Search

Saturday, November 28, 2020

Brainwashing

 


Di satu grup 'telegram' yang saya ikuti, seorang perempuan curhat bahwa dia memiliki pandangan yang berbeda dari suaminya tentang satu ormas yang tidak perlu saya sebut namanya. Tatkala sang ketua ormas itu minggat ke satu negara di Timur Tengah, 'persengketaan' perempuan ini dengan sang suami menurun drastis, meski dia masih kadang memergoki sang suami membaca buku-buku yang meneguhkan pandangannya pada ormas satu itu sebagai satu kebenaran tunggal.

 

 

Tatkala sang ketua yang berbadan besar itu (akhirnya) kembali ke Indonesia, perseteruan suami istri ini kembali memanas. Si istri berkeyakinan bahwa mudah untuk memilah pemuka agama yang sesungguhnya dengan yang hanya mengaku-ngaku saja, yaitu dari apa yang dia katakan. Jika yang dia katakan merugikan orang lain, bahkan cenderung merusak masyarakat, ya berarti dia hanya mengaku-ngaku saja. "Bahkan anak saya jauh lebih mudah diberi pemahaman ketimbang ayahnya."

 

 

Perseteruan ini akhirnya membuat suami istri ini berpisah rumah. Sang istri yang sudah tidak tahan dengan perilaku sang suami mengajak anaknya untuk pergi meninggalkan sang suami yang kembali 'gila' setelah sang ketua berbadan besar (juga bermulut besar) kembali.

 

 

Hal ini mengingatkan saya pada seorang eks siswa saya, sekitar 12 tahun yang lalu. Saya punya seorang siswa yang nampak ogah-ogahan jika berangkat sekolah. Dia hampir tidak pernah datang ke sekolah on time. Setiap pagi selalu ada drama dimana sang ibu harus merayu sang anak untuk berangkat sekolah. Dia selalu ketinggalan mata pelajaran yang pertama.

 

 

Di sekolah si anak yang biasa duduk di barisan paling depan, di sisi paling kiri selalu sibuk menggambar, nampak tidak peduli sang guru sedang menjelaskan tentang sesuatu, meski sebenarnya telinganya mendengarkan dengan seksama. Lebih sering diam, tidak banyak bicara pada yang lain, dan sama sekali bukan seseorang yang troublesome, hanya ya itu tadi, dia susah diajak berangkat sekolah tepat waktu, dan selalu diam nyaris sepanjang hari.

 

 

Satu kali ketika ada agenda parent-teacher interview, sang ibu curhat. Anaknya itu dulunya ceria, sociable hingga satu kali dia dimasukkan ke satu sekolah yang berbasis agama. Dia yang sejak kecil diajarkan untuk selalu beragama dengan baik, bertutur sapa dengan sopan, berbagai rezeki pada yang kurang dengan ikhlas memiliki pandangan bahwa semua orang yang hidupnya berdasarkan pada agama adalah sebaik-baik manusia, di sekolah itu melihat sesuatu yang bertolak belakang dari apa yang dia yakini. Dia tidak melihat guru yang sabar ketika melihat ada siswa yang mungkin kedapatan sedang ngobrol: sang guru melempar entah penghapus entah apa ke kawannya. Dia melihat orang-orang yang di matanya seharusnya memberi contoh bagaimana menjadi manusia yang baik karena memahami agama dengan semestinya ternyata jauh dari apa yang dia bayangkan. Dan hal ini membuatnya stress berat.

 

 

Dia tidak mau berangkat sekolah selama nyaris satu tahun. Setelah dipindah ke sekolah dimana saya menjadi salah satu guru dia mau berangkat sekolah, meski tidak pernah datang on time, meski selalu ada hari dimana dia tidak masuk dalam satu minggu. Meskipun begitu, itu sudah termasuk peningkatan bagi orangtuanya karena si bocah (waktu saya jadi wali kelas dia duduk di kelas 10) mau berangkat sekolah setelah mogok sekolah selama hampir satu tahun di sekolah sebelumnya.

 

 

Mungkin dia bukan satu-satunya orang yang mengalami hal ini. Pertanyaan saya hanyalah: jika seorang anak yang masih berusia belasan tahun saja bisa mengerti bahwa orang yang mengerti agama seharusnya orang yang welas asih kepada yang lain, mengapa orang-orang tua itu justru begitu beringas pada yang lain, meski mereka berafiliasi pada ormas berbasis agama?

 

 

PT56 08.47  25/11/2020

 


Sunday, November 08, 2020

P a s s i o n

 


Beberapa waktu lalu seorang kawan medsos menulis tentang 'passion'; dia memberi definisi passion sebagai sesuatu yang kita lakukan karena kita suka; kita tetap akan melakukannya meski (1) kita tidak dibayar (2) butuh waktu dan energi untuk melakukannya.

 

Seketika aku berkaca pada diriku sendiri. Satu kali duluuu aku pernah berkata bahwa aku ingin mengajar/berbagi ilmu dengan yang lain sampai pada hari terakhirku menghembuskan nafas. Waktu aku kuliah di program studi "American Studies" di Universitas Gadjah Mada, ada seorang dosen senior yang masih mengajar, tahun itu usianya mencapai angka 70 tahun dan masih nampak sehat dan bahagia duduk di depan kelas di hadapan sekian puluh mahasiswa. Dia langsung menjadi role model bagiku.

 

Mengajar

 

Kupikir pasti 'teaching' adalah passion-ku.

 

Sekian tahun berlalu. Sekarang aku mulai berpikir-pikir untuk mengaku bahwa teaching is my passion. Apakah (1) aku akan tetap mengajar meski tidak dibayar? (2) akankah aku menghabiskan waktu dan energi tanpa dibayar untuk berbagi ilmu dengan orang lain?

 

Pandemi covid 19 yang ternyata berlarut-larut ini membuatku berpikir ulang akankah aku tetap mengaku bahwa teaching is my passion. Sekian bulan aku menganggur di rumah, tidak ada kelas yang kuampu, dan aku menjadi malas ngapa-ngapain; apalagi cukup dengan 'rebahan' aku bisa menjadi pahlawan kesehatan. Hihihi …

 

 

Setelah berpikir-pikir, aku sampai ke kesimpulan (sementara): bahwa mengajar itu kan tidak harus berarti kita pergi ke satu tempat, kemudian bertemu dengan sejumlah orang yang menjadi siswa/mahasiswa. Yang penting adalah terjadi transfering knowledge to others. Sebelum pandemi, aku cukup sering bertemu dan berkumpul dengan kawan-kawan. Saat-saat demikian itu, di tengah-tengah obrolan, akan sangat mungkin terjadi kita saling bertukar informasi, bisa jadi sampai ke pengetahuan ini itu itu ini. My main interest sih jelas tentang kesetaraan jender dan spiritualitas; dua hal yang dulu (saat mengampu kelas 'conversation' dimana kadang aku memberlakukan 'free topic to discuss') sering juga aku jadikan pembahasan.

 

Namun, jika teaching ini memasukkan syarat pergi ke suatu tempat, membutuhkan waktu sekian menit/jam, dan tidak dibayar, apalagi perginya ke satu institusi resmi, ya aku ga mau dong ya. Hihihi …

 



 

Menulis

 

Kawan medsos yang kusebut di paragraf pertama kemudian menyebut bahwa menulis adalah passion-nya. Dia akan tetap menulis sampai kapan saja, meski tidak dibayar.

 

Ahaaa … kayaknya itu cocok buatku!

 

Pertama kali membuat blog di akhir tahun 2005, di satu situs yang kemudian hilang. Tentu aku menulis ini untuk membagikan apa yang ada di otakku kepada pembaca. Saat itu lumayan banyak orang yang membaca tulisanku (situs ini ber-home-based di England) dan menulis komen. Tentu aku senang sekali. Meski aku tidak dibayar, meski untuk mengunggahnya di blog aku kudu ke warnet, mengeluarkan biaya sekian ribu rupiah per jam (masih jarang, atau mungkin nyaris belum ada wifi dimana-mana), menanggung resiko mungkin disket bakal terkontaminasi virus, lol.

 

Mungkin karena seperti kata Charlotte Perkins Gilman, seorang penulis Amerika yang lahir di abad 19, bahwa "writing is cure", aku menemukan kepuasan tersendiri setelah menyelesaikan satu tulisan. Entah apakah akan ada yang membacanya, aku tidak peduli. Dan jelas aku tidak peduli apakah aku dibayar atau tidak, aku akan tetap menulis.

 

Saat aku malas 'mempekerjakan' otak untuk menulis sesuatu yang 'serius' yaaa minimal aku akan menulis pengalamanku bersepeda kesini kesana kesitu kemari. Pokoknya menulis, kemudian mengunggahnya di blog atau media sosial lain.

 



Bersepeda

 

Selain menulis, aku berpikir bersepeda itu juga passion bagiku. :D

 

Beberapa kali ketika dolan bersepeda antar kota antar propinsi dengan Ranz, aku bertemu orang yang 'menginterogasi' kegiatan kita bersepeda berhari-hari, yang intinya adalah bagaimana mungkin seseorang bisa dolan berhari-hari di tanggal-tanggal yang tidak berwarna merah, dan nampak nyantai, apakah kita dibayar untuk itu? Jadi, pekerjaan kita adalah bersepeda dari satu kota ke kota lain, dari satu propinsi ke propinsi lain. Dan jika dibayar, siapa yang membayar? Untuk apa?

 

Menghadapi orang-orang seperti itu, biasanya aku dan Ranz Cuma senyum-senyum saja. Tapi saat kita hanya berdua dan memperbincangkan tentang hal itu, kita akan tertawa, namun sembari berharap, "Kapan kita beneran dibayar hanya untuk sepedaan?"

 

Nah, karena kita bersepeda dengan suka cita, tidak dibayar, untuk kemudian mengabarkan pada dunia bahwa salah satu cara menikmati hidup adalah bersepeda dan mengenali kota-kota yang kita lewati dari atas sadel sepeda, berbagi foto-foto lokasi yang eksotis dan cantik, yang berarti juga berbagi kebahagiaan dengan mereka yang membaca kisah kita atau melihat foto-foto hasil jepretan Ranz (mostly), bisa kan jika kukatakan bahwa bikepacking is also my passion?

 

Memasak

 

Akhir-akhir ini, gegara pandemi dan aku menjadi pengangguran full time, lol, entah mengapa aku mulai iseng memasak masakan yang sebelum pandemi belum pernah kumasak. Misal: pempek, selat Solo, ayam rica, ayam betutu, capcay, sup jagung, dll. Dan … yang bahagia dengan kegiatanku yang baru ini tak lain dan tak bukan tentu Angie, anakku. Setiap hari dia membawa bekal makan siang ke kantor, dan selepas lebaran tahun 2020, ibunya kian bervariasi memasak untuknya, ga melulu hanya sup sosis, sosis goreng, ayam goreng dan sambal bawang, tumis buncis. Hahahah …

 

Apakah memasak bisa menjadi passion-ku juga? Well, mungkin saja, tapi tentu hanya untuk keluargaku, terutama untuk Angie. Untuk orang lain? Hmmm … pikir-pikir dulu, karena aku ga pede dengan masakanku, eh, belum pede. Hahahahahah … eh, kalau pun pede, mungkin aku ga akan seantusias jika dibandingkan dengan harus bersepeda, harus menulis. Hohoho …

 

Jadi?

 

Yaah … kesimpulannya adalah bahwa passion-ku itu menulis dan bersepeda. Yeay. :D

 

PT56 18.04 08/11/2020

 


Daddy's princess

 


"Every girl may not be the queen to her husband,
but she is always a princess to her father."

 

Waktu 'menemukan' meme ini, aku ingat seorang kawan (laki-laki) yang nampak memiliki hubungan yang begitu romantis dengan anak perempuannya. Aku juga ingat seorang teman sekolah dulu yang juga memiliki pengalaman yang mirip. Kemudian aku share meme itu di satu grup alumni, postingan itu mendapatkan 'reaction' lebih dari 200, dan puluhan komen yang semua mendukung pernyataan itu. Bahkan ada satu komen yang mengatakan bahwa dia memiliki 3 anak perempuan, dan semuanya adalah princess baginya.

 

Hubunganku dengan almarhum ayahku dulu tidak seromantis kawan sekolah yang kutulis di atas. Ayahku mungkin termasuk tipe orangtua jadul yang membuatnya merasa perlu menjaga citra di depan anak-anaknya. Begitu aku mengingat beliau. Tapi tentu aku tidak tahu bagaimana perasaan beliau terhadapku, anak perempuan pertamanya. (kakakku 2 laki-laki, yang satu meninggal di usia 5 bulan, yang satu meninggal tahun 2019, di usia 53 tahun. 2 adikku perempuan semua.) Meskipun begitu, aku ingat, cerita ibuku bahwa ayahku begitu bahagia ketika tahu bahwa anak ketiganya perempuan, ketika menggendongku pertama kali, beliau memanggilku, "Nona." mungkin begitu kaum laki-laki Gorontalo memanggil anak perempuan pertamanya? Ibuku yang 'mengubah' nama NONA menjadi NANA karena katanya satu saat nanti setelah dewasa, dan aku menikah, mosok akan dipanggil, "Ibu Nona", atau 'Nyonya Nona". Hihihi …

 

Tidak banyak yang kuingat dari hubunganku dengan ayahku.

 

Waktu SD -- kelas 1, 2, 3 -- ayahku yang mengajariku dan kakakku membaca Alquran. Aku yang dikaruniai otak lebih encer dibanding kakakku bisa dengan mudah membaca huruf-huruf hijaiyah itu, maka ayahku nampak tidak pernah emosi ketika mengajariku, namun beliau sering nampak emosi ketika mengajari kakakku. Ah … jadi ingat, waktu kecil dulu aku dan kakakku akrab sekali. Jika kakakku dimarahi ayah, aku yang menangis, sampai beliau bingung, yang dimarahi kakaknya kok yang nangis adiknya. :)

 

Ayahku juga yang mengajari Matematika saat masih SD. Beliau mengajari aku dan kakakku, membuatkan soal-soal cerita, dll. Aku selalu dengan mudah mengerjakannya, sedangkan kakakku harus mati-matian mengerjakannya. (Padahal beliau sibuk bekerja, tapi masih sempat mengajari membaca Alquran dan Matematika.)

 

Waktu lulus SD (MI Al-Khoiriyyah 1 Semarang), ayahku menawari aku melanjutkan sekolah di sekolah yang sama atau ke Muhammadiyah, seperti kakakku. Aku tidak mau satu sekolah dengan kakakku, lol, maka aku memilih melanjutkan ke SMP (Madrasah Tsanawiyah) Al-Khoiriyyah, ayahku mengiyakan. Namun ketika ada seorang kawan mengajakku mendaftar ke SMP N 1 Semarang, aku bilang ke ayahku, dia langsung antusias, dan membolehkanku. Syukurlah aku keterima, ga jadi balik ke sekolah lama, lol.

 

Saat duduk di bangku SMP, aku ikut kegiatan ekstra kurikuler karate (karena terinspirasi tokoh2 di komik milik Kho Ping Hoo yang dulu disewa oleh kakak sepupuku yang pernah mondok di Gontor, namun selama libur Ramadhan tinggal di Semarang). Ketika ada tes kenaikan (aku ingat dulu diadakan di STM Pembangunan, kadang di masjid Baiturrahman) ayahku yang mengantar dan menunggu sampai selesai.

 

Saat lulus SMP, dan akan mendaftar SMA, aku ingin melanjutkan ke SMA N 3, satu sekolah favorit. Ayahku menawar, "Tidak ke SMA N 6 saja?" beliau khawatir jika aku tidak keterima di SMA N 3 karena setahun sebelumnya, kakakku gagal diterima di sekolah yang terletak di seberang balaikota Semarang itu. Aku jawab, "Trust me, I know my capability." (eh, tidak dalam Bahasa Inggris ding, dalam Bahasa Indonesia saja, :) ) dan, ya, aku diterima.

 

Waktu akan penjurusan menjelang semester 2, ayahku menyarankan aku masuk ke IPS, diam-diam beliau ingin aku kuliah di Fakultas Hukum. "Jadilah hakim yang adil, seorang hakim kaki kanannya ada di surga, kaki kirinya ada di neraka, jadi terserah Nana, mau memilih seorang hakim yang adil atau sebaliknya." namun aku tidak tertarik. Kemudian ayahku menawar, "Ambil Ekonomi saja, Nana ga ingin bekerja di Bank kayak Papi?"  Tapi aku yang keras kepala tetap ingin masuk jurusan Bahasa. Dan ayahku yang demokratis membiarkan aku masuk jurusan yang aku idamkan.

 

Saat dapat formulir pendaftaran PMDK, diam-diam aku mendaftar di Universitas Gadjah Mada Fakultas Sastra jurusan Sastra Inggris. Aku diam-diam melakukannya karena khawatir orangtua tidak akan mengizinkanku keluar kota. Namun setelah ada pengumuman resmi aku diterima di UGM, waktu pulang dari sekolah, aku langsung ke kantor ayahku, mengabarinya, "Nana keterima di UGM." dan beliau bengong, hihihi. Tentu aku jauh lebih dekat dengan ibuku, namun saat itu, entah mengapa, aku lebih memilih mengabari ayahku terlebih dahulu, baru pulang ke rumah. Sorenya, saat ayah pulang dari kantor, ibuku mengabari, "Nana keterima di UGM.' ayahku dengan tenang menjawab, "Sudah tahu, tadi siang Nana ke kantor, ngabari." hihihi …

 

Tanpa aku tahu, 2 tahun setelah aku lulus SMA, ayahku pensiun. Seperti orang-orang lain yang pensiun, tanpa aku tahu, ayahku sebenarnya merasa gelisah akankah keuangannya cukup untuk membiayai 4 orang anak, dengan 1 anak kuliah di luar kota. Yang aku tahu 'hanya' kekhawatiran orangtua anak perempuannya akan kuliah di luar kota. Ibuku sempat bilang, "Ga usah lah melanjutkan kuliah di Jogja. Di Semarang saja." aku beralasan ini itu itu ini. :)

 

Meskipun begitu, saat akan dikarantina selama 2 hari (saat itu, calon mahasiswa yang keterima via PMDK dikarantina selama 2 hari ketika lulusan SMA lain tes masuk perguruan tinggi, yang saat itu disebut SIPENMARU, seleksi penerimaan mahasiswa baru), ayahku yang mengantar ke Jogja. Kita menginap dua malam di rumah (eks) kawan kerja ayah yang pindah ke Jogja.

 

Tahun 1987, ayahku berangkat naik haji sendiri. Waktu seorang sepupu yang sedang kuliah di Jogja bertanya, "Kenapa Tante Ida ga berangkat sekalian bareng Om?" aku jawab, "Karena Mami harus menjaga 3 orang anak di rumah," sepupuku bilang, "Loh, kan bisa bilang sama saya. Nanti saya akan ke Semarang untuk menjaga adik-adik."

 

Tahun 1988 gantian ibuku yang berangkat naik haji. Saat ini ayahku sudah pensiun. Kebetulan waktunya berbarengan dengan libur panjang semester genap, maka selama ibuku pergi, aku di Semarang. Ayahku mengajariku menyetir mobil, mencarikan SIM A untukku. Hampir tiap pagi kita pergi ke pasar belanja, aku benar-benar menggantikan posisi ibuku di rumah selama satu bulan lebih.

 

Tahun 1989 bulan September ayahku meninggal, setelah dirawat di rumah sakit selama kurang lebih satu minggu, itu adalah pertama kali ayahku sakit dan dirawat di rumah sakit. Saat pertama kali dibawa ke rumah sakit, beliau bilang, "Tidak usah ngabari Nana, nanti dia tidak bisa konsentrasi kuliah." namun  ibuku akhirnya menulis surat mengabari (belum ada telpon di rumah, juga belum ada telpon di rumah kos yang kutinggali) bahwa ayahku masuk rumah sakit. Surat dikirim hari Jumat, sampai kos hari Sabtu siang. Setelah membaca, aku langsung pulang ke Semarang. Tidak ada yang menunggu beliau di rumah sakit karena dengan halus beliau mengusir ibu dan kakak adikku saat bezoek di sore hari, "Sana kalian pulang. Nanti kalau Nana pulang, rumah dalam kondisi terkunci, Nana tidak bisa masuk rumah," demikian cerita ibuku.

 

Aku tidak punya firasat apa pun, jadi setelah sampai Semarang, aku tidak merasa perlu harus langsung ke rumah sakit untuk menjenguk ayahku. Kebetulan aku sampai rumah tak lama setelah ibu dan kakak adikku sampai rumah. Ketika kita sedang ngobrol-ngobrol di ruang makan, tahu-tahu ada utusan dari RS Telogoredjo datang, meminta kita ke rumah sakit. Ayahku 'nglimpe' kata ibuku. Beliau ingin istri dan anak-anaknya pulang karena beliau ingin pergi tanpa memandang wajah penuh isak tangis di sisinya. Mungkin.

 

Mungkin yang memiliki waktu-waktu 'romantis' dengan ayahku hanya aku, dibanding kakakku dan dua adikku. Kakakku mungkin tidak merasa begitu nyaman dengan ayahku karena pengalaman waktu kecil dulu, ayahku nampak lebih sayang kepadaku dibanding dia. Sedangkan dua adikku masih lebih kecil, apa lagi adik bungsuku, tidak banyak yang dia ingat dari ayahku; saat ayah kita meninggal, dia baru berusia 12 tahun.

 

Mungkin saja ayahku memandangku sebagai his princess, meski beliau tidak seromantis ayah kawan SMAku.

 

Al fatihah, Papi. Rest in peace forever. I love you.

 

PT56 18.48 06/11/2020

 

Thursday, September 24, 2020

Jamselinas dan Kebangkitan Sepeda Lipat


kontingen Komselis di jamselinas 8, Makassar 2018



Jamselinas alias jambore sepeda lipat nasional digagas pertama kali di event Jogja Attack yang diselenggarakan pada tanggal 5-6 Maret 2011. Para 'pejabat' komunitas sepeda lipat di beberapa kota saat itu (kalau tidak salah, selain Indonesia Foldingbike, juga sudah ada Jogja Foldingbike (JFB), KomseliS (Komunitas Sepeda Lipat Semarang), Bikeberry (Surabaya), Befocyco (Bekasi) @seli Solo (sekarang menggunakan nama Seli Solo Raya) Sel-B (Bandung)) setuju untuk menyelenggarakan jamboree demi menyediakan ajang silaturahmi pecinta sepeda lipat seluruh Indonesia. Dengan rasa kepercayaan diri yang tinggi mereka mencanangkan bahwa jamboree sepeda lipat nasional ini diselenggarakan satu tahun sekali. 

 

Tahun 2011 sepeda lipat masih lah hanya dipandang sebelah mata saja, hanya digunakan untuk pergi ke warung sebelah rumah, maka bisa diacungi jempol 'keberanian' para 'sesepuh' seli itu untuk mengadakan jamboree setiap tahun. Sementara komunitas sepeda yang sudah cukup 'berumur' waktu itu mengadakan jamboree setiap dua tahun sekali. 

 

Sebagai 'induk' segala komunitas seli, tentu saja ID-FB yang berkedudukan di Jakarta memutuskan untuk menyelenggarakan jamselinas pertama di Jakarta, bulan Oktober 2011. Yang kedua Bikeberry (Surabaya) menjadi tuan rumah, lanjut Sl-B (Bandung) sebagai tuan rumah jamselinas 3, JFB (Jogja) tuan rumah jamselinas keempat, Seli Solo adalah tuan rumah jamselinas kelima. Jamselinas keenam diadakan di Bangka. KomseliS mendapat kehormatan sebagai tuan rumah jamselinas ketujuh. Tahun 2018 SLiM (Makassar) adalah tuan rumah jamselinas kedelapan. Yang baru lalu, SelPi (Sepeda Lipat Palembang) adalah tuan rumah jamselinas kesembilan. Aku ga ikut karena Ranz keukeuh ga mau ikut. 😛

 



Seperti yang kutulis di postingan ini7amselinas a.k.a jamselinas ketujuh merupakan salah satu tonggak penanda bahwa sepeda lipat kian diterima masyarakat luas. Ini terlihat dari peminat jamselinas yang meningkat hingga angka ribuan, Selain itu, semakin merebaknya kota-kota lain membentuk komunitas sepeda lipat. Jika sekian tahun lalu aku dan Ranz pernah membahas kira-kira kota mana lagi yang bakal menjadi tuan rumah jamselinas, ternyata semakin 'kesini' semakin banyak kota yang 'menggeliat', yang mulai me'masyarakatkan' sepeda lipat. Undangan untuk menghadiri launching pembentukan komunitas sepeda lipat di beberapa kota berderet. Di bulan Oktober 2019 nanti saja ada dua undangan launching, SeliKu (Kudus), akan relaunching tanggal 6 Oktober, karena sebenarnya sudah pernah dibentuk tahun 2010, namun kemudian vakum; dilanjutkan dengan SESEG (Sepeda lipat Sego Gandul) di kota Pati tanggal 13 Oktober 2019. Sementara itu 'Lempitan Sragen' komunitas sepeda lipat Sragen sudah woro-woro bakal mengadakan launching di bulan Januari 2020. 

 

Jamselinas ke-10 akan diselenggarakan di Magelang, dituanrumahi Sepeda Lipat Magelang yang bakal berusia 4 tahun tahun depan, 2020. Untuk jamselinas 11 sudah ada 3 calon komunitas yang sudah mengantri, Sepeda Lipat Bali, (entah namanya apa, lupa), Balikpapan, dan Batam. 

 

Semalam, Rabu 18 September 2019 aku sempat iseng mengamati obrolan di grup facebook indonesia-foldingbike tentang launching komunitas sepeda lipat ini, betapa banyak orang yang berusaha memperkenalkan komunitas mereka! Bahkan di satu kota yang sama, bisa jadi ada lebih dari 2 komunitas sepeda lipat. Belum lagi mereka yang membentuk komunitas berdasarkan jenis sepeda lipat yang mereka miliki. Ketika aku membahas ini dengan Ranz, komentarnya, "wah ... jangan-jangan bakal ada komunitas seli di tiap kecamatan nantinya." hahahahahah ...

 

Perkembangan pehobi sepeda lipat ini benar-benar menyenangkan! 

 

19 September 2019 

Wednesday, September 02, 2020

The Big O

 


Di satu 'scene' film BECAUSE I SAID SO Daphne (Diane Keaton) bertanya pada anak bungsunya Milly (Mandy Moore) "What does an orgasm feel like?"

 


(Background: Daphne, a single mother, memiliki 3 orang anak perempuan, yang pertama (Maggie diperankan oleh Lauren Graham) dan kedua Mae (diperankan oleh Piper Perabo) sudah menikah, sedangkan Milly baru 'mendapat' pacar, tidak hanya satu, melainkan dua. Isn't it hilarious? LOL.)

 


Milly pun dengan penuh 'excitement' menjelaskan seperti apakah orgasme itu: satu kondisi yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata; "it is amazing, it is like out of control, satisfying, and it is like you are out of your body, this does not sound like delicious, but this is sooo delicious. You can get good laugh, but at the same time you wanna cry and this is a good cry. It is like shhhhhhhh aaaarrrghhhh …. " kemudian dilanjutkan dengan pernyataan, "I don't think I can explain it right, Mom. I cannot explain it right."

 


Setelah mencoba menjelaskan panjang lebar namun tetap merasa belum cukup jelas, Milly baru menyadari satu hal: ibunya belum pernah mengalami orgasme. Sang ibu kemudian menjelaskan bahwa dulu ayahnya hampir tidak punya waktu untuk itu.

 

*******

 



Sekitar 15 tahun yang lalu, seorang kawan yang baru saja menikah pernah bertanya kepadaku, "Orgasme itu yang gimana sih mbak?" sama seperti Milly, aku pun tidak bisa menjelaskannya secara 'jelas', lol, selain, "kita merasa seperti melayang di udara, jiwa serasa lepas dari tubuh."

 

*******

 

Di episode satu season 4 Sex and the City, Samantha diceritakan naksir seorang pastur. And you can guess, sebagai seseorang yang sangat 'sexual' dan menyadari sex appeal-nya yang tinggi, dia mencoba flirting sang pastur. Beberapa kali mencoba, dia tetap gagal. Hingga dia memutuskan untuk masturbasi sambil membayangkan sang pastur sebagai sexual partner-nya. Dalam episode ini, Samantha digambarkan sedang berteriak panjang, penuh kepuasan, bersanding dengan suara koor dari gereja yang bernada tinggi dan panjang.

 

Sam and the priest


Malamnya, ketika dia makan malam bersama tiga sahabatnya, Carrie, Charlotte dan Miranda, dia ditanya mengapa wajahnya bercahaya dan nampak lebih muda, lol. Dengan rasa puas, dia menjawab, "I masturbated with that priest in my imagination the whole afternoon!"

 


*******

 

So, have you ever got your Big O, buddies? :D

 

PT56 09.38 02 September 2020

Potret Diri = Narsis?

 


Dalam satu scene serial SATC episode 2 season 4, Samantha dikisahkan menyewa jasa fotografer profesional untuk sesi foto diri dalam kondisi telanjang. Sam bilang dia ingin di masa tuanya nanti dia bisa kembali memandang foto tubuhnya yang seksi dan bangga pada diri sendiri. Konon dia melakukannya secara reguler. Dia tidak peduli ketika ketiga sahabatnya menyebutnya sebagai seorang narsisist.

 


Aku jadi ingat waktu tinggal di kos saat kuliah S1 di tahun-tahun terakhir dekade 1980an. Zaman itu sangat jarang orang yang punya kamera 'bagus' (yang hasil fotonya semenakjubkan jika dijepret menggunakan kamera SLR masa kini.) Aku beruntung ayahku membelikanku sebuah kamera 'pocket' seadanya untuk sekali-sekali mengabadikan satu moment. Namun, tentu hasilnya ya biasa saja. Oleh karena hasil jepretannya biasa-biasa saja, kadang aku dengan seorang kawan kos pergi ke photo studio untuk foto. :D (iseng banget yaaa.) kawan itu pernah bilang ke aku, "Na, harusnya kita ke photo studio sebulan sekali, jadi kita bisa melihat perubahan diri kita dari satu bulan ke bulan berikutnya. Sampai kita lulus kuliah."

 


Ide yang brilliant, lol, Namun, tentu sebagai anak kos yang uang bulanannya tidak terlalu berlebihan, kita tidak benar-benar melakukannya. Lol. Seingatku mungkin hanya sekali atau dua kali aku dan mbak Nani -- kawan kos itu -- ke photo studio berdua untuk berfoto. (Jangan tanya fotonya sekarang ada dimana ya, hilang termakan banjir/rayap.)

 

 

Kalau mengacu ke zaman sekarang, dimana sudah sangat banyak smart phone yang dilengkapi dengan kamera yang cukup memadai, orang-orang bisa memotret diri SETIAP HARI, bahkan mungkin SETIAP SAAT. Mereka akan mudah untuk 'mendeteksi' perubahan fisik mereka dari bulan ke bulan, tahun ke tahun.


 

Are these people lucky enough? :D


 

PT56 14.44 02 September 2020

Sunday, August 23, 2020

Kembali ke Candi Cetha dan Sukuh nan Mistis

 Honestly, alasan utama yang merupakan 'trigger' aku kembali ke kedua lokasi ini adalah Taman Hutan Rakyat KGPAA Mangkunegoro I yang terletak di lereng Gunung Lawu, tak jauh dari Candi Sukuh.

 

'Kok bisa?'

 

Iya. Ada dua alasan mengapa Tahura satu ini membawaku kembali ke dua candi yang bentuknya mirip satu sama lain, meski terletak sejauh sekitar 13 kilometer. Pertama, waktu aku dan Ranz berkesempatan mengunjungi Tahura tahun 2013, kita tidak sempat explore sampai lumayan jauh. Keterbatasan waktu saat itu jelas merupakan alasan mengapa kita tidak menyempatkan diri. Yang kedua, taman hutan rakyat ini merupakan salah satu latar tempat yang disebut-sebut dalam novel 'Aroma Karsa', tempat Jati Wesi yang memiliki kemampuan mencium aroma yang luar biasa menjelajah hutan untuk mencari Puspa Karsa.

 



(Aku memang sering 'kebablasan' begini jika sedang membaca satu karya. Hihihi …)

 

Setelah menahan keinginan ini selama kurang lebih dua tahun, alhamdulillah awal Agustus 2020 aku bisa mewujudkannya, dengan ditemani Ranz, Angie, dan Fitri.

 

Aku, Angie, dan Fitri berangkat ke Solo hari Jumat 31 Juli 2020, naik motor. Ya, kita kembali bertualang dengan naik motor.

 

Sabtu 1 Agustus 2020

 

Kita berempat meninggalkan rumah Ranz di kawasan Laweyan pukul 07.00. karena Angie dan Fitri ingin sarapan nasi liwet, kita sarapan nasi yang di Semarang disebut 'nasi ayam' ini di satu lokasi yang tidak begitu jauh dari rumah Ranz. Setelah sarapan ini, kita menuju RM soto segeer Hj. Fatimah yang terletak di Jl. Bhayangkara, Solo. Sarapan lagi kitaaa. Porsi nasi liwet yang kecil jelas ga begitu 'nendang' laaah. Tapi, memang aku sudah nyidam sarapan nasi soto ayam disini kok.

 

Sekitar pukul 08.00 kita selesai sarapan, kemudian kita langsung menuju arah Karanganyar. Dari Jl. Bhayangkara, Ranz mengajak kita ke arah Jl. Veteran, kemudian luruuus hingga Bekonang, luruuuuus hingga melewati Danau Lalung (yang pernah kita berdua kunjungi naik sepeda di tahun 2012) dan kita pun sampai Karanganyar. Setelah membeli bensin di satu SPBU, Ranz mengajak kita ke arah jalan propinsi yang cukup lebar.

 

Sekitar pukul 09.30 kita sudah sampai di tempat parkir. Angie dan Fitri memang bisa diandalkan, padahal trek tanjakannya super curam, terutama sekitar 3 kilometer menjelang Candi Cetha. Kalau aku, mending naik sepeda deh. Jika ketemu tanjakan securam itu, ya kutuntun deh sepedanya, lol.

 





To our surprise, Candi Cetha dikunjungi banyak orang! Sebagian dari mereka nampak akan mendaki Gunung Lawu. Nampak ada puluhan orang yang membawa carrier yang menandakan mereka akan mendaki gunung. Hmmm … ga lagi 'new normal' inih, tapi 'back to the old normal'. :( bener-bener unpredictable.

 

Setelah mlipir ke toilet yang terletak di satu lokasi tempat kita memarkir sepeda motor, kita berjalan ke loket penjualan karcis. Untuk membeli satu tiket, kita membayar Rp. 10.000,00. Setelah membeli tiket, kita 'digiring' ke tempat kita akan diberi kain batik yang harus kita kenakan di pinggang. Oh ya, saat dipinjami kain batik ini, kita dimohon untuk menyumbang seikhlasnya, untuk perawatan kain. Untuk berempat, aku menyumbang sepuluh ribu rupiah.

 





Kawasan Candi Cetha berkabut tebal saat kita datang, dan kabutnya ga hilang-hilang sampai kita meninggalkan lokasi ini. Bener-bener tidak menyangka bahwa Candi Cetha telah memiliki 'penggemar'; meski berlokasi yang cukup sulit dijangkau, banyak orang yang menyempatkan diri kesini, setelah 'new normal' diterapkan. Padahal menurut berita yang kubaca, pengunjung Candi Cetha 'hanya' sekitar 30% dibandingkan sebelum pandemi. Gileee.

 

Ini aku membandingkan dengan saat aku dan Ranz kesini bulan Januari 2013 ya. Waktu itu kayaknya ga ada sampai 10 orang deh yang kita jumpai di area Candi Cetha. Aku cukup bersyukur bahwa pihak pengelola tidak berpikir untuk menyediakan 'instagrammable spots' yang ga penting. :D jadi, meskipun ramai, aku tidak 'pangling' dengan lokasinya.

 




Another 'surprise' adalah saat kita akan melanjutkan jelajahan kita ke Puri Saraswati. Ada loket penjualan tiket lagi. Per orang dikenai biaya Rp. 7000,00. 'Blessing in diguise' bagiku karena lokasi Puri Saraswati jadi sunyi, persis seperti yang kuharapkan. Enak buat menyepi dan meditasi.

 

Dari Puri Saraswati, aku mengajak keluar, ga melanjutkan ke lokasi Candi Kethek, karena aku ingat, disana tidak ada bangunan 'fisik' berbentuk candi. :)

 

Otw ke tempat parkir, kita sempat jajan serabi dan cilok. Angie dan Fitri sudah kelaparan nampaknya, padahal paginya kita sarapan dua kali, nasi liwet dan soto segeer, lol. Pastinya mboncengin aku dan Ranz naik sepeda motor ke Candi Cetha yang menantang adrenalin cukup melelahkan mereka berdua sekaligus membuat mereka kelaparan, lol.

 

Dalam perjalanan menuju Candi Sukuh, ada trouble menimpa sepeda motor yang dikendarai Fitri -- rem sebelah kanan blong! Inilah resiko naik sepeda motor matic di lokasi tanjakan/turunan curam. Kata Angie, "sepeda motor matic itu enak buat nanjak Ma, tapi turunnya beresiko." Pertama kali meninggalkan Cetha, Ranz dan Fitri di depan. Sampai di satu belokan tajam, aku melihat mereka berhenti di ujung, kirain mereka menunggu aku dan Angie. Angie terus melenggang memacu sepeda motor yang dia kendarai, dipikir setelah itu Fitri akan segera menggeber gas dan menyusul kita. Namun, ketika aku dan Angie sudah sampai di perkebunan teh, kira-kira berada 5 kilometer di depan, kita tidak melihat penampakan Fitri dan Ranz. Kita pun berhenti, menunggu. 15 menit kemudian mereka baru muncul. Fitri bercerita kasus rem sebelah kanan blong. Maka, Angie pun kemudian memilih terus berada di belakang motor yang dikendarai Fitri.

 

Tak lama dari situ, Fitri merasakan rem sebelah kanan bermasalah lagi, kita berhenti lagi di depan sebuah rumah yang berhalaman cukup luas. Kebetulan ada seorang laki-laki yang berdiri di depan rumah itu memperhatikan kita, kemudian menyapa, "Ada masalah kah?" saat tahu bahwa rem sepeda motor yang dikendarai Fitri, trouble, dia langsung menyarankan menyemprot bagian rem yang panas dengan air; kebetulan ada pipa air di halaman.

 

"Kalau naik matic di tanjakan/turunan tajam, jangan lupa bawa air buat menyiram rem yang panas. Ini sangat membantu memecahkan masalah rem mendadak terasa blong," sarannya. Satu hal yang benar-benar 'baru' buat kita berempat. :)

 








Setelah mengucapkan terima kasih, kita melanjutkan perjalanan. Aku bilang ke Ranz ingin makan siang di "Ndoro Dongker"; satu tempat yang mendadak ngetop di telingaku setelah tempat ini menjadi tujuan bersepeda saat Jamselinas 5 Solo tahun 2015. Tahun 2013 dulu, sepulang dari Candi Cetha, Ranz mengajakku mampir ke resto "Kemuning Indah.

 

Setelah makan siang, kita melanjutkan perjalanan ke Candi Sukuh, kurang lebih 4 kilometer dari Ndoro Dongker, dengan trek tanjakan yang lumayan curam juga, meski tidak securam ke Candi Cetha.

 

Sekitar pukul 15.15 kita sampai di kawasan Candi Sukuh. Saat berencana kesini lagi, aku bilang ke Ranz aku pingin menginap di rumah penduduk yang dulu kita inapi juga di tahun 2013. lokasinya yang sangat dekat dengan Candi Sukuh lah yang membuatku ingin menginap disini lagi. Tapi Ranz agak keberatan karena (1) kamar mandinya terletak di luar. (2) tidak ada air panas. Dia ingin menginap di hotel yang dia browsing bernama "Sukuh Cottage" dengan pemandangan yang spektakuler, tapi terletak agak jauh dari Candi Sukuh.

 

"Toh kita naik motor? Gampang kan ke Sukuhnya?" kata Ranz.

 

Tapi aku bergeming. :D

 

Sesampai kawasan ini, aku melihat tulisan HOMESTAY di warung sederhana milik si Ibu yang rumahnya kita inapi 7 tahun lalu. "Ah … dia sudah memberi tulisan HOMESTAY di warungnya agar orang-orang tahu." kata Ranz. Tak jauh dari situ, di sebelah kanan, aku melihat satu penginapan baru, bertulisan GRIYA SUKUH BUMI DEWATA. Aku melangkah ke arah situ, ingin tahu kamarnya seperti apa dan harga sewa berapa. Penginapan ini juga lumayan dekat dengan Sukuh.

 







Penginapan ini jelas masih baru, bangunannya juga nampak masih baru, meski ketika aku bertanya kepada yang menjaga bangunan penginapan ini sudah dibangun sekitar 2 tahun yang lalu. Lumayan banyak penginap sebelum pandemi. Dia membanderol Rp. 350.000,00 per kamar, yang kata Ranz, "Wih, dia berani pasang harga mahal, di masa pandemi seperti ini." aku jatuh cinta pada balkon yang memiliki pemandangan lembah dan sawah di kejauhan. Apalagi sore hari begitu, mudah mendapatkan pemandangan sunset dari situ. Aku tambah jatuh cinta lagi ketika melihat satu kamar yang terletak di sebelah kiri, samping balkon, jendela kaca yang lumayan lebar memudahkan kita memandang lembah dan sawah itu hanya dari kamar! Wow!

 

Tanpa pikir panjang aku langsung memberi tanda setuju ke Ranz. Ranz sempat menawar, "Dua kamar enamratus ribu nggih?" tapi oleh si penjaga tidak dikabulkan. Padahal waktu berangkat dari rumah, aku berencana menginap di HOMESTAY aku hanya menganggarkan dana maksimal duaratus ribu rupiah untuk menginap kita berempat. Sekarang malah harus merogoh kocek sampai tujuhratus ribu rupiah. Tapi Ranz memberi sinyal bahwa dia mau ikut membayar sejumlah uang, aku cukup lega. Hohoho …

 

Dari artikel yang kubaca di internet, aku tahu bahwa Candi Cetha dan Sukuh buka jam 09.00 sampai pukul 15.00 (sebelum pandemi buka jam 07.00 tutup jam 17.00) maka aku tidak berharap bakal bisa masuk ke dalam area Candi Sukuh. Tapi, si penjaga penginapan memberitahuku bahwa kita masih bisa masuk area, jika meminta izin ke satpam. Meskipun begitu, aku merasa tidak nyaman. Aku mengajak Ranz, Angie dan Fitri berjalan ke arah Tahura. Ternyata, di samping kanan Tahura ada satu destinasi wisata baru: TENGGIR PARK. Kata seorang ibu penjaga warung disitu, ini adalah area selfie.

 

Kita berempat berjalan kesana. Melihat kawasan Tenggir Park yang nampak seperti mendaki bukit, aku mendadak lelah, lol. Aku dan Ranz hanya berdiri di halaman parkir yang cukup luas. Sementara itu, di jalan masuk Tahura, ada palang penutup dengan tulisan di mmt TAHURA TUTUP SELAMA PANDEMI. Waduh, aku langsung patah hati. Lha aku ke Sukuh tuh ya demi menjelajahi Tahura je. Kok malah ga bisa masuk? Sementara aku dan Ranz berdiri sambil ngobrol, Angie dan Fitri berjalan ke arah jalan setapak Tahura. Dari halaman parkir Tenggir Park ke jalan setapak Tahura memang tidak ada pagar pembatas, yang berarti kita bisa saja bebas masuk jalan kedalam. Apalagi kita juga melihat beberapa orang naik sepeda motor keluar dari arah dalam Tahura.

 

Waktu itu cuaca mendung. Sekitar pukul setengah lima Ranz mengajak balik ke penginapan. Dia ingin mencoba peruntungan memotret sunset dari arah balkon penginapan. Namun, mendung benar-benar tebal, menutupi sinar matahari.

 

Sekitar 20 menit kemudian, mendadak matahari muncul dari balik awan. Waaah … penjaga penginapan meyakinkan kita bahwa sore hari begitu cahaya di kawasan candi sedang bagus-bagusnya. Dia bilang dia sudah menelpon satpam yang menjaga candi bahwa tamunya akan berkunjung sebentar. Akhirnya kita berempat berbondong-bondong ke candi, mumpung sang mentari nampak bersinar.

 



Meski pak satpam membolehkan kita masuk, dia meminta kita untuk tidak stay lama di dalam. Aku malah jadi tidak jenak. Ada 3 orang lain lagi yang juga diijinkan masuk waktu itu, selain kita berempat. Kulihat yang seorang dari mereka melakukan sembahyangan, sedangkan yang 2 orang hanya mengikuti dari belakang. Saat mereka melakukan meditasi di depan candi, aku mau ikutan duduk bersila, Ranz langsung menegurku, "Ga usah ikut-ikutan. Pak satpam tadi bilang jangan lama2." hadeeeh … benar-benar tidak menyenangkan. :(

 

Akhirnya kita berempat cepat-cepat meninggalkan lokasi, saat kita lihat matahari kembali bersembunyi di balik awan. Kita langsung kembali ke penginapan.

 

Malam itu kita makan malam dengan memesan nasi goreng 2 porsi dan mie goreng 2 porsi ke penjaga penginapan, entah mereka memesannya dari mana. :) Kita makan di balkon sambil ngobrol. Setelah itu, kita masuk ke kamar masing-masing. Hawa dinginnya masih okelah, masih bisa dinikmati dengan syahdu. :D

 

Sekarang waktu menulis ini aku nyesel, kenapa kita ga mencoba keluar penginapan untuk melihat suasana di luar seperti apa ya, saat malam begitu? 7 tahun yang lalu waktu menginap disini, malamnya hujan, jadi kita ya hanya ngendon di dalam kamar.

 

Minggu 2 Agustus 2020

 

Pagi itu ternyata aku mager. :D Jika 7 tahun yang lalu sekitar pukul enam pagi aku sudah 'menyeret' Ranz untuk keluar jalan-jalan melihat suasana sekitar -- termasuk masuk ke Tahura -- kali ini aku dan Ranz masih sama-sama mager. Apalagi dari kamar, kita bisa menikmati pemandangan lembah dari jendela yang cukup lebar. Sengaja aku meminta Ranz untuk tidak menutup korden agar dari dalam kamar kita bisa menatap langit, sekaligus memandang cahaya lampu yang banyak berpendar di kejauhan.

 

Jam tujuh aku dan Ranz sudah mandi. Fitri ternyata sudah keluar, untuk berolahraga, sementara Angie masih nyantai di kamar, dia belum mandi. Karena sarapan belum juga disediakan, aku bertanya ke penjaga jam berapa sarapan diantar. Ternyata, mereka menunggu kita mau pesan sarapan apa, lol. Menunya sama dengan yang semalam, hanya ada nasi goreng dan mie goreng. Untuk minum bisa memilih teh atau kopi.

 

 

Jam delapan seperempat, setelah sarapan dan packing, aku dan Ranz keluar berjalan menuju Tahura. Seperempat jam kemudian, Angie mengabariku bahwa dia dan Fitri akan menyusul. Kita berjalan di jalan setapak Tahura pelan-pelan; sering kali kita berhenti untuk foto-foto. Hingga di satu lokasi dekat tempat berselfie-ria, mereka bertiga berhenti, aku yang penasaran masih terus berjalan hingga sampai di kawasan dimana ada petunjuk "Camping ground. Office. Tempat parkir." aku berhenti disitu, sembari memotret petunjuk itu. Kemudian balik ke tempat Ranz, Angie, dan Fitri menungguku.





 

Jam setengah sepuluh, Angie dan Fitri kembali ke penginapan, aku mengajak Ranz masuk ke Candi Sukuh. Harga tiketnya sama dengan harga tiket masuk ke Candi Cetha: Rp. 10.000,00. Saat mengenakan kain batik yang dililitkan ke sekitar pinggang, kita juga diminta menyumbang seikhlasnya.

 

Jam 10 lebih aku dan Ranz balik ke penginapan. Ternyata Angie dan Fitri menunggu kedatanganku dengan leyeh2 di kamarku, Angie ngiri karena dari kamar yang kuinapi bersama Ranz memiliki jendela kaca besar sehingga kita bisa menikmati pemandangan lembah dengan hanya leyeh2 di tempat tidur. Hihihi …

 

Jam setengah sebelas, kita meninggalkan penginapan. Kita menuju Telaga Madirda yang terletak kurang lebih 1,5 kilometer dari Sukuh. 7 tahun yang lalu rasanya jauh sekali, karena meski 'hanya' terletak kurleb 1,5 kilometer, namun dengan trek naik turun yang curam, dan kita naik sepeda, kita butuh waktu lama untuk mencapainya, lol.

 




To our disappointment, Telaga Madirda yang dulu sunyi (meski waktu aku dan Ranz kesana 7 tahun yang lalu ada rombongan orang yang camping) sekarang ramai sekali! Meski pandemi, tetap banyak orang yang datang. Duh, ga nyaman banget. Mana Angie sudah terlihat manyun, lol, dia inginnya kita sudah sampai rumah Semarang sebelum maghrib.

 

Tiket masuk Telaga Madirda juga dibanderol Rp. 10.000,00 per orang. Namun, karena aku dan Ranz sudah telanjur patah hati melihat suasana yang ramai sekali, ditambah Angie yang pingin buru-buru balik, kita ga lama berada di dalam. Ga ada 15 menit kemudian kita sudah keluar. Di jalan yang menuju Tawangmangu, jalanan terlihat cukup padat dengan mobil-mobil yang menuju Tawangmangu. Pandemi? New normal? Ga terlihat tanda-tanda seperti itu. Kondisi sudah seperti balik ke old normal. Hmft …

 



Sebelum pukul 14.00 kita sudah sampai di Tenda Biru, tempat kita makan siang. Usai makan siang, kita mampir ke rumah Ranz sebentar. Pukul 15.00 aku, Angie, dan Fitri sudah on the way ke Semarang.

 

Pukul 17.30 aku dan Angie sudah sampai rumah, safely. Alhamdulillah.

 

Sampai jumpa di kisah jalan-jalan kita berikutnya!

 

PT56 22.34 09/08/2020