Search

Wednesday, February 28, 2024

Rezeki

 

28 Desember 2022, Tugu Jogja

Once upon a time, someone dear to me (back then) told me, "Kamu tuh ga boleh pilih kasih. Mentang-mentang kamu mulai bisa menikmati sepedaan, janganlah kamu tinggalkan sepeda motormu. Kamu boleh menikmati rezeki berupa kesehatan sehingga bisa mengayuh sepeda kemana pun kamu mau, kamu tetap harus menikmati rezeki memiliki sepeda motor."

 

Setelah lebih dari 10 tahun aku jauh lebih merayakan nikmat sehat kaki -- kedua kaki yang telah mengantarku pergi menjelajah dari satu kota ke kota lain, dari satu propinsi ke propinsi lain, sampai dari satu pulau yang lain, dengan naik sepeda tentu saja -- akhirnya sampai juga aku pada satu waktu dimana aku harus lebih adil. Tak perlu tiap hari aku naik sepeda, tapi kadang juga bisa naik motor.

 

Sebenarnya aku mulai mendapatkan 'keluhan' di kaki, kalau mau jujur, adalah saat bersepeda menjelajah pantura dari Semarang ke Cirebon, bersama Ranz, Dwi, Hesti, dan Avitt, Desember 2016. hari pertama kami menempuh jarak 100 km, dari Semarang sampai Batang, dengan mendaki Alas Roban, di hari kedua kami kembali menempuh jarak 100 km, dari Batang ke Brebes. Di hari ketiga, entah mengapa, di tengah perjalanan tiba-tiba aku merasa kakiku kram (aku sudah lupa entah kaki kiri atau kaki kanan, it happened 7 years ago!) karena tidak mau ketinggalan -- meski tentu saja mereka ga mungkin meninggalkanku -- aku memaksa mengayuh pedal Austin lebih cepat, agar berada di depan, sehingga keempat anggota Semarang velogirls itu berada di belakangku, sehingga aku lah yang memainkan 'kecepatan' a.k.a speed.

 

Selama lebih dari 5 tahun dari sejak mulai bertualang dengan Ranz di tahun 2011, tak pernah sekali pun aku menggunakan obat salep sebangsa counterpain atau voltaren atau flamar saat otot kaki terasa kaku karena terforsir bersepeda. Saat itu aku sengaja membawa counterpain (haha, akhirnya tiba juga saatnya ya?)

 

Meski sejak saat itu kaki sudah mulai memberi sinyal untuk dirawat lebih baik, aku tetap saja tidak ngeh. Hingga akhir tahun 2021 paha kanan kecethit, dan Ranz menyarankanku untuk terapi ke terapis langganan keluarganya, aku tetap saja kurang mengerti bahwa kakiku minta disayang dengan cara lain: istirahat secukupnya; jangan diforsir setiap hari.

 

Sejak awal tahun 2022 aku kembali berenang, untuk mengimbangi olahraga sepedaan. Ketika membaca blog tulisan tahun 2008, aku menemukan nasehat Abang, "Na, meski kamu mulai menikmati naik sepeda, jangan kamu tinggalkan berenang." nah lo. Memang aku yang ndableg dan pelupa. Lol. Waktu itu, mbak terapis memang menyarankanku untuk berenang, dan dia tidak melarangku untuk sepedaan, meski dia bilang awal mula 'ketidakberesan' otot-otot di kakiku adalah salah posisi saat mengayuh pedal sepeda. (Loh, memang posisi kaki yang benar bagaimana? Entahlah. Hihihi.)

 

Akhir tahun 2023 saat dolan-dolan ke Gunung Kidul, Kemuning, Mojokerto, Wonogiri, kakiku mungkin dalam posisi yang kurang nyaman saat duduk dalam mobil, hingga aku mulai merasa kaki tidak nyaman untuk berjalan. Maka mulai bulan Januari 2024, aku kembali terapi. Plus, aku juga mengalami kecethit lagi, di paha kiri bagian dalam. Mbak terapis sampai melarangku bersepeda, dan membolehkanku berenang jika menggunakan gaya bebas, bukan gaya dada, dalam kurun waktu tertentu. Kalau aku melanggar, dia bilang, "nanti mbak Nana ga bisa jalan loh." WADUWWW.

 

So? Ya begitulah, aku kembali dengan suka cita menikmati rezeki memiliki sepeda motor. Plus, aku merasa perlu 'membaik-baiki' kaki dengan sering mengajaknya berbicara, "thank you for taking me anywhere I want to go, for being very helpful so far. I am sorry for not treating you as best as I could. I love you so much."

 

PT56 15.15 28/02/2024

 

Tuesday, February 27, 2024

Monday, February 26, 2024

S u n g k e m

 


sungkem maut.

yang disungkemi bapak dan anak ini langsung nyungsep. 

26 February 2024

Tuesday, February 13, 2024

Making Choices

 


Dalam kehidupan kita sehari-hari, tak pernah kita terlepas dari saat-saat kita harus memilih. Saat alarm berbunyi di pagi hari, kita mulai membuat pilihan: mau mematikan alarm kemudian langsung bangun dan memulai 'household chores' di pagi hari, atau kita akan melanjutkan leyeh-leyeh selama beberapa menit, atau malah justru kembali tidur karena mimpi indah yang terputus gegara suara alarm membuat kita gusar.

 

Pilihan berikutnya, dari sekian sayuran yang ada di kulkas, yang mana yang akan kita pilih untuk kita masak; lagu apa yang akan kita dengarkan saat sibuk memasak di dapur; mau mandi jam berapa setelah masak, mau mengenakan baju yang mana, sepatu yang mana, tas yang mana yang akan kita bawa beraktifitas, and so on and so forth.

 

Dari hal-hal 'mundane' seperti itu, hal-hal yang harus kita pilih kian meningkat tingkat urgensinya. Ada yang bisa kita pilih tanpa perlu melakukan pertimbangan-pertimbangan pelik, ada juga yang membuat kita (mungkin) perlu melakukan kontemplasi dalam kurun waktu yang cukup lama sampai saat akhirnya kita dengan 'legawa' memilih dari sekian 'options' yang ada.

 

Pilpres

 

Bagi saya pribadi, memilih paslon capres cawapres tentu bukan hal sepele. Banyak hal yang menjadi pertimbangan saya sebelum memutuskan berlabuh pada paslon 02. Keputusan ini tentu dilandasi oleh banyak info yang 'datang' kepada saya (yang bisa dikategorikan sebagai 'rezeki' kata Mbak RRM). Rezeki yang datang pada saya bisa jadi berbeda dari rezeki yang datang ke orang lain sehingga pilihan kita berbeda. Tentu ini sah-sah saja. Yang penting adalah kita aktif untuk ikut membentuk negeri seperti apa yang akan menjadi ayoman generasi penerus kita.

 

Saya yakin, semua pilihan baik adanya. Plus tiap-tiap paslon memiliki sisi positif maupun negatif. Semua pilihan akan membawa advantages tertentu, dan mungkin disadvantages yang lain. Namun ya itu tadi, kita harus memilih, dan hati nurani tiap-tiap warga negara Indonesia tidak pasti harus sama. Ingat: satu orang satu suara, tidak peduli kedudukan kita di tengah masyarakat.

 

H-1 menuju pilpres 2024

 

Mari bergembira bersama dalam pesta demokrasi ini.

 

Semarang, 13 Februari 2024

 

Pilpres 2024 1 putaran!

 

 

SAYA AKAN MEMILIH DAN SAYA SUDAH PUNYA PILIHAN

 

Hingga hari Minggu lalu, saya masih tetap punya keraguan. Tapi Tuhan menolong saya. Diluncurkannya film pendek "Dirty Votes" justru kemudian menyadarkan saya. Bukan pada arah yang sama, tapi pada arah sebaliknya. Saya juga harus ikut melawan "tirani media" seperti ini.

 

Secara pribadi, saya tidak kenal pembuat film ini. Saya hanya mengenal dari berbagai karya-nya, yang memang selalu berusaha menyedot perhatian. Secara rating, mudah dilihat dari seberapa banyak viewer-nya. Tapi bagi saya ya berhenti sampai di sini, tentu bila diteliti lebih dalam siapakah viewer-nya. Mereka yang cuma buka lalu tutup sejak 5 menit pertama, atau sekedar mereka yang click-bait.

 

Dan yang terpenting bila ada yang menonton sampai selesai, seberapa besar pengaruhnya?

 

Sekali pun, saya tidak mengenal secara pribadi, tapi saya pernah punya cerita yang menyangkut dirinya dan pemutaran film2nya di Jerman. Maaf kalau meng-ulang2 cerita lama. Tapi intinya, hanya karena saya menulis hal tersebut berakibat event yang sebenarnya sangat baik tersebut. Kemudian tutup dan tak pernah diadakan lagi.

 

Saya geer, ya tidak! Karena bisa saja persoalannya juga mungkin karena pandemi berkepanjangan, mungkin juga karena promotor-nya bosen nombok terus. Mungkin sponsor makin sulit. Tapi event di Hamburg sebagai kota pelabuhan terbesar di dunia pada akhirnya mandeg. Tak lagi berlanjut, semoga tetap ada di masa depan ya…

 

Tentu saja karena, reaksi saya kepada si pembuat film ini, saya protes keras. Selalu memberikan panggung padanya, tapi tidak adil kepada yang lain. Alasan memberi pencerahan baik2 saja, tapi sebagai sarana untuk membangun citra buruk dan kebencian bagi anak2 bangsa yang sedang menuntut ilmu terhadap negeri sendiri. Itu persoalan lain!

 

Film Dirty Vote bagi saya hanya propaganda yang terlalu dini, berisi sinyalemen2 dan tuduhan2 yang sudah dihadirkan jauh sebelum hajatan sesungguhnya dilakukan. Hanya untuk mendeskreditkan pemerintah, bahwa Pemilu 2024 sudah gagal sejak sebelum dilaksanakan. Bahwa film ini diawaki dengan aktor2 yang sesungguhnya tak lebih orasi para intelektual di bidang hukum. Yang katanya independen, yang katanya berintegritas. Saya juga punya catatan lain tentang mereka..

______________________________________

 

Bila kita pernah tinggal di luar negeri atau mengikuti banyak Pemilu Terbuka sejenis di banyak negara. Hal2 seperti ini sangat biasa, bahkan terlalu biasa. Momentum2 yang ditunggangi sekedar membranding diri sendiri belak.

 

Saya beri contoh satu saja, yang juga relevan. Sesuatu yang terlanjur, lalu kemudian disesali sedemikian rupa. Apa yang kita kenal sebagai "Brexit Scandal", yaitu terkait referendum tentang masa depan Inggris di dalam Uni Eropa. Dalam referendum pada 23 Juni 2016, 52% warga Inggris memilih untuk mengakhiri keanggotaan mereka di UE sementara 48%-nya ingin tetap berada di zona euro. Hasilnya mendorong pengunduran diri Perdana Menteri David Cameron dari Partai Konservatif.

 

Dalam perlombaan untuk menggantikannya, juru kampanye Brexit Boris Johnson terpilih sebagai PM baru. Ia kemudian terlibat dalam skandal pelecehan sosial, dan gelombang pengunduran diri terbesar dalam sejarah Inggris. Boris akhirnya juga mengundurkan diri, tercatat sebagai PM dengan masa kekuasaan tersingkat dan paling buruk yang pernah memerintah di Inggris. Ia dianggap gagal menangani COVID di Inggris, yang mendudukkan sebagai "jagal kematian" dalam bentuk lain.

 

Tanya kenapa? Ia sebelumnya adalah seorang wartawan, hingga terlalu mudah tunduk pada tekanan media. Dan tentu saja menggunakan media termasuk film2 pendek seperti di atas untuk merangsek naik dan memenangkan ide2nya. Idem dito berbekal isu2, sinyalemen2, dan tuduhan2....

________________________________________

 

Persoalan berikutnya, siapa yang akan saya pilih? Saya akan memilih siapa yang akan membuat Pilpres kali ini berlangsung cukup satu putaran saja.

 

Lagi2 tanya kenapa?

 

Pertama, berbagai realitas yang terjadi di lapangan. Bagaimana figur yang selama ini, dianggap perlawanan terhadap Jokowi. Ternyata tak lebih agen ganda, yang bergerak untuk dua kepentingan yang berlawanan. Di panggung, ia berkoar-koar merisak Jokowi dengan berbagai caci maki dan fitnah. Dalam ksesempatan lain, ia justru mendorong dan mendanai orang2 di sekitarnya untuk menjadi caleg dari partai sebelah. Apa tumon?

 

Kedua, makin ke sini, makin terlihat jelas. Alasan2 kenapa akhirnya Jokowi lebih merapat ke pasangan Nomor 2. Ide besar yang diusungnya adalah "rekonsiliasi nasional". Berbeda arah dengan partai pendukung utama sebelumnya, yang melulu mengejar ad sic kekuasaan pemerintahan. Sekedar menjadikan Ibu Ketum sebagai Queen Maker selama2nya. Ide dasarnya sebenarnya juga cukup baik, ia ingin melihat partainya berkuasa selama tiga periode.

 

Ketiga, persoalannya lagi2 pada cara. Cara2 yang di mata (minimal) Jokowi, justru memecah belah dan membuat berantakan. Cerita bagaimana ia "merusak dan menguasai" Ganjar dan Mahfud agar justru menjadi musuh terdepan Jokowi sungguh mengerikan bagi saya. Ini makin menjauhkan diri dari upaya "rekonsiliasi nasional". Lalu apa pentingnya "rekonsiliasi nasional" sesungguhnya?

 

Saya akui ini sangat berbau gaya "Orde Baru", negara akan maju bila stabilitas negara terfasilitasi. Revolusi Mental akan lebih mudah dicapai bila negara kompak untuk mencapainya. Lalu apa musuhnya? Tentu saja mereka yang selama ini adalah pejuang demokrasi, HAM, dan mereka2 yang pada akhirnya sangat bangga jika disebut sebagai Social Justice Warrior (SJW) itu!

 

Keempat, secara pribadi, ketika makin mencoba "semende ing Gusti". Melihat bahwa hidup tak pernah linear. Sahabat saya Pak Ode Teo, ia adalah tokoh eksil terdepan yang sekarang hidup tenang sebagai WN Jerman. Tapi walau selalu mendaku sekarang @warga negara asing, tapi cintanya kepada tanah airnya tak pernah sedikit pun lekang. Beliau mengingatkan jangan2 Prabowo Subianto itu adalah sorang Saulus yang bermetamorfosa sebagai Paulus.

 

Ia yang sebelumnya dianggap sebagai penganiaya terkejam pengikut Yesus Kristus, akhirnya akibat suatu peristiwa ketika ia buta selama tiga hari lalu disembuhkan. Ia bertobat, lalu kemudian ia dikenal bukan saja sebagai pengikut Kristus tetapi juga pewarta Injil terdepan. Menjadi yang paling sering disebut namanya.

 

Kasus serupa sebenarnya juga ada dalam nyaris semua agama. Pun dalam agama Islam. Sebelum menjadi pembela Nabi Muhammad saw, Umar bin Khattab adalah pemuda yang amat keras dalam membela agama tradisional Arab yang saat itu masih menyembah berhala serta menjaga adat istiadat mereka. Namun ketika, ia akhirnya bertobat. Ia menjadi pembela terbesar Rasullulah dan akhirnya menjadi Khulafaur Rasyidin kedua menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

 

Kelima, intinya adalah manusia akan berubah, kalau ia mendapat kesempatan. Apakah Prabowo demikian? Bukankah ia sekedar segenap ambisi yang tak pernah putus, bukankah ia seorang penjahat HAM, bukankah ia jendral pecatan?

 

Tapi satu hal, ia mendapat kesempatan. Bukan saja kesempatan untuk membayar kesalahannya, ia dipecat tak terhormat. Ia pernah tiga kali mencalonkan diri jadi capres dan cawapres. Mustinya kalau ia "sejahat" itu, harusnya ada aturan yang menganulirnya. Nyatanya tidak! Ia pada akhirnya akan dikenang sebagai orang gigih dan keras hati, walau ia terus kalah. Ia adalah pejuang dalam bentuk yang lain lagi…

 

Bagi saya ia layak diberi kesempatan. Tak apa sekedar 2-3 tahun memerintah. Medical-recordnya menunjukkan demikian. Apa yang terjadi selanjutnya, ya dipikir besok lagi. Saya lebih suka kalau Pilpres kali ini cepat selesai. Kalau pun akan ada keributan. Kapan sih kita tidak. Saya pikir pemerintah sudah mengantisipasi bahwa keributan, tak akan berlanjut pada kerusuhan. Realitas sosial, ekonomi, dan politik di tahun 2024 berbeda jauh dengan 1998.

 

Ini cara saya bereaksi kepada mereka yang cerewet, bawel, sok tahu. Alih2 menjunjung tinggi etika, tapi pamer keangkuhan dan kesombongan, merendahkan orang lain dan tak menunjukkan adab tahu terima kasih. Apa yang mereka lakukan adalah sama saja tidak mempedulikan nasib anak2 mereka sendiri di masa depan. Dengan memberi teladan yang baik dan sikap punya rasa hormat. Sok suka memuak2an diri, padahal sepanjang waktu, kehidupan mereka justru memuakkan orang lain....

 

Saya akan memilih. Dan saya senang sudah punya pilihan. Walau tentu saja pahit!

.

.

.

NB: Saya memilih, karena bukan saja menjalankan amanat konstitusi sebagai warga negara. Tapi juga mengikuti perintah dari otoritas gereja, yang tentu saja harus saya junjung dan hormati.

 

Tentang perbedaan pilihan, saya pikir baik2 saja. Saya sangat menjunjung tinggi selera, kepentingan, keterbatasan, dan seterusnya. Saya hanya tidak pernah suka pada hinaan, caci maki, umpatan, fitnah, tuduhan, sinyalemen, isu2. Yang terlanjur diangkat, sekedar untuk "membranding diri sendiri", Aku kancane sapa, aku balane sapa!

 

Saya tidak pernah sekalipun mengejek terhadap pilihan orang lain. Tak pernah sekali pun. Tapi saya juga tak akan ragu memblock pertemanan dengan siapa pun, yang mengejek terhadap pilihan saya. Terutama bila sedemikian kasar yang ternyata di lapak saya. Sesalah apa pun, saya mengerti resikonya. Dan mari kita menakar saja resiko pada pilihan kita masing2.

 

Selamat memilih, bukan demi2 apa2. Tapi demi kehormatan kita sendiri. Tak lebih. Karena satu-satunya yang bisa kita jaga hanya kehormatan diri. Itu bisa saja salah, tapi bila kita meyakininya dengan baik. Itu lebih baik, apalagi bila selamanya selalu meragukan orang lain. Ragu terhadap orang lain, sesungguhnya tak lebih ragu terhadap diri sendiri...

 

Mari mencoblos, dan tetap happy saja. Se-happy jaman dulu, saat kita nonton Srimulat.

 

P.S.:

 

Tulisan saya salin dari dinding facebook Andi Setiono

 

Saturday, February 03, 2024

Bersamamu - Jaz

 


Bersamamu, kita akan taklukkan dunia
Arungi samudera penuh rintangan
Bersamamu, kita akan jalani semua
Jangan takut untuk melangkah bersamaku (bersama)

Bersamamu, 'ku akan dicintai dengan tulus (tanpa ragu)
Tanpa ragu, 'ku akan memberikan cintaku
Bersamaku, kamu tak akan sendu
Yakinkan kamu aku yang terbaik untukmu
Du-du-du, du-du-du (da-da-da, da-da-da-da-da)

Bersamamu, kita 'kan jelajahi semesta (semesta)
Bertualang dengan cerita kita (cerita kita)
Bersamamu, kita akan berbagi semua
Segala baik dan buruk diriku

'Ku tahu kau ragu
Biar 'ku beritahu padamu

Bersamamu, 'ku akan dicintai dengan tulus
Tanpa ragu, 'ku akan memberikan cintaku
Bersamaku, kamu tak akan sendu
Yakinkan kamu aku yang terbaik untukmu

Buka hatimu
Segala rasa 'kan kuberikan untukmu (oh), ho-ho

(Bersamamu, 'ku akan dicintai tulus tanpa ragu)
(Tanpa ragu) 'ku akan memberikan cintaku
Bersamaku, kamu tak akan sendu
Yakinkan kamu aku yang terbaik untukmu, oh

Bersamamu ('ku akan dicintai dengan tulus)
Tanpa ragu ('ku akan memberikan cintaku)
Bersamaku, kamu tak akan sendu
Yakinkan kamu aku yang terbaik untukmu
(Yakinkan kamu) yang terbaik untukmu

 

Jokowi nan Otentik

 


YANG KITA LAWAN DARI JOKOWI ITU KE-OTENTISITAS-ANNYA

 

Disclaimer:

tulisan ini saya salin dari wall Andi Setiono

 

Bagi orang Jawa, entah etnis yang lain. Salah satu pepatah yang paling penting untuk dijunjung tinggi berbunyi: "tega larane, ora tega patine". Artinya kita boleh saja, mengkritik, menyalahpahami, atau gagal mengerti tentang perilaku seorang yang kita sayangi. Atau dalam konteks bermasyarakat pemimpin kita. Tapi tidak sampai ke titik ingin mempermalukan, menjatuhkan atau bahkan membunuhnya.

 

Itu etik dasar, minimal yang saya pegang dan coba saya tularkan di lingkaran hidup saya. Apalagi ia adalah orang yang pernah kita dukung, kita belai, dan sempat demikian kita sayangi. Meludahinya semestinya sama dengan meludahi muka kita sendiri. Hingga pernah muncul sepotong kalimat indah: Jokowi adalah Kita.

 

Bagi saya prinsip "mikul dhuwur, mendem jero" sampai kapan pun akan tetap berlaku. Memiliki rasa hormat dan tahu berterimakasih itu adalah yang terbaik. Sebetapa pun itu jadi terlihat konyol dan bodoh! Bahwa di luar sana tidak begitu, itu urusan masing-masing…

 

Situasi terkini, hari2 ini sebagian sangat besar kita memandang Jokowi adalah sejelek-jeleknya manusia yang pernah dilahirkan di Indonesia. Setiap hari saya membaca orang yang kecewa padanya. Kecewa itu baik2 saja, tak ada yang salah. Tapi mendramatisirnya sedemikian rupa, lalu menggiring opini publik seolah2 dirinya adalah pemilik kebenaran. Mereka yang merasa bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan.

 

Apa yang disebut sebagai "Playing God", tentu sebagai antonim dari sebagian pemimpin yang suka "Playing Victims". Dua gaya dramatik yang silih berganti diperankan oleh kedua belah pihak.

 

Sedemikian rupa, ia memainkan peran melalui jari-jemarinya di medsos, seolah ia adalah pemilik otoritas kekuasaan sesungguhnya. Sekali lagi tidak salah, dan baik2 saja. Mereka menunjukkan sikap wong kelaran (orang tersakiti), yang ujung2nya apa boleh buat kita harus menganggapnya sebagai wong lara (orang sakit). Sehingga kita harus bersikap harus tega karo larane. Yo ben wae wae, pada lara dewe-dewe. Rasakno…

 

Artinya apa? Baik yang mengumpat, mencurigai, memfitnah maupun sebaliknya yang diumpat, dicurigai, difitnah sejatinya sama saja. Pada-pada wong lara, sama2 sakit! Pun barangkali saya, yang menuliskan artikel ini, saya pun merasa diri ikut-ikutan sakit, sekalipun saya berusaha keras memahami kedua belah pihak. Tidak mudah, tapi tetap akan saya lakukan untuk memberikan perimbangan.

 

Lalu, apakah kita akan menuju "pati"-ne, kematian-nya? Sesuatu yang disinyalir bahwa Pilpres kali ini akan berakhir kacau dan rusuh?

 

Kematian itu bagi orang Jawa di masa lalu, bukan sesuatu yang menakutkan, apalagi menyakitkan. Apa pun caranya ia adalah jalan pembebasan. Tapi justru karena soal itulah, kita lalu mengatakan "ora tega patine". Karena kita terlalu menyayangi kehidupan. Pun demikian, kondis kraman, begal-pati, yang mawut, yang dalam kosa kata global disebut chaos, anarkiis, dan rebel. Justru adalah jalan terpendek menuju perubahan.

 

Dalam teks dan konteks inilah, saya ingin sedikit menuliskan kenapa seorang Jokowi bisa sedemikian mengharu biru kita. Justru ketika kita semakin mengkritik, membenci, dan menyalahpahami-nya. Kita boleh saja berdebat sampai kerongkongan kering dan hilang suara. Realitasnya, ia tak menunjukkan siatuasi panik atau gusar. Kepanikan dan kegusaran dirinya tak lebih framing yang dipaksakan, dengan dalil ini itu. Akrobat pembenaran dari perasaan kita yang galau, kacau dan campur aduk.

 

Bagi saya persoalan yang kita hadapi dalam teks dan konteks Jokowi adalah sisi ke-otentik-annya. Apa itu otentik?

Secara singkat ke-otentik-an bermakna keaslian yang dapat menarik minat orang lain. Artinya ia memiliki sifat asli yang unik, yang kadang terbaca kadang tidak, bisa kita duga tapi ternyata tidak. Ia berbeda dengan autentik yang melulu merupakan kata sifat yang berarti dapat dipercaya, asli, tulen, dan sah. Konteks dari otentik di sini adalah ia selalu melakukan kebaruan, ia selalu melakukan sesuatu yang anomali. Sesuatu yang terkadang dianggap pada jangka sangat pendek tidak lumrah.

 

Dalam konteks ini, barangkali yang selalu dipersoalkan oleh dan bagi publik adalah teks dan konteks: benar dan salah, baik dan buruk, pantas tak pantas, dst dst. Sesuatu yang sebenarnya bersifat sangat relatif dan tidak langgeng.

Dari Jokowi, kita melihat hal tersebut dengan sangat mencolok mata, bagaimana ia dianggap tidak konsisten. Padahal ia justru konsisten pada ketidak konsistenan-nya itu. Ia selalu berubah, justru karena ia selalu berada pada titik yang memungkinkan atau malah mengharuskan ada perubahan. Ia menjadi pusat titik cair di pusat kebekuan. Ia mendayung merengkuh masa depan, di tengah orang yang hanya peduli pada diri sendiri di hari ini.

 

Akibatnya ia tampak selalu salah. Satu saat ia disalahkan oleh musuh2 di garis awalnya, lalu di tengah jalan dimusuhi oleh para pendukungnya. Di akhir barangkali, semua adalah musuhnya. Dalam lingkaran setan kebencian dan aura salah paham ini lah, ia berada.

 

Saat ia direndahkan oleh Ketua Partai-nya sendiri, seolah hal ini adalah keniscayaan. Karena di partainya ada hukum besi, pejah gesang nderek Bu Ketua. Padahal orang juga abai pada realitas, si ibu makin menua, jadi pikun, dan mudah emosi. Ketika ia mencoba membela diri, ia dianggap tidak tahu terima kasih. Ketika keluarganya satu persatu mulai meninggalkan garis kebijakan partai, lalu ia dianggap malin kundang dan pengkhianat.

 

Ketika para pendukung dan relawannya mulai ngelunjak, dan merasa tanpa mereka bahwa ia bukan siapa2. Lalu seolah menuntut sesuatu yang di luar kemampuan dirinya, untuk harus selalu mendengar para relawannya. Kita lupa jika Jokowi bisa bertahan sampai detik ini, tentu bukan perkara mudah. Ia harus mau jadi "bapak asuh" bagi semua golongan atau partai. Ia bisa bersikap keras, tapi pasti tidak sampai mematikan.

 

Ia bisa saja mematikan HTI, FPI, atau organisasi sejenis, tapi hanya secara informal administratif. Tapi manusia, semangat gerakannya, kiprah sosialnya bernilai tetap. Dan dalam konteks ini pula, ia berusaha keras menjadikannya otentik, dalam arti ia mewujudkan setiap cita2 dasar yang berpotensi mangkrak dan tertunda seperti IKN misalnya. Maupun proyek2 baru infrastruktur yang dulu kita mimpi di siang bolong pun tidak bakal terwujud.

 

Ia mendayung di antara para hipokrit, penjilat, dan tamak. Hingga biaya jadi mahal atau kemahalan, satu2nya yang menjadi pasti!

 

Dalam pusaran inilah, ia berdiri dan bertahan. Selalu ada persoalan serius dalam ide besar: lanjut atau mangkrak. Pihak oposisi, dalam format demokrasi apa pun, selalu melihat apa pun yang diperbuat rivalnya adalah salah dan buruk. Itu hukum besi ilmu politik. Karena apa? Ya sekedar meningkatkan nilai tawarnya belaka. Tak lebih!

 

Ketika partai pendukung utamanya, dianggapnya tak lagi jadi penyokong ide2 besarnya. Apa yang dipahami secara konstitusional, sebagai perpajangan jabatan untuk "Tiga Periode". Lalu ia mencoba mencari jalan keluar. Kok ndilalah, justru pada titik dimana, apa yang selama ini dianggap musuh besarnya. Pada mereka lah, harapan "koalisi baru" itu bisa terbentuk dan terbangun.

 

Itulah kutukan demokrasi ala2 Amerika. Terbuka dalam sedemikian banyak hal, tapi terbatas dalam jangka waktu. Berbeda dengan tuntutan demokrasi terpimpin yang menuntut loyalitas tak terbatas. Demokrasi di zaman milenial selalu butuh kesegaran. Hingga akhirnya resiko selalu dihitung belakangan, karena toh sama2 mengandung resiko. Apa sih yang tak mengandung resiko di abad sosial media ini.

 

Setiap kepala adalah kebenaran dan selera, dimana masing2 ingin didengar suaranya. Padahal masing2 kepala adalah keterbatasan dan ketidak utuhan informasi.

 

Di sini lah, lagi-lagi Jokowi memunculkan ke-otentik-an dirinya. Ia menjadi beda, ia tak bisa diatur, ia abai terhadap masa lalunya, ia memutuskan memilih jalannya sendiri. Dalam konteks ini, ia berani mengambil resiko, dan pasti sudah siap dengan resiko terburuk yang akan dihadapinya kelak. Ia menjadi seolah tidak peduli pada publik, karena justru ia terbiasa pada reaksi para pembencinya.

 

Ia sudah terlalu biasa, dengan suara minor terhadap dirinya. Sesuatu yang menjadikannya menjadi sangat otentik. Yang barangkali, menjadikannya presiden paling berbeda dibanding keenam presiden yang sebelumnya. Terlepas dari persoalan: selera suka tidak suka, atau ukuran praktis benar salah, atau bahkan parameter moral benar salah sekalipun. Ia tetap menempuh jalan ninja-nya sendiri. Yang melulu persoalan pilihan!

 

Ia barangkali justru sangat mendengar lingkaran terdekatnya, yang paling ia percaya. Bahwa kelompok intelektual (asli maupun palsu) yang ceriwis dan setiap hari menghujat tak lebih 10 % itu. Terus menerus berdengung, ngacapruk, dan malah bersiasat jahat. Membuat badai dalam stoples, yang sesungguhnya tak lebih obrolan angkringan. Yang akan berakhir, ketika pedagangnya bosan, puyeng dan melengos tutup warung.

 

Karena ia tahu, semua gerakan itu butuh bohir, penyandang dana. Yang sialnya itu semua, petanya telah teridentifikasi. Itulah gambaran kita sebagai kaum pencacau, pengigau yang merasa setiap patah kata kita adalah azimat penyelamat hidup manusia.

 

Sementara hidup kita sendiri, tak akan lebih baik. Karena sering kita melupakan prinsip dasar: kebaikan sejati hanya bisa ditempuh melalui jalan kebaikan.

 

Kabecikan tinemu kanti laku lan lelaku!

.

.

.

NB: Karya lukis terbaik yang pernah dibuat untuk menggambarkan betapa sangat mudahnya moral dijadikan patokan umum untuk menghukum seseorang, tanpa proses pemeriksaan yang seksama. Adalah sebuah lukisan dari era klasik Yunani, yang sangat banyak memiliki versi, sehingga judul-nya pun bisa apa saja. Inilah salah satu lukisan yang paling sering ditafsirkan ulang dengan berbagai background yang berbeda.

 

Lukisan di bawah ini, menceritakan hubungan yang barangkali sampai kapan pun, ketika patokan kita adalah "moral semu" atau moral menurut ukuran umum. Orang Jogja menyebutnya sebagai "umume". Lukisan yang kita anggap sebagai romantis, cenderung erotis dan seronok, yang sejak zaman dahulu kala disebut buruk dan sesat.

 

Menceritakan seorang laki2 yang dipenjara, bernama Cimon yang menyusu pada seorang perempuan bernama Piro. Belakangan diketahui keduanya adalah seorang ayah dan anak perempuan satu2nya. Si ayah dipenjara karena dituduh mencuri sepotong roti. Ia sedemikian miskin dan tak mampu membela diri, lalu dihukum dengan cara dibiarkan mati kelaparan. Tak boleh satu orang pun memberi makan minum padanya, hingga ia mati.

 

Si anak yang tak tega, kemudian meminta izin untuk mengunjungi ayahnya setiap hari. Kecurigaan muncul dari para petugas penjara, mengapa si ayah tak kunjung mati dan malah tetap segar bugar. Kemudian diketahui, si anak berbagi air susunya yang menjadi jatah anak bayinya yang baru lahir dengan ayahnya. Hingga ia tetap bisa bertahan hidup. Tak jelas bagaimana akhir cerita ini? Dan barangkali tak penting apakah kedua orang ini dihukum atau dibebaskan.

Yang pasti cerita ini menginspirasi banyak agama besar yang kemudian lahir, mengenai begitu rapuh dan relatifnya ukuran moralitas itu. Bagi kaum "moralis umume", Cimon dan Pero, keduanya pantas dihukum bakar hidup2 untuk menebus kesalahannya. Namun konon Tuhan berpendapat lain, keduanya dianggap simbol cinta kasih dan etika dasar kemanusiaan. Konon keduanya diperkenankan menjadi orang yang pertama membuka pintu Surga.

 

Apakah Jokowi adalah seorang Cimon, sedangkan Gibran adalah Pero? Tentu saja tidak.

 

Bagian yang jelas terjadi di hari ini, sebagian (ya catat sebagian besar) publik, telah menghukum sedemikian rupa Jokowi dengan berbagai stigma dan tuduhan sedemikian buruk. Tanpa pernah mau bersabar menunggu cerita lanjutan, atau barangkali inti dasar masalah yang melatarbelakanginya.

 

Bagi saya, yang paling mengherankan justru mereka yang paling "bernafsu membunuh" Jokowi dan anaknya adalah mereka2 yang selama ini setidaknya ikut menikmati segala "berkah" kepemimpinan Jokowi.

 

Mereka2 yang selama ini merasa mengenal sedemikian rupa Jokowi. Sehingga sebagaimana teks di atas mendaku "Jokowi adalah Kita". Padahal dengan ke-otentik-annya Jokowi adalah pribadi yang juga sangat merdeka, fokus pada rencana2 pribadinya. Apa yang sebagian orang sebut sebagai "koppig", keras kepala dan teguh pada pilihannya. Lalu ketika kita kecewa lalu menghujatnya sedemikian rupa. Seolah Jokowi satu2nya Dewa adalh formulasi pikiran, perpanjangan tangan, dan gerakan kaki milik kita.

 

Jokowi bisa saja jatuh di tengah jalan, ia bisa terserimpung oleh ulahnya. Tapi saya akan tetap menyisakan pikiran dan prasangka baik, sebagaimana cerita Cimon dan Piro. Tak banyak yang saya tahu, ada apa di balik semua cerita ini. Dan bagaimana akhir perjalanannya. Di masa sekarang ini, kecenderungan kita salah duga itu selalu lebih besar dari saat kita berbaik sangka.

 

Selalu, selalu, dan selalu.

 

Sebagai orang yang tak pernah mengambil untung apa pun, dengan dukungan saya terhadapnya selama 10 tahun terakhir. Saya memilih bersabar menunggu dan melihat apa yang kelak terjadi.