Search

Friday, June 17, 2011

Dasar perut Jawa!

Hari ini adalah hari terakhir di sekolah untuk tahun akademik 2010/2011, special untuk guru-guru.

Dua hari lalu, anal-anak secara official datang ke sekolah terakhir kali untuk tahun ajaran ini, plus sorenya ditutup dengan acara 'the awards night' => upacara penyerahan penghargaan untuk para juara kelas, para siswa yang dianggap 'most improved', juga tentu upacara pelepasan anak-anak kelas 6 (meski belum ada pengumuman resmi untuk Ujian Nasional), kelas 9, dan kelas 12.

Berikut ini beberapa foto hasil bidikan pada acara the awards night.

Kemarin, guru-guru masih harus berangkat sekolah untuk menyelesaikan penulisan raport (nasional) maupun raport sekolah. Kebetulan kemarin Kep Sek menraktir kita semua dengan sekotak nasi gudeg. Yummy! Nah, waktu rapat dengan the next principal seusai lunch, the next principal ga mau kalah dengan the present principal dalam hal menraktir. She promised us that she would treat us lunch on the last day of the whole academic year 2011/2011.

The problem was: sejak pagi the next principal ga keliatan batang idungnya. LOL. Wedew, langsung beberapa dari kita langsung joking, "maklum, she is forgetful. but if she forgets, then we all will be starving to death." LOL.

Ditunggu sampai jam 10.

Sampai jam 11.

She still didn't show up.

NAH LO.

But ternyata, although she didn't appear at school, dia mendelegasikan tugas order makan siang ke salah satu dari kita. Dan, berdasar pilihan kebanyakan dari kita, diorderlah a box of rice and fried chicken dari sebuah junk food restaurant. (Hanya aku yang komplain, "ga ada pilihan jenis makanan yang sehat toh?")

Jam 12.

Perut sudah kelaparan. Makanan belum datang.

Sampai beberapa teman bercanda, "Anybody wants gorengan?" Kebetulan sekolah terletak tak jauh dari sebuah pasar tradisional di Semarang. (NOTE: ga ada kantin di sekolah).

jam 12.30, a bunch of snacks datang! Mulai dari jajan tradisional, misal kue lapis, sentiling, kueku, dll dari sebuah bakery yang lumayan terkenal. Well, absolutely they were better than nothing lah. :-D

Munching the senthiling, kueku, dan sebuah bolu kukus mungil, perutku masih meronta-ronta. :-(

Sekitar setengah jam kemudian, someone shouted, "The lunch is here now, guys!"

Maka kita pun berbondong-bondong ke lunch area yang biasanya full dengan anak-anak di hari-hari sekolah. Kita pun makan bersama-sama di sana dengan menu utama: seonggok nasi dan sepotong ayam goreng.

Ahhh ... akhirnya ... perut Jawa ini pun tak lagi meronta-ronta. LOL.

GL7 13.32 170611

Wednesday, June 08, 2011

Catatan dibuang sayang dari gowes piknik ke pantai Bandengan


 
Bagi para pengamat status-statusku akhir-akhir ini (sok selebriti mode on), sekitar seminggu atau dua minggu lalu aku menulis bahwa the best exercise for my body is swimming. Setelah sekian lama tidak berenang -- sibuk keluyuran melulu naik sepeda -- akhirnya aku memutuskan berenang pada hari Minggu 22 Mei 2011. Ajaibnya semua kepegelan di sendi-sendi tubuh out of the blue menghilang begitu saja. Tanpa sisa.

Mari merunut ke belakang.

Frankly speaking, sepulang gowes ke Kudus 15 April lalu, kaki kiriku pegel bukan main. Maka ketika adikku menawari untuk gowes balik ke Semarang -- tidak naik truck -- aku menolak karena pegel luar biasa di sendi di belakang lutut kiri itu. Aku tidak yakin akan mampu. :-( apa lagi juga demi menghemat waktu. Meski anak semata wayangku telah menginjak usia 20 tahun, aku ga enak ninggalin rumah sampai malam hanya gara-gara nyokapnya berobsesi pulang pergi Semarang - Kudus - Semarang gowes. hohoho ...

Pegel itu tak kunjung hilang. :-( Sendi di belakang lutut kiri itu dengan mudah terasa pegal lagi jika aku kecapekan. :-(( Apalagi sepulang dari dolan ke Curug 7 Bidadari plus trekking sebentar ke air terjun Semirang tanggal 17 Mei, pegal itu hampir tak tertahankan. (Meski tetap saja berobsesi balik ke Semirang lagi untuk menaklukkan treknya sampai ke air terjunnya. Although the waterfall is not as worthy as the trekking and the 'forest', I did fall in love with the trek. ingatan zaman kecil dulu barangkali yang sering diajakin hiking oleh guru-guru waktu SD.) Aku bahkan tidak bisa jongkok!

Sehari setelah itu kaki kiri Angie terkilir sehingga aku mengajak Angie ke tempat pijat. Sekalian aja aku pijat karena memang tubuhku terasa pegal tidak karuan. Meski sempat merasakan tubuh enteng seusai pijat, keesokan hari pegal-pegal itu balik lagi. :-(

(FYI, padahal waktu gowes UGM Jogja - Borobudur 6 Maret lalu aku tidak menderita pegal-pegal menyedihkan ini.)

Itu sebab aku mencoba kembali ke cinta lama: BERENANG. Tanggal 22 Mei kemarin aku berenang hanya dalam kurun waktu satu jam. AJAIB! Pegal-pegal yang nempel di tubuhku selama berminggu-minggu lenyap seketika!

Semua ini semula sempat membuatku ga pede ikut gowes ke Jepara. Khawatir kaki kiriku tak mau kuajak kompromi. Aku curiga tentu pegal-pegal ini akan balik lagi seusai gowes. Namun karena aku begitu ingin ikut, aku abaikan 'hunch' ini. Padahal aku punya alasan yang sangat kuat untuk tidak jadi ikut: my youngest sister was hospitalized karena barusan melahirkan anaknya secara caesar. Her hubby was hospitalized too due to typhoid. :-( Hanya ada Angie yang bisa menemani her grandma di rumah, plus mengantar ke rumah sakit.

Aku nekad ikut karena Elvi sang provokator meyakinkan akan ada truck yang mengawal sejak dari Semarang. In case terjadi apa-apa, maka ada kendaraan yang bisa dipakai untuk loading.

Maka bisa dibayangkan betapa kecut hatiku manakala mendengar kabar ga baik bahwa Elvi ga jadi mendapatkan truck yang bisa mendampingi perjalanan Semarang - Jepara. Tak terbayangkan what woud have happened jika kaki kiriku mengkhianati obsesiku gowes Semarang - Jepara. Mana rute lebih jauh.

Maka rekan-rekan terkasih, bisa anda bayangkan betapa gembira rianya hatiku tatkala aku segar bugar sesampai di pantai Bandengan! Tak sedikit pun aku merasakan pegal, baik di kaki maupun di punggung, atau dimana saja. Kalau pantat terasa panas ya maklumlah. Imagine you go biking for more than 80 kilometers riding a very 'usual' bike seperti si Orange, tanpa mengenakan celana yang biasa dipakai para cyclist yang empuk-empuk nikmat itu, dan tidak ada 'sadel tambahan' yang bisa membuat sadel terasa lebih empuk. TAPI AKU TIDAK MERASA PEGAL SEDIKIT PUN! Wow ...

Nevertheless, besok pas hari libur Kenaikan Isa Almasih, aku akan kembali ke pelukan cinta pertama: BERENANG! Seorang sobat sempat wanti-wanti waktu pertama kali aku gowes di tahun 2008: "Don't you ever leave swimming Nana. Swimming is the best exercise, no matter what happens."

Curcol selesai. YIPPEEEEE...

PT28 17.01 010611
 
kisahnya bisa dibaca di link ini yaaa. 

Penumpang versus Kondektur


Penumpang: bukankah mereka memiliki hak memilih?

Sejak Angie kuliah di Fakultas Psikologi yang kampusnya terletak di daerah Tembalang di tahun akademik 2009/2010, kita berdua shared our beloved though old motorcycle. ? Karena lokasi kampusnya yang paling pojok dari kawasan Universitas Diponegoro – dekat kandang sapi pula – maka Angie pun lebih ‘menguasai’ motor dibandingkan aku. Kebetulan sekolah tempat aku berbagi ilmu sejak tahun ajaran 2008/2009 terletak di pinggir jalan raya yang dilewati Angie sehingga aku biasa turun di seberang lokasi sekolah setiap kali kita berdua berangkat bareng di pagi hari dan kemudian Angie melanjutkan perjalanan.

(FYI, ke tempat kerjaku di pagi hari ini aku jarang naik si Orange, realistis ajah. Hihihi ... ini alasan yang kupakai untuk ngeles: jarak rumah – sekolah sih tidak jauh, hanya sekitar 8,5 kilometer. Namun karena trek yang menanjak, aku butuh waktu sekitar satu jam gowes dari rumah ke sekolah. Ini berarti kalau naik sepeda aku harus berangkat dari rumah jam lima pagi agar sampai sekolah jam enam hingga aku masih punya waktu satu jam untuk mandi, bersih-bersih diri, ganti baju, sarapan, dll. Jam ‘kerja’ dimulai jam tujuh. Nah, frankly speaking, berangkat dari rumah jam 5 pagi gowes naik tanjakan letter S di jalan Rinjani itu membuatku merasa unsafe karena tentu masih sepi. Aku biasa gowes ke kantor di tempatku ikut mencerdaskan kehidupan bangsa sejak tahun 1996 di sore hari. Jam kerjaku di sini jam 17-19, kadang 17-21. Biasanya pulang dari sekolah, aku masih sempat pulang ke rumah, mandi, kemudian berangkat kerja lagi.)

Di tahun ajaran pertama – tahun 2009/2010, pertama kali Angie jadi mahasiswa – biasanya Angie pulang dari kampus terlebih dahulu. Sore, seusai jam kantor jam 15.00, aku pulang naik bus sampai di lapangan Kalisari dimana Angie menjemputku untuk kemudian pulang ke rumah bersama. Semula aku naik bus kota – baik yang damri maupun yang lain. Tentu jika bisa memilih, aku lebih suka naik bus damri yang berase karena tidak perlu bergelut dengan rasa panas. Selain itu juga tidak pake ‘ngetem’ yang bikin bete. Namun tidak selalu bus damri yang datang terlebih dahulu tatkala aku dalam masa penantian sehingga sering juga aku naik bus kota yang lain yang sering ngetem audzubillah lamanya.

Satu kali seorang rekan kerja mengajakku berjalan ke arah utara terlebih dahulu, melewati pasar Jatingaleh. Dia ‘mengajariku’ naik bus luar kota yang datang dari Salatiga maupun Ambarawa yang tidak melewati depan sekolah karena harus masuk jalan tol. Meski harus ‘bersusah payah’ berjalan terlebih dahulu kearah utara selama kurang lebih 3-5 menit, bus yang datang dari dua kota di sebelah Selatan Semarang ini memiliki dua kelebihan: pertama, tidak pakai ngetem (karena mereka langsung muter ke jalan dokter Cipto untuk kembali ke arah Selatan setelah melewati pasar Johar), dan ongkos lebih murah seribu rupiah dibandingkan ongkos naik bus kota.

Di tahun ajaran 2010/2011, Angie lebih sering ngendon di kampus atau pun di kos teman kuliahnya hingga jam 15.00 maka di tahun kedua Angie kuliah ini aku sering pulang bareng dia setelah dia jemput. Namun toh once in a while kadang aku masih perlu naik bus. Seperti dua hari yang lalu, Senin 6 Juni 2011. Pengalaman dua hari lalu inilah yang utamanya ingin kuceritakan di tulisan ini.

Bahwa terjadi rebutan penumpang antara bus kota non damri dengan bus-bus kecil yang datang dari Salatiga atau pun Ambarawa sebenarnya sudah pernah kudengar. Itu sebab kadang tidak mudah bagiku mencegat bus yang datang dari dua kota ini. Mereka seperti jual mahal mendapatkan calon penumpang karena mereka ternyata ogah berurusan dengan bus-bus kota lain. Namun toh aku tetap saja ndableg mencoba mencegatnya, jika memang tidak ada bus damri yang lewat. ?

Dua hari lalu setelah dicueki kondektur dari dua bus dari dua kota itu, (dan aku nyueki banyak kondektur bus kota lain) akhirnya ada bus dari Salatiga yang berhenti pas di depanku karena harus menurunkan penumpang. Dengan hati lega dan gembira aku naik bus itu dan duduk manis di deretan kursi di belakang, ngabarin Angie agar jemput aku di lapangan Kalisari 10 menit kemudian.

Kurang lebih 5 menit setelah itu, ketika bus menurunkan penumpang, ada bus kota yang berhenti pas di belakang bus yang kunaiki. Sang kondektur bus kota di belakang nyamper ke bus yang kunaiki sambil ngomel-ngomel dan memaksa turun seorang penumpang perempuan yang kebetulan naik bus yang sama denganku setelah aku, namun dia memilih berdiri di dekat pintu.

“Tadi masih ada satu penumpang lagi yang kamu rebut dariku!” teriak si kondektur bus kota sengit sambil memandang ke seluruh penjuru bus. Ketika dia menatap wajahku, dia berseru, “Ibu yang itu!”

Kondektur itu telah berhasil memaksa penumpang perempuan setelah aku untuk pindah ke bus dia, tapi aku males lah harus pindah, mana aku sudah duduk PW pula. Maka aku pelototin mata dengan mimik wajah galak. Dan benarlah, dia langsung ngacir tanpa berani memaksaku untuk pindah.

Jika saja bus kota non damri itu tidak ngetem, tentu aku ga perlu bersusah payah berjalan ke arah utara untuk kemudian naik bus yang datang dari Salatiga maupun Ambarawa. Tinggal berjalan keluar sekolah dan menunggu bus kota lewat.

Tapi masak penumpang tak memiliki hak untuk memilih bus atau angkutan kota yang akan dinaiki?
GL7 13.15 080611

Tuesday, June 07, 2011

Sorry pal! No more click between us!

 

SORRY PAL, NO MORE CLICK BETWEEN US!

Terinspirasi curhat Febbie. Dia berkisah tentang ketidaknyamanan yang dia temukan tatkala kembali berinteraksi dengan teman-teman lama, SD, SMP, dan SMA. Mungkin juga teman-teman kuliah dulu. Hal ini membuatnya berintrospeksi diri: adakah yang salah dalam dirinya? Adakah dia telah menjelma sebagai teman nan sombong? De el el.

Dan aku pun ketularan kepengen curhat. LOL.

Di tahun 2005 dalam kelas ‘American Intellectual History’ seorang dosen tamu dari Michigan bertanya, “Have you ever found out why you did not want to marry your highschool boyfriend/girlfriend?” Kemudian professor satu ini berkisah tentang sekelumit kisah masa lalunya. Ketika duduk di bangku SMA, dia memiliki pacar yang kebetulan (katanya) paling cantik satu sekolahan sehingga dijuluki ‘Barbie’. (Kau tahu mengapa ‘Barbie’ kan? Entah disetujui atau tidak oleh seluruh makhluk di kolong langit ini, boneka Barbie dianggap sebagai representative kecantikan yang sempurna, mulai dari rambut yang panjang ikal dan tebal, mata yang bentuknya sempurna seperti buah almond, hidung yang mancung, bibir tipis merah menawan, pipi kencang yang tidak menggelambir, leher nan jenjang, tubuh yang proporsional dengan lekuk pinggang yang membuat kaum lelaki ‘straight’ berdecak, dada yang penuh ranum, pantat yang berisi, dan kaki panjang nan seksi.)

Kebetulan dosenku ini bernama Kenneth yang dipanggil Ken. Maka cocoklah pasangan ini mendapatkan gelar ‘Barbie and Ken from the school’, dimana banyak siswa di sekolah itu pantas merasa iri.

Selulus SMA, Ken dan Barbie melanjutkan kuliah di kota yang berbeda. Ken yang cerdas bergaul dengan orang-orang sejenisnya (seleksi alam?). Membaca buku-buku yang menunjang kuliahnya, berdiskusi dengan orang-orang yang (mungkin) selevel dengannya, yang haus akan ilmu pengetahuan (sesuai interest), dan lain sebagainya yang membuat cara berpikirnya berkembang sesuai prosedur-prosedur yang dia jalani.

Di sisi lain, Barbie yang semakin menyadari pesona fisiknya terus menggenjot pesona fisiknya sebagai satu hal yang sangat penting, maka dia pun bergaul dengan orang-orang yang cara berpikirnya sama; yang kebetulan kemudian membentuknya menjadi seseorang yang berperilaku dan bercara pandang yang jauh berbeda dengan Ken. Kalau pun dia membaca buku-buku, maka tentu buku-buku tersebut berbeda dengan apa yang dibaca Ken. Exposure-exposure yang dia dapatkan dalam kehidupannya sehari-hari tentu saja jauh berbeda dengan yang didapatkan oleh Ken.

Maka bisa dibayangkan tatkala Ken dan Barbie bertemu lagi. No more click! No more sparks!

*****

Facebook sebagai networking site yang lumayan berpengaruh di banyak kehidupan orang sejak tahun 2009 telah membuahhasilkan banyak reuni di kalangan masyarakat mana pun. Paling tidak yang kuamati di antara online buddies yang kudapati di ‘contact friend’ku. Berbeda dengan friendster yang bergaung cukup hebat antara tahun 2004-2008 dimana entah mengapa orang lebih cenderung menggunakan fake name dibanding real name, tak banyak reuni yang dihasilkan dari booming FS. Di FB entah mengapa banyak orang menggunakan real name manakala mereka memang berniat untuk menelusuri jejak teman-teman lama, dengan apapun alasan yang mereka miliki untuk terhubung dengan mereka kembali. (Meski akhirnya banyak juga kudapati banyak akun yang menggunakan fake name di FB. Aku yakin mereka yang termasuk kelompok ini tidak berkehendak terhubung dengan teman-teman lama. Hanya mereka sendiri yang tahu alasan masing-masing mengapa menggunakan nick ‘palsu’.)

Aku pun sempat terbengong-bengong mendapati banyak teman lama (baca ? SMA) memiliki akun di FB. “How wonderful FB is to connect old friends,” aku sempat berpikir seperti ini di tahun 2009. Di tahun yang sama pun aku menghadiri reuni SMA satu angkatan, yang dijadikan sebagai ‘embryo’ reuni yang lebih besar, reuni perak tahun 2011.

Sedikit background zaman aku duduk di bangku SMA tahun 1983-1986. Penjurusan IPA/IPS/Bahasa dimulai dari kelas satu semester dua. Praktis aku mengenal yang bukan di jurusanku hanya dalam kurun waktu kurang lebih enam bulan. Aku masuk jurusan Bahasa yang di angkatanku hanya ada 4 siswa satu kelas, dua perempuan, dua laki-laki. Bisa dibayangkan jika wajahku lumayan familiar di kalangan teman-teman seangkatan karenanya. Maka ketika menghadiri reuni ‘kecil’ tahun 2009 itu, aku memperkenalkan diri dengan, “Aku Nana, jurusan Bahasa,” manakala bertemu dengan orang yang telah lupa/pangling denganku. Maka mereka pun akan ingat. 

Saat itu yang hadir kurang dari 50 orang, dan aku sudah merasakan ketidak’click’an dengan yang lain. Aku merasa berada di daerah antah berantah. I could not enjoy the atmosphere but the delicious food. ? Obrolan yang ada jauh dari yang menjadi interestku. Mau berbicara tentang masa lalu, kebetulan hanya aku seorang yang hadir dari jurusanku, 75% yang lain tidak hadir. 

Satu kali secara kebetulan aku bertemu dengan teman seangkatan yang kebetulan dulu kelasnya terletak di samping kelasku. She remembered me very well, sedangkan aku ‘hanya’ ingat wajahnya. Setelah tahu kita seangkatan, dan kelasnya berada di samping kelasku, dia pun mengingatkanku lagi hal-hal konyol yang ‘katanya’ dulu sering kulakukan. 

“Kamu dulu waktu SMA tuh naksir Efendi atau Yusdi sih Na?” tanyanya polos. wakakakakaka ... Did I? Hohohoho ... Yang aku ingat dulu teman sekelasku naksir seseorang di kelasnya. Bukan aku.

Beberapa ‘reuni kecil’ yang diadakan setelah itu sebagai rapat untuk merencanakan reuni perak yang pernah kuhadiri sempat membuatku jengah manakala berbincang tentang hal-hal yang bagiku “engga banget’ deh. LOL. Misal, to kill time and the insecure atmosphere, aku membawa novel “Manjali dan Cakrabirawa”. Seorang rekan yang lihat, bertanya, “Buku apa Na? Primbon?” wakakakakaka ... (maaf beribu maaf para pembaca, aku tidak bermaksud merendahkan para pemuja buku primbon, namun itu bacaanku waktu SD-SMA. Di usia sekarang membaca buku itu sangat engga banget dah buatku. Qiqiqiqiqi ...)

Di saat lain, waktu rapat entah bagaimana kisahnya obrolan menjalar ke ‘komunitas’ jurusan IPA/IPS/Bahasa dimana kemudian dikotomi kaum cerdas versus kaum kurang cerdas disinggung-singgung. Karena dikotomi inilah maka teman-teman yang jurusan yang bukan kalangan orang cerdas merasa rendah diri untuk datang reuni untuk berbaur dengan yang lain. (Can anyone explain to me about this? )

Ketika beberapa teman tahu Angie anakku sekolah di sekolahku dulu, mereka berkomentar, “Anakmu pinter ya Na? Sekarang kan sulit banget diterima di SMA 3?” tapi ketika mereka tahu Angie masuk jurusan IPA, mereka berkomentar – entah bercanda entah serius – begini, “Benar-benar anak cerdas ya? Ga kayak nyokapnya yang ‘hanya’ masuk jurusan Bahasa.” (note => penggunaan tanda apostrophe sebagai penekanan dariku. Hihihihi ...)

Duapuluh lima tahun telah berlalu. Mengapa cara pandang mereka masih seperti itu ya? So pathetic. Belum lagi yang terlibat obrolan denganku lewat chatbox beberapa bulan lalu tentang usahanya cari istri lagi dengan alasan yang terlalu naif. (Baca di link ini.) There are still some other reasons that made me shocked, but let me keep them all by myself.

You can curse me as an intellectual snob. LOL. Moreover I am not a sociable person. I would rather be a recluse dah than socialize with such people.

 Nana Podungge
A graduate of one kinda most favorite public high school in my hometown,
a single parent,
an agnostic
and a feminist
GL7 14.00 030611

Wednesday, June 01, 2011

Gowes Piknik Semarang - Pantai Bandengan Jepara

“No road is long with good company”

    ~ Turkish proverb ~

    (episode: The joy beat the heat)

Terinspirasi oleh para Srikandi b2w Indonesia yang gowes dari Jakarta ke Jepara, 9 ‘Srikandi’ yang tergabung dalam komunitas b2w Semarang pun menyusul gowes ke Jepara, ditemani sekitar 13 ‘Arjuna’.  Oleh sang pencetus (dan provokator tangguh) ide, Elvi, gowes kali ini diberi tajuk GOWES PIKNIK SEMARANG – PANTAI BANDENGAN JEPARA.
 
menjelang keberangkatan

Rencana berangkat dari meeting point jam 5.30 memang sempat tertunda dikarenakan peserta yang akan ikut pun datangnya molor.  Setelah berkumpul sekitar 17 orang, sekitar pukul 05.50 kita akan berangkat seusai sesi berdoa dan foto bersama. Pada waktu itulah Darmawan yang memegang seksi humas b2w Semarang – alias lebih terkenal dengan nama udara Boil Lebon – menelpon Elvi meminta agar ditunggu karena dia sudah dekat dengan area meeting point. Semua pun semakin bersuka cita karena dengan adanya nyonya Boil alias Pipit alias Roosy, maka akan ada mobil yang mengiringi perjalanan kita, mobil yang tentu keberadaannya sangat dibutuhkan mana kala terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.


Perjalanan yang bisa dikatakan bermodal kenekadan karena berbeda dengan GCtK 15 April lalu, sejak awal keberangkatan, sudah ada mobil pak BudCam, ambulance, dan sebuah truk yang mengiringi, in case akan ada yang harus ‘loading’ di perjalanan. Alhamdulillah waktu itu, yang amat sangat bermanfaat dalam perjalanan memang terutama mobil pak BudCam. Selain karena ada Yasto yang mengabadikan perjalanan kita dari arah depan, tentu banyak yang menitipkan barang bawaannya kedalam mobil. Plus tidak dilupakan juga persediaan air minum yang banyak disediakan oleh pak BudCam dalam mobil.


Alhamdulillah ada Boil sehingga rasa aman sedikit melingkupi. (atau hanya perasaanku saja ya?) Jadi meski tanpa ambulance, tanpa truk yang bisa dipakai untuk loading, 17 orang dengan penuh semangat mulai meninggalkan kawasan UNDIP untuk kemudian menuju Jalan Mataram, Bubakan, dan seterusnya. Seperti GCtK lalu. ada peserta termuda Dhimas, kali ini pun ada si kecil Aan (Brian) yang ikut bersama Papahnya. Semula Aang sempat hampir tidak jadi karena tidak ada teman gowes seusianya. Namun, sekali lagi, hasil provokasi sang provokator perjalanan, Aan pun dengan ceria mengikuti rombongan.


Sesampai di pertigaan Genuk tambah lagi peserta sehingga jumlah peserta pun mencapai 22 orang. Perjalanan benar-benar sangat santai dikarenakan ada Aang, Esty dan Pipit yang baru kali ini nekad ikut tour ke luar kota. Sempat mampir di sebuah SPBU untuk melepaskan hajat dan recharging tenaga dengan minum dan mengumpulkan nafas sebelum sampai di alun-alun Demak.

 
 
sarapan

Rombongan sampai di alun-alun Demak sekitar pukul 08.15. Kita langsung menghampiri tempat kita mampir sarapan 15 April lalu, seorang perempuan cantik yang konon ada ehem-ehem dengan pak ketu Komselis (gubraxxx, ditimpuk tas seli sama mas Tung) yang berjualan soto ayam dan swike ayam. Kali ini karena peserta hanya sekitar 22 orang saja, maka kita ga pakai ngantri lama untuk menunggu pesanan makanan dan minuman datang.

 
 
usai sarapan

Sebelum meninggalkan alun-alun Demak, Aan pun loading. Sepeda dipreteli, masuk mobil Boil, dan Aan menemani Adit yang mendampingi sang Apak menyetir mobil sembari menyemangati sang mantan pacar melanjutkan perjalanan gowes.

Perbedaan cuaca sangatlah ekstrim jika dibandingkan GCtK 15 April lalu. Sampai kita mencapai garis finish di Museum Kretek, mentari tetap saja bersembunyi di balik awan. Gowes Piknik ke Pantai Bandengan kita kali ini senantiasa dipayungi oleh sinar surya yang terus menerus menyapa. Namun kita tetaplah penuh semangat.

 

Mendekati pertigaan Demak – Kudus – Jepara, Pipit mulai menyerah karena tak tahan panas. Namun mengingat ini adalah pengalaman pertamanya gowes luar kota, ini sudah merupakan suatu prestasi bagus.  Dikarenakan mobil sudah terisi sepeda si kecil Aang, maka diputuskan sepeda Cipluk – peserta dari Kudus yang telah menganggap b2w Semarang komunitas keduanya – yang dilipat, masuk mobil; sedangkan si empunya sepeda gowes sepeda milik Pipit.

 
gerbang masuk Kab. Jepara

Rombongan melewati gapura selamat datang di Kabupaten Jepara sekitar pukul 11.40. Kita sempat beristirahat dua kali. Pertama di sebuah rumah makan yang bernama “Ora Nyono” dan yang kedua mini market A***mart dimana beberapa teman ngadem ke dalam. Di sinilah pertama kali ada penampakan om Andang menghampiri rombongan dan bertanya apakah ada di antara kita ada yang butuh tumpangan mobil. Dengan gagah perkasa kita menjawab tidak. :)

 
 
di perempatan Kalipucang Welahan

Teman-teman anggota b2w Jepara sempat terheran-heran melihat ada sekitar 8 perempuan (Pipit sudah berada dalam mobil) ikut dalam rombongan karena ternyata di ‘Jepara Cycling Club’ – kata om Andang, b2w Jepara terbentuk dengan mengumpulkan para anggota beberapa klub sepeda di Jepara – di Jepara belum ada anggota perempuan yang berani gowes keluar kota. Mereka hanya ‘berkeliaran’ di dalam kota saja.


Melewati perempatan Kalipucang Welahan kita mulai disambut tanjakan-tanjakan yang meski landai namun panjang. Beberapa anggota b2w Jepara mulai mengiringi rombongan Semarang. Namun justru inilah yang akhirnya membuat keduapuluh satu goweser terpisah menjadi beberapa kelompok; bukan satu kesatuan lagi. Yang melaju di depan terus melaju karena merasa ‘aman’ yang di belakang ada anggota b2w Jepara yang mengiringi. Yang di belakang entahlah nasibnya bagaimana.

Aku mulai merasakan kenyamanan yang sangat mengganggu ketika melewati pertigaan yang aku tidak tahu namanya. Aku masih melihat goweser di depanku berbelok kiri, aku langsung belok. Namun aku bingung antara terus gowes atau menunggu yang ada di belakang. Yang di belakang tidak kelihatan sama sekali.

Akhirnya aku memutuskan untuk terus setelah yakin di belakang ada Anjar yang ditugasi sebagai sweeper. Seingatku di belakang masih ada Lila, Esty dan beberapa yang lain yang aku tidak ingat siapa saja.

Di satu tanjakan, aku sempat berhenti setelah Asrul mengacung-acungkan botol minuman di pinggir jalan. Akhirnya aku, Asrul, dan Ranz – sang fotografer yang tidak suka difoto – berhenti sejenak. Recharging. Sekitar 5 menit kemudian, Ranz mengajak melanjutkan perjalanan karena ternyata tak jauh dari situ kita akan sampai gerbang masuk kota Jepara. Teman-teman yang telah sampai di sana tak sabar menunggu Ranz untuk mengabadikan momen berharga itu.


Di tengah gembira ria berpose bersama, (Boil, Pipit dan si kecil Adit plus Aan sampai di situ juga dan ikut berfoto bersama), sembari menunggu rombongan yang ada di belakang, para ‘pengiring’ anggota b2w Jepara meminta kita melanjutkan perjalanan karena katanya tak lama lagi kita akan sampai di tujuan utama, Pantai Kartini. Namun kita keukeuh menunggu yang ada di belakang sampai kita ber22 berkumpul.


Dan benarlah adanya. Esty dan Anjar yang pertama terlihat dari kejauhan. Setelah sampai, Anjar lapor ternyata kaki Esty sempat kram yang membuatnya harus berhenti sebentar. Lila menyusul tak lama lagi. Mereka bertiga masih berkesempatan mengabadikan momen penting itu. Tinggal satu, Anggun, yang setelah nampak di kejauhan, terlihat begitu tertatih-tatih menapaki tanjakan terakhir itu. Setelah hampir sampai, dia disambut Ranz yang berjalan mendekatinya. Merasa sangat lega telah berkumpul lagi dengan yang lain, Anggun menangis karena ternyata dia sempat jatuh sebelumnya karena terpeleset pasir. Untuk sementara Anggun tak mampu melanjutkan perjalanan dengan gowes. Maka, dia pun berganti posisi dengan Pipit. Pipit disemangati bahwa dia akan mampu gowes sampai Pantai Kartini sementara Anggun beristirahat dalam mobil.

 
gerbang masuk kota

Untunglah memang setelah melewati gerbang selamat datang di kota Jepara, tak ada lagi tanjakan. Jalanan menurun atau datar. Meski begitu sinar terik matahari tetap saja bergeming. Hal inilah yang kemudian membuat beberapa dari kita mampir ketika melihat sebuah minimarket di sebelah kanan jalan. Kita butuh ngadem dan minum: recharging tenaga. Sekali lagi rombongan Jepara ‘menyemangati’ kita untuk tak perlu lama leyeh-leyeh karena tak lama lagi kita akan sampai tujuan. Upaya penyemangatan yang kurang ‘mempan’ karena ditanggapi oleh sang provokator, “Yah namanya juga gowes piknik om. Ya kita nyante aja gowesnya. Gowes, belanja, kulineran, gowes, belanja, kulineran... gitu deh. Ga usah keburu-buru waktu.” NAH LO. LOL.

 
 
patung kura-kura raksasa

Waktu menunjukkan pukul 14.00 ketika kita semua sampai di patung kura-kura raksasa di pinggir pantai Kartini. Makan siang tiba! Dengan menu khas Jepara – sejenis opor namun kuahnya kental plus tempe ‘orek’ yang warnanya pucat, berarti tanpa kecap memasaknya – kita makan ramai-ramai di bawah patung kura-kura.

 
 
having lunch

Usai makan siang, acara ramah-tamah. Saling memperkenalkan diri dari kedua belah pihak – Semarang dan Jepara. Dari Semarang, Boil berinisiatif memberikan kenang-kenangan berupa satu jersey b2w Semarang.

Sekitar pukul 15.30 perjalanan dilanjutkan ke Pantai Bandengan. Boil dan keluarga tidak bisa terus mengiringi karena mereka ada acara lain. Otomatis dari pantai Kartini ke pantai Bandengan yang berjarak sekitar 5 kilometer, si kecil Aan dan Anggun ikut gowes. Tentu saja (sebagian) teman-teman Jepara mengiringi.

 
mejeng berdua Aan di pinggir pantai Bandengan

Setelah sampai pantai Bandengan ada rasa puas dan haru – bagiku sendiri – karena ternyata kita semua akhirnya sampai juga di tujuan yang tertulis di spanduk. Kepuasan yang tak ternilai harganya.

Beberapa dari kita menyempatkan diri main banana boat, yang lain sibuk mematut-matut diri di depan kamera. Yang lain duduk-duduk menikmati pemandangan pantai yang penuh dengan perahu-perahu. 

Kita meninggalkan lokasi sekitar pukul 18.00. Anggun turun masih di sekitar kota Jepara karena dia diminta mengunjungi seorang kerabat. Cipluk turun di satu tempat dimana ada isuzu atau ojek yang langsung bisa dia naiki pulang ke Kudus. Asrul berhenti di Welahan. Yang lain kembali ke kota Semarang. Ranz masih harus melanjutkan perjalanan dengan ‘travel’ ke Solo. Dia sampai rumah sekitar pukul 00.30. (Jangan kapok ya say?)

Sekali lagi membuktikan bahwa tak ada jalan yang panjang jika kita memiliki teman seperjalanan yang asyik. Bahkan terik mentari pun tak bisa mengalahkan keriangan yang memenuhi rongga dada. 

Love you all.

GL7 13.55 310511

 
 
Ranz

Special thanks for our dearest photographer, Ranz, dimana di salah satu albumnya dia menulis kalimat yang kukutip di awal tulisan ini, “the joy beat the heat”.