aku juga masih membina hubungan baik dengan teman dekat semenjak SMP, dua bersekolah di SMA yang sama, sedangkan yang dua lain lagi bersekolah di SMA yang berbeda. 


Lulus SMA, aku ke Jogja. Ada seorang teman sekelas waktu SMA (laki-laki) yang juga kuliah di Jogja, namun berbeda universitas meski ‘hanya’ tetanggaan dengan UGM. ? Kita tak lagi seakrab waktu SMA mungkin dikarenakan kesibukan masing-masing. (Padahal suwer, waktu kuliah S1, aku ga sibuk lha wong ga ikut kegiatan apa pun selain kuliah. Hihihihi ...) Yang satu lagi, perempuan, melanjutkan kuliah di IKIP Semarang, yang satu lagi, laki-laki, was gone with the wind. 


Waktu di awal kuliah S1 aku sempat ‘akrab’ dengan seorang teman sekelas yang asli Solo (call her E) karena kita berdua sama-sama diterima lewat program PMDK. Aku yakin tentu karena kita ga begitu nyambung ketika ngobrol maka akhirnya keakraban ini tidak berlangsung lama. Di akhir semester dua aku mulai akrab dengan seorang teman sekelas lain yang asli Trenggalek (call her D)dan dengannya keakraban ini terjalin hingga kita lulus kuliah.


Renungan diri:


Aku sadar banget kalau aku ini ‘aslinya’ talkative (maka kalau aku menjelma seorang yang pendiam, that was not the real me) mungkin karena E juga seorang yang talkative. Hehehehe ... Sementara itu D was very sweet and nice (bagi si Nana yang talkative) maka ya ... begitulah.:-D


Selama tinggal di kos, aku juga lumayan akrab dengan beberapa penghuni kos, dimana yang paling akrab adalah dengan mbak Nanni yang asli Madiun, 2 years older than me. Kita berdua sama-sama Leo, padahal aku sempat menengarai apakah karena sama-sama Leo (sama-sama kerasnya) maka keakrabanku dengan E tidak berlangsung lama. Keakraban tetap terjalin hingga mbak Nanni lulus dan pindah luar kota. This means putus hubungan karena tak ada kontak sama sekali setelah itu. (belum zaman ada hape apalagi social network seperti sekarang).


When I was married, aku tidak ingat apakah aku punya teman dekat. Teman-teman zaman SMP/SMA yang sudah menikah pun sibuk dengan urusan keluarga masing-masing, juga pekerjaan masing-masing.


Ketika mulai bekerja di sebuah kursus Bahasa Inggris maupun di sebuah univ swasta di Semarang, aku mendapatkan new good friends. (Selalu karena kita saling merasa nyaman dengan keberadaan masing-masing ketika bersama plus nyambung ketika ngobrol. Selain itu tentu karena kita bekerja di tempat yang sama, kita memiliki interest yang tidak jauh beda: Sastra, Bahasa Inggris, dan mengajar)


Waktu kuliah S2, aku ‘menjadi’ akrab dengan seorang rekan kerja di univ swasta yang bagiku menjelma menjadi seseorang yang lain. (We happened to resume our study together in the same program). Mungkin dia bisa kukategorikan sebagai seseorang yang ‘menderita’ multiple personality disorder. LOL. Dia begitu ‘autis’ (‘untouchable’) ketika berada di tempat kerja. Namun ketika berada di Jogja, dia adalah seorang teman yang hangat dan lumayan ‘rame’. Maka jika sebelum kita kuliah bareng itu we were just ‘workmates’, berbicara seperlunya saja ketika bertemu di kantor, setelah kuliah bareng, aku dan dia bisa ngobrol berjam-jam sambil makan atau pun jalan kaki ke satu tempat. (kebetulan kita berdua sama-sama penggemar jalan kaki. )


Dikarenakan satu dan lain hal maka di awal tahun 2005 itu aku mulai dekat dengan adik kelas. Meski bermula dari ‘hanya’ sekedar menghadiri kelas yang diampu oleh dosen tamu dari Michigan, tentu karena nyambung ketika ngobrol, tanpa kusadari kita mulai akrab. 


Keberadaan hape tentu sangat membantu kita berdua to keep in touch setelah lulus. Aku balik ke Semarang, dia balik ke Purwokerto. Sedangkan si ‘autis’ (LOL) pindah ke Malang karena mendapatkan pekerjaan disana. And you know, setelah jauh, dia pun kembali menjelma sebagai seseorang yang autis lagi alias hape tidak terfungsi to keep us in touch dengan baik. LOL. 


Kok jadi panjang ya? Bosan dah yang baca. LOL.


But the main point kupikir sudah kutulis. Yang membuatku merasa ‘berteman akrab’ dengan beberapa teman yang kutulis di atas tentu karena kenyamanan to be myself when being with them plus nyambung ketika ngobrol. Juga ketika seorang teman mengkritikku, aku tidak perlu merasa terluka karena kritik itu disampaikan langsung mengena.


Btw,beberapa saat lalu aku sempat juga menulis tentang ‘sorry pal, no more click between us’ well ... begitulah. Ketika bertemu (kembali) dengan beberapa teman lama yang dulu pernah akrab, mendadak aku menjadi awkward. Maka, kembali ke apa yang kutulis di awal: usia yang kian bertambah, pendidikan yang membuat cara kita berpikir tentu berubah (entah sedikit maupun drastis), komunitas dimana kita berinteraksi, pengalaman-pengalaman hidup yang tentu berbeda satu dengan yang lain akan membuat kita merasa bahwa teman lama kita menjadi begitu asing.


Untuk mengakhiri tulisan, aku ingin mengutip kalimat seorang online buddy (rada beda sedikit gapapa ya?), “Avoid people who make you feel insecure to be yourself.”


GL7 14.27 20102011

Obrolan 'biasa'

Beberapa bulan terakhir ini di lapak sebelah aku bergabung dengan grup SMP N 1 Semarang angkatan 1983 (lulus tahun 1983). Sebenarnya 'pengalaman' ketika bergabung dengan grup ALSTE 1986 (alumni SMA N 3 Semarang lulus tahun 1986) membuatku agak malas berhubungan lagi dengan 'teman-teman' lama karena belum tentu 'click' lagi (misal dalam tulisanku yang ini. Namun karena entah mengapa, akhirnya toh aku ga nolak juga ketika dimasukkan ke dalam grup alumni SMP ini.

Seperti di grup Alste '86, di grup SMP pun aku semula anteng-anteng saja, tidak ikut posting di wall grup atau pun komen di wall post maupun di foto reuni yang dilaksanakan beberapa bulan yang lalu. (Aku dengan sengaja tidak ikut hadir.)

Namun cerita akhirnya melenceng dari yang kurencanakan semula, (yakni bersembunyi di pojokan sambil nonton teman-teman lain berinteraksi) Semua gara-gara sang panitia 'reuni setelah 30 tahun' memunculkan foto-foto alumni per kelas, kemudian secara acak foto-foto itu diposting satu persatu, lengkap dengan nama lengkap, waktu kelas 3 masuk kelas yang mana, plus alamat. Aku pun penasaran mengasah ingatanku yang ternyata terbukti parah.

Dan aku mulai komen dari satu foto ke foto yang lain.

Sampai ketemu dengan seorang teman ex sekelas dulu yang kebetulan masih ingat aku dengan baik. Dan obrolan biasa khas bertemu 'teman lama' pun terjadi.

Dia bertanya, "Anakmu berapa Na?"

Entah mengapa aku selalu merasa 'terselamatkan' dengan keadaan bahwa aku punya anak satu jika seseorang dari masa lalu bertanya hal ini. Mengapa aku harus merasa 'terselamatkan'? Karena toh ternyata aku tetap saja tidak atau belum bisa melepaskan 'stigma' bahwa orang-orang seusiaku tentu akan dilabeli 'kasian yaaa belum punya anak ...' atau 'kasian yaaa umur segini belum laku juga' (emang jualan?)

Aku menjawab, "Satu."

Dia, "Anakku sudah tiga Na. Yang paling besar umur 4 tahun. Yang paling kecil 1,5 tahun."

Aku sempat heran sebenarnya, dia satu angkatan denganku, yang berarti usianya sama dong denganku, atau paling tidak yahhh ... jarak satu dua tahun lah. (zamanku belum ada kelas 'akselerasi' yang membuat seseorang bisa menyelesaikan sekolah yang harusnya ditempuh 3 tahun menjadi 2 tahun). Ini berarti untuk anak bungsunya dia hamil dan melahirkan di atas usia 40 tahun, usia yang riskan untuk seorang perempuan untuk hamil dan melahirkan.

Namun toh, hal ini kupendam saja. Well, people have their own business, don't they?

Aku, "Anakku sudah besar, usianya 20 tahun. Sekarang sudah kuliah di Psikologi Undip semester 5."

(bingung mau jawab apa, maka ya kalimat itu lah yang keluar. )

Dia, "Lho? Anakmu kok sudah besar sekali?"

GLEG!

Aku jadi bingung. Kok begitu komentarnya yak? Dan aku yang terlalu terbiasa mencoba membaca between the lines atau mengira-ira ada apa di balik kelambu, langsung pikiranku menerawang jauh, apa maksud komentarnya itu?

Padahal mungkin saja dia berkomentar itu hanya sekedar komentar saja ya? Tanpa dia pikir panjang sebelumnya. (Maka, yang kupikir adalah mengapa orang ngomong asal ngomong saja ya? Ga dipikir apa akibatnya? hadeeeeehhhh ...)

Aku, "Aku menikah usia 23 tahun. Punya anak usia 24 tahun."

Dia, "Oooo ..."

Dan entah mengapa, 'usil'ku pun kumat, untuk 'membalas' keasal-njeplakannya.

Aku, "Lha, anakmu kok masih kecil-kecil?"

hihihihihi ...

Namun toh aku tetap saja merasa ga enak hati karena telah bertanya sesuatu yang mungkin akan membuatnya merasa tidak nyaman. Maka kalimat tanya itu segera kusambung dengan, "Berarti kamu melahirkan pada usia yang sudah sangat riskan ya? Ckckckck ... Kamu pemberani sekali mengambil resiko."

*curcol biasa ga penting.

PT28 18.18 141111

Tuesday, November 08, 2011

Idul Adha versus vegetarian

Beberapa hari lalu menjelang Idul Adha, beranda ef be ku penuh dengan status-status yang kontradiktif, seperti yang terbaca di judul postingan ini. Sebagian dengan gencar menulis betapa pentingnya mengurangi konsumsi daging -- terutama daging binatang yang berkaki empat -- demi ikut mengurangi semakin cepatnya pemanasan global menghanguskan bumi. Di sisi lain orang-orang menulis tentang ikut merayakan Idul Adha dengan memotong kambing atau pun binatang lain yang dianjurkan demi berbagi dengan sesama, terutama para kaum miskin yang mungkin hanya bisa makan daging binatang berkaki empat satu tahun sekali, yakni pada hari raya Idul Adha.

Berhubung waktu kecil aku bersekolah di madrasah ibtidaiyah, aku lumayan hafal di luar kepala mengapa 'diwajibkan'  bagi kaum Muslim yang mampu untuk 'berkorban' dengan menyembelih satu kambing atau tujuh orang bersama berkorban seekor sapi. Minimal sekali dalam seumur hidup. Kalau mau setiap tahun sekali tentu lebih baik (?). 'Korban' kambing (atau sepertujuh sapi) yang telah kita korbankan konon nantinya akan membuat perjalanan menyeberang 'jembatan' menuju surga akan menjadi secepat kilat. Dan semua ini bermula dari kisah Ibrahim yang konon mendapatkan wahyu untuk menyembelih Ismail, anak yang dia tunggu kehadirannya selama beratus tahun. (konon, duluuuu para Nabi selain Isa dan Muhammad hidup hingga ratusan tahun umurnya). 

My parents telah memberi contoh kepada anak-anaknya untuk berkorban setahun sekali, dengan menyisihkan uang tiap bulan demi bisa membeli seekor kambing ketika Idul Adha datang. Ini menunjukkan bahwa mampu atau tidak mampu bersifat relatif (seperti juga untuk melaksanakan 'ibadah' naik haji ke Mekkah).

Meskipun begitu, di rumah, yang suka makan daging kambing hanya my parents. Anak-anak tidak begitu suka. Aku pribadi tidak anti makan daging kambing, namun 'hanya' bisa menikmati makan sate kambing. Jenis masakan lain yang bahan utamanya kambing, aku lebih memilih untuk menghindarinya. No any special reason. Hanya karena tidak begitu suka saja.

Ketika aku membaca novel AKAR karya Dewi Lestari (Dee) dimana sang tokoh utama dikisahkan setengah 'cenayang'. Di salah satu 'scene' ditulis betapa dia ketakutan ketika dia melewati sebuah lapangan dimana disana berkumpul binatang-binatang yang siap disembelih karena mata-mata binatang itu menyorotkan ketakutan yang luar biasa. Si tokoh yang 'cenayang' ini merasa sorot mata ketakutan itu 'tertransfer' kedalam dirinya, hingga dia bisa tahu persis ketakutan seperti apa yang dirasakan oleh para binatang itu.

Mungkin aku yang terhipnotis cara Dee melukiskan 'adegan' itu, atau keseluruhan kisah dalam novel AKAR itu. Namun itulah pertama kali aku baru bisa melihat dan mencoba memahami bahwa binatang-binatang itu pun merasakan ketakutan ketika akan disembelih. (Jadi ingat si psikopat dalam film CHANGELING yang menangis ketakukan ketika akan dihukum gantung, tanpa ingat bagaimana dengan sadis dia telah membunuh anak-anak kecil tak berdosa, hanya demi kepuasan psikologisnya semata.)

Untunglah aku tidak pernah begitu menikmati makan daging berkaki empat, meski aku bukan seorang veggie.

Ketika berkisah tentang hal ini kepada Angie, dia pun bertanya, "Don't you think that also happens to chickens, Ma?" FYI, Angie sama sekali menghindari makan daging kambing. Kalau rendang daging sapi masih doyan dia. :)

Absolutely, that makes sense too. Call me a hypocrate then because I still often consume chicken. :-(

Itulah sebabnya ketika my FB buddies berkontradiktif menyikapi Idul Adha, aku memilih apatis. Mulai dari status-status yang menaifkan para pengikut Ibrahim (betapa goblog seorang ayah yang bersedia mengorbankan anaknya demi sebutan 'nabi'), betapa goblog mereka yang percaya binatang yang dikorbankan di dunia ini akan menyelamatkan diri ketika menyeberang jembatan di akhirat ini (lha gimana? aku pernah 'percaya' je ... :-D bukankah semua agama meminta para pengikutnya percaya without reserve? iman itu hanya ada percaya dan percaya. ) sampai status para pendukung pengurangan pemotongan binatang demi menyelamatkan bumi. 

Namun akhirnya aku 'terprovokasi' juga menulis komen di sebuah status yang menertawakan para 'veggie' yang dia sebut sebagai 'pahlawan kesiangan'; mosok binatang yang dibela hanya kambing dan sapi maupun kerbau? namun tetap saja  membunuh nyamuk, kecoa dan binatang-binatang kecil lain. 

hadeeeehhhhh .... :-P

PT28 16.58 081111

Wednesday, October 19, 2011

That is what friends are for

Postingan ini bermula dari diskusi dengan seorang best friend tentang perkawanan yang membuatnya bertanya, "Emang kriteria 'teman' bagimu itu apaan sih mbak kecuali 'always being available?'" ~ deep sighs ...

pic was taken from here

Memang semenjak beberapa 'teman dekat' pindah keluar kota dan luar negeri, plus aku quit dari sebuah tempat kerja di tahun 2006, aku merasa 'friendless', my best and only buddy has been my scribbling activity -- name it diary or online diary alias blogs -- besides my Lovely Star for sure. Oh ya, I have one best (online) friend who is in fact always ready to lend his ears -- or his eyes -- to me whenever I write long long emails. But ... dikarenakan sesuatu dan lain hal (a so-called 'accident') yang terjadi di tahun 2007 aku mulai merasa 'menarik diri' to send him long emails as I did before.


Pertanyaaan yang dinyatakan oleh one best friend of mine yang kutulis di atas -- mungkin -- sebenarnya pure question (:-D) but mengingat aku terlalu terbiasa main interpretasi atas apa pun juga, aku menerjemahkan pertanyaan itu sebagai suatu 'criticism' mengapa sebegitu 'strict' aku melabeli seseorang sebagai seorang teman. ~ deep sighs (again) ...


I need help of yours my dear online buddies on FB, tolong dong tulis kriteria seorang 'teman' bagimu? Untuk kujadikan renungan atas my being 'friendless' ini. ~ deep deep sighs (again and again!)

Thank you.

PT28 16.55 191011

Tuesday, September 06, 2011

Bikepacking to Nampu Beach

You may visit this link to see some pictures I posted there. 😊
 
BIKEPACKING TO NAMPU BEACH
AN UNENDING SERIES OF UPHILL AND DOWNHILL JOURNEY

Berbekal informasi (yang ternyata tidak sepenuhnya) benar, Ranz dan aku memulai perjalanan bikepacking ke Pantai Nampu yang terletak di desa Dringo kelurahan Gunturharjo, kecamatan Paranggupito, kabupaten Wonogiri dengan penuh semangat. Informasi awal yang kita terima adalah jarak Solo – Wonogiri 40 kilometer dan Wonogiri (kota) – Pantai Nampu juga sekitar 40 kilometer dengan kondisi jalan yang ‘biasa saja’. Dengan informasi ini kita berharap akan sampai di Pantai Nampu di sore hari, paling lambat pukul 17.00

 

Kita berdua berangkat hari Sabtu 3 September 2011. Meninggalkan rumah Ranz yang terletak di daerah Laweyan sekitar pukul 09.00 kita mampir dulu di Soto Seger yang terletak di Jalan Bhayangkara, seberang jalan dari LBPP LIA Solo. J Bagi seorang ‘newbie’ sepertiku, soto di rumah makan ini memang benar-benar ‘seger’ dan maknyus maka tidaklah heran jika seluruh tempat duduk di dalam rumah makan yang berukuran sekitar 10 x 10 meter penuh! Jika semula aku ingin memesan teh manis panas, aku terpaksa mengurungkan niat itu karena hawa di dalam ruangan cukup ‘hangat’ sehingga membuatku berkeringat. Ada dua jenis soto yang disediakan yakni soto daging sapi dan soto daging ayam. Beberapa lauk yang terletak di atas meja panjang yaitu tempe goreng, mendoan, tahu goreng, bakwan, sate telor puyuh, sate paru, sate hati ayam, dan perkedel. Semua enak.

 
di minimarket Telukan - Sukoharjo
Selesai sarapan kita langsung gowes ke arah Sukoharjo setelah mampir di sebuah minimarket untuk membeli bekal minuman dan masker. Kita meninggalkan mini market ini sekitar pukul 10.00

 
hampir masuk perbatasan Kab. Wonogiri, mampir minum es degan dulu

 
di gerbang Kab. Wonogiri

Perjalanan cukup lancar sampai gerbang masuk Kabupaten Wonogiri. Dengan semangat narsissisme, kita pun berfoto ria dan menjadi tontonan orang-orang yang naik kendaraan bermotor yang lewat. :) Sampai salah satu dari mereka tiba-tiba menghampiri kita sambil berbicara, “Eh, ikut foto dong!” Ranz dan aku tentu saja heran ada orang ‘nekad’ seperti ini. Namun ternyata si orang nekad ini adalah mas Tunggal, rekan sepeda yang kebetulan diberi tanggung jawab sebagai ketua Komunitas Sepeda Lipat Semarang (Komselis). Dia sedang dalam perjalanan meninggalkan Wonogiri menuju Jogjakarta.

 
di gerbang masuk kota Wonogiri

 
menanjak menuju Waduk Gajahmungkur

Beberapa saat kemudian sekitar tengah hari kita pun memasuki gerbang kota Wonogiri dan kita mulai disambut dengan tanjakan! Ternyata tanjakan ini adalah awal tanjakan yang tak kenal habis sampai akhir tujuan: Pantai Nampu.
Semangat dan tenaga kita berdua masih penuh sehingga kita pun melahap tanjakan demi tanjakan sampai kita melewati Waduk Gajahmungkur. Tanjakan yang panjang dan tak habis-habis sementara kondisi jalan penuh kendaraan bermotor yang mungkin merupakan para pemudik yang akan balik ke kota masing-masing. Tak jarang kita mendapatkan acungan jempol yang tentu dikarenakan kita berdua menanjak dengan sepeda lipat.

Karena tak mau melewatkan kesempatan bernarsis ria di daerah waduk, kita pun mampir berfoto-foto sekalian beristirahat.

menanjak tertatih-tatih
Meninggalkan waduk Gajahmungkur sekitar pukul 15.00. Aku dan Ranz mulai menambah laju kecepatan sepeda agar bisa sampai di tempat tujuan sebelum matahari terbenam. Sementara itu aku mulai merasa lapar sehingga ketika melewati sebuah rumah makan di daerah Wuryantoro kita mampir untuk makan siang yang kesorean. Tak lupa kita bertanya kepada si pemilik rumah makan apakah kita berada di track yang benar menuju Pantai Nampu, dan kita mendapatkan jawaban, “Iya benar. Tinggal lurus saja mengikuti jalan ini.” Namun dia tak bisa memberikan estimasi jarak berapa kilometer lagi yang harus kita tempuh. Kita meninggalkan rumah makan ini sekitar pukul 16.10.

Ada beberapa pertigaan yang kita lewati, dan kita tetap memilih jalan utama yang menuju kecamatan Pracimantoro.

Frankly speaking semangat mulai mengendur apalagi ternyata track yang kita lewati full tanjakan turunan melulu dan sampai lebih dari pukul 17.00, kita masih tak melihat tanda-tanda akan sampai di pantai.

Kita akhirnya sampai di pusat kecamatan Pracimantoro sekitar pukul 18.30 dalam kondisi lelah fisik dan mental. What were we supposed to do? Mencari penginapan adalah jawaban satu-satunya. Kita sendiri masih ‘blank’ berapa kilometer lagi yang harus kita tempuh untuk mencapai tujuan. Setelah bertanya kepada beberapa orang, kita pun menemukan satu-satunya hotel di dekat pusat kecamatan itu: hotel Aji Mantoro. Dengan hati yang lega kita pun memasuki areal parkir hotel yang penuh dengan mobil-mobil yang tentu milik para tamu hotel.

“Ada kamar kosong, Pak?” tanyaku pada si receptionist.

“Penuh mbak,” tentu merupakan jawaban yang sangat mematahhatikan.:(

Namun kita tetap bergeming. Dengan wajah yang memilukan dan nada suara yang memelas, aku bertanya, “Kita boleh numpang duduk-duduk di ruangan ini pak?”

“Oh boleh saja,” jawabnya.

Maka aku dan Ranz masuk dan duduk di sofa. Sempat terjadi percakapan dengan dua orang tamu hotel yang waktu itu sedang duduk di ruangan itu, maka terbukalah informasi yang ‘lebih benar’. Dari pusat kecamatan Pracimantoro, kita masih harus memacu sepeda dengan jarak sejauh 40 kilometer! Tetap dengan kondisi jalan yang menanjak dan menurun. OMIGOD! We were both fatigued!

Untunglah sang receptionist itu baik hati sehingga kita pun bisa numpang mandi, shalat, dan ngecharge hape plus tentu saja istirahat. Dan di sofa yang lumayan empuk itu pun kita menghabiskan malam, berusaha mengembalikan kondisi tubuh. Aku duduk berselonjor dengan menyandarkan punggung di sisi sofa sebelah kanan sedangkan Ranz di sisi sebelah kiri.

Malam pun berlalu.

ruang resepsionis hotel Aji Mantoro
Hari Minggu pagi 4 September sekitar pukul 06.00 kita meninggalkan hotel menuju terminal Pracimantoro untuk mencari sarapan.

jalan panjang naik turun tak berujung
keep pedaling although fatigued
Kita mulai melaju menempuh kilometer demi kilometer, tanjakan demi tanjakan sekitar pukul 07.00. Kita sampai di perempatan Giribelah (Pacitan, Baturetno, Pracimantoro, Paranggupito) sekitar pukul 09.00. Dan ... kita disambut dengan kejutan yang sangat manis! Tanjakan curam berbelok-belok yang tak habis-habis. Oh my! Oh my! Tenagaku tinggal sisa-sisa, bekal minuman tinggal separuh botol 1,5 liter, meski semangatku tetap menyala. Dari Giribelah menuju Pantai Nampu ternyata masih ‘tersisa’ jarak 30 kilometer lagi dengan tanjakan dan turunan yang sangat curam.

Dengan tertatih-tatih kita menapaki tanjakan yang honestly memupuskan semangat. Aku lebih memilih menuntun sepeda (WHAT??? Menuntun sepeda di tanjakan curam sejauh 30 kilometer???) dari pada memaksa dengkul untuk mengayuh pedal. (Note: waktu kita belok ke arah Pantai Nampu dari perempatan Giribelah, kita belum tahu bahwa jarak yang harus kita tempuh masih sekitar 30 kilometer lagi.) Pada prakteknya, Ranz bergantian menaiki Pockie dan Snow White sekitar 100 meter per 100 meter sedangkan aku berjalan mengikuti di belakang.

menunggu jemputan Ranz
Kita terus melakukan itu sampai sekitar 5 kilometer ketika akhirnya Ranz memutuskan mencari tumpangan karena dilihatnya tanjakan tak habis-habis, berkelok-kelok. (Namanya saja ‘giribelah’ yang artinya gunung yang dibelah, jadi tak heran kalau tracknya naik – naik – naik – turun – naik – naik – turun, dst.)  Kita pun melipat sepeda dan mulai melambaikan tangan. Luck was in fact still with us. Sebuah mobil melaju dimana di dalamnya adalah tetangga Ranz yang juga menuju Pantai Nampu. We were saved!

di salah satu spot Giribelah - Nampu
Akhirnya kita pun sampai di tujuan – Pantai Nampu yang berpasir putih dan penuh dengan karang – sekitar pukul 10.30. Ah ... akhirnya kita pun bisa mejeng dengan Pockie dan Snow White di pinggir pantai.
Pantai Nampu dari atas

Dari tempat parkir untuk menuju bibir pantai kita harus menuruni tangga yang juga berkelok-kelok dan lumayan sempit. Sambil menenteng Snow White dan Pockie dalam keadaan terlipat.

Aku memang hobby memandang laut lepas di pinggir pantai. Namun karena waktu yang tidak memungkinkan untuk tinggal lama, aku tidak menyempatkan untuk membasahi diri dengan bermain-main dengan air laut yang ombaknya cukup besar itu. Kondisi air sedang pasang sehingga karang yang terletak di bawahnya tidak terlihat jelas.

berdua Ranz di pinggir pantai Nampu


Aku dan Ranz sempat minum es degan dan memesan mie goreng untuk mengganjal perut. Berfoto-foto sejenak, tanpa benar-benar bisa meluangkan waktu untuk menikmati pasir putih yang butiran-butirannya tidak sehalus pasir putih yang terletak di pantai-pantai Karimun Jawa.

Kita meninggalkan lokasi sekitar pukul 12.00 dengan menumpang mobil yang sama sampai di perempatan Giribelah. Dari Giribelah aku dan Ranz mengayuh pedal Snow White dan Pockie lagi sampai pusat kecamatan Pracimantoro dimana terminal terletak. Sebuah bus ekonomi jurusan Praci – Wonogiri – Solo menyambut kita. Tak lebih dari lima menit setelah kita naik, bus langsung meninggalkan terminal.

Kita sampai di rumah Ranz sekitar pukul 15.30.

Mandi dengan air dingin yang sangat menyegarkan kemudian tidur mendengkur adalah dua hal yang kulakukan kemudian. :)

What a crazily blind journey!

RH - Jongke, 06.31 5 September 2011 


 
berlima dengan Pockie, Snow White dan Man

P.S.:
Solo - Wonogiri = 40 kilometer jalan datar
Wonogiri - Pracimantoro = 50 kilometer jalanan full tanjakan turunan 
Pracimantoro - Giribelah = 7 kilometer jalanan tanjakan turunan (full juga lah)
Giribelah - Nampu = 30 kilometer full tanjakan sadissssss

P.S. (2):
ternyata kita berdua tetap saja tidak kapok untuk berbikepacking lagi di kesempatan mendatang!