Search

Wednesday, March 30, 2022

Trauma Beragama

gambar diambil dari sini

 

 

Ini kisah salah satu siswa di sekolah tempat aku pernah mendarmabaktikan diri sekian tahun yang lalu.

 

Anak ini mungkin bisa dikategorikan 'anak nakal' bagi mereka yang tidak tahu mengapa dia bolosan dari sekolah. Dalam seminggu, dia mungkin berangkat sekolah hanya dua kali, itu pun belum tentu datang on time. Di sekolah -- satu kelas isinya kurang lebih ada 12 siswa -- dia hanya duduk di bangkunya, nampak ogah-ogahan mengikuti pelajaran. Waktu itu saya jadi wali kelas (mendadak jadi wali kelas sih ceritanya, lol, waktu masuk semester 2), saya sendiri tidak mengajar di kelas itu. Jadi hanya sempat mengamati saja. Tapi kata guru Matematika, meski dia nampak ogah-ogahan mengikuti pelajaran, dia terlihat cukup menonjol dalam pelajaran Math. Terbukti dari tiba-tiba dia bisa menjawab pertanyaan yang diberikan oleh gurunya, sementara teman-teman sekelasnya masih harus mikir panjang. Padahal selama gurunya menjelaskan, dia nampak cuek saja, sibuk menggambar. 😆

 

Saya masih guru baru di sekolah itu, tahun 2008, masih harus beradaptasi dengan rutinitas di sebuah sekolah, setelah sebelumnya jadi dosen di satu uni swasta di kota tempat tinggal saya. Saat masuk semester 2, karena (mendadak) jadi wali kelas, 'kantor' saya jadi berada di kelas itu; ada sebuah meja, kursi dan rak buku untuk guru wali kelas diletakkan di belakang. Jika saya tidak ada jadual ngajar, saya akan duduk di ruang kelas tersebut, jadi saya bisa mengamati jalan pelajaran di kelas, sekaligus mengawasi tingkah laku anak-anak.

 

Si tokoh utama kita ini -- sebut saja X ya -- duduk di baris depan, paling kiri, dekat pintu masuk. Dia akan selalu nampak sibuk dengan kertas kosong di mejanya, menggambar. Jika tidak, dia akan menelungkupkan kepala di meja. Saat istirahat, saat kawan-kawannya sibuk ngobrol, saling berbagi makanan/jajanan, dia tetap duduk anteng di kursinya. Jika saya sapa, dia Cuma menatap mata saya, senyum sedikit, that's all. Tak nampak guru-guru lain yang tersinggung dengan tingkahnya yang terlihat 'tidak niat' sekolah.

 

Hingga saat serah terima 'raport' mid-semester, untuk pertama kali saya bertemu dengan ibundanya yang ramah. Si ibu bercerita penyebab anaknya bertingkah laku seperti itu. Satu tahun sebelumnya -- masuk tahun ajaran 2007/2008, sekitar itu -- orangtua X memasukkanya ke satu sekolah berbasis agama yang ketat, dengan harapan si anak akan menjadi anak yang tidak hanya tambah pintar dalam bidang pendidikan, namun juga dalam bidang agama. X yang sejak kecil diajari pendidikan agama dengan ketat oleh orangtuanya pun menyambut baik. Dia yakin dia akan semakin kerasan di sekolah, di sebuah lingkungan yang 'relijius' karena semua yang ada di situ -- baik siswa, guru, maupun siapa pun yang ada di lingkungan itu -- memahami ajaran agama dengan baik.

 

Namun ternyata apa yang dia dapati justru bertolak belakang dari harapannya. Jika ada seorang guru yang marah karena sesuatu hal, bukannya bertingkah laku sabar dan menyebut nama Tuhan, dia justru akan melempar penghapus kepada siswa yang membuatnya marah, sambil ngomel panjang lebar, tak lupa menyebut nama-nama binatang. Ini hanya salah satu contoh hal yang benar-benar mengguncang jiwa X. Belum lagi tindakan korupsi kecil-kecilan yang dia lihat sendiri.

 

Kejadian demi kejadian yang kemudian mengguncang jiwanya ini membuatnya murung, dan mempertanyakan, mengapa orang-orang yang seharusnya memahami ajaran agama dengan baik justru melakukan hal-hal yang seharusnya dihindari? Hal ini membuat X kehilangan kepercayaan pada institusi agama, juga pada kemanusiaan. Dia pun akhirnya enggan berangkat sekolah. Berbulan-bulan dia mogok sekolah.

 

Sang ibu bercerita sangat sulit memulihkan kembali kepercayaan anaknya pada institusi agama dan sekolah. Dia tidak mau lagi diajak ke gereja, selain mogok sekolah. Maka, ketika dia mau dipindah ke sekolah dimana saya mulai bekerja di pertengahan tahun 2008, itu adalah perkembangan yang bagus. Jika dia masih sering enggan berangkat sekolah, itu masih bisa diterima jika dibandingkan dia benar-benar menghindari bertemu dengan manusia, selain dengan Ibundanya.  Itu sebab sekolah seolah membiarkan dia melakukan apa pun yang dia ingin lakukan di sekolah -- thank god dia tidak berbuat onar di sekolah -- agar dia belajar sedikit demi sedikit untuk kembali percaya bahwa ada manusia yang memperlakukan manusia lain dengan baik, meski tidak berdasarkan ajaran agama.

 

Tahun ajaran 2009/2010 dia sudah menunjukkan perkembangan yang pesat, mau berangkat sekolah setiap hari, bergaul dengan kawan-kawan sekelasnya yang menerimanya dengan hangat. And I felt grateful menjadi wali kelasnya meski hanya satu semester, dan turut membantunya menemukan kepercayaan pada kemanusiaan: dunia ini penuh manusia yang baik.

 

Semarang 09.28 30.03.2022

 

Tuesday, March 29, 2022

Other Half

 

the pic was from here

Intellectual gap is the main 'culprit' of the divorce between ex and me. You can condemn me anything, I don't mind at all, lol.

 

Berbekal dari hal inilah, saya mewanti-wanti anak semata wayang agar saat mencari pasangan hidup itu lebih menitikberatkan pada 'kenyambungan' ketika berbincang tentang segala hal. Well, tentu saja dalam kehidupan kita, tidak bisa kita akan bisa menemukan seseorang yang 100% cocok dengan kita ya, tapi yaaah … minimal 75% lah ya. (You can bargain, anyway. And decide the number by yourself, lol.)

 

*******

 

Honestly, sebagai seorang guru Bahasa Inggris, saya mendengar istilah 'other half' pertama kali mungkin baru sekitar 15 tahun yang lalu, dari seorang sahabat. Dia menyebut istrinya sebagai 'my other half'. Better late than never ya. Saya pikir itu adalah istilah yang romantis, dari pada 'hanya' sekedar 'wife', ye kan? Ga sampai kepikiran dari mana istilah itu muncul.

 

Hingga out of the blue saya bertemu seseorang yang dengannya I share many things in common, things yang kadang membuat saya dan dia heran, kok bisa sama ya cara berpikir kami berdua? Dan, begitu saja phrase 'other half' datang lagi ke pikiran saya, dan bertanya pada diri sendiri,

 

"Oh, is it why the phrase 'other half' is suitable to describe a couple? Because many common things unite them?

 

Saat menulis 'ini', saya tidak kepikiran phrase 'other half'. Namun saat akan memulai tulisan ini, saya membaca ulang artikel yang saya beri judul "why getting married" ini. Seberapa banyak/sedikit dari pasangan yang menikah itu yang benar-benar merupakan 'other half' dari pasangannya? Nampaknya lebih banyak orang yang menikah dikarenakan tekanan sosial ya? (entah apakah ini hanya terjadi di Indonesia, dimana kultur 'marriage-oriented society' sangat kuat? atau juga terjadi di belahan dunia yang lain? Jika memang satu pernikahan lebih disebabkan oleh tekanan sosial, tidak heran jika dalam pernikahan itu mudah terjadi hal-hal yang tidak diharapkan. 

 

Just my two cents.

 

Saturday, March 26, 2022

Love doesn't ask why

 


Love doesn't ask why

It speaks from the heart

And never explains

Don't you know that

 

Love doesn't think twice

It comes all at once

Or whisper from a distance

 

Don't ask me if this feeling's right or wrong

It doesn't have to make much sense

It just has to be this strong

'Cause when you're in my arms I understand

 

We don't try to have a voice

When our hearts make the choices

There's no plan

It's in our hands

 

Love doesn't ask why

It speaks from the heart

And never explains

Don't you know that

 

Love doesn't think twice

It come all at once

Or whisper from a distance

 

Now I can feel what you're afraid to say

If you give your soul to me

Will you give too much away

We can't let this moment pass us by

 

Can't question this chance

Or expect any answers

We can try

But love doesn't ask why

 

So let's take what we found

And wrap it around us

 

Love doesn't ask why

It speaks from the heart

And never explains

Don't you know that

 

Love doesn't think twice

It come all at once

Or whisper from a distance

 

Love doesn't ask why

 

for you: my other half

Thursday, March 03, 2022

Inisiasi

 

foto diperagakan oleh model :)

Waktu kuliah di Program Studi 'American Studies', kelas saya mendapatkan seorang dosen tamu dari Ithaca College, namanya Professor Hugh Egan. Orangnya tinggi langsing, mungkin sekitar 185 cm. Professor Egan datang ke Jogja bersama istrinya, dan tinggal selama satu semester.

 

Awalnya beliau jalan kaki ke kampus FIB, tempat tinggalnya tidak jauh dari kampus sih. Namun, satu kali beliau bercerita latihan naik sepeda motor, setelah melihat banyak orang-orang Jogja yang kemana-mana naik motor. Di satu pertemuan, karena saya datang gasik ke kelas, beliau bertanya kepada saya (mahasiswa lain belum datang)

 

"Nanna, is falling from motorcycle a kinda initiation? Before someone eventually can ride a motorcycle?"

 

"Well, maybe." jawab saya.

 

"Have you ever fallen from a motorcycle?" tanyanya lagi.

 

"Of course, I have. What has happened to you? Did you fall from your motorcycle?" tanya saya balik, penasaran

 

"Yes. Yesterday I was practicing to ride my motorcycle, then I fell down." jawabnya.

 

Saya heran tentu saja. Bagaimana mungkin dia bisa jatuh dari sepeda motor? Dia punya kaki yang panjang bisa untuk 'sandaran' (a.k.a 'jagan' agar tidak jatuh), kok dia bisa jatuh?

 

"Sir. I fell down from my motorcycle when I lost my balance, I could not keep the motorcycle stand because my legs were not long. You have long legs, I don't understand how you fell down." tanya saya, innocent.

 

Wajahnya langsung memerah, lol, namun dia sendiri tidak bisa menjelaskan bagaimana dia bisa terjatuh, kejengkang dari motor, dan ditertawakan istrinya, lol.

 

 Semarang, 3 Maret 2022