Search

Wednesday, June 27, 2007

Jogja vs Semarang

Putu, salah satu teman kuliah, dan termasuk salah satu member “Gang of Seven” pernah bilang padaku bahwa Yogya bukanlah tempat yang tepat untuk mencari makanan yang enak. Dia yang berdarah Bali namun lahir dan besar di Semarang bilang Yogya bukanlah saingan Semarang untuk wisata kuliner (istilah yang cukup popular akhir-akhir ini berkat program di televisi). Dan aku percaya saja apa yang dikatakannya tatkala aku sangat jarang menemukan masakan yang cocok dengan lidahku sepanjang kuliah S2. (Ternyata aku gampang juga diprovokasi kadang-kadang. LOL.) Semua makanan yang kumakan rasanya paling banter standar lah, ga sampai uenak banget.
Tidak pernah aku makan nasi goreng selezat nasi goreng yang biasa kutemukan di warung-warung Nasi Goreng Surabaya yang terletak di Semarang. Nasi goreng yang biasa kita pesan ketika nongkrong di kantin BONBIN di belakang FIB pun tentu rasanya sangat jauh dibanding nasi goreng yang biasa kubelikan untuk Angie, atau di warung tenda dekat kantor dimana teman kerjaku kadang-kadang beli untuk kita (yang kita kenal sebagai “nasi goreng akhir term”).
Tidak pernah aku makan bakso sedahsyat bakso PAK GEGER yang pernah kukunjungi bersama mbak Icha, teman milis dari Jakarta. Semua bakso yang pernah kumakan di Yogya rasanya biasa-biasa saja. Apalagi yang dijual di pedagang kaki lima di sekitar bundaran UGM maupun di sekitar gelanggang mahasiswa. Kebetulan juga mungkin aku bukanlah penggemar bakso.
Ayam goreng tulang lunak NINIT memang cukup enak di lidahku, namun sayang tidak dibarengi dengan sambel yang hhmmm ...
Lesehan di sepanjang Malioboro juga rasanya biasa-biasa saja.
Pernah satu kali aku dan teman-teman seangkatan makan bareng di salah satu rumah makan yang terletak di Jalan Kaliurang km 5.5, dengan menu ikan bakar. Ikan bakarnya tidak selezat dibanding masakan ikan bakar di Ngrembel maupun Jimbaran. Sambelnya pun kurang ‘nendang’. (well, bakal mbak Omie terheran-heran dengan kata ini, “Mana bisa sambel nendang Na?” LOL. Terlalu lama tinggal di USA membuatnya “kuper” bahasa gaulnya bahasa Indonesia.
Namun tatkala aku mendengarkan obrolan antara Mayda dan Adit, aku jadi berpikir mungkin karena aku kurang berkeliaran aja untuk mencoba makan di satu rumah makan dengan rumah makan yang lain. Aku suka makan di rumah makan ayam bakar PAK TO yang terletak di pinggir Selokan Mataram mungkin karena harga yang cukup murah untuk kantong mahasiswa S2 yang keuangannya tergantung kepada beasiswa dari pemerintah. LOL. Dan bukan karena masakan yang lezat. Ah ...
Sementara itu, tatkala ditanya Abang, “Di Semarang dimana kita bisa makan enak Na?” Nah lo, aku juga ga begitu ngerti. Hahahahaha ... Sewaktu kecil ortu tidak membiasakan anak-anak makan di luar. Berbeda dengan Putu yang masa kecil dan remajanya dia habiskan di Semarang, dia mungkin lebih tahu banyak tempat. (FYI, Semarang cukup terkenal sebagai kota dimana penduduknya lebih suka mengeluarkan uang untuk makan enak. Sedangkan Bandung cukup terkenal sebagai kota dimana penduduknya lebih memilih kelaparan karena menggunakan uangnya untuk belanja baju baru.)
Yang aku tahu ya yang cukup sering aku kunjungi bersama Angie untuk eating out. Pertama, “Kahuripan” yang terletak di Puspogiwang, tidak jauh dari sekolah Angie sewaktu SMP. Setiap kali kesini aku pesan kwetiau. Menurut lidahku kwetiau di “Kahuripan” mengalahkan rasa kwetiau yang dijual di Rumah Makan Bakso Tennis Lapangan Tembak yang terletak di Grage Mall Cirebon. Yang di Semarang aku sendiri belum pernah nyoba. Kwetiau di rumah makan “de Koning” Semarang juga uenak banget, sayang porsinya super besar untuk perutku yang mungil ini. LOL.
Kedua, setiap kali aku dan Angie makan di food court Citraland Mall, aku paling sering pesan Bakmi Jowo. Ada beberapa stand yang berjualan Bakmi Jowo di situ, dan sekarang aku lupa yang mana yang biasa kupesan. LOL.
Aku dan Angie dulu suka sekali beli nasi goreng di food court Java Mall lantai 2. (BACA, DULU  sekitar tahun 2000-2001) Terakhir kali kesana beberapa bulan lalu, aku sudah lupa di stand sebelah mana untuk memesan nasi goreng yang uenak tenan itu.
Untuk bakso, bakso PAK GEGER memang terkenal nyamleng, apalagi pernah masuk ke acara wisata kuliner di televisi. Aku pernah juga ditraktir teman bakso yang terletak di taman Erlangga. Enak juga. Tapi aku agak curiga, apa karena ditraktir sehingga rasanya enak? LOL.
Untuk pecel, well, di warung dekat rumahku rasanya cukup enak. Malah kadang menurutku bumbunya lebih enak dibanding bumbu pecel BU SRI yang sangat terkenal di kota Semarang itu. (demi alasan yang etis aku tidak cantumkan lokasinya. LOL. Well, the real reason is aku lupa nama daerahnya. Wakakakaka ...)
Lumpia sebagai salah satu makanan khas kota Semarang memang uenak tenan jikalau kita membeli yang satu biji seharga 5000 perak itu, yang bisa kita beli di Jalan Pandanaran, pusat belanja oleh-oleh khas kota Semarang. Well, mungkin harganya sekarang sudah naik? Entahlah. Aku sendiri ga pernah beli sendiri. Kadang-kadang dibelikan oleh mahasiswa yang berbaik hati, sebagai balasan aku membimbing skripsinya. LOL. Atau dibelikan kakakku tatkala dia balik ke Semarang.
Anyway, I love these two cities with different reasons. Siapa bilang kita ga bisa berbagi cinta? LOL. LOL. LOL.
PT56 13.35 260607

No comments: