Search

Saturday, November 10, 2007

Urus SIM

Selasa 6 November 2007 aku ninggalin rumah sekitar pukul 08.30 menuju kantor SATLANTAS Semarang yang terletak di Jalan Letjen Soeprapto kawasan Kota Lama yang terkenal (atau tercemar?) banjir tiap musim hujan datang.
“Ngapain ke SATLANTAS Na?”
Ngurus SIM.
“Emang masa berlaku SIM-mu habis? Ini kan bulan November, sedangkan ulang tahunmu bulan Agustus. Harusnya kalau habis ya bulan Agustus kemarin diurus?”
Well, ceritanya begini. Aku kecopetan dompet satu hari bulan September 2002 (LIMA TAHUN LALU!!!) tatkala aku turun dari bus PATAS NUSANTARA di terminal Jombor. Selain sejumlah uang, yang ada di dalamnya SIM, KTP, dan kartu anggota JAMSOSTEK. Yang lain, aku sudah lupa. Maklum five years has gone. 
Karena kesibukanku riwa riwi (atau wira wiri yah?) Semarang Jogja Semarang sampai aku lulus tahun 2005, aku males banget ngurus SIM baru lagi. Sedangkan KTP kan gampang, tinggal memberi sejumlah uang kepada karyawan Kelurahan, aku bisa mendapatkan KTP baru.
“Aku ga kuliah di luar kota aja males mbak kalo ngurus SIM, karena birokrasi yang complicated,” kata seorang teman, memberiku dukungan. LOL.
Tahun 2005 pertengahan aku sudah sering berada di Semarang sebenarnya, dan sibuk bekerja lagi, dan lumayan sering “mobile” menaiki sepeda motor, tapi dasar aku LELET, ngurus SIM pun males banget. Kebetulan juga aku bukan tipe orang yang suka kelayapan. Seperti yang pernah kutulis di post sebelum ini, kegiatanku hanya ngantar Angie sekolah, ke kantor, ke PC fitness center dan ke warnet yang kebetulan tempatnya berdekatan satu sama lain. Kadang ya was was juga ketika aku melakukan ‘perjalanan’ yang tidak biasa, misal, mengunjungi Julie yang tinggal di daerah Citarum ataupun Yulia yang tinggal di daerah Klipang (jauuuhhhhh banget dari tempat tinggalku!!!) ketika kebetulan mereka berdua pulang ke Semarang. But, semenjak pertengahan 2005 itu, aku “cuma” sekali “ketangkap” patroli polisi ketika satu hari Minggu aku lewat Kampung Kali (Jalan Mayjen Sutoyo) sekitar pukul 14.00, setelah membantu AFS Chapter Semarang untuk mengadakan seleksi di SMP N 3 yang terletak di kawasan tersebut. Sekitar bulan Juni/Juli 2007 yang lalu.
Kembali ke hari Selasa 6 November 2007. setelah muter-muter mencari jalan yang tidak banjir, akhirnya aku mengalah, harus melewati banjir. Aku tidak tahu nama jalannya, namun berlokasi setelah jalan Merak (yang direncanakan sebagai lokasi CITY WALK), belok kanan. Ini dia foto jalan yang dipenuhi dengan air banjir sebelum kulewati dengan nekad. :)

Masuk ke Jalan Letjen Soeprapto dari arah Timur (memang hanya satu arah), banjir masih menggenangi sebagian jalan itu. Untungnya di depan SATLANTAS, air sudah surut. Waktu memarkir motor, seseorang memakai seragam biru tua (blue black) yang berkeliaran di pelataran parkir menyapaku, “Mau ngurus apa mbak?”
“SIM Pak. SIM saya hilang.” Jawabku.
“Mau saya bantu?” tawarnya.
Aku diam saja. Aku ingin mencoba mengurus sendiri.
Loket pertama yang kudatangi adalah loket INFORMASI. Seorang pegawai menanyaiku, “Ada apa mbak?”
“Mau ngurus SIM Pak. SIM saya hilang.”
“KTP dan surat kehilangan dari Poltabes,” katanya.
Aku langsung menyerahkan kedua hal yang diminta itu kepadanya.
“Tunggu ya mbak? Silakan duduk dulu.” Katanya lagi.
Waktu duduk-duduk menunggu (di halaman, tidak di dalam sebuah gedung), aku melihat tulisan HINDARI PENGURUSAN SIM MELALUI CALO. “Just wait and see what will happen today,” kataku dalam hati.
Lihat gambar di bawah ini.

Sekitar 15 menit kemudian, aku dengar namaku disebut, lengkap dengan nama fam PODUNGGE. (orang itu tidak salah membacanya! ) aku mendekati loket informasi itu lagi.
“Ngurus SIMnya terlambat ya mbak?” tanya orang yang sama.
“Terlambat?” tanyaku balik.
“SIM mbak berlaku sampai tahun 2004. berarti mbak terlambat 3 tahun mengurusnya Harus diuji ulang lagi.” Katanya.
W A D U H...   
“Emang hilangnya kapan?” tanyanya.
“Tahun 2002 Pak, dan saya lupa masa berlaku SIM saya itu sampai tahun berapa. Tapi memang baru kemarin saya mengurus surat hilangnya di Poltabes.”
“Berarti mbak harus diuji ulang. Seperti mengajukan SIM baru lagi.” Katanya.
Uji ulang? Aku ingat di tahun 1984 dulu waktu my dear late Dad menguruskan SIM buatku, setelah beliau membelikanku sebuah sepeda motor baru, hadiah diterima di SMA N 3 Semarang, sekolah negeri terfavorit, beliau mengantarku ke SATLANTAS, menungguiku yang sedang ujian teori di sebuah ruangan. Di luar hujan, dan beliau (dengan seorang teman yang “menjembatani” antara my dear Dad dengan pihak kepolisian) harus berdiri di “tritisan” (what is it called in Bahasa Indonesia? LOL) agar tidak terkena tetesan air hujan.
Setengah bengong aku menerima secarik kertas yang diulurkan oleh si Bapak di loket “Informasi” itu. Dia mengatakan, “Sepuluh ribu.”
Meskipun aku tidak jelas uang itu untuk apa, karena tidak ada kuitansi yang jelas, aku berikan juga uang sepuluh ribu kepadanya. Di sebuah lembaran kertas yang dia ulurkan, tertulis dataku sebagai pemilik SIM C, yang dikeluarkan pada tahun 1999. Aku berpikir apakah uang sepuluh ribu rupiah itu untuk membayar jasanya mencarikan dataku di komputer? Padahal dengan sistem komputeriasi, mencari data merupakan suatu hal yang sangat mudah, tinggal satu KLIK, keluarlah data yang kita butuhkan. (Seperti seseorang yang mencari dataku di internet, tinggal ketik NANA PODUNGGE di search engine, kemudian KLIK, voila ... akan keluarlah segala hal yang berhubungan dengan NANA PODUNGGE. Apa susahnya?”) Kemudian dia tinggal ngeprint. Apa sulitnya?
But ... yah ... orang bilang SATLANTAS merupakan gudang “uang-uang yang berpindah tangan tanpa keterangan yang jelas” so ... ya mohon dimaklumi.
Dari loket informasi, eku ke loket pembayaran, yang ternyata aku diminta untuk membayar Rp 20.000,00 untuk cek kesehatan. Ada kuitansi yang jelas untuk ini.
Dari situ, aku ke Poliklinik untuk cek kesehatan.
Apa yang terjadi di Poliklinik? Tekanan darahku dicek, kemudian juga mata, untuk mengecek apakah aku buta warna. Kemudian sedikit wawancara, apakah aku memakai kacamata, kalau iya apakah minus atau plus. That’s all. Kemudian aku diminta ke ruang I yang terletak di sebelah ruang II. LOL.
Sesampai di sana, kusodorkan berkas-berkas yang kubawa (surat kehilangan dari Poltabes, KTP, satu lembar data yang kudapatkan dari loket informasi, dan surat keterangan kesehatan dari poliklinik) kepada seorang polwan yang duduk di balik counter. Setelah sekilas melihat data yang menunjukkan aku terlambat mengurus SIM, polwan itu mengatakan, “Ini harus diuji ulang mbak.”
“Iya. Saya harus kemana?” tanyaku.
“Ke ruang ujian teori. Yang menguruskan siapa?” tanyanya.
“Saya urus sendiri,” jawabku pede. Sembari teringat tulisan HINDARI PENGURUSAN SIM MELALUI CALO, mengapa polwan itu bertanya, “Yang menguruskan siapa?”
Aku lupa memperhatikan rona wajah sang polwan mendengar jawabanku tadi. Kemudian dia menyerahkan selembar formulir yang harus kuisi, formulir permintaan SIM baru (satu halaman bolak balik), dan memintaku membayar seribu rupiah. Sebagai ganti fotocopy formulir? LOL. Kok mahal amat? LOL.
Setelah itu aku menuju ke ruang ujian teori. Well, meskipun fisik gedung telah mengalami perbaikan di sana sini, letak ruang ujian teori masih tetap di lokasi yang sama. Aku masuk ke sebuah ruangan yang ada tulisan “Ujian teori”. Aku serahkan semua berkas yang kubawa (setelah aku mengisi formulir pendaftaran SIM) kepada seseorang yang duduk di balik sebuah meja.
“Yang ngurus siapa mbak?” tanyanya.
Nah lo! LAGI!!!
“Saya urus sendiri Pak, “ jawabku.
“Mau ikut ujian teori?”tanyanya.
“Lah, bukannya wajib?” tanyaku sendiri di dalam hati. Untuk menjawab pertanyaan orang itu, aku hanya menganggukkan kepala.
“Kalau tidak lulus, mbak harus ngulang lagi 14 hari sesudahnya.”
Weleh, repot amat? Komplainku dalam hati (lagi).
“Ya!” jawabku, sambil mengira-ira, soal-soalnya seperti apa ya? Traffic signs? Aku ga hafal semua dong ya.  but aku penasaran, pengen lihat soal-soalnya seperti apa.
Kemudian orang itu mengantarku ke ruang sebelahnya, yang kutengarai sebagai tempat dilakukannya ujian teori (aku salah masuk berarti tadi!!!) Tidak banyak orang yang duduk di ruangan ber-AC itu. Sekitar lima atau enam orang. Sementara itu aku melihat beberapa orang berseliweran keluar masuk. Di antara orang-orang itu, aku sempat mendengar seseorang mengatakan, “Habis ini kamu bisa langsung ke tempat pas foto. Gampang kan? Ga perlu repot-repot.”
Aku ingat Mita, salah satu sobat Angie, yang ayahnya polisi. I should have asked his help? But aku pun penasaran untuk mengikuti “semua prosedur” yang harus kutempuh, ujian teori, ujian praktek, dll. Tahun 1984 dulu, untuk ujian praktek aku langsung GAGAL (LOL) karena baru belajar naik motor waktu itu. But karena ada yang menguruskan (a workmate of my dear Dad), ya ujian teori dan praktek itu hanya untuk “syarat” saja. Sekarang kan aku sudah jauh lebih lihai naik motor dibanding 23 tahun lalu itu? Masak aku ga lulus ujian praktek?
But ada satu pemikiran juga jangan-jangan sistem telah dibuat sedemikian rupa sehingga tidak ada orang yang memilih ikut ujian resmi (yang berarti tidak ‘nembak’) yang lulus, sehingga semua orang akhirnya (terpaksa) mengikuti aturan main yang di’baku’kan?
Setelah menunggu selama kurang lebih 30 menit, tanpa jelas apa yang kutunggu, seseorang dengan wajah yang lumayan cute (boleh ngelaba kan? Wakakakaka ...) memasuki ruangan, dan memanggil namaku.
“N Podungge?”
Aku acungkan tanganku. Dia memberi tanda agar aku mendekatinya ke sebuah meja panjang yang terletak di dekat sebuah tembok.
Bla bla bla ...
Aku setuju dengan pertimbangan:
Pertama, pemikiran (atau kekhawatiran) yang kutulis di atas.
Kedua, efisiensi waktu, agar aku bisa segera melakukan aktifitasku yang lain, misal nongkrong di depan desktop di rumah, nge-game maupun nulis buat blog, preparing material for teaching, dll.
Aku serahkan sejumlah uang yang tiga kali lipat “harga” yang ditulis besar-besar di loket pembayaran untuk mengurus SIM baru.
Setelah itu, the cute guy memintaku menunggu, sementara dia melakukan ‘prosedur’ yang aku yakin telah ‘dilegalkan’.
Aku harus menunggu lagi. Kukeluarkan Jurnal Perempuan nomor 50 dengan topik PENGARUSUTAMAAN GENDER, dan mulai membaca. Aku sempat membuka percakapan dengan seorang perempuan yang duduk tidak jauh dari tempatku duduk
“Mengurus SIM Bu?”
Dia menjawab menggunakan boso Jowo Kromo yang tidak begitu susah bagiku untuk memahaminya, namun sulit untuk meresponsnya karena keterbatasan kosa kata yang kumiliki.  Dia mengurus SIM untuk adiknya. Dia bahkan harus mengeluarkan uang yang lebih besar daripada aku. namun dia nampak tidak keberatan sama sekali. “Daripada ngurus sendiri mbak, bingung, ga tahu kemana ngurus ini itu. Biar sajalah diurus orang, kebetulan tetangga.” Katanya.
Kurang lebih tiga puluh menit kemudian, the cute guy appeared, memanggilku dan aku kembali mendekatinya, dan kita berbicara di tempat yang sama, ada meja panjang yang membatasi kita berdua. Dia melihat JP yang ada di genggamanku dan bertanya,
“Buku apa mbak?”
Aku sodorkan buku itu.
“Mbak aktivis ya?” tanyanya.
“Engga. Eh, belum. Saya cuma suka menulis,” jawabku.
Dan obrolan kita ternyata menjadi lumayan panjang, terutama tentang para perempuan yang tidak sadar haknya (di satu daerah yang dia sebut, terjadi kawin cerai dengan mudahnya, dan sang mantan suami tidak mempedulikan kesejahteraan anak-anak yang dilahirkan. Para perempuan males mengurus itu, karena tidak tahu bagaimana mengurusnya, siapa yang akan membela mereka, karena mereka tidak punya uang, membuat anak-anak ditelantarkan), poligami, dll.
Seusai ngobrol, the cute guy menunjukiku ruangan tempat pas foto yang terletak tidak jauh dari loket informasi. After saying “thanks” kepadanya, aku ke ruangan pas foto.
Lima belas menit kemudian SIM ku jadi. Jauh lebih cepat dibanding 8 tahun yang lalu karena aku harus balik lagi ke SATLANTAS keesokan hari hanya untuk pas foto, karena tidak bisa dilakukan di hari sebelumnya. It took around two days to get a driving license at that time, meskipun hanya mengurus perpanjangan.
Sistem komputerisasi memang telah menyingkat banyak waktu yang tak perlu. Namun kapankah sistem yang “legal” benar-benar dijalankan, yang tidak memerlukan seorang warga negara membayar berlipat-lipat?
“This is INDONESIA, Nana!!! Face the reality!!!”
PT56 12.35 071107

Keyword: NANA PODUNGGE

Di antara sekian banyak pernak pernik yang bisa ditambahkan ke dalam suatu blog oleh si pemilik blog adalah fasilitas untuk menghitung pengunjung atou disebut juga counter. Untuk ini seorang blogger memiliki beberapa pilihan, misal www.doneeh.com www.statcounter.com www.amazingcounter.com dan beberapa yang lain. Kebetulan untuk blog-ku di http://afeministblog.blogspot.com dan http://serbaserbikehidupan.blogspot.com aku menggunakan www.statcounter.com
Meskipun hobby blogging, aku sendiri tidak begitu memperhatikan fasilitas-fasilitas yang telah kupajang di blog, selain hanya untuk sebagai pemanis tampilan blog. Suatu hari, beberapa bulan yang lalu, Abang bertanya kepadaku mengapa aku tidak menambahi asesori nama-nama kota atau negara para pengunjung blog-ku. Aku pernah melihat fasilitas sejenis ini di www.neocounter.com kalau tidak salah dan aku pernah pula mencobanya. Namun ternyata it didn’t work well, aku yang bego kali sehingga fasilitas tersebut ga bisa berfungsi dengan baik. 
Tatkala aku sedang menjelaskan panjang lebar tentang kegagalanku memasang www.neocounter.com di blog (yang juga akhirnya kuketahui fasilitas ini tidak gratis, jadi harus membayar sejumlah uang agar fasilitas tersebut berjalan dengan baik), Abang justru telah menemukan bahwa di balik ikon—or whatever it is called—View My Stats dari www.statcounter.com pun menunjukkan negara, kota, bahkan IP address para pengunjung blog. Wah ... Semenjak itu pun aku rajin ngecek di ‘View My Stats’ dari negara dan kota mana saja para pengunjung blog datang. Bahkan masih banyak fasilitas lain yang disediakan oleh www.statcounter.com mulai dari “popular pages” (sehingga aku tahu artikel mana yang paling sering dibaca orang), sampai “where from”. Ada petunjuk dari mana sajakah seorang pengunjung “menemukan” blogku.
Hari Sabtu 3 November kemarin aku iseng ngeklik “where from” di balik ikon ‘View My Stats”, dan kutemukan pada tanggal tersebut ada lima kunjungan ke blog (di afeministblog.blogspot.com) berasal dari www.google.com dengan keyword: NANA PODUNGGE. Aku memandangnya dengan rasa tidak percaya. Lha kok sama dengan tatkala aku mencari data tentang Charlotte Perkins Gilman, dan kuketik namanya sebagai keyword di search engine. Without my awareness, ada orang yang ngefans padaku..LOL. Orang tersebut mencari data tentangku lewat google dengan mengetikkan namaku. Maklum, narsis, so ya heboh gitu deh. LOL. Padahal nama PODUNGGE termasuk sulit diingat, menurutku, berdasarkan pengalaman di masa kecil waktu my late Dad sering menerima surat dengan nama fam yang salah ditulis. PODUNGGE bisa menjadi PONGGE (menghina amat yah? ‘Pongge’ kan nama isi buah durian dalam boso Jowo? LOL), bahkan pernah menjadi PADUKONE. FYI, waktu itu pemain bulutangkis Prakash Padukone dari India masih terkenal. Lah, emang keluargaku memiliki darah India? LOL.
Tatkala kuklik NANA PODUNGGE yang nongol di balik “View My Stats” itulah kemudian aku menemukan blog milik Fatih Syuhud (if I am not mistaken to remember his name LOL) yang mem-feature-kan blogku di blognya. Kalau mau nyoba apa aja yang bakal nongol setelah kamu ketik NANA PODUNGGE di search engine, coba aja deh ya. 
FYI, mungkin di dunia ini hanya ada satu NANA PODUNGGE yang berkeliaran di dunia maya. My dear Mom pernah bilang kalau salah satu sepupu yang tinggal di Gorontalo ada yang diberi nama sama denganku, sekaligus nickname yang sama, NANA. Namun karena dia tidak (atau belum) mencoba meninggalkan jejaknya di dunia maya, yang akan kamu temukan setelah mengetik NANA PODUNGGE di search engine, yang muncul tentu saja data-data tentangku, mulai dari alamat blogku, data di Friendster, dll.
Aku memang merasa hidupku (saat ini) tidak bisa dipisahkan dari blogging, meskipun dengan begitu aku meninggalkan jejak di dunia maya, dan hidupku pun tak lagi benar-benar private (kata Abang orang yang blogging itu kayak orang yang ngomong sendiri, kurang kerjaan amat. Aku bilang, justru itulah yang kubutuhkan, I need to express myself, aku membutuhkan suatu media untuk menyalurkan cara berpikirku yang masih dianggap kurang lazim di komunitasku. Dan blog is the best media for that.) Jika ada orang yang menyukai menggunakan nickname (misal: ‘pink rose’, ‘ferror’ dl) untuk nama di blognya, karena tetap ingin menyimpan identitas dirinya dengan rapi, aku memilih menggunakan nickname yang diberikan oleh my dear parents sejak bayi, yang juga biasa dipakai di tempat kerja. Aku juga menyediakan diri untuk berdiskusi bagi mereka yang mendukung maupun menentang ide-ide yang kukemukakan di blog, langsung melalui komentar di blog, maupun lewat email. Aku ingin orang merasa berdiskusi dengan seseorang yang bernama NANA, yang benar-benar nyata ada, dan bukan seorang (atau sebuah?) pink rose. :)
PT56 23.10 061107

Tuesday, October 23, 2007

Lebaran 2007

Seperti tahun lalu, tahun ini Muhammadiyah memutuskan Hari Raya Idul Fitri jatuh satu hari lebih cepat daripada yang diputuskan oleh pemerintah. Dan karena keluargaku—my dearest Mom and my siblings, including my late dad—adalah alumni sekolah Muhammadiyah, kita sekeluarga pun melakukan shalat Idul Fitri pada hari Jumat 12 Oktober 2007. Di bawah ini adalah foto-foto sewaktu shalat Id di lapangan tennis Jalan Pamularsih Semarang.




Jika tahun lalu kakakku dan istrinya sudah ada di Semarang, tahun ini mereka berdua melakukan shalat Id di Cirebon, baru kemudian ‘mudik’—bagi kakakku tentu untuk memenuhi panggilan ‘primitif’nya atas masa kanak-kanaknya yang dia habiskan di Semarang bersama adik-adiknya—ke Semarang. Kebetulan istrinya berasal dari Cirebon sehingga tidak perlu mudik ke kota lain.
Sepulang dari shalat Id, aku, mom, kedua adikku, plus Angie mampir ke pasar Krempyeng di ujung Jalan Pusponjolo Selatan. Suasana pasar cukup ramai, banyak penjual janur dan selongsong ketupat. Harga-harga yang naik hampir 50% dari satu hari sebelumnya tidak mengurangi antusiasme masyarakat untuk berbelanja untuk menyambut Lebaran.
Sepulang dari pasar (FYI, mom helped by my sister and me cooked opor etc on Thursday), kita sekeluarga tidak pergi kemana-mana, seperti masa kecilku dulu, Lebaran kita ngendon di rumah saja. Cuma dulu aku dan kakak beserta adik suka duduk-duduk di ruang tamu ngeliatin orang-orang yang lalu lalang, kali ini aku ngendon di kamar melulu, bercinta dengan my dearest desktop.  Seandainya warnet langgananku buka, tentu aku akan mengajak Angie ngenet. 
Selepas Maghrib, suasana di Pusponjolo mulai ramai dengan suara takbir dan bedug yang dipukul bertalu-talu, banyak orang larut dengan kegembiraan bertakbir, menyambut kedatangan hari yang paling ditunggu selama bulan Ramadhan. Angie dan adikku ikut nonton dari teras depan rumah.

Aku tetap ngendon di kamar, ngebut balesin email Abang yang telah ngendon di desktop sejak dua bulan lalu. (Karena kesibukanku ngikut lomba blog bulan Agustus kemarin, emailnya pun tersingkir dengan damai. LOL.) Kakakku dan istrinya datang sekitar pukul 20.00. Mereka berangkat meninggalkan Cirebon selepas shalat Jumat karena pagi hari setelah shalat Id jalan pantura macet.
Hari Sabtu, I didn’t go anywhere. Seperti biasa, ngendon di depan desktop, nge-game, ngetik, nonton film, plus ngobrol dengan Angie. Adikku yang merayu kakakku untuk jalan-jalan nampaknya tidak berhasil. LOL. Kakakku satu ini termasuk usil pula, suka godain adik-adiknya.
Hari Minggu pagi, saat pergi berenang! Suasana kolam renang yang sepi pengunjung membuatku merasa nyaman untuk berenang selama satu jam tanpa berhenti. Sinar matahari yang telah memantul ke kolam renang semenjak aku nyemplung kolam (sekitar pukul 06.15) tidak kupedulikan. Btw, seandainya aku benar-benar tidak peduli, mungkin aku tidak akan naik sampai aku teler berenang kali. LOL. Kenyataannya pukul 07.20 aku sudah meninggalkan kolam, menuju tempat shower.
Seusai mandi, seperti biasa (kalau tidak terburu-buru harus menghadiri suatu acara penting), aku nongkrong di salah satu bangku yang tersedia, scribbling in my diary, plus baca Jurnal Perempuan no 51 yang bertajuk “Mengapa Mereka Diperdagangkan”. Dari judulnya, kita bisa menebak isinya berupa artikel-artikel yang membahas tentang children and women trafficking.
Begitu rambutku kering, aku cabut. Ga langsung pulang ke rumah, tapi mampir ke warnet. Email balasan buat Abang ga bisa nunggu sampai warnet langgananku buka tanggal 22 Oktober nanti. (Well, you can also read it as “I cannot wait that long to send the reply. ) Rencana untuk ngumpet dari milis RKB sampai sok tanggal 22 Oktober tak jadi kulakukan karena aku tergoda untuk menulis komentar dua postingan. 
Pulang dari ngenet, sesampai rumah, my mom greeted, “Kerasan amat di kolam renang, eh?” LOL.
Selesai sarapan (rasanya lapar poll kayak orang ga makan seharian aja LOL), cuci piring, help Mom cook in the kitchen, aku masuk kamar. Berhubung Angie asik menggunakan desktop, aku scribbling di the cutie. But ga lama ... baru satu jam aku nulis dan baca di the cutie, telerlah aku sambil memeluk bantal cinta pemberian mbak Icha bulan Agustus lalu. Cuapekkkk ... ZzzZZzZZzzzzzzz ...
****
Tiga jam napping. Nyaman sekali, eh? Padahal Semarang panas banget siang ini. Setelah bangun, aku langsung ke dapur membuat cappuccino dingin. Balik ke kamar, nonton disk 2 FREEDOM WRITERS. I do want to write a review on this great movie but berhubung terlalu banyak yang ingin kutulis, jadi bingung mau mulai dari mana. :(
Sementara itu, ternyata kakak dan adik-adik pergi entah kemana. They didn’t offer me to join. Akhirnya aku berinisiatif ngajakin Angie keluar.
Tujuan pertama adalah kawasan CITY WALK Semarang yang berlokasi di Jalan Merak Kota Lama. Seperti biasa, aku ini tipe lelet, sehingga meskipun kawasan CITY WALK telah diresmikan oleh pemerintah beberapa minggu lalu (entah tepatnya kapan, aku lupa), aku baru kali ini berkesempatan jalan-jalan ke sana. Bulan puasa kemarin tentu membuatku malas jalan-jalan. (Biasa lah, ngeles! LOL)
Mengapa tiba-tiba aku pengen mengunjungi CITY WALK? Beberapa hari lalu seorang siswa meminta bantuanku untuk menerjemahkan laporannya ke dalam Bahasa Inggris, tentang kunjungannya ke CITY WALK. Hal ini membuatku ingin berkunjung ke sana sendiri, membuktikan bahwa CITY WALK benar-benar sepi, yang berarti tujuan pemerintah Semarang untuk ‘mengubah’ citra kawasan tersebut, sekaligus untuk menambah pusat kuliner di Semarang gagal.
Mengubah citra?
Kawasan yang dipilih untuk menjadi CITY WALK dulu (mungkin sekarang pun masih) adalah kawasan ‘hitam’, tempat para kriminal dan pemabuk mangkal, tempat para PSK (pekerja seksual komersial) menunggu langganan yang berhidung belang (kayak zebra? LOL) dan biasa terjadi perkelahian antar geng. Wah, seperti kawasan Long Beach dalam film FREEDOM WRITERS? Nana adalah tipe ‘anak manis’ yang tentu tidak tahu apa-apa kalau ditanya masalah perkelahian antar geng di Semarang, tempat kriminal, pemabuk, dan PSK mangkal. Count me out. (Dengan kata lain you can say NANA YANG KUPER.)
Dengan memilih kawasan itu menjadi CITY WALK, memang diharapkan akan mengubah citra kawasan tersebut menjadi satu kawasan yang ramah penduduk, tak lagi dicap ‘hitam’. Masyarakat akan berani berkunjung ke sana karena tak lagi merupakan area yang harus dihindari. Unfortunately usaha pemerintah kota Semarang ini nampaknya gagal. Paling tidak untuk ukuran saat ini.
Menambah pusat kuliner.
Semarang bisa dianggap cukup berhasil dengan usaha WAROENG SEMAWIS tempat masyarakat bisa berkunjung untuk mendapati berbagai macam makanan. WAROENG SEMAWIS yang dikelola oleh KOPI SEMAWIS (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata) diselenggarakan setiap hari Jumat-Sabtu-Minggu tiap minggu.
Pemerintah kota Semarang berkeinginan menjadikan CITY WALK juga menjadi pusat kuliner seperti WAROENG SEMAWIS yang telah berhasil menyedot perhatian masyarakat Semarang yang terkenal suka makan enak.
Mengapa proyek CITY WALK gagal menarik minat masyarakat? Pemerintah harus segera introspeksi dan segera pula memperbaikinya agar proyek ini tidak gagal total begitu saja.
Berikut ini gambar CITY WALK yang memang lengang, hanya ada tenda-tenda kosong tanpa seorang pedagang pun.


Dari kawasan CITY WALK, aku mengajak Angie ke WAROENG SEMAWIS. Lebaran ternyata tidak berarti WAROENG SEMAWIS tutup. Tatkala aku sampai di sana, kurang lebih pukul 18.15, suasana masih sepi, mungkin karena aku sampai di sana terlalu sore. Beberapa pedagang sedang sibuk menata barang dagangannya. Tidak ada tumpukan pelancong di jalanan maupun di tenda-tenda yang menawarkan berbagai macam makanan. Selain makanan, ada pula stand pakaian, pernak pernik aksesoris, dan dua stand khusus ramalan, seperti biasa.
Waktu aku dan Angie menikmati makan malam, gerimis turun. Namun gerimis tidak berarti minat masyarakat turun. Beberapa orang kulihat segera mengembangkan payungnya dan tetap berjalan, menunjukkan bahwa mereka telah mempersiapkan diri dari rumah seandainya turun hujan, mereka akan tetap bisa berjalan-jalan di sepanjang jalan yang disebut Gang Warung itu.
Di bawah ini beberapa foto yang kujepret di kawasan WAROENG SEMAWIS pada hari Minggu 14 Oktober 2007..



Sayangnya makan malam itu kurang nikmat. Aku pesan tahu dan tempe penyet, sambelnya ampuuuuunnn... pedesnya ga karuan. :( :( Angie yang ingin makan siomay membuatku memilih makanan yang terletak di tenda tidak jauh dari stand siomay itu. Di sebelah kanan stand siomay, ada stand sate babi. Count me out for this kind of food.  Di sebelah kiri ada pusat lalapan yang berjualan ayam goreng, bebek goreng, burung dara goreng, plus tempe dan tahu penyet. Aku ingin burung dara goreng, tapi mereka tidak punya. Ayam goreng, wah .. Lebaran selalu identik dengan ayam, so aku males makan ayam goreng di situ. Ditawari bebek goreng, ah ... ga berani nyoba aku. (I am not a food adventurer!!!) akhirnya aku pilih tahu dan tempe penyet yang sambelnya minta ampun pedesnya itu. (Perhaps my Abang would enjoy it coz he said he loved spicy food.)
Selesai makan, dan gerimis telah reda, aku dan Angie jalan-jalan lagi, yah cuma muter-muter doang sih di sekitar situ. :) kali ini aku tidak sampai ke kelenteng Tay Kak Sie dan replika kapal Cheng Ho.
Sewaktu aku dan Angie meninggalkan pelataran parkir, kulihat lebih banyak pengunjung yang berdatangan. Kata tukang parkir, malam minggu pengunjung Waroeng Semawis banyak seperti biasa, tidak ada perubahan meskipun hari itu merupakan Lebaran hari pertama.
Aku dan Angie sampai di rumah sekitar pukul 20.00. begitu memasuki kamar, hujan turun dengan deras. Wah ... pas banget? :)
PT 22.40 141007

Monday, October 22, 2007

My dear Motorcycle

Aku super heran dengan motorku yang rada ajaib (kayak yang punya kali. LOL.) Gimana ga heran, setahun yang lalu, tak pernah kubawa ke bengkel sekalipun, namun tak pernah sekalipun dia membuatku repot, karena mogok misalnya. Busi pun ga pernah kuganti. Sakti kan? LOL. Paling-paling yah ... cuma nambah angin untuk bannya.
Nah, sekitar bulan Juli lalu motor akhirnya kubawa ke bengkel setelah beberapa minggu sebelumnya sempat mogok sejenak, meskipun setelah kuganti businya dengan yang baru, motor langsung hidup lagi, dan dengan setianya mengantarku kemana-mana lagi. Akhirnya motor kubawa ke bengkel setelah adikku ngomelin aku, “Kamu tuh kebangeten. Motormu setia banget padamu, kamu cuma mau menaikinya doang. Tapi ga mau membawanya ke bengkel.” (Udah untung yah aku mau menaikinya? Berapa banyak orang yang ngantri minta kunaiki tapi kucuekin? Wakakakaka ... Ssssssttt .. dilarang parno meskipun bulan Ramadhan telah usai. LOL).
Setelah bulan Juli yang lalu, awal bulan September kemarin motor kubawa ke bengkel lagi, karena kebetulan ban luar roda belakang perlu diganti, sekaligus servis dan stroom accu.
Kalau dihitung-hitung, motor perlu kubawa ke bengkel lagi paling cepet bulan November lah kupikir, karena motor jarang kunaiki ke satu tempat yang jauh. (aku bukan tipe orang yang suka keluyuran kemana-mana. Kegiatanku setiap hari hanya mengantar anak semata wayangku ke sekolah, menjemputnya, trus ke kantor. Jarak rumah ke sekolah Angie, sekitar 3 km. Jarak rumah ke kantor juga cuma sekitar 3 km. Oh yah, selain itu, ke Paradise Club fitness center, mungkin ya sekitar 3-4 km. Warnet tempatku online untuk blogging, milising, dan chatting dengan Abangku seorang juga berada di daerah yang sama.) Namun ternyata perhitunganku meleset.
Hari Kamis sore 18 Oktober 2007 sekitar pukul 18.15, seusai berenang, motorku mogok dalam perjalanan pulang. Aku yakin pasti businya harus diganti karena sekitar 10 hari sebelumnya, waktu hujan turun deras, aku sedang dalam perjalanan pulang dari kantor, sempat terjebak banjir. Mungkin busi kena cipratan air waktu itu. Cukup ajaib pula kalau ternyata motorku masih bisa bertahan selama kurang lebih 10 hari setelah kejadian terjebak banjir itu.
Setelah menuntun motor (bayangkan, aku kalah gede dibandingkan motorku LOL), selama kurang lebih 2 km (bayangkan lagi, aku memakai rok panjang hitam, jaket yang lumayan tebal, sandal jepit, plus tas punggung berisi baju berenang, handuk, dll), akhirnya aku menemukan sebuah bengkel buka. Alhamdulillah ... Tanpa ba bi bu, aku langsung bilang ke pemilik (atau pegawai ... atau apalah) bengkel, “Busi Pak...”
Si pemilik segera mengambilkan busi dan menyerahkannya kepadaku.
Aku tidak mengatakan apa-apa selain menunjuk ke arah motorku. Dia langsung bertanya, “Sekalian dipasang?”
“Iya ...” wah ... not a bad body language, eh? LOL.
Setelah busi diganti, motor langsung bisa nyala setelah distarter. Syukurlah ...
*****
Namun tiba-tiba motorku ga mau distarter lagi keesokan harinya, Jumat 19 Oktober 2007 seusai aku ngenet (sepulang dari kantor). Si Bapak pemilik warnet yang (ternyata) baikan, langsung menawarkan jasa untuk menstarterkan motor, dengan alasan, “Eman-eman sepatunya mbak, kalau dipakai untuk starter motor nanti cepat rusak.” (FYI, aku memakai sepatu boots hitamku yang memiliki hak setinggi (cuma) 5 cm.) Namun ternyata jasa baiknya tidak disambut baik oleh motorku yang sedang ngambek (kayak Abangku yang sedang ngambek saat ini. LOL.) Mesin motor tetap saja ga mau nyala meskipun telah ada 3 orang yang membantu menstarternya. Busi juga dicek lagi, meskipun aku sudah bilang kalau busi barusan ganti satu hari sebelumnya.
Aku yang merasa ga enak karena ngerepoti banyak orang, akhirnya bilang, “Sampun Pak, dalem beto wonten bengkel kemawon. Wonten bengkel caket mriki to nggih?” Kebetulan memang letak warnet yang satu ini dekat dengan bengkel tempat aku membeli busi satu hari sebelumnya. Akhirnya si Bapak itu mengalah, ga lagi ngotot untuk bisa membuat mesin motorku nyala. LOL.
But ... it was not my lucky day.  Abangku ngambek, motor ngambek, eh, bengkel ngambek pula, LOL, alias tutup. Aku langsung berinisiatif menuntun motor ke arah rumah, karena seingatku sepanjang jalan Indraprasta itu ada beberapa bengkel. Bayangkan keadaanku waktu itu, memakai rok panjang hitam, blazer hitam, kalung pemberian anakku tersayang, sepatu boots berhak 5 cm, membawa tas punggung mungil berisi the cutie, buku, dll. Dalam perjalanan, aku ternyata sempat “menarik perhatian” beberapa orang. Ada dua orang laki-laki yang dengan sengaja berhenti, menyapaku, “Mogok mbak?” dan dengan sok pahlawan menawariku untuk melakukan sesuatu. LOL. Misal: mencoba menstarterkan motor, ngecek busi, nanya apakah aku bawa peralatan di bawah jok motor. Setelah gagal, mereka menawariku untuk mendorong motorku. Caranya begini, motorku dan motornya berjalan bersisian. Dia akan menarik motorku sembari menaruh kakinya di knalpot, atau bagaimanalah, yang penting motorku mau jalan, tanpa aku menuntunnya. Namun dengan simple kujawab, ”Waduh ... kulo mboten wantun menawi ngoten.” Akhirnya mereka (keduanya menawari hal yang sama, dalam waktu yang berbeda. Heran, kok mereka bisa punya ide yang sama yah?) pun meninggalkanku sembari bilang, “Nyuwun ngapunten mbak nggih, kulo tak rumiyin...” dengan sorot mata yang kuterjemahkan, “I do want to help you, but I cannot.” LOL.
Dan aku pun heran ternyata masih ada juga orang yang baik hati begitu? Atau aku memang terlalu merasuk ke dalam my individualistic lifestyle sehingga perlu merasa heran dan hostile tatkala ada orang asing menawarkan jasa baiknya kepadaku?
Dalam perjalanan pulang masih banyak orang yang menyapa, “Mogok mbak? Bisa saya bantu?” namun aku cuma tersenyum (entah manis entah pahit entah kecut LOL) sembari meneruskan perjalanan. Well, kira-kira aku berjalan sembari menunton motor sekitar 2 km. Capek sih engga, tapi yang kukhawatirkan adalah telapak kakiku yang mungkin akan lecet karena aku memakai high-heeled boots. Betapa lega ketika aku sudah memasuki kompleks Pusponjolo. Lebih lega lagi setelah sampai rumah tentu.  dan ternyata telapak kakiku ga lecet. Kalau lecet repot lah ke kantor. Sepatu ketsku yang berwarna hitam rusak, yang ada cuma high-heeled shoes plus boots, yang tentu akan semakin memperparah lecet.
Sekarang hari Sabtu 20 Oktober 2007 pukul 19.20. Aku belum sempat bawa motor ke bengkel. Tadi pagi ngajar pukul 08.00-12.00, aku dipinjami motor adikku terkecil yang kebetulan ga pergi kemana-mana. Setelah pulang, makan siang, aku berangkat lagi ke kantor naik bus. Jadi bernostalgia waktu sering pulang pergi ke Jogja.
Pulang dari kantor naik bus. Waktu turun dari bus, memasuki jalan Pusponjolo Tengah aku memang berniat untuk jalan kaki saja, ga naik becak (waktu berangkat aku ya jalan kaki), lumayan berolah raga, jalan kaki kurang lebih 10 menit naik high-heeled boots. LOL. Namun, waktu turun dari bus, seorang tukang becak menawariku, aku langsung menggelengkan kepala, sembari bilang, “Mboten Pak...” pas waktu itu aku menatap matanya, dan kulihat sinar kekecewaan di sana.  Aduh ... Tapi masak setelah bilang, “Mboten Pak...” aku balik lagi dan meralat, “Nggih pun Pak...” kok aku ya merasa ga nyaman? Kok jadi plintat plintut? (Betapa aku memang sering merumitkan masalah yang sebenarnya ga rumit-rumit amat. :)) Walhasil, selama berjalan sampai rumah, di pelupuk mataku terus terbayang sorot mata dengan sinar kekecewaan itu. I was unhappy. :(
PT56 19.40 201007

Friday, October 19, 2007

K A L U N G

Beberapa bulan yang lalu di kantin kantor, aku ditawari oleh Ibu penjaga kantin,
“Bu Nana ... kalungnya indah-indah loh. Murah-murah lagi.”


Aku sempat bengong. Heran, mengapa Ibu kantin menawariku kalung? Apakah tak pernah dia perhatikan aku bukan tipe orang yang suka memakai berbagai macam aksesori? Aku hanya memakai anting lama, pemberian my beloved Mom, mungkin tatkala aku duduk di bangku SMA, atau bahkan sebelum itu. Kalung yang dibelikan oleh my Mom waktu aku masih duduk di bangku kuliah S1 kujual tahun 2002 lalu, dan uangnya kubelikan handphone, sebelum aku berangkat untuk melanjutkan kuliah di American Studies UGM. Handphone lebih penting bagiku waktu itu agar bisa berkomunikasi dengan Angie yang berada di Semarang. 



Namun karena tawaran Ibu kantin itulah, aku mulai memperhatikan aksesori yang dikenakan para siswa/mahasiswa yang datang. Nampaknya aksesori kalung mulai digemari lagi. Atau mungkin aku yang terlalu kuper dan tidak pernah memperhatikan hal tersebut karena aku sendiri tidak pernah peduli. Akan tetapi hal ini tidak berarti aku serta merta ngikut apa yang sedang trend. Aku tetap tidak kepengen memakai kalung, so ngapain beli?


(Telah cukup lama aku tidak lagi memperhatikan penampilan dan aksesorisnya, seperti tas tangan, sepatu, bros, dan lain-lain. Pakaian pun aku memakai yang berwarna hitam melulu sehingga dijuluki “Ms. Black” oleh banyak siswa/mahasiswa. Namun, di zaman ‘jahiliyah’ku dulu, aku suka juga koleksi sepatu dan tas berwarna warni, bros, dll.)


****


Hari Sabtu 29 September 2007 di hotel The Sultan, mbak Angel menunjukkan padaku kalung yang dia pakai. “Kalung ini yang membelikan Luna loh mbak Nana, satu hari waktu di sekolah ada acara semacam bazaar untuk memperingati Mother’s Day. Luna masih duduk di bangku SD waktu itu. Sepulang sekolah dia berikan kalung ini kepada saya. I do appreciate it much more than a golden necklace, karena yang memberi Luna, anakku semata wayang, di hari Ibu pula.”


Dan aku pun memandangnya dengan takjub. Sorot mata kebanggaan terpancar dari mata mbak Angel. Sedangkan Luna yang disebut-sebut tersenyum simpul, berbangga hati pula karena kalung pemberiannya sangat dibanggakan oleh Mamanya.


Aku beberapa kali sempat bertanya pada diri sendiri, apakah aku akan tetap memiliki hubungan yang harmonis dengan anakku, seandainya anakku laki-laki. Dan pada hari itu kulihat keharmonisan antara mbak Angel dengan Luna, anak laki-lakinya. Would I experience like that if my child were a son?


Aku yang feminis ini, plus semasa kecil sering mainan “khas anak laki-laki” sebangsa layang-layang, kelereng, mobil-mobilan, dan sewaktu SMP ikut ekstra kurikuler karate, sehingga aku merasa ‘pernah’ bersikap tomboy, tetap merasa tidak mampu menyelami jiwa laki-laki. Mungkin aku akan tetap bisa berusaha membina hubungan harmonis dengan seorang anak laki-laki (jika dikaruniai seorang anak laki-laki LOL). Namun untuk ‘membentuknya’ menjadi seorang sosok laki-laki yang macho, entahlah.
Beberapa minggu lalu waktu mengunjungi dugderan, aku senang melihat permainan kapal-kapalan, (aku pernah membelikan Angie kapal-kapalan, sekedar untuk ‘menularkan’ kebahagiaan kepadanya sewaktu aku kecil bermain kapal-kapalan ini dengan kakakku.) gasing, mobil-mobilan. Tapi tatkala melihat satu stand PSIS yang berjualan segala macam atribut sepakbola, aku tak bisa membayangkan apakah aku akan dengan senang hati mengajak anak laki-lakiku ke stand tersebut. Satu hal yang pasti, waktu aku kecil di dugder belum ada stand seperti itu. LOL. Dugderan memang merupakan salah satu perekatku dengan ‘akar budaya’ masa kecilku. 


****


Kurang lebih sepuluh hari yang lalu tatkala membeli sebuah rok dengan belahan dada yang agak rendah, aku bilang ke Angie, “Bakal terlihat aneh ya Yang kalau di leher Mama kosong? Mama mau beli kalung ah.” 


Angie yang semula tidak begitu tertarik dengan kalung (waktu kecil yang dia sukai adalah aksesori untuk rambut) ternyata waktu itu ikut antusias memilihkan kalung buatku. Beberapa hari kemudian aku menemukan jawabannya, “Angie bisa pinjam kalungnya Mama waktu pentas drama POCAHONTAS nanti. Kan Angie jadi Ratu?” Wah ... ternyata ... LOL.

****


Hari Sabtu 6 Oktober 07 lalu sepulang dari latihan drama POCAHONTAS dengan beberapa teman sekolahnya, Angie menunjukkan kepadaku sebuah kalung dengan bandul Mickey Mouse. “Ma ... ini Mickey loh! Imut kan?” 


Ternyata dia beli kalung itu di DP Mall, waktu jalan-jalan dengan teman-temannya, tatkala hunting aksesori apa aja yang akan dikenakan waktu pentas drama di sekolah. 


Hari Senin 8 Oktober 07, sepulang dari latihan drama lagi, Angie mengulurkan kalung lain. Kali ini bandulnya berbentuk hati.


“Tadi Angie dan teman-teman hunting aksesori lagi di DP Mall, dan Angie lihat ini. Angie beli buat Mama.”


Uh ... aku jadi ingat mbak Angel yang dengan bangga mengenakan kalung pemberian Luna anaknya. Dan akupun merasa bahagia menerima kalung pemberian Angie.


****


Hari ini Rabu 10 Oktober 07, aku memakai kalung pemberian Angie waktu mengajar. Beberapa teman kerja mengomentari, “Wah kalungya eye-catching banget Ms. Nana.”


“Wah ... kalungnya ABG banget Ms. Nana.”


Dengan bangga aku menjawab, “Ini kalung pemberian Angie. Maklumlah kalau modelnya ABG lha wong yang beli juga seorang ABG.”


Ternyata bangga banget ya diberi sesuatu oleh anak kita? 😍😍
PT56 23.55 101007

Monday, October 01, 2007

Kopi Darat Milis RumahKitaBersama

KOPI DARAT YANG MENGESANKAN

Pesawat yang kutumpangi menuju Jakarta meninggalkan bandara Ahmad Yani Semarang kurang lebih pukul 12.00, terlambat 20 menit dari jadual semula. Namun hal tersebut tidak mengurangi my excitement karena membayangkan akan bertemu some wonderful people yang selama ini hanya kukenal nama, cara menulisnya, dan beberapa fotonya lewat milis RumahKitaBersama. Oh well, kecuali mbak Icha yang telah datang ke Semarang dua kali, sehingga aku telah bertemu dengannya dua kali. 


Pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta sekitar pukul 12.55. Tatkala sedang antri ambil luggage, ponselku berbunyi. Pasti Abang yang ngecek apakah aku sudah sampai (so caring of him!!!). Yeah, it was him, so I told him that I was waiting for my luggage and he said that he was waiting for me—and my lovely star, Angie, plus my sister—outside. Setelah mendapatkan luggage aku keluar. Sempat celingukan kesana kemari mencari dimana Abang berada, akhirnya dia pun muncul, mobilnya berada di tengah-tengah taksi yang sedang mengharapkan segera mendapatkan penumpang. Wah, untung aku telah mengenalinya lewat beberapa foto yang dia kirimkan kepadaku, juga lewat webcam beberapa kali sewaktu kita chat lewat Yahoo! Messenger, sehingga aku langsung tahu ketika dia melambaikan tangannya, memintaku berburu-buru karena mobilnya menghalangi taksi yang ada di belakangnya!


Berhubung kita harus buru-buru sebelum disumpahi para sopir taksi yang nampak sama tidak sabarnya dengan Abang (LOL), aku tidak sempat mengulurkan tangan untuk berjabatan, apalagi cium pipi. LOL. And there I was, sitting next to him, mantan pereli antar negara. LOL. Dia langsung tancap gas sembari bertanya, “Siap untuk ngebut?” Bukan sebuah pertanyaan kukira, tapi pernyataan. Hahahaha ...Well, memang aku sudah lama penasaran ingin membuktikan bagaimana caranya mengemudikan mobil. Kata mbak Omie Abang kalo nyetir gila-gilaan. (Bayangin aja kalau rombongan RKB dari Jakarta berkunjung ke Semarang dan Candi Sukuh dengan sesekali Abang yang nyetir, bakal mabuk darat semua. Wakakakaka ...)


“Loh, mbak Angel kemana Bang? Bukannya dia seharusnya sudah sampai sebelum aku?” aku sempat bertanya sebelum mobil meninggalkan terminal 1B. 


“Pesawatnya delay entar jam 3. Biar dia entar naik taksi aja.” Jawabnya. Wah ...


Setelah meninggalkan kompleks bandara Soekarno Hatta, ternyata lalu lintas padat, sehingga Abang ga bisa tancap gas melulu, meskipun sempat juga membuatku merasa, “Kayak main game di playstation Bang! Itu loh yang kebut-kebutan naik mobil.” Komentarnya, “Iya, sama. Cuma kalau cuma main game, kamu tetap hidup meskipun nabrak. Di sini, bablaslah kamu kalau nabrak.” Hahahaha ...


Well, terakhir kali aku ke Jakarta di tahun 2001 untuk menghadiri seminar internasional yang diselenggarakan oleh LBPP LIA Jakarta, rasanya Jakarta waktu itu belum sepadat sekarang. Atau mungkin kebetulan saja waktu itu aku tidak berada di jalan pada saat peak hours. Abang ternyata hobby ngomel sewaktu nyetir karena lalu lintas padat (sorry nih, buka kartu Bang, wakakakaka ..). Mungkin banyak orang lain lagi yang suka ngomel juga yah karena lalu lintas yang padat. Di Semarang, sepadat apapun lalu lintas, ga bakal segila di Jakarta. Apalagi kebetulan kantorku terletak tidak jauh dari rumah, perjalanan dari rumah ke kantor cuma butuh 5 menit, macet parah paling-paling aku butuh waktu 15 menit deh. Entah karena aku tidak terbiasa dengan lalu lintas padat, atau karena Abang ngomelin pemerintah kota Jakarta yang tidak becus mengatur tata kota melulu, aku pun dengan mudah ikut senewen. (Meskipun begitu, ternyata perjalananku dari bandara ke The Sultan Hotel masih mending dibandingkan mbak Angel yang datang belakangan, dan terhalang macet, sampai taksi tidak mampu bergerak maju sampai satu jam! Gosh!!!)


Sesampai di hotel sekitar pukul 14.00, ah ... leganya! 


Setelah mengantarku ke kamar nomor 885, dan ngobrol sejenak, Abang turun ke lobby, menunggu kedatangan mbak Icha dan mbak Angel.


Aku turun sekitar pukul 17.00 karena acara buka puasa bersama akan dimulai pukul 18.00. Namun ternyata mbak Icha dan keluarga, juga mbak Angel belum nongol juga. Traffic jam yang gila penyebab mereka berdua belum sampai. 


Mbak Icha bersama kedua buah hatinya, Bastian dan Vanessa datang terlebih dahulu. Kak Frisch yang sedang mencari tempat untuk parkir mobil masuk belakangan. Bas ternyata lebih ramah dan murah senyum dibandingkan Van sehingga dia langsung menyambut uluran tanganku dan membiarkanku mencium pipinya, sedangkan Van menghindar. Lah, heran kan aku? kata mbak Icha, Van kenes, Bas pemalu. Oh, ternyata karena Van masih jet lag karena perjalanan dari Ciledug ke hotel. “Nyawanya belum ngumpul tuh!” kata mbak Icha. LOL.


Mbak Angel akhirnya muncul juga sekitar pukul 17.30. Oh, she must have been very tired! Dan aku heran, kok mbak Angel datang sendirian, kemana Luna, sang jagoannya? Ternyata Luna akan nyusul dari Lippo Karawaci, tempat sekarang dia menimba ilmu di Universitas Pelita Harapan. Dan tentu bisa dimaklumi, perjalanan Luna pun terhalang macet sehingga dia akan datang belakangan. 


Adzan maghrib menunjukkan waktu berbuka telah terdengar sewaktu kita serombongan akan meninggalkan hotel menuju RM Pulau Dua. Kegembiraan bertemu dengan orang-orang special itu membuatku lupa bahwa aku berpuasa. Aku lupa bahwa seharusnya aku merasa lapar. LOL. Aku bersama Angie dan Nunuk plus mbak Angel berada dalam mobil Abang, sedangkan mbak Icha sekeluarga berada dalam mobil lain.


Sewaktu memasuki tempat parkir RM Pulau Dua, Abang sempat menyapa seseorang, “Liquid!” Oh ... he must be si anak bangor, yang hobby kirim postingan yang lucu-lucu tur saru (wakakakaka ...). “Kok masih nampak muda banget?” komentar mbak Angel. “Masih kayak anak kuliahan,” katanya lagi. Loh, saingan sama Luna dong? LOL.


Memasuki RM Pulau Dua, gile, rame banget? aku sempat mikir kayak orang-orang Jakarta tumplek bleg di sana, buka puasa bersama. Sewaktu aku dan rombongan sampai di meja nomor 300, Pak Anwari dan istri, plus Pak Djoko beserta istri dan anak putrinya yang mantan sopir busway telah duduk di meja menunggu kita. Setelah bersalam-salaman, saling memperkenalkan diri masing-masing, kita duduk. Pak Anwari berkomentar dengan bangga, “Saya datang nomor satu! Sudah ada foto yang menunjukkan saya datang tepat waktu, juga hidangan yang lengkap sudah ada di kamera saya.” Wah ... Pak, di Semarang aku juga termasuk punctual comers, Abang juga begitu di tempatnya sono, dan sering ngomentarin aku lelet kayak kuya. Wakakakaka ... But pada kesempatan itu, ya mohon dimaklumi kalau kita datang terlambat. Pesawat mbak Angel yang delay dari jam 11.00-an, mundur sampai jam 14.00-an (if I am not mistaken), lalu lintas macet yang tak terkira membuat kita semua datang terlambat.


Btw, Pak Anwari yang tidak memakai topi (maklum, aku hafalnya fotonya yang banyak bertebaran di www.superkoran.info memakai topi) terlihat lebih muda dari usianya yang 69 tahun. Sewaktu aku bilang, “Wah Pak Anwari terlihat lebih muda di aslinya loh dibanding di foto,” Bu Anwari bilang, “Waduh mbak, nanti kepalanya jadi membesar! Topinya bakal ga muat dipakai lagi.” Hahahaha ...
Setelah minum teh manis yang tersedia untuk membatalkan puasa alias berbuka, aku, Angie dan Nunuk, beserta Bu Djoko dan anaknya shalat dulu di musholla yang tersedia. 


Kembali ke meja nomor 300, kita langsung makan, sambil ngobrol, foto-foto, khas orang-orang kopi darat deh. obrolan yang semula kita lakukan lewat dunia “maya”—milis—kita lanjutkan di dunia “nyata”. Mas Budiman yang juragan minyaknya RKB datang setelah kita ramai-ramai makan, ngobrol, dan lain lain. Setelah bersalam-salaman dengan semua yang hadir, dia pun langsung gabung. 


Pak Djoko yang duduk di sebelahku, sempat memberiku buku “Semarang Tempo Dulu, Teori Desain Kawasan Bersejarah”. Wah, tentu sudah dipersiapkan sebelumnya. Thanks a lot Pak Djoko. Pak Anwari yang duduk berhadapan dengan pak Djoko bilang aku dan Angie look like sisters. Well, banyak sih yang bilang begitu. Waktu Pak Anwari nanya, “Kalau begitu siapa yang dimudakan siapa yang dituakan?” untuk menggoda Angie, aku bilang, “Dia dituakan Pak, sehingga pantas menjadi adik saya.” LOL. But tentu saja di dalam hati aku pengennya aku yang dimudakan dari usiaku sebenarnya. (Goodness, Pak Djoko masih ingat yang kukatakan di milis, bahwa usiaku akan selalu 36 tahun, seperti alamat emailku fe36smg@yahoo.com) 


Acara ngobrol-ngobrol beramai-ramai ini sempat terganggu karena kebetulan kita duduk di dekat panggung yang ada live music nya. Abang yang semula didaulat untuk menyanyi di milis, tidak mau menyanyi di situ. Dia berencana mengajak kita ke karaoke setelah acara buka puasa bersama itu selesai. Nah, kalau di karaoke dia mau menyanyi tentu. He told me he loves berkaraoke-ria. 


Yang paling belakangan datang Pak Danar beserta Ibu Roosye yang cantik jelita. Tentu karena macet. Luna pun datang hampir berbarengan. Tepat pada waktu itu, beberapa meja yang ada di dalam ruangan telah kosong sehingga rombongan RKB memutuskan untuk pindah ke dalam sehingga acara ngobrol kita tidak terganggu live music. Meskipun begitu ternyata suara orang berceloteh—ga cuma rombongan RKB yang ngobrol dan bercanda—tetap saja mengganggu. 


Angie yang ngantuk, bersandar di bahuku, sambil memejamkan mata menjadi sasaran empuk kamera Pak Anwari. LOL. Akhirnya kak Frisch menawarkan mengantar Angie balik ke hotel. Nunuk pun ngikut. Thanks a lot kak Frisch. 


Pak Djoko dan istri plus anak meninggalkan tempat sebelum pukul 21.00 karena Bu Djoko ingin melakukan shalat tarawih. Sekitar 30 menit kemudian, Pak Anwari beserta Ibu mohon diri karena telah dijemput sang pengawal. LOL.


Kita semua yang tersisa meninggalkan RM Pulau Dua sekitar pukul 22.00. 


Sesuai rencana, Abang ngajakin aku berkaraoke. Sayangnya Liquid dan mas Bud’s pulang, ga ngikut. Mbak Angel dan Luna yang kecapaian pun memilih balik ke hotel untuk beristirahat. “Wah, ga rame nih, masak cuma 4 orang?” komentar Abang. Yah, mau bagaimana lagi Bang? Aku tentu saja semangat 45 ngikut karena berkaraoke bareng Abang kan merupakan salah satu item dalam daftar yang ingin kita lakukan bersama jikalau kita bertemu?


Setelah mengantar mbak Angel dan Luna balik ke The Sultan, kita berempat, terbagi dalam dua mobil, menuju ke karaoke yang terletak di Kelapa Gading, tak jauh dari tempat tinggal Abang. Jalan tol dalam kota tetap saja macet membuat Abang ga habis pikir. “Sudah hampir jam 11 malam gini jalan tol tetap macet? What is wrong with Jakarta?” omelnya. LOL. Well, aku ga perlu lah ikutan ngomel. Hahahaha ... aku dengerin aja dia ngomel ngalor ngidul tentang kota kelahirannya itu, sembari menikmati pemandangan di luar kaca mobil, Jakarta di waktu malam hari.


“Jakarta benar-benar ga pernah tidur ya Bang?” tanyaku.


“Iyalah. Kamu baru tahu toh?” tanyanya balik. LOL.


Setelah lalu lintas lancar lagi, nah ... aku serasa naik mobil reli lagi deh. LOL. Abang langsung ngebut! Aku bayangin kak Frisch yang ada di belakang, harus ikut-ikutan ngebut agar tidak kehilangan jejak. Oh ya, Van dan Bas sudah balik ke hotel, diantar Papanya, jauh sebelum kak Frisch nganter Angie dan tantenya balik ke hotel. 


Dan ...


Betapa kecewanya Abang tatkala mendapati “Happy Puppy” tempatnya biasa berkaraoke tutup. Iya, T U T U P!!! Aku, mbak Icha, dan kak Frisch ketawa aja. Mau bagaimana lagi? Akhirnya Abang ngajakin kita minum juice di salah satu tempat makan di Kelapa Gading. Kata kak Frisch, daerah Kelapa Gading memang terkenal memiliki banyak pusat jajan yang enak dengan harga terjangkau. Banyak orang dari seantero Jakarta datang ke Kelapa Gading hanya untuk makan.


Seusai ngobrol sambil minum juice, kita memisahkan diri. Abang pulang ke rumah, aku bersama mbak Icha dan kak Frisch balik ke The Sultan. Berbeda dengan Abang yang mantan pereli antar negara sehingga kalau nyetir ngebut, kak Frisch nyetir dengan santai, sambil ngobrol, sekaligus menjadi tourist guide yang sabar. LOL. Aku ditunjukinya tempat-tempat yang pernah memiliki sejarah, misal eks lapangan IKADA, dan yang lain-lain, termasuk “Ini dia rumah sakit Papinya Icha,” katanya. LOL. Mbak Icha langsung ketawa, “Emang orang kaya punya rumah sakit? Maksudnya di rumah sakit inilah Papiku dirawat selama kurang lebih satu bulan sebelum beliau menghembuskan nafas yang terakhir. Kita anaknya bersebelas bergantian menjaganya di rumah sakit.” 


Dalam perjalanan kita sempat ketemu rombongan sahur on the road. Entah mereka beneran beribadah melakukannya atau sekedar hura-hura di malam hari di bulan puasa, sehingga tidak bakal ditangkap polisi. Oh ya, kita sempat dicegat polisi yang ngecek kelengkapan surat-surat seperti STNK mobil dan SIM. Heran, malam hari gitu, kok ya masih ada oknum yang mencari tambahan duit buat Lebaran? Hahahaha ... 


Semula mbak Icha mau ngajakin aku beli sesuatu untuk sahur di Jalan Sabang, tapi ga jadi karena pertemuan dengan rombongan sahur on the road. Akhirnya kita jadi juga mampir di satu jalan—aku lupa bertanya apa namanya dan mbak Icha ga bilang—dimana banyak kafe tenda bertebaran, berjualan segala macam makanan. Aku memilih menu nasi goreng yang ga ribet cara makannya. Banyak manusia kalong di sini, LOL, yang sedang makan, entah makan malam yang sangat terlambat, atau makan sahur yang terlalu awal. 


Kita bertiga sampai di hotel sekitar pukul 01.30, if I am not mistaken.


*****


Walaupun tidur sangat terlambat, dan bangun untuk sahur sekitar pukul 03.30-04.00, jam 6 pagi aku sudah bangun, tergolek kesana kemari. I don’t know what made me not able to sleep. Akhirnya pukul 06.30 aku turun, berenang, meskipun aku bilang ke mbak Icha aku akan berenang bersama Van sekitar pukul 09.00. Well, kalau pengen berenang lagi, toh aku bisa juga melakukannya.

“Puasa-puasa kok berenang Na?”


“Well, yang membatalkan puasa kan makan, minum dan have sex secara sengaja di siang hari? Berenang tidak termasuk minum secara (tidak) sengaja toh? Kan kata hadits yang penting nawaitunya? Berniat berenang untuk bisa minum air secara sengaja atau berenang untuk berolahraga?” LOL.
Seusai berenang selama kurang lebih satu jam, (pengennya berendam selama mungkin sebenarnya hahahaha ...) aku balik ke kamar, mandi. Angie masih molor. Nunuk melakukan yoga, or whatever it is called. LOL.


Sekitar pukul 9, Abang nelpon aku dari kamar 895, tempat mbak Angel dan Luna menginap. Dituduhnya aku baru bangun tidur. Enak aja, udah berenang kok dibilang baru bangun tidur. Aku segera ke kamar 895, berkumpul. Mbak Icha dan si cantik Van yang sudah keliatan aslinya, kenes LOL, nyusul. Dan, di sanalah kita mempertontonkan diri bersama-sama di depan web cam untuk dilihat mbak Omie. Mbak Omie pengen lihat kebersamaan kita, ikut merasakan kegembiraan kita yang berkumpul di darat, ga cuma lewat milis doang. 


Selesai chatting dengan mbak Omie, Abang dan lain-lain turun untuk sarapan. Aku balik ke kamar, packing. Seusai packing, aku ajakin Angie turun, berkumpul dengan mbak Icha yang sedang nungguin Van bermain air. Abang sempat bergabung dengan kita, ngobrol-ngobrol. Aku ga jadi nyebur lagi. 

Abang ngeledek, “Takut item ya Na?” LOL. Aku bawa baju berenang full body kok, yang kayak baju selam itu. Males harus mandi lagi, ngeringin rambut lagi, dll. Abang yang bilang di milis katanya mau bertopless ria (untuk nunjukin kalau dirinya memang laki-laki, bukan perempuan LOL) di kolam renang juga ga jadi. It means, kita masih bisa menodongnya untuk melakukannya di kesempatan yang akan datang. LOL. Cihui!!! LOL. LOL. 


Btw, di film SHE’S THE MAN, Viola Hastings dan Sebastian Hastings, si kembar yang bertukar tempat, tatkala membuktikan bahwa diri mereka perempuan/laki-laki, Viola menunjukkan dadanya, sedangkan Sebastian melorotkan celananya. It means kalau Abang hanya akan bertopless ria untuk menunjukkan bahwa dia laki-laki, itu kurang mantap. Wakakakakaka ...


Setelah mbak Angel turun dan ngobrol sejenak dengan kita bertiga, Abang pamitan karena dia akan pergi ke satu tempat lain. Aku dan mbak Angel pamitan ke mbak Icha karena kita akan berangkat ke bandara bareng. Mbak Icha dan kakaknya Beby masih menunggui si kecil-kecil bermain air.


Aku dan mbak Angel saling berpelukan dan cium pipi kiri kanan di taksi setelah sampai di bandara. Oh ya, komentar mbak Angel tentang aku, “Aku bayangin mbak Nana ini tinggi besar, karena dia kan feminis? Eh, ga tahunya mbak Nana ini kecil mungil dan feminin.” Kata mbak Icha, “Berarti mbak Angel ga nyimak ya waktu di milis kita bercanda siapa yang paling enak digendong, ya tentu si Nana yang kecil.” Ah, ini sih candaan setahun yang lalu di milis lain, waktu Abang bilang dia sedang belajar ginkang sehingga dia bisa gendong aku naik Borobudur. Hahahahaha ... 


What a lovely and wonderful kopi darat. (what is it called in English? LOL.)


I am looking forward to mbak Omie’s coming next year. Hopefully we can spend time together. Kalau bisa barengan dengan yang lain, misal mbak Roslina, Don Marco, Kang Beth, Pak Sumar ... tentu saja sekaligus Abang, Pak Danar, dan Pak Anwari yang home-based nya di luar, what a miracle comes true.


Love you all,
Nana
PT56 10.35 011007


Below are some pictures of that dinner :) Can you guess which one is my Abang? :)






Saturday, September 01, 2007

Bahasa Inggeris

BAHASA INGGERIS
oleh Sumar Sastrowardojo
(seorang anggota milis RumahKitaBersama)

Di dalam seminar di ruang kuliah (class participation) ataupun di tengah pertemuan umum dengan orang setempat, acapkali kita berdiam diri karena merasa canggung dan segan berbahasa English. Ada sebuah anecdote yang mengatakan karena bahasa Inggeris bukan bahasa kita jadi kita tidak perlu mempelajarinya, cukup berbahasa Indonesia
saja dan pada suatu waktu mungkin menjadi salah satu bahasa dunia karena pemakaiannya yang cukup luas selain di Indonesia juga di Malaysia, Brunei dan Singapura, dan dipelajari di beberapa universitas di dunia.

Karena merasa canggung dari sikap demikian maka kita terkenal sebagai suatu bangsa yang berendah hati (modesty) dan tidak suka menonjolkan diri, yang pada penilaian moral orang-orang Barat dianggap tinggi juga. Namun kita tidak jujur terhadap diri kita sendiri bila kita tidak akui bahwa kelemahan berbahasa Inggeris itulah yang ada di balik kesan bermoral tinggi itu.

"Kita" adalah kita sebagai pelajar dan mahasiswa di luar negeri, kita adalah kita sebagai diplomat di perwakilan-perwakilan RI di luar negeri (Kedutaan Besar, Konsulat Jenderal, Konsulat). Sudah menjadi pengetahuan dan pengalaman umum bahwa dengan beberapa perkecualian, para diplomat dan para konsul kita tidak punya keberanian untuk menyatakan pandangan dan pendirian mereka sebagai wakil-wakil bangsa di depan forum internasional dan lebih suka "berdiam diri" dan bergerombol-gerombol dengan rekan-rekan sebangsa sendiri.

Kemampuan berbahasa Inggeris mereka merupakan hambatan yang sangat besar untuk berbicara dengan lancar dan terus terang. Hal ini bukanlah pendapat saya sendiri, akan tetapi waktu bekerja sebagai pegawai setempat (local staff) di KJRI New York, saya mendengar sendiri dari Bp. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Menlu RI, pada suatu ceramah.

Dengan penuh hormat kepada atasan saya karena orangnya baik sekali dan sekarang konon sudah menjadi ambassador, diplomat-diplomat yang dikirim ke New York dan seharusnya sudah fasih (flawless) berbahasa Inggeris, beliau masih harus mengambil "freshman English" (bahasa Inggeris yang sangat elementer) di college yang dekat dengan kantor.

Waktu saya mendampngi beliau mengunjungi jawatan-jawatan, badan-badan, kantor-kantor untuk menawarkan jasa perawat-perawat dari Indonesia, saya agak malu Dari para pejabat Deplu yang diharapkan tentu lebih banyak daripada dari local staff yang bahasa
Inggerisnya tidak sempurna tapi sedikitnya mampu mengadakan conversation yang sederhana juga. Setiap percapan atasan saya selalu beliau mulai dengan "Indonesia is interesting," bukannya "Indonesia is interested in." Sampai ada yang menanyakan: "What is so interesting with Indonesia?" atau ada yang menyeletuk:"Really?"

"Keuntungan" negara-negara yang dijajah oleh Inggeris dan Amerika (English speaking countries), adalah kemampuan mereka dalam bahasa dunia tsb, beda dengan bahasa Belanda yang bukan bahasa dunia, dan hanya dipakai di Belanda, Suriname dan Afsel.Di pasaran Amerika, banyak terjual buku-buku novel dan karangan-karangan ilmiah tulisan orang-orang India. Demikian pun penyiar-penyiar tv, banyak yang asalnya dari negara-negara bekas jajahan Inggeris dan Amerika.

Dalam pada itu sikap berendah hati kita itu barangkali dapat dikembalikan kepada situasi bangsa bekas jajahan yang sehingga sekarang belum menemukan kembali jatidirinya (national identity) nya sendiri. Meskipun begitu, bila kita bandingkan sikap itu dengan sikap bangsa-bangsa lain yang pernah dijajah juga, misalnya mereka yang datang dari negara-negara Afrika bekas jajahan Perancis, yang belajar dan bekerja di Amerika Serikat, maka jelaslah sudah bahwa perkiraan itu meleset.

Bangsa-bangsa itu lebih lincah berkomunikasi dengan warga setempat dari pelbagai lapisan masyarakat, dan bicara mereka dapat berjalan dengan bebas dan wajar meskipun aksennya masih tebal, seperti layaknya antar manusia merdeka yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Tampaknya tidak ada hambatan mental yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan kata dan kalimat yang harus dipergunakan untuk menjelaskan maksud dan kehendak mereka.

Bahkan bangsa-bangsa tetangga kita di ASEAN, yang datang dari Filipina, Singapura ataupun Malaysia memperlihatkan kelebihannya daripada kita dalam bertukar fikiran pada sidang atau pertemuan di mancanegara. Mereka dapat dikatakan mempunyai bekal modal lebih untuk menandingi kekuatan lawannya bicara. Dengan begitu, pribadi bangsa-bangsa itu juga lebih menonjol (mengemuka) dan memperoleh perhatian dan penghargaan dari bangsa-bangsa lain. Modal lebih itu adalah kecakapan mereka menggunakan bahasa Inggeris.

Saya kira hal ini juga yang menyebabkan kita selalu bisa diakali dalam perundingan-perundingan internasional, bahkan sekarang juga tidak berusaha untuk menyelesaikan suatu pertikaian internasional, seperti Ambalat dan pulau-pulau yang diklaim oleh negara jiran. Dan baru-baru ini perjanjian dengan Singapura untuk menggunakan pulau-pulau kita sebagai tempat latihan bertempur; yang sangat merugikan kita, akan tetapi kita tidak bisa berkutik, karena mereka bilang perjanjian itu baru bisa dirobah setelah 14 tahun lamanya.

MOHON DENGAN HORMAT AGAR KALIMAT SEBELUMNYA DI BAWAH INI DIRALAT DAN DITAMBAH DENGAN HURUF-HURUF YANG TERCETAK TEBAL.

Terima kasih.


Bandingkanlah dengan waktu Republik Indonesia baru berumur satu DASAWARSA (SEPULUH TAHUN) tahun, sudah dapat menyelenggarakan suatu konferensi internasional yang besar di Bandung (Asian African Conference) yang dihadiri oleh 29 negara, berkat kemampuan pemimpin-pemimpin kita yang mampu berbahasa Inggeris, dan bahasa-bahasa asing lainnya, yang mereka pelajari waktu mereka masih duduk di sekolah menegah pada zaman penjajahan.

Demikian sekedar corat-coret saya, tidak lupa saya mohon maaf sebesar-besarnya serta pengertian sedalam-dalamnya dari sahabat-sahabat RKB, karena banyak kesalahan, kekhilafan maupun kekurangan yang kurang berkenan. Atas perhatian sahabat-sahabat RKB, saya haturkan beribu terima kasih sebelum maupun sesudahnya.

Salam hormat takzim,
sum.

Melampaui Pluralisme

Buku “Melampaui Pluralisme: Etika alquran tentang Keanekaragaman Agama”” ditulis oleh Hendar Riyadi, dicetak oleh RMBooks & PSAP Januari 2007. Dalam kata pengantarnya, Professor Dr. Komarudin Hidayat menulis bahwa buku ini merupakan sebuah ijtihad untuk menciptakan hubungan yang konstruktif antarumat beragama yang selalu menyimpan potensi konflik. Di tengah-tengah era dimana konflik antar umat beragama semakin meningkat, yang bisa membahayakan integrasi negara, buku semacam ini sangatlah dibutuhkan.
Indonesia merupakan sebuah negara yang mengakui keberagaman agama yang dianut oleh pare penduduknya, paling tidak ada 6 agama: Islam dengan pengikut terbesar, kemudian Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu. Toleransi yang digembar-gemborkan harus diakui bahwa hal tersebut tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. Contoh terburuk dari ketidaktoleran ini bisa kita sebutkan sebagai konflik di Ambon beberapa tahun lalu, juga di Poso, dan di beberapa tempat lain. Jika memang semangat toleransi itu ada di dalam hati setiap warga negara Indonesia, dimanapun mereka berada, tidak akan mudah para provokator merasuki cara berpikir orang-orang dan menyebabkan konflik berdarah karea perbedaan agama.
Orang-orang yang sulit mempraktekkan toleransi itu tentu karena mereka yakin bahwa apa yang dituliskan di dalam kitab suci yang mereka percayai benar—bahwa hanya agama merekalah yang benar. Untuk itulah, untuk menumbuhkan semagat toleransi, harus ada cara baru dalam membaca dan memahami ayat-ayat kitab suci. Semangat inilah yang mendasari Hendar Riyadi melakukan riset dan menghasilkan buku “Melampaui Pluralisme”.
Untuk menghasilkan interpretasi ayat-ayat Alquran yang inklusif, Hendar Riyadi menawarkan metodologi yang berbeda dari yang digunakan oleh para ahli tafsir klasik: metode penafsiran yang integratif. Metode ini didasarkan pada beberapa teori penafsiran. Baik yang berkembang dalam tradisi keilmuan Islam maupun yang berkembang dalam tradisi teori hermeneutika kontemporer. Yang paling penting untuk digarisbawahi adalah Alquran harus dibaca secara utuh, secara totalitas, dan bukan sebagian-sebagian.
Selain metodologi, Hendar Riyadi juga menawarkan untuk menggunakan perspektif yang berbeda: perspektif etika relijius. Etika relijius yang dimaksudkan di sini adalah pertimbangan-pertimbangan atau keputusan-keputusan moral yang didasarkan pada pandangan dunia Alquran , konsep-konsep teologis, serta kategori-kategori filsafat dan dalam beberapa hal merujuk pada etika sufistik.
Dalam postingan sebelum ini, yang berjudul ‘toleransi’ dan ‘toleransi 2’ aku telah menyebut beberapa bagian buku ini. Bagi pengunjung blogku, bisa juga membaca ulasanku tentang buku yang sama di alamat berikut ini:


Terima kasih.
LL 18.01 010907

Friday, August 31, 2007

Anak


 

Jika anak di besarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak di besarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak di besarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
Jika anak di besarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
Jika anak di besarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
Jika anak di besarkan dengan iri hati, ia belajar rendah dirii
Jika anak di besarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Jika anak di besarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak di besarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak di besarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak di besarkan dengan penerimaan, ia belajar mencinta
Jika anak di besarkan dengan dukungan, ia belajar menenangi diri
Jika anak di besarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
Jika anak di besarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawaan
Jika anak di besarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak di besarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak di besarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Jika anak di besarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran

KAHLIL GIBRAN

Saturday, August 25, 2007

UU PKDRT

Sekilas tentang UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga UU No. 23 tahun 2004

1.Apa arti Kekerasan dalam Rumah Tangga?
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (pasal 1 ayat 1)
2.Siapa saja yang termasuk di dalam lingkup rumah tangga, serta apa saja azas dari UU ini?
Lingkup rumah tangga di dalam Undang Undang ini meliputi (pasal 2 ayat 1):
a.Suami, istri, dan anak.
b.Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada butir a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian.
c.Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Undang-udang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga berdasarkan Azas (pasal 3):
a.Penghormatan Hak Asasi Manusia
b.Keadilan dan Kesetaraan Gender
c.Non Diskriminasi, dan
d.Perlindungan Korban
3.Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga?
a.kekerasan fisik
b.kekerasan psikis
c.kekerasan seksual, atau
d.penelantaran rumah tangga
4.Apa yang dimaksud Kekerasan Fisik?
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang ditujukan terhadap fisik seseorang yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (pasal 6).
5.Apa yang dimaksud dengan kekerasan Psikis?
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang tidak ditujukan kepada fisik seseorang, namun mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk beertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitan psikis berat pada seseorang (pasal 7).
6.Apa yang dimaksud dengan kekerasan Seksual dan apa saja bentuknya?
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berkaitan dengan masalah seksual yang bersifat pemaksaan hubungan seksual (pasal 8). Bentuknya adalah:
a.Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga tersebut (hubungan seksual yang tidak wajar dan/atau tidak disukai).
b.Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu (pasal 8 ayat 6).
7.Apa yang dimaksud dengan Penelantaran Rumah Tangga?
a.Menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
b.Penelantaran sebagaimana yang dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehinggga korban berada dalam kendali orang tersebut (dilarang membatasi hak seseorang dalam rumah tangga untuk bekerja).
8.Apakah UU PKDRT ini juga mengatur mengenai hak-hak korban?
Ya, UU PKDRT mengatur secara legkap dan jelas tentang hak korban (pasal 10) sebagai berikut:
a.Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindugan dari pengadilan;
b.Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c.Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d.Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hikum pada setiap proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e.Pelayanan bimbingan rohani
9.Siapa yang berhak melapor terhadap kekerasan yang terjadi?
a.Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara; atau
b.Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara (lihat pasal 26)
10.Siapa yang berhak melapor kalau korbannya di bawah umur?
Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan dengan orang tua, wali, pengasuhan, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (lihat pasal 27).
11.Apakah UU PKDRT ini mengatur mengenai kewajiban pemerintah?
Ya, pihak pemerintah mewakili atau bertanggung jawab di dalam upaya pencegahan KDRT, antara lain:
a.Merumuskan kebijakan tentang kekerasan dalam rumah tangga;
b.Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c.Menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
12.Pelayanan lain apakah yang dapat diberikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah?
a.Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian;
b.Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani;
c.Pembuatan dan pengembangan sistem dalam mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
d.Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
13.Apakah UU PKDRT juga mengatur kewajiban dari pihak penegak hukum?
Ya. Adapun masing-masing kewajiban tersebut adalah:
a.Kepolisian
Begitu mendapat laporan harus memberi pelayanan dan pendampinbgan bagi korban (sementara), memberi perlindungan dalam waktu 1 x 24 jam, paling lama perlindungan 7 hari.
b.Advokat
Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya (lihat pasal 25)
c.Pengadilan
Mengeluarkan Surat Penetapan yang berisi Perintah Perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain (pasal 28). Perintah perlindungan akan diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, dan perintah perlindungan ini dapat diperpanjang. Permohonan perpanjangan perintah perlindungan dapat diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhirnya masa berlaku (pasal 32).
14.Bagaimana ketentuan pidana yang akan dikenakan pada pelaku KDRT?
Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam bag VIII mulai pasal 44 sampai pasal 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tingkat kekerasan yang dilakukan pelaku.
15.Bagaimana dengan sistem pembuktiannya?
Untuk pembuktian terhadap kasus-kasus KDRT, dikatakan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai suatu alat bukti sah lainnya (lihat pasal 55). Adapun alat bukti lainnya (sesuai dengan ketentuan yang ada di KUHP).
a.Keterangan saksi
b.Keterangan ahli
c.Surat
d.Petunjuk
e.Keterangan terdakwa
16.Bagaimana dengan kewajiban dari masyarakat?
Dalam UU disebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuan untuk:
a.mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b.memberikan perlindungan kepada korban;
c.memberikan pertolongan darurat;
d.membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
17.Apakah ada pemberian pelayanan dari pihak-pihak lain di luar pihak penegak hukum terhadap korban KDRT?
Ada, yaitu:
a.Tenaga kesehatan (pasal 21, ayat 1 dan 2). Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
b.Pekerja sosial (pasal 22 ayat 1 dan 2). Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.
c.Relawan pendamping (pasal 23);
d.Pembimbing rohani (pasal 24).
18.Undang-undang apakah yang dipergunakan sebelum UU PKDRT berlaku dalam penanganan kasus-kasus KDRT?
KUHP dengan hukum acaranya KUHAP.
19.Apakah ada perbedaan prinsip terhadap Undang-undang lama dan baru?
Ada, dalam KUHP dan KUHAP keterangan saksi harus datang dari 2 (dua) orang, sedang dalam UU PKDRT cukup dibutuhkan keterangan saksi dari 1 (satu) orang, asal dilengkai dengan alat bukti lain yang sah.
20.Dapatkah Undang-undang ini diberlakukan sekarang?
Dapat. Dalam pasal 56 disebutkan bahwa undang-undang berlaku saat diundangkan (22 September 2004).
Diambil dari brosur STOP VIOLENCE IN THE HOME yang dikeluarkan oleh THE BOY SHOP dan KOMNAS PEREMPUAN.
PT56 10.33 250807

Tuesday, August 14, 2007

Fortune Teller


 

Do you believe in fortune-teller?


I am in between. I mean sometimes I believe in it sometimes I don’t. I remember that ‘what your zodiac says’ column used to be my favorite in a magazine or a newspaper during my younger years. However, I also remember that I would remember it very well when that column talked about bad thing for me. For example, when it said, “Something bad will happen to you this week.” I would not live peacefully the whole week, worriedly awaiting what bad thing would happen to me. On the contrary, when it said something good, let’s say, “There will a new guy having a crush for you,” I would not really pay attention to it. Always the bad thing haunted me. 

Therefore, gradually I tried to control my mind not to really pay attention to it anymore. I just wanted to live more peacefully without feeling worried excessively.

Several days ago my sister attended her friend’s wedding. She also came to that friend’s house the night before the wedding. Javanese call it “malam midodareni”. My sister was accompanying the bride together with another friend. Let us give her an initial R. In fact R can read someone’s palm’s hand. My sister playfully asked R to read her palm to read her future. One thing R said to my sister, that has been bothering my mind, was: “I am sorry to say that you don’t have a long life.”

Surprisingly my sister commented, “Well, I have known about that. Once I went to West Java with some friends of mine from PRANIC HEALING group, we dropped by at one Chinese temple in Lembang. I tried my luck to see my future because there was the way to do it. I found out that I would not have a long life.”

I was shocked to hear that. Absolutely we don’t know how long is a long life, how short is a short life. How many years is the life for someone in average? Sixty, seventy, eighty, or more than that? When a good friend of mine said to me that he was already ‘old’, while he was only forty-nine years old (he will be 50 years old this August 20), I protested, “Gerontologists said that someone is considered to enter old age when the life expectancy is 10 years later.” 

“Well Nana, nobody knows how old we will die. So, how can we say that we are entering old age because we know that we only have 10 years again to live?” he protested.

“That’s it. Don’t say that you are old then. As long as we still have spirit to live this life, to go on struggling, why should we say that we are already old?” I commented.
“Well, my mother is more than ninety years old now. If I can expect to live until that age, it means I am still young now.” he said. LOL.

Going back to my chat with my sister, I reminded her of one Chinese serial we used to watch in video. I don’t remember the title. I just remember that one of the characters in the film was “destined” to live not until twenty years old. The parents read her palm to find out about it. Therefore all the family members always tried their best to protect this girl. They expected that the girl would go on living until more than twenty years of age with the family protecting her.

One day, no matter how carefully the family protected her, the girl fell down into a ravine exactly on her birthday of twenty. Everybody cried because they thought, “At last, she came to the end of her life.” However, a miracle happened. The girl didn’t really fell into the deep ravine. A tree with its branches had saved her life. She fell into the tree. Quickly the family helped lift her above the ravine. Quickly they checked the palm. There they saw a longer line, the line that signs how long someone’s life in the world is. It means the accident made that line longer, that means (again) she would have a longer life than just twenty years old. 

My own experience after taking a look at the lines in my palm, I have seen some new lines, some longer lines too. For the special line that people say shows ‘education’, it became longer after I graduated from my master’s degree. 

When telling this to my sister, I wanted to tell her indirectly that I didn’t really believe with what R said that my sister would not have a long life. But still, I keep being bothered with it until now. That’s why I am writing this.


PT56 11.09 130807

Sunday, August 12, 2007

Perburuan Wirog

“Perburuan Wirog” merupakan salah satu cerpen kesukaanku dalam kumcer “Petualangan Celana Dalam”. Bukan karena aku suka berburu wirog tentunya, melainkan karena ilustrasi Nugroho Suksmanto akan daerah kelahirannya, perbatasan kawasan Pendrikan dan Kampung Magersari membuatku sibuk mengira-ira seperti apakah daerah ini di dekade 1950-1960-an? Aku menebak bahwa latar waktu yang diambil oleh Nugroho dalam cerpen ini sekitar dua dekade tersebut.
Dari cerpen ini aku tahu bahwa di zaman dulu (seberapa dulu? Yah ... dimulai dari zaman kolonial Belanda tentu saja, karena kata ‘Pendrikan’ ternyata berasal dari Fendrijk, nama seorang tuan tanah Belanda, penguasa wilayah barat daya kota Semarang) Pendrikan merupakan kawasan tempat tinggal para priyayi, sedangkan Kampung Magersari merupakan tempat tinggal para pendatang yang konon non priyayi. Kedua kawasan ini dibatasi oleh sebuah sungai yang disebut ‘Ngemplak’, bukan jalan Indraprasta seperti yang kutulis di postinganku sebelum ini yang kuberi judul “Petualangan Celana Dalam”. Apakah waktu itu daerah Pendrikan hanya melingkupi mulai dari Jalan Sugiyopranoto sampai jalan yang sekarang disebut Jalan Indraprasta? Dimanakah sungai yang disebut ‘Ngemplak’ oleh Nugroho?
Nampaknya bukan, karena di sebelah utara jalan Indraprasta seingatku daerah itu juga masih disebut daerah Pendrikan. Sekarang dibuktikan dengan keberadaan SD Pendrikan Utara 03-04 yang terletak di mulut Jalan Abimanyu; SD Pendrikan Utara 03-04 ini menghubungkan Jalan Abimanyu dengan Jalan Indraprasta. Seingatku pula waktu aku masih kecil (waktu duduk di bangku SD), kadang-kadang aku diajak shalat Jumat oleh Ibundaku di masjid milik SD/SMP/SMEA Muhammadiyah yang terletak di pinggir Jalan Indraprasta, sebelah Utara. Waktu dulu disebut-kalau aku tidak salah ingat-Muhammadiyah Pendrikan. Tahun 1950an, my dearest late Dad pernah menjadi Kepala Sekolah SD Muhammadiyah ini. Entah mengapa kemudian beliau tak lagi menjadi guru/Kepala Sekolah, dan bekerja di Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia).
Sedangkan daerah yang disebut Kampung Magersari, setahuku sekarang ini hanya di kawasan pemukiman di antara dua jalan raya, Jalan Sugiyopranoto dan Jalan Indraprasta. Sesempit itukah kawasan yang dihuni oleh para pendatang yang non priyayi tersebut?
Nampaknya aku benar-benar terhipnotis oleh Nugroho sehingga sekarang setiap kali aku berangkat bekerja melewati Jalan Indraprasta, aku selalu celingukan mencari sungai yang disebutnya sungai ‘Ngemplak’. Saking biasanya aku melewati jalan ini, aku tidak pernah memperhatikan memang ada dua buah sungai, yang satu lebih lebar, yang lainnya lagi lebih sempit. Ini berarti Pendrikan terletak di sebelah Timur ‘sungai’ Ngemplak (kalau masih bisa disebut ‘sungai’ sih, karena sekarang ‘sungai’ ini terlalu sempit, sehingga hanya menyerupai selokan. Dengan Selokan Mataram yang membatasi daerah UGM dengan pemukiman Jalan Kaliurang saja, ‘sungai’ Ngemplak masih lebih sempit.) sedangkan Kampung Magersari terletak di sebelah Barat ‘sungai’ Ngemplak.
Dan dari hasil celingukan tatkala berangkat bekerja, menyusuri jalan Indraprasta, aku melihat sebuah gapura yang bertuliskan Jl EMPLAK INDRAPRASTA. Nah, ini diakah daerah perbatasan tersebut? Di bawah ini gambar gapura tersebut. Di sebelah kiri ada sebuah sungai.

Hal ini juga membuatku benar-benar ingin kembali ke dekade aku lahir-mungkin di tahun-tahun tersebut setting time yang dipilih oleh Nugroho-untuk melihat what that area looked like; memandangnya dengan menggunakan kacamata seorang Nana saat sekarang ini; kalau bisa mengabadikannya dalam bentuk jepretan foto. Apakah ‘sungai’ ini sejak dulu hanya selebar itu? Ataukah karena perubahan alam-yang sering disebabkan oleh manusia-sungai Ngemplak sekarang ini menjadi begitu sempit. Juga aku ingin tahu dimanakah letak ‘papringan’ yang konon sering terdengar tangis seorang bocah perempuan mungil?
PT 56 21.15 050807