Search

Wednesday, December 31, 2008

CNR 4

Ternyata
Hujan tak senantiasa
Menghalangi kita bersepeda
Bersama
Menyusuri jalan-jalan kota

I still wished you would join us, buddy
Next time?

Crb 20.55 311208

Hujan bulan Desember

Will it always screw our plan
To bike around the city
Or cross country?

I will always miss you then

Crb 20.50 311208

Monday, December 29, 2008

Bunga Cinta

telah tumbuh sekuntum bunga di taman hati
kusirami setiap hari
agar senantiasa indah berseri
dan mekar harum mewangi

tak inginkah kau menengoknya sekali-sekali
agar kau mengerti
taman hatiku itu berhias bunga cinta lagi
semenjak engkau menatap mataku dengan penuh arti

11.56 070406

Dalam diam

 


Dalam diam
Kucinta engkau
Sepenuh rasa
Dan asa
Walau kau tak pernah
Menyadarinya

Dalam diammu kurasakan
Ada rindu untukku kau simpan
Ada cinta kau pancarkan
Ada harapan kau pendam
Untuk bersamaku di saat kemudian

(Menunggu itu indah)

PT56 15.38 291208

Sado masochist 2

Ada kenikmatan tak terperi
Tatkala kurindukan engkau setengah mati

SPB 09.20 281108

Sunday, December 28, 2008

Cousin ...


 

Since a cousin 'found' me online around one and a half years ago, via my blog at http://afeministblog.blogspot.com , and I found his message a year after that, , more cousin have found me.


Wow, this internet is really awesome.


Well, for those who know the history of my family will understand why this thing is awesome. My parents move to Semarang--from their hometown in Gorontalo, North Sulawesi--five days after their wedding day. They have never left Semarang ever since. It is understandable, then, if all of their children were born in Semarang. All of us grew up in Semarang, and now only my elder brother lives in Cirebon. The others stay in Semarang.


When I was in elementary school, there was a cousing studying in Gontor Islamic boarding school, Ponorogo. He always visited Semarang during Ramadhan break, including celebrating Idul Fitri together with my family. That's why I know him well. Not really well, but of course much better than the other cousins, that I met only when my family visited Gorontalo in 1977. I call him Kak Ramiez.
Someone named A. Fatih Syuhud made my blog more popular by featuring my blog at
http://fatihsyuhud.com/2007/09/07/blogger-indonesia-of-the-week-40-nana-podungge/

 
I must thank him, I suppose, since I 'suspect' that page has made my page rank of that blog of mine increased. And that made some cousins find me online. They asked Kak Ramiez, and kak Ramiez said, "Yup, that's Nana Podungge from Semarang, our cousin born and living in Semarang. Her mother is our auntie."


Internet is indeed the most wonderful invention so far.

C-Net 16.01 281208

CNR 3

CNR kali ini
terpaksa di tengah jalan terhenti
tatkala rinai hujan membasahi bumi
semakin lama semakin deras
hembus angin pun semakin kencang
orang pun berhenti lalu lalang

di bawah tenda kafe ini
kita duduk berdampingan
saling menikmati kebersamaan
sembari menonton film di videotron
yang memamerkan ketaklaziman
di negeri kita tercinta

PT56 13.33 281208

Saturday, December 27, 2008

Hujan malam Sabtu

Waktu sepedaan semalam
Hujan deras tiba-tiba mengguyur kota Semarang
Terpaksa berteduh di warung pinggir jalan
Menunggu hujan mereda
Sembari menikmati mendoan lezat
Beserta segelas teh hangat

Ada cowok ganteng duduk di sampingku
Sendirian
Kedinginan
Melirikku, mengundang
Godaan iman
Tapi suwer...
Aku tetap setia padamu
Hanya kepadamu pikiranku tertuju

(Inspired by ekohm's poem.
Terkadang nggombal itu nikmat dan perlu. Wakakaka...)

Hujan malam Sabtu

Waktu sepedaan semalam
Hujan deras tiba-tiba mengguyur kota Semarang
Terpaksa berteduh di warung pinggir jalan
Menunggu hujan mereda
Sembari menikmati mendoan lezat
Beserta segelas teh hangat

Ada cowok ganteng duduk di sampingku
Sendirian
Kedinginan
Melirikku, mengundang
Godaan iman
Tapi suwer...
Aku tetap setia padamu
Hanya kepadamu pikiranku tertuju

(Inspired by ekohm's poem.
Terkadang nggombal itu nikmat dan perlu. Wakakaka...)

Friday, December 26, 2008

Eating out

Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menikmati liburan bersama yang tersayang. Windowshopping dan eating out misalnya.
Sudah bertahun-tahun kita berdua--Angie dan aku--tak menginjakkan kaki di food court CL Simpanglima Semarang. Kalaupun sempat ke CL, kita makan di tempat lain, e.g fastfood restaurant yang menunjukkan kita berdua masih terjajah secara kultural oleh negara pengimpor restauran tersebut.
Nah, sebelum masuk food court yang terletak di lantai 2, aku berbisik ke Angie, "Will that woman offering ice cream be here?"
Angie mengangguk-angguk geli.
Baru saja kita berdua duduk di kursi yang kita pilih, datanglah perempuan yang kita maksud.
"Mau pesan esnya mbak?" sambil menyodorkan menu.
Berhubung kita berdua sedang menjaga kesehatan tenggorokan, aku langsung menolaknya.
"Maaf mbak. Kita sedang tidak minum dingin, maunya minum yang hangat."
Surprisingly, orang itu langsung pergi dengan takzim, tanpa ngeyel.
Dulu, beberapa tahun yang lalu, dia selalu ngeyel dan merengek-rengek kalau kita tidak pesan.
"Aha, in fact she is still here! But she looks slimmer and tidier now. Not to mention more well-behaved." kataku pada Angie.
To make our stomach full, we ordered rice and its friends, shrimp fried rice 4 Angie, hainan chicken rice 4 me.
During our meal, Angie told me the place she is going to do her social care, a drop in center special 4 people who suffer from mental disorder.
"interesting topic 4 my blog, honey! Can I join u?" I asked.
I know the answer is NO. :-(
From eating late brunch, we browsed stores, floors, etc.
Before going home, 2 hours later, I was already hungry again! LOL.

PT 56 15.35 261208

Windowshopping

Dari satu toko ke toko yang lain
Dari satu section ke section yang lain
Dari satu lantai ke lantai yang lain
Dari satu department store ke department store yang lain
...
"bentar lagi kaki Angie gempor nih Ma!"

Lah, yang ngajakin siape Neng?
LOL

CL 15.05 261208

U-T-A-N-G


 

Libur akhir tahun telah tiba. Aku ingat rencana-rencana yang kubuat di pertengahan bulan Nopember 2008 tatkala aku merasa begitu jenuh dengan rutinitas; kejenuhan yang membuatku merasa begitu blue. Rencana yang akhirnya membuatku merasa memiliki hutang yang harus kubayar setelah libur datang:

  1. menulis artikel untuk blog, terutama to expose my being feminist, and social observer (gelar yang diberikan oleh Abangku tatkala membaca tulisanku yang berkaitan dengan bedah buku PUTRI CINA beberapa bulan lalu, juga tatkala aku diundang menjadi salah satu narasumber di acara Hari Kartini 21 April 2008 di sebuah stasiun televisi swasta Semarang)

  2. kembali ke Paradise Club, untuk ber-erobik dan fitness. Erobik sama baiknya dengan bersepeda maupun berenang (all doctors say swimming is the best exercise though). Sedangkan fitness baik untuk membentuk massa otot yang bagus untuk mengurangi kemungkinan terkena osteoporosis di masa tua.

  3. ngikut cross country karena mumpung libur, jadi aku ga harus terbebani mencuci pakaian kotor yang menumpuk selama satu minggu

  4. menyelesaikan membaca novel MISSING MOM oleh Joyce Carol Oates yang telah mulai kubaca beberapa minggu yang lalu. (I am a slow reader, due to both my hectic teaching schedule and too absorbed when reading LOL) Selain itu, MARYAMAH KARPOV pun telah menungguku untuk membacanya. Tiga buah buku yang kubeli di ANNIVERSARY SALE satu hari sebelum Natal menambah panjang daftar buku yang ingin kubaca dalam waktu dekat ini.

  5. eating out with Angie to listen to her more (she always talks a lot when we eat out because the atmosphere is usually relaxing, not in a hurry.) Based on our experience together so far, Angie sering tiba-tiba bercerita hal-hal yang mungkin tak terceritakan tatkala di rumah, mungkin karena keterbatasan waktu yang kita miliki to spend together.

  6. merapikan kamar (LOL)

  7. berkunjung ke Cirebon: both to visit my elder brother and for refreshing. Both Angie and I need it.

  8. menikmati kesempatan tidur siang yang mumpung kumiliki, memulihkan kondisi tubuh yang sering terasa remuk redam tatkala hari Sabtu datang (kalau ga pas libur kerja)

  9. mengurus surat pindah dari Bulustalan ke Pusponjolo, sekaligus membuat KTP baru buatku sendiri juga buat Angie yang telah menginjak usia 17 tahun bulan April lalu. Plus surat KK baru.

  10. last but not least menulis email panjang untuk Abang tersayang

Yang mana yang telah kulakukan setelah libur memasuki hari keempat?

Nomor satu: aku telah menulis dua artikel, yang terinspirasi oleh dua buah tulisan di koran lokal, yang langsung membuatku mencak-mencak karena dikotomi feminis klasik (kuhiperbola sebagai ‘obsolete feminist’ di artikel yang kutulis LOL) bagi perempuan yang tetap keukeuh memilih untuk bekerja di luar rumah, dan feminis modern bagi perempuan yang memilih kembali ke rumah, meninggalkan karir tinggi di kantor yang telah dirintis sekian lama. (FYI, dalam beberapa bulan terakhir, baru hari minggu lalu aku sempat membaca koran yang telah puluhan tahun menjadi langganan Podungge family di Semarang, karena kesibukan mengajar from 7am to 7pm. Aku hampir ‘buta’ apa yang terjadi di sekitarku gara-gara tertimbun kesibukan bekerja. Aku sengaja tidak membaca koran lokal ini, karena kalau aku merasa ‘gatal’ setelah membaca sebuah artikel, namun aku tidak punya waktu luang untuk menulis to expose my annoyance, rasa ini akan mengendap lama di benakku, and this is absolutely not healthy for my psyche.)

Puaskah aku dengan menulis HANYA dua buah artikel? Of course not. Sampai sekarang aku masih ingin menulis tentang Irshad Manji, the Muslim feminist lesbian, menulis lebih jauh lagi tentang film INTO THE WILD. Dan masih banyak lagi.

Nomor dua, I have done that!

Ketiga, hari minggu lalu bareng lima b2wer Semarang lain, menaklukkan ‘the mad mud’ to reach Maron beach. Well, aku sadar sih, bahwa my cute orange bike—pertanda cinta my b2w friends to me—bukan standar untuk XC-ria jadi aku sebaiknya jangan tergoda untuk melakukan XC yang ekstrim.

Keempat, in the process. MISSING MOM belum selesai kubaca.

Kelima, Angie and I had lunch out after we went to the ANNIVERSARY SALE. Two days before we did it too. And Angie told me a shocking thing about her schoolmates. Angie asked me to promise her not to write it for blogs. (Yang penasaran boleh nulis PM ke aku. LOL.)

Keenam, B-E-L-U-M.

Ketujuh, Angie and I plan to go to Cirebon next December 31, 2008 till January 4, 2009.

Kedelapan, I did it some hours ago. Asik geboy. LOL. I took a nap from 12.30-15.30. Enak gila. Hahahaha ... I went swimming this morning. Going home, I washed a big pile of clothes for almost two and a half hours. Bahkan minum cappuccino pun tidak mempan membuat mataku melek. Aku nikmati saja tidur siangku.

Kesembilan, in the process.

Kesepuluh, I will write it soon after this.

I wish I had 48 hours in one day during the two-week break from school, so that I could do more, especially referring to numbers one and four.

Jadi ingat sms yang my Guardian Angel kirim tanggal 18 November, “My Humming Bird mau break? Ya udah, sabar. The time will come, jangan dirasa, jadi lama. When it comes, it will be sweet, believe me.

PT56 20.02 251208

Monday, December 22, 2008

Maron: Bercinta dalam lumpur

Setelah mengikuti ‘kampanye bersepeda’, beberapa anggota b2w—Triyono, Ndaru, Agung, Eka, Yoni, Drajat, Hidayat, Kholik, Nasir dan aku sendiri—melanjutkan nggowes ke Pantai Maron yang terletak tidak jauh dari bandar udara Ahmad Yani Semarang. Mengingat hari-hari terakhir ini hujan turun setiap hari di Semarang, yang nota bene matahari jarang bersinar, aku sudah memperkirakan medan off-road setelah lepas dari kawasan bandara akan menjadi sangat berlumpur, mungkin ada kubangan air di sana sini, sehingga menjadi sangat menantang bagi mereka yang melewatinya.

Perjalananku terakhir ke Pantai Maron yakni tanggal 23 Nopember. Meskipun sudah memasuki musim hujan, seingatku pada hari Sabtu 22 Nopember, seharian tidak turun hujan, dan matahari lumayan bersinar. Itu sebabnya meskipun jalannya licin di sana sini, masih ‘enak’ dilewati.

Namun perjalanan ke Maron tanggal 21 Desember ini meninggalkan kesan yang jauh lebih mendalam karena beberapa hal, selain karena seorang Agung Tridja ikut kali ini. (Dasar narsis, sebelum pulang dia sempat berbisik kepadaku, “Pokoknya event apa pun akan sangat berkesan kalo aku ikut!” LOL.)
Pertama berbelok ke areal off-road, teman-teman yang berada di belakangku (aku berada di depan karena aku sudah berpengalaman ke Maron beberapa kali) bersorak gembira, “Akhirnya kita sampai juga ke areal yang kita rindui!” 

Baru beberapa meter berjalan, kita bertemu dengan banyak orang yang sedang berjalan berlawanan arah dengan kita. “Jalanan buruk mbak, ga bakal nyampe ke pantai! Mending berbalik saja!”

Aku tersenyum sambil menjawab, “Terima kasih.”

Kadang aku berkata, “Oh? Di sana jauh lebih buruk ya kondisinya?”

Ketika bertemu dengan seseorang yang dengan terang-terangan memprovokasi aku untuk kembali, sekaligus menunjukkan pesimisnya bahwa aku akan patah semangat di tengah jalan, aku bilang, “Ya gimana ya? Tuh teman-teman di belakang saya malah suka dengan kondisi jalan yang seperti ini!”

Klakep. LOL

Sesampai di separuh perjalanan, dimana ada sebuah jembatan yang menghubungkan jalan menuju ke sebuah perumahan, jalanan semakin memburuk. Tanpa kuketahui sebagian dari kita ada yang mengambil jalur kiri, termasuk mas Nasir, my savior dalam perjalanan XC ke Kedungjati.

Aku sempat hampir patah semangat tatkala kaki kiriku terperosok ke lumpur, seluruh sepatu kiriku terbenam. Eka yang berada di belakangku tak henti-hentinya menyemangatiku, “Ayo mbak Nana, angkat kakinya, lanjutkan perjalanan. Kayuh terus pedalnya, jangan lupa stel girnya agar kayuhan ringan.” Ketika melihatku lebih memilih menuntun sepeda (aku mulai kehilangan kepercayaan diri bahwa aku mampu menaikinya), Eka pun menawarkan sepedanya kunaiki, “Mbak Nana naik sepedaku aja. Ini bannya mencengkeram!” Dan ternyata benar. Enak sekali nggowes di jalanan berlumpur seperti itu menaiki sepeda hasil rakitan Eka sendiri ini.

Beberapa saat kemudian aku baru menyadari beberapa dari kita—Triyono, Nasir, Hidayat, dan Drajat—memilih jalur kiri, yang konon katanya kondisinya tidak ‘semengerikan’ jalur kanan. I was a bit unhappy for this karena ‘saingan’ berebut untuk bernarsis ria di depan kamera akan berkurang. LOL. “Kita ga bisa foto bareng nanti di pantai!” rajukku, sambil setengah berteriak, agar mereka mendengar.

“Lha gimana lagi? Jalanan di situ parah banget!” komentar mas Nasir, setengah berteriak pula.

Beberapa saat kemudian ...

Setelah melihat air laut yang membiru dari kejauhan, menandakan bahwa ‘etape’ pertama kita akan berakhir, uh ... leganya hatiku. LOL.

“Jalanan becek berlumpur dan licin yang berat dilalui ini setara dengan lima tanjakan!” kata Agung hiperbola. LOL. 

Wah, aku lebih memilih jalanan becek berlumpur ini Gung, dibandingkan lima tanjakan yang setinggi Gombel. LOL. Aku pun lega Darmawan tidak jadi ikut karena istrinya ga berani ‘menanggung resiko’. Poor her kalau harus berjuang melawan jalanan seperti ini.

Baru kali ini aku melihat pantai Maron sepi pengunjung. Warung penjaja makanan dan minuman pun hanya ada dua yang buka.

Perjalanan menantang yang cukup melelahkan ini, meskipun tidak jauh, telah membuat perut kita kelaparan. Apalagi aku yang lupa membawa minum. I was very thirsty!

“Tahu ga mbak, beda antara enak dan lapar itu tipis?” kata mas Ndaru, waktu kita menunggu pesanan makanan kita datang.

“Well, orang bilang lapar adalah lauk yang paling lezat..” jawabku.

Ini adalah kali pertama aku makan di salah satu warung di Pantai Maron. Maklum, untuk melanjutkan ‘etape’ yang kedua—yakni balik lagi ke jalan raya—kita semua tentu butuh asupan makanan dan minuman yang cukup.

“Will you directly post this in your blog tonight?” tanya Agung, sebelum kita melanjutkan perjalanan.

“How about if I write a poem for this?” tanyaku balik.

Agung manggut-manggut sambil bilang, “Bercinta dalam lumpur...”

“Hey ... that’s a superb idea!” komentarku.

(Namun ternyata meskipun telah nongkrong di depan monitor beberapa lama, tak jua muncul kata-kata yang bisa kupakai dalam puisiku, sehingga aku malah menulis ‘laporan perjalanan’ ini dalam bentuk esei.)

Kholik yang ada keperluan telah meninggalkan kita berlima seusai makan. Namun ternyata, dalam perjalanan balik, dia kurang beruntung, ‘letter S’-nya patah. Itu sebab tak lama kemudian kita berlima telah menyusulnya. Segera Eka mengeluarkan peralatan yang dia miliki, setelah kita memilih satu tempat di pinggir, di atas rumput. Aku menonton sambil terkagum-kagum karena yang bisa kulakukan dengan sepeda hanyalah menaikinya. LOL. Agung dengan cekatan melakukan ini itu. Mas Ndaru membantu memberi instruksi ini itu. Demikian juga Eka. Sedangkan Yoni ngadem di bawah rerimbunan, takut warna kulitnya tambah gelap, LOL, karena pada saat itu, sekitar tengah hari, matahari mulai memancarkan sinarnya. 


Cukup makan waktu lama untuk membuat sepeda Kholik bisa dinaiki secukupnya. Sementara itu ternyata dia telah menelpon seseorang untuk menjemputnya yang kemudian datang naik sepeda motor. Sepedanya pun dia taruh di tengah.

Tak lama kemudian, sepeda Yoni yang hampir mengalami peristiwa yang hampir serupa dengan Kholik. Bedanya adalah Yoni segera menyadarinya, sehingga bisa segera pula dibetulkan, di bawah instruksi Eka, sehingga tidak sampai ‘letter S’-nya patah. 

Tatkala menunggui kedua kakak beradik ini, aku sempat meprovokasi sepasang kekasih untuk kembali ke jalan raya saja, karena terlihat keragu-raguan di wajah kedua orang tersebut. Apalagi kulihat si perempuan mengenakan sepatu ‘feminin’ berhak sekitar 3 cm lancip. 

“Sepatumu dilepas saja,” kata si laki-laki. “Lihat saja jalanan seperti ini.” Mungkin terbayang kalau dia terpaksa meminta kekasihnya turun dari motor.
Si perempuan ragu-ragu. 

“Ya, lebih baik sepatunya dilepas saja.” Kataku, ikut campur. LOL. “Sayang kalau kotor, apalagi rusak,” kataku lagi. 

“Tuh kan ...” kata si laki-laki berusaha meyakinkan kekasihnya.

“Atau lebih baik lagi balik aja ke jalan raya. Kondisi jalan di sebelah sana jauh lebih ‘buruk’ dibandingkan kondisi jalan di sini,” provokasiku.

Aku ingat provokasi orang-orang tatkala aku mulai memasuki medan ‘off-road’ gagal total menghentikan gowesanku.

Namun provokasiku berhasil dengan mudah. LOL. Si lelaki pun segera memutar sepeda motornya. Kembali ke jalan raya.

Setelah Yoni dan Eka berhasil membetulkan gir sepedanya, kita bertiga segera menyusul Agung dan mas Ndaru yang terheran-heran ada apa kok kita tertinggal lumayan jauh. 

Sesampai di jalan raya, kita berlima sepakat mencari tempat cuci sepeda motor, agar sepeda kita bisa segera dibersihkan. Kita menemukan tempat itu di sebuah gang Anjasmoro, setelah bertanya kepada seorang tukang parkir di Jalan Anjasmoro Raya. Kebetulan yang memiliki usaha sedang ‘nganggur’ alias tidak ada pasien, sehingga sepeda-sepeda kita pun segera ditangani. Semula si Bapak pemilik usaha akan menolak, karena belum pernah mendapatkan ‘sepeda’ sebagai pasien. Namun, ternyata mas Ndaru’s authoritarian voice (baru tahu aku ternyata dia memiliki kemampuan para politisi ini LOL) membuat si Bapak menerimanya without any reservation. LOL. Untung di depan tempat cuci sepeda motor ini ada sebuah warung kecil tempat kita bisa nongkrong, minum dan makan snack, sambil ngobrol.Untuk ‘lebih melengkapi’ kesan perjalanan kali ini, ban sepeda mas Ndaru bocor!!!

Menunggu proses cuci sepeda lima biji ini ternyata lumayan lama. Agung sempat pamer tubuh (bagian atas doang!!!) karena ga tahan panas. Angin sepoi-sepoi yang kadang berhembus membuat mata pun mengantuk. 

“Ingat ga waktu kecil dulu kita paling malas kalau disuruh tidur siang? Kalau ga tidur siang, nanti dislentik telinganya!” kata mas Ndaru.

Aku langsung ketawa ngakak karena ingat masa kecil dulu. Seingatku aku ga pernah membangkang kalau disuruh tidur siang. Tapi kakakku pernah punya ‘kasus’ dengan bokap gara-gara ga mau pakai sandal. Kita diharuskan memakai sandal, meskipun berada di dalam rumah, demi menjaga kebersihan kaki dan kesehatan tubuh. Kakakku paling malas memakai sandal hingga satu hari bokap marah-marah waktu pulang dari kantor. Melihat kakakku tersayang dimarahi, aku pun menangis keras-keras. Bokap pun heran; orang yang dimarahin kakaknya, ini kenapa si adik yang nangis? LOL. Nyokap yang mencup-cup aku pun bilang, “Yang dimarahin bukan Nana kok. Udah cup diem.” Aku tetap saja menangis, sehingga bokap pun akhirnya berhenti marah. LOL.

“Betapa enaknya tidur siang itu. Nyesel deh kenapa waktu kecil dulu aku suka mbeling kalau disuruh tidur siang. Maunya main melulu. Sekarang? Tidur siang di kantor jelas diomel-omelin bos. Bisa tidur siang adalah sebuah anugrah ...” Kata mas Ndaru lagi lebih lanjut. LOL.

Ban bocor sepeda mas Ndaru ditangani sendiri karena kebetulan dia membawa persediaan untuk menambal ban bocor, dan Eka membawa pompa kecil yang dari jauh nampak seperti vibrator. Wakakakaka ... (Suwer, aku ngelihatnya HANYA di salah satu serial “Sex and the City”, belum ngeliat yang asli. LOL.) Ajaibnya, yang melakukan penambalan adalah Yoni. (Yon, kamu bisa buka usaha tambal ban! LOL.)
“In this off-road trip, Eka is your savior...” kata Agung, sebelum kita meninggalkan tempat.
“Yup, you are absolutely right!” jawabku.

Aku bersyukur tempat tinggalku tidak jauh dari Anjasmoro. Yoni dan Eka lumayan masih harus menggowes sepedanya dalam waktu beberapa lama. Agung dan mas Ndaru yang perjuangannya paling ‘poll’, karena tinggal di ujung Semarang bagian Tenggara. 

*****

Malamnya mas Nasir datang ke rumah untuk mengambil kaos jersey b2w Semarang yang masih ada lima biji di tempatku. Teman-teman kerjanya tertarik untuk membelinya. “Hikmah city tour,” kata mas Budi Seli.

Dari perbincangan sejenak aku tahu bahwa keempat orang yang mengambil jalur kiri gagal mencapai laut karena suatu ‘rintangan’. Demi kemaslahatan bersama, akhirnya mereka memutuskan untuk kembali.

PT56 23.45 211208







Monday, November 24, 2008

A surprise

A very beautiful and loving surprise

Hari sabtu adalah hari yang kutunggu-tunggu, karena hari itu adalah hari terakhir bekerja, dan aku bisa tidur awal setelah pulang, tanpa perlu merasa terbebani bahan mengajar di keesokan hari. Hari sabtu sekaligus juga merupakan hari yang paling melelahkan, tenagaku tinggal sisa-sisa doang, setelah bekerja sejak hari senin.
Setelah hampir seminggu feeling blue without any clear reason, (padahal aku ga sedang PMS loh!) hari sabtu kemarin aku ingin jam enam segera datang, agar aku bisa segera pulang, mandi, dan ... menikmati hangat dan empuknya kasur, guling, plus bantal, sembari menikmati kicauan anak semata wayangku. LOL.
Sekitar pukul 17.40, kuterima sms dari Iput, “Invitation! Farewell party mas tyo/dude, ntar jam 18.00 di rumah om budi seli, puspowarno, + pembagian award, mohon datang tepat waktu.” Serasa aku mendapatkan suntikan energi entah darimana, aku jadi merasa begitu alive, dan kasur yang hangat dan empuk pun menjadi kurang menarik. (spending time with my dear b2w friends is mostly my favorite time, besides swimming, of course. )
...
Aku sampai di rumah mas Budi sekitar pukul 19.00 (molor poll yah? hahaha ... aku rencana mau langsung ke sana sepulang dari Tembalang. Tapi, karena mengharapkan akan ada CNR setelah itu, aku pikir sebaiknya aku pulang aja dulu, trus ganti baju plus naik sepeda. Rencana jadi agak molor setelah Angie bilang, “Mama mandi dulu dong! Masak setelah seharian pergi ga mandi sebelum pergi lagi?”), mas Tyo yang jadi lakon utama malam itu yang membukakan pintu pagar tatkala aku datang. Dari sorot matanya kulihat dia begitu bersedih, karena demi masa depannya, dia harus pergi begitu jauh, meninggalkan keluarga, plus teman-temannya. Aku jadi ikut ngelangut ngelihatnya.  but at least, keinginanku untuk bersalaman dengannya (kok jadi kayak selebriti aja dia? hahaha ...) dan secara langsung mengatakan, “Met jalan ... semoga sukses mendulang dolar di negeri orang ...” kesampaian, ga hanya lewat milis, maupun sms.
Di ruang tamu yang mungil itu sudah ada Maya, Iput, Eka, Zacky, dan Darmawan, selain Tyo. Yang punya rumah malah pergi karena harus menghadiri suatu acara. Tidak ada hidangan spesial yang mengatakan bahwa acara ini diadakan secara mendadak (lha wong paginya aku dan mas Tyo sempat berkirim sms sejenak, dia ga bilang apa-apa tentang acara gathering ini). But it did not matter, yang penting kita ngadain acara berkumpul untuk ‘nguntapke’ alias to say goodbye formally, secara organisasi, kepada mas Tyo.
Setelah Lila dan mas Nasir datang, acara dibuka oleh Darmawan. (Ga nyangka bakal ada susunan acara, sambutan-sambutan, padahal beberapa bulan lalu waktu sibuk rapat untuk mengadakan BIKE TO WORK DAY 29 Agustus 2008 kita ga pake acara pembukaan, laporan notulen oleh sekretaris, de el el...) Aku sempat heran, “Weleh, serius to ki?” LOL. Sambutan pertama diberikan oleh mas Nasir, mewakili organisasi b2w Semarang. Sambutan kedua diberikan oleh mas Tyo, yang akan pergi. Dia mampu berbicara sepatah dua patah kata tanpa menitikkan air mata, LOL, meskipun dari sinar matanya aku masih melihat rasa haru dan berat untuk meninggalkan organisasi yang baru dia ikuti selama beberapa bulan.
Acara selanjutnya adalah pengumuman pemenang award.
Swear, aku pikir Darmawan cuma bercanda. Lah wes piye? Aku kan termasuk pengurus inti b2w Semarang, karena aku bisa dikategorikan pioneer tatkala beberapa orang mendeklarasikan berdirinya b2w Semarang pada tanggal 26 Juni 2008. Masak ada acara sepenting itu—pemilihan salah satu member b2w Semarang yang dianggap konsisten dengan berbike to work sebagai somewhat ‘role model’ bagi member yang lain, cie ... duwur banget je!!! LOL—aku sebagai pengurus ga tahu?
Aku pikir organisasi akan memberikan kenang-kenangan buat Tyo sebelum dia pergi. (biasanya ibu-ibu PKK itu memberikan kenang-kenangan kepada salah satu warga yang pindah ke daerah lain!) selain juga karena setahuku Tyo sangat konsisten dengan berbike to work, selain pak Wargo yang telah kujadikan ‘feature’ di blog ku, bahkan artikelku itu diterbitkan www.superkoran.info juga.
Waktu Darmawan bilang,
“Setelah memilah dan memilih dari segenap anggota b2w Semarang, ada tiga nominator utama. Yang pertama mas Tri ...”
Aku langsung berpikir, “Wah ... bercanda nih!!!” bukan karena apa-apa. Kalau parameter-nya adalah kekonsistenan berbike to work, mas Tri kalah dong dengan yang lain, terutama dengan pak Wargo dan mas Tyo.
“Alasannya ... karena dia rajin posting di milis ...”
Tuh, ga nyambung kan? Aku cuma tersenyum mendengarnya.
“Nominator yang kedua ... Firman...”
Aku langsung berpikir (I am quite a quick thinker! LOL), “Karena Firman adalah ketua b2w Semarang, dan dia lah yang memiliki contact langsung dengan b2w Indonesia (Jakarta).”
Darmawan melanjutkan, “Kebalikan dengan mas Tri, karena Firman jarang nongol di milis...!”
Langsung meledaklah tawaku.
“Lucu ... lucu!!!” teriakku. (NOTE: sebelum itu karena banyolan Darmawan, Iput pun memberikan topik gathering kita, “ben lucu!”)
“Nominator yang ketiga ... saya sendiri...” lanjut Darmawan.
Ketawaku tambah keras. Aku semula berpikir nominator yang ketiga adalah mas Tyo, kemudian dialah pemenangnya, untuk memberikan kenang-kenangan sebelum dia pergi. Pernyataan Darmawan, “ ... saya sendiri ...” merupakan hal paling lucu yang kudengar malam itu. Itu sebabnya, aku langsung nyahut, “Pemenangnya akan ... diguyur dengan air!!!” sambil tetap tertawa-tawa.
Darmawan langsung berkomentar, “Bener loh ya mbak, entar pemenangnya diguyur air!!!”
Aku langsung merasa ada yang ga beres. My sixth sense mengatakan, secara tidak langsung, Darmawan bilang, “You will be the winner. You will be showered by water!”
Namun karena aku juga berpikir Darmawan sedang ingin menghibur Tyo yang akan pergi, yang terlihat muram semenjak aku datang, aku tetap berpikir Darmawan bercanda.
Ujar Darmawan berikutnya, “Namun berhubung kedua nominator lain tidak hadir malam ini, dan saya menjadi satu-satunya nominator yang datang, maka menjadi tidak adil kalau hanya saya yang menjadi calon pemenang. Untuk itu, panitia memutuskan untuk mengangkat nominator lain, yakni mbak Nana ...”
Nah!!
“Setelah melalui diskusi yang cukup alot, panitia memutuskan yang mendapatkan award adalah mbak Nana!!!”
Mendengar kalimat Darmawan tersebut, aku tetap tertawa-tawa, (hah, ternyata teman-teman pengen ngguyur aku pake air toh? LOL) tatkala tiba-tiba Maya dan Iput menggiringku keluar dari ruang tamu menuju teras, sembari menutup mataku. Aku membayangkan di luar aku akan diguyur air (ealah, apa salah dan dosaku? Kok aku dikerjain kayak gini? LOL.) Atau akan adakah kejutan lain di luar?
Sesampai di luar, Iput melepaskan tangannya dari mataku, sambil menunjuk sebuah sepeda kepadaku, “Hadiah buat mbak Nana ... sebuah sepeda baru yang bisa mbak Nana naikin ke kantor, maupun ikutan cross country bersama teman-teman!”
H-A-H!!!
I was extremely surprised!!!
Very-very surprised.
Aku masih berpikir teman-teman bercanda, dan kompak ngerjain aku. (Piye toh, lha wong sing meh lungo adoh mas Tyo, kok sing dikerjain aku???)
“Serius nih, sepeda ini buatku?” tanyaku ga percaya. “Bercanda nih...”
“Piye toh, orang kita merencanakannya selama berhari-hari kok dianggap bercanda!” sahut Darmawan.
“Why me?” tanyaku, tetap tak percaya.
“Alasannya akhiran katanya a. Kalo alasane, akhiran katanya e.” Jawab Darmawan, tetap bercanda.
Kemudian aku langsung ditodong untuk mencoba menaiki sepeda itu, putar-putar di sekitar Puspowarno X.
S-U-R-P-R-I-S-E!!!
Dan aku pun menjadi bintang utama malam itu. (dan bukannya Tyo. Hehehe ...)
Kita akhiri gathering dengan berbondong-bondong ke jalan Gajahmada, menyambangi jualan nasi pecel. Maya menaiki sepeda WINNER ku sampai rumah, sementara aku dipaksa naik sepeda yang baru.
Paginya (semula aku rencana mau berenang di hari minggu 23 Nop. 08, as usual when I am feeling blue, I want to be alone, away from the crowd) aku ikut pit-pitan ke pantai Maron, ‘ngreyen’ sepeda baruku di tempat becek-becek. My feeling blue reduced a bit.
I am surrounded by loving and caring big family of b2w Semarang community.
Thank you for the loving surprise, dear friends. I really appreciate and feel proud of our brotherhood and sisterhood as well as togetherness.
I love you all.
-- Nana Podungge –
PT56 23.16 231108
P.S.: I am still curious to know the mastermind of this surprise anyway. Hello anybody, will you tell me? :)

My sixth sense? LOL

Last week, I felt restless as well as anxious the whole week, without any clear reason. I was somewhat fed up with my routine: wake up at 4.30, start doing my morning chores, take a shower, have breakfast, then take Angie to school at around 06.10. From there, I directly go to my office. In one day, I usually teach four or five slots, and sometimes have to supervise students in the library during their library hours. I leave the office around 15.00; mostly I go home afterwards. At home, I take a shower, change clothes, then go to my other office: I have one class at 17.00-19.00. Sometimes a workmate asks my help to substitute him/her at 19.00-21.00 and I usually don’t have a heart to say ‘no’ forgetting that maybe my physical strength does not support; not to mention my only daughter needs to spend time with me that I have only in the night (plus in the early morning, before I take her to school). This is my schedule from Monday till Thursday. On Friday from the office at 15.00, I go to my other office that is located in Tembalang, a hilly area, to teach at 16.00-18.00. Then I go home. At home, every Friday evening there is ‘pengajian’ (reciting Alquran together) held by my dear mom for our neighbors so that automatically I cannot directly take a rest. On Saturday, I have classes at 08.00-12.00 then at 16.00-18.00. Sometimes at 14.00-16.00 I substitute a workmate who has to leave his/her class due to something important.
Last week, oftentimes when I was sitting in the teachers’ room before the other teachers came (because I always came earlier than the others), I felt I wanted to be alone there the whole day so that I could do anything I wanted; such as singing loudly while listening to media player, or putting my head on the desk while I was attacked by sleepiness, reading books since I was somewhat bored to read the teaching materials (haha …), writing poems, etc. I cannot do all those things since my workmates would find me weird, or maybe they would think, “Hey … you are here to work, not to read books or write poems!” LOL.
This boredom really bothered my mind, I suppose, so that I wrote some lonely and sad poems. (Especially on eighteenth, reading the three sad poems I posted at MP blog, my Abang messaged me, “kok puisinya sedih melulu?”)
Besides blaming my boredom to my daily routine, I also tried to look for another ‘scapegoat’ (LOL): someone was missing me badly! LOL. (FYI, some time in the past, when I was missing someone badly, I liked to do ‘telepathy’ on him, to tell him that I was missing him. When I focused strongly, I often could ‘move’ his heart, and then he contacted me. WOW. LOL.) Or, I became the ‘topic’ to talk about by some people. My ‘sixth sense’ told me. LOL. Only, I didn’t have any idea who and why they were talking about me. What kind of trouble or problem have I caused in their life?
And …
I found my sixth sense was true!!!
W-O-W!!!
Last Saturday, around twenty minutes before I finished teaching my class, I got a short message from a b2w friend, inviting me to attend a so-called farewell party of a member who is going to go to Qatar to work. I was suddenly full of spirit, although before that, I was so exhausted, wanted to go home soon, to go to bed early! Being with my dear b2w friends is mostly my favorite pastime. Besides, I also wanted to directly say goodbye to Tyo, the one who would move to Qatar, and shake his hand.
From the office, I went home first, to take a shower and change clothes. Since the place where the farewell party was held not far from my home, I decided to go there by bike. In most gatherings with my b2w friends, I come by bike.
In the middle of the moody atmosphere in the gathering, since Tyo was about to leave us for at least two years, I got a surprise! My friends secretly planned to give me a bike, as a reward since I was selected to be one good example to bike to work. They had been planning it for more than a week for the surprise! N-A-H!!! I proved that my sixth sense was true: a group of people were talking about me.
For the surprise, I would write another article, in Bahasa Indonesia.
PT56 22.10 231108

Thursday, November 13, 2008

Nana blogging

 


I posted the first article in a blog in March 2005, when friendster the first time offered blog feature to its members. But, I started blogging regularly in the beginning of 2006. My first love for blogging was at www.blog.co.uk with my blogsite at http://afemaleguest.blog.co.uk What made me fall in love with this blog? The members at this blog network diligently visited my blog and left comments in my posts. They were mostly from Europe, some from America, some others from Asia and Australia.


Then, in February 2006 I opened an account at www.blogger.com with blogsite at http://afeministblog.blogspot.com by posting the same articles at the previous blog. What was my reason? I heard grapevines about people losing their blog and definitely I did not want this to happen to me. The second reason was I became more narcissistic with my articles, writing styles, and my somewhat weird way of thinking (compared to the majority of people in Indonesia, especially people around me.) When finding out that this latter blog attracted people around Southeast Asia that mostly opposed my way of thinking, I became more challenged as well as annoyed. At the same time I also tried to introspect myself whether I did not write thoroughly when explaining about a certain issue--for example my opposing idea against polygamy--so that people did not catch the main idea I expressed. (Then, I found out that they were just old-fashioned stubborn people who did not want to look at things from different point of view, especially from feministic perspective.)


In the middle of 2007 I became more serious to blog at the latter blog so that I somewhat discriminated the first blog, moreover the previous members who used to visit my blog and leave comment disappeared one by one. 


Recently I have left that first love of mine, especially since August 2008. 


A dear friend just complained to me some time ago why she did not get new articles of mine sent by the admin of the blog. She is one of the subscribers. She thought that I had deleted her email address as one subscriber. It somewhat slapped my face because I had ignored that first love of mine. 


So? I signed in this blog of mine (FYI, I have got warnings from the admin whether I wanted to continue blogging there or not. ) And I was surprised, finding that the visitors of this blog of mine were still as many as before I ignored it. 


Here is the record of the visitors in my first blog.


Month Total Pageviews Total Visitors 


October 2008 11033 3704
September 2008 10512 3378
August 2008 10945 3155
July 2008 11217 3782
June 2008 12135 5157
May 2008 23607 5576
April 2008 20420 5765
March 2008 10204 4973
February 2008 11506 4308
January 2008 14230 5104
December 2007 14429 3888
November 2007 11871 3963
October 2007 12160 5288
September 2007 6404 3673
August 2007 13352 2696
July 2007 19898 3318
June 2007 7890 3933
May 2007 2516 1308
April 2007 2803 1242
March 2007 3637 1705
February 2007 3481 1596
January 2007 2733 1453
December 2006 4656 1377
November 2006 3991 1460
October 2006 3313 1265
September 2006 3304 804
August 2006 3886 1076
July 2006 3428 1044
June 2006 2721 709
May 2006 2555 603
April 2006 577 273
March 2006 512 237
February 2006 176 95 


January 2006 63 36
December 2005 3 3

People still love visiting my blog, although I don't post new articles. As a blogger, of course this is very awesome!!! 


So, Nana, keep writing, expressing everything that crowds your mind, ease your own thought. 


C-Net 20.20 131108

Saturday, September 27, 2008

Threesome

perempuan cantik itu menghempaskan
tubuh moleknya di atas ranjang
senyum menggoda tersungging di bibir merah mudanya
mata berlensa biru mengundang
sang lelaki di ujung ruang
dengan pandangan binal
laksana menantang,
"beranikah kamu menerkamku,
menaklukkanku
di hadapan kekasihmu?

C-Net 16.53 270908

Saturday, September 20, 2008

Mantera

Mantera itu
adakah kau ucapkan
atasku?

C-net 10.07 200908

Tuesday, September 16, 2008

Shalat Jumat

Ulil Abshar Abdalla: Beberapa pengalaman salat Jumat di Jakarta

WAKTU masih di Jakarta, saya sering melaksanakan salat Jumat di Masjid Sunda Kelapa karena dekat dengan kantor Freedom Institute. Saya senang sekali Jumatan di sana bukan karena itu adalah masjid kelas menengah di kawasan Menteng. Tetapi karena ada "pemandangan sosial" yang menarik sekali di sana.


Seluruh halaman masjid hingga ke jalan-jalan menjadi "pasar tiban" yang menjual dagangan apa saja, mulai dari peci, celana dalam, kaos oblong, minyak za'faran dan misik, sarung plekat, VCD dan DVD bajakan hingga (percaya atau tidak) dealer mobil yang memajang mobil terbaru di pinggir jalan. Saya pernah melihat mobil Suzuki van (saya sudah lupa nama seri atau modelnya) di-"display" di pinggir jalan, persis di depan pintu masuk utama masjid, berjejeran dengan penjual mie pangsit dan tahu goreng. Pemandangan seperti ini mungkin tak akan kita jumpai di seluruh dunia kecuali di Indonesia, itupun mungkin hanya ada di Masjid Sunda Kelapa.

Salah satu barang dagangan yang dijual di sana adalah buku-buku populer yang isinya kalau tidak berbau mistik ya penuh "sensasi". Di sana, misalnya, dijual mulai dari buku Horoskop, resep masak, kamus John M. Echols dan M. Shadily terbitan Gramedia yang tentu dibajak, hingga ke buku-buku karangan Hartono A. Jaiz dan Irena Handono atau Harun Yahya. Ceramah-ceramah Irena Handono yang di-VCD/DVD-kan juga dijual dengan murah meriah dan "laris manis". Saya kerap memborong "benda-benda sensasi" itu untuk dokumentasi pribadi.

Inilah pasar rakyat yang sebenarnya. Mulai dari rakyat kecil hingga rakyat Menteng. Yang datang ke masjid itu bukan hanya masyarakat kecil, supir taksi, bajaj, atau para satpam yang menjadi penjaga rumah-rumah mewah di sekitar masjid, tetapi juga orang-orang kaya dan para pegawai kantor Pemerintah yang ada di sekitar kawasan itu, terutama kantor Bappenas yang letaknya persis di samping Masjid Sunda Kelapa.

Persebaran "klenik" yang sudah diislamkan (seperti diwakili oleh majalah Hidayah, misalnya) atau buku-buku kaum "radikal" seperti karangan Hartono Jaiz atau Imam Samudra, dimungkinkan oleh pasar seperti ini. Buku-buku Ahmad Deedat yang berisi "serangan" atas agama dan kepercayaan Kristen juga tersebar luas melalui jaringan "pasar rakyat" seperti ini.

Saya selalu memilih salat di halaman luar masjid, selain karena "isis" atau "breezy", juga karena saya ingin melihat perilaku pedagang saat khutbah berlangsung atau salat sudah dimulai.

Walaupun sang muazzin sudah mengingatkan bahwa selama khutbah berlangsung seluruh kegiatan "duniawi" harus dihentikan, tetapi peringatan itu berlalu saja, tanpa ada yang menghiraukan. Transaksi jual beli tetap saja menggelinding mulus selama khutbah berlangsung walau pedagang biasanya melakukannya dengan agak sedikit malu-malu.

Yang menarik adalah saat qamat (panggilan yang menandai akan dimulainya salat) sudah dikumandangkan dan salat Jumat segera dimulai. Beberapa pedagang memang ikut salat, tetapi beberapa hanya duduk bersila di samping barang dagangan mereka, seperti orang linglung karena mendapat kabar sedih. Sambil mendengarkan bacaan imam (di masjid Sunda Kelapa, imam salatnya lumayan bagus dari segi tilawah atau bacaan Qur'an-nya), saya mencuri pandang melihat pedagang yang hanya diam tak ikut salat itu. Saya tersenyum sendiri.

Momen yang saya suka adalah waktu "tahiyyat" akhir pada rakaat kedua: keadaan hening sekali karena semua orang diam -- kadang-kadang disela suara mobil atau bajaj yang lewat di sekitar Jl. Banyumas. Sunyi senyap berlangsung sekitar dua tiga menit. Begitu imam mengucapkan salam tanda salat usai, langsung suara gemuruh muncul lagi. Pedagang langsung teriak-teriak kembali menawarkan barang dagangan mereka.

Salah satu keuntungan salat di halaman depan masjid adalah saya tak diharuskan harus duduk lama-lama untuk membaca "wirid" panjang. Doa sebentar, saya langsung berlalu. Sebab kalau tidak, sudah pasti saya akan "diinjak-injak" oleh jamaah yang bubar dan kembali ke kantor mereka masing-masing.

Seperti jamaah yang lain, saya juga tertarik untuk berhenti sebentar melihat dagangan yang digelar di lapak-lapak depan masjid. Lapak yang paling sering ramai dikerubuti jamaah adalah yang menjual peci putih atau peci hitam "anti air" (tampaknya bukan "buwatan" Gresik).

Termasuk yang ramai adalah lapak yang menjual celana dalam, celana panjang, baju, handuk, atau sabuk. Juga lapak yang menjual VCD/DVD bajakan. Di sana, anda akan menjumpai segala macam jenis rekaman bajakan, mulai dari lagu-lagu pop, nasyid Islami, tilawah, tata-cara salat, lagu Bimbo, hingga ke ceramah Ahmad Deedat, Irena Handono atau seri kritik atas teori evolusi atau keajaiban semesta yang diproduksi oleh Harun Yahya.

Di sela-sela jamaah yang berhamburan keluar masjid itu, tentu selalu akan kita lihat pemandangan yang khas pada semua masjd di Jakarta, yaitu orang-orang yang mencari sekedar derma dari jamaah, atau panitia pembangunan masjid atau musalla yang mengedarkan proposal permintaan dana.

Pasar tiban semacam ini kita jumpai pula di sejumlah masjid-masjid di Jakarta, seperti Masjid Istiqlal, masjid besar di Pasar Tanah Abang (saya lupa namanya), masjid Al-A'raf di dalam toko buku Walisongo di Kwitang, masjid Arif Rahman Hakim di lingkungan kampus UI Salemba, dll. Tampaknya pasar tiban di depan masjid yang mendadak muncul saat menjelang salat Jumat ini makin menyebar ke sejumlah tempat di Jakarta dan kota-kota lain.

Buat saya yang datang dari kampung, pemandangan semacam itu agak sedikit aneh. Di mata kaum santri NU di kampung-kampung Jawa, masjid harus bersih dari unsur transaksi duniawi. Saat di pesantren dulu, saya pernah mempelajari kitab fikih yang terkenal di pesantren, yaitu Fath al-Mu'in karangan seorang ulama dari Malabar, India, yaitu Syekh Zainuddin al-Malibari. Dalam kitab itu, ada pembahasan panjang lebar tentang boleh tidaknya berjualan di dalam atau sekitar masjid.

Tetapi, lama-lama, pemandangan "duniawi" menjelang salat Jumat di masjid-masjid Jakarta itu menarik perhatian saya. Lama-lama, saya menyukai pemandangan itu. Salat Jum'at bukan sekedar peristiwa ibadah, tetapi juga peristiwa sosial yang melibatkan aspek-aspek non-ritual.

Tetapi pemandangan yang paling "dramatis" memang hanya saya lihat di masjid Sunda Kelapa, sebab hanya di sana saya jumpai dealer mobil yang ikut berjualan, berdesak-desakan di antara penjual mie pangsit, peci, songkok dan pedagang buku-buku bajakan.

Yang "ukhrawi" campur baur dengan yang "duniawi", bukan dalam sebuah adonan yang "integratif" , tetapi dalam bentuk "montase" yang saling tak kongruen dan kacau-balau.

Saat salat Jumat di Boston di masjid kampus yang sebetulnya bukan merupakan masjid, hanya ruang yang dipinjam sementara untuk menjadi masjid, saya rindu pada suasana "kacau-balau" di depan Masjid Sunda Kelapa itu. Selain suasana "unik" itu, isi khutbah Jumat di masjid tersebut lumayan baik dan cerdas, meskipun kadang-kadang ada isi yang kurang saya setujui.

TIDAK semua pengalaman salat Jumat di Jakarta menyenangkan dan menarik. Kalau saya tak ada waktu untuk jalan ke Masjid Sunda Kelapa, biasanya saya pergi untuk salat Jumat di masjid yang lebih dekat lagi ke kantor Freedom Institute, yaitu di gedung parkiran milik Hotel Nikko di Jl. Thamrin. Jelas itu bukan masjid permanen, tetapi lantai parkiran yang disulap secara mendadak menjadi "masjid tiban".

Umumnya isi khutbah yang hadir di "masjid tiban" itu tak terlalu menarik. Saya selalu datang menjelang salat dimulai, agar tak "tersiksa" mendengar khutbah yang membosankan. Kalau pun saya datang agak awal dan sempat mendengar khutbah, biasanya saya akan langsung "ngantuk". Beberapa orang di samping kiri-kanan saya juga sama: mereka "theklak-thekluk" karena mengantuk. Saya duga, mereka tak terlalu terpikat oleh isi khutbah.

Kejadian yang menjengkelkan pernah pula saya alami di masjid tiban di belakang Hotel Nikko itu. Saya datang agak awal dan sempat mendengar isi khutbah sejak dari awal. Di luar dugaan, isi khutbah yang disampaikan, dalam pandangan saya, sangat provokatif, menyerang agama lain, menganjurkan kebencian kepada orang-orang yang berbeda agama.

Saya tak kuat mendengar khutbah yang "ngacau" itu, dan nyaris saya angkat tangan untuk protes. Tetapi, saya putuskan untuk tak melakukan tindakan yang tentu akan mengundang perhatian banyak orang itu. Jalan tengah saya ambil: saya walk out dari masjid itu dan balik ke kantor, sambil menggerutu di jalan. Saya ganti salat Jumat dengan salat zuhur biasa. Buat saya, tak ada gunanya
melaksanakan salat Jumat yang justru sarat dengan "provokasi" semacam itu.

Kata "jum'at" adalah kata Arab yang secara harafiah berarti "berkumpul", atau kongregasi. Bisa juga kata itu kita maknai sebagai berkumpul untuk rekonsiliasi. Tujuan salat Jumat antara lain adalah untuk menyediakan arena mingguan bagi umat Islam guna meneguhkan komitmen mereka terhadap solidaritas keumatan, bukan untuk memprovokasi dan memecah belah umat. Buat saya, salat Jumat yang menjadi ajang provokasi untuk menyerang agama lain atau sekte lain dalam Islam yang berbeda paham, sudah kehilangan "raison d'etre" atau alasan keberadaannya.

PENGALAMAN yang lucu terjadi di perumahan saya di kawasan Jatikramat, Bekasi. Suatu ketika, saat kantor libur, saya pergi untuk salat Jum'at di masjid yang terletak tak terlalu jauh di luar lingkungan perumahan saya. Sang khatib dengan menggebu membahas tentang aliran-aliran sesat dalam Islam. Islam liberal tak luput dari pembahasan sang khatib. Dengan penuh semangat dia mengkritik pemikiran Islam liberal, menyebut nama saya beberapa kali dengan perasaan "kebencian" yang sama sekali tak tersembunyikan.

Sang khatib tentu tak tahu kalau saya ada di antara jamaah yang hadir saat itu. Saya memutuskan untuk tetap duduk saja mengikuti khutbah dia hingga selesai. Saya hanya geli saja dalam hati. Karena masjid itu ada di luar perumahan saya, jarang di antara jama'ah yang mengenali saya.

Suatu hari, saya mendapat sms dari Rizal Sukma, teman saya yang menjadi salah satu direktur di CSIS. Dia mengirim pesan tentang kejengkelan dia yang baru saja menghadiri salat Jumat di (kalau tak salah ingat) kawasan Palmerah, Jakarta Selatan. Isi ceramah itu penuh dengan provokasi. Sang khatib menyebut dan mengkritik Islam liberal dan tentunya juga menyinggung nama saya.

Dalam pesan itu, Rizal bercanda, "Kalau saja saya tak takut sandal hilang, sudah pasti saya akan maju ke muka dan memprotes sang khatib".

Yang menarik adalah pengalaman salat Jumat di kawasan Utan Kayu, di dekat kantor Jaringan Islam Liberal (JIL). Kalau kebetulan saya berada di kantor itu, saya biasanya pergi ke masjid Al-Taqwa yang ada persis di samping jembatan sungai kecil di Jl. Utan Kayu. Saya selalu merasa aman melaksanakan salat Jumat di sini karena tak pernah saya menjumpai khatib yang "menggebu-gebu" dengan ceramah yang provokatif. Ini adalah masjid tradisional khas Betawi. Tema-tema yang dibicarakan oleh khatib biasanya sebatas "kesalehan individual" yang menyejukkan.

Walaupun secara fisik masjid ini tidak terlalu mewah, dan sangat bising karena persis berada di pinggir jalan Utan Kayu yang lalu-lintasnya lumayan padat, serta dilengkapi dengan sistem pengeras suara yang sama sekali tak nyaman di telinga, tetapi saya tak merasa "terancam" saat salat Jumat di sana. Sebab, khatibnya bisa dijamin tak melakukan "provokasi".

Hingga sekarang, saya belum menemukan masjid yang isi-isi ceramahnya sesuai dengan pandangan Islam liberal yang saya anut, masjid yang "cerdas" dan menyejukkan. Saya berpikir, mungkin suatu saat jamaah Islam liberal harus membuat masjid sendiri yang dapat menampung ceramah-ceramah dan khutbah yang cerdas dan menyejukkan.

Atau, boleh jadi, memang diperlukan pendidikan dan "training" yang lebih baik bagi para khatib. Memang ada kecenderungan di banyak negara-negara Islam di mana masjid menjadi ajang kaum Muslim konservatif atau fundamentalis untuk melancarkan "kampanye kebencian" melawan tokoh atau pemikir Muslim yang mereka anggap "sesat". Sebagian jamaah boleh jadi akan dengan mudah terpengaruh oleh provokasi semacam itu. Kasus Dr. Nasr Hamid Abu Zayd di Mesir adalah contoh yang baik.

Kita semua tentu mengharap, masjid menjadi arena untuk membangun rekonsiliasi umat, bukan untuk memecah belah dengan cara menyebarkan
provokasi yang "membakar" emosi umat.

Ulil Abshar Abdalla

Wednesday, August 13, 2008

Nana naik sepeda

Aku adalah orang baru yang terjun ke bidang naik sepeda, meskipun tentu aku telah bisa mengendarai sepeda semenjak aku duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar, pertama kali bokap membelikanku sepeda. Aku bersepedaan hanya untuk bersenang-senang, sekaligus bermain-main dengan tetangga. Aku tidak perlu bersepeda ke sekolah karena jarak rumah-sekolah yang hanya butuh dua menit berjalan kaki. Di waktu duduk di bangku SMP, aku diantar sekolah oleh kakakku dengan naik sepeda. Pulangnya? Aku lebih sering memilih berjalan kaki ketimbang naik bus, karena lebih suka menggunakan uang transport untuk membeli prangko (karena aku punya beberapa kawan pena). Di bangku SMA kelas 1 pun sama. Tatkala naik kelas 2, bokap membelikanku sepeda motor (janji beliau kalau aku diterima di sekolah negeri terfavorit di Semarang). Praktis semenjak itu aku tak pernah lagi naik sepeda.
Aku mulai naik sepeda lagi—dengan tujuan berolahraga setelah kakakku mengirimkan sebuah sepedanya ke Semarang di tahun 1991/1992. Ide untuk naik sepeda ke kantor tentu saja tak pernah terlintas di benakku. Mungkin karena harga BBM masih murah. Mungkin juga karena polusi udara di Semarang belum terasa parah. Mungkin juga karena waktu itu kantorku terletak di Jalan Teuku Umar.
Maka ide naik sepeda ke kantor adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin kulakukan bagiku mengingat aku (pernah menjadi) tipe orang yang menjadi korban ideologi bahwa yang cantik itu putih. (Seminggu yang lalu baru saja aku dikomentari seorang rekan kerja, “Kamu sekarang jadi hitam loh Na, gara-gara sepedaan tentu.” Dan aku sedih mengapa satu hal sepele ini harus lebih didahulukan ketimbang tujuan mulia bike to work, yakni ikut berperan aktif mengurangi polusi udara.)
Bersepeda ke kantor sebagai salah satu sarana untuk berolahraga juga tidak kuperlukan karena semenjak awal tahun 2006, aku telah menjadi anggota Paradise Club fitness center. Aku suka naik stationed bike di sana karena aku bisa sambil menambah wawasanku, karena biasanya aku melakukannya sembari membaca buku.
Namun tatkala aku merasa ikut bertanggungjawab untuk mengurangi dampak negatif global warming (kadang tatkala berdiskusi masalah ini di kelas, aku sering merasa sedih karena aku tak melakukan satu kegiatan apa pun untuk mengurangi dampak negatif global warming karena aku bukan tipe orang yang suka berkebun, kecuali kadang-kadang aku membawa tas plastik sendiri tatkala beli sesuatu ke mini market) dan bersepeda ke kantor merupakan alternatif yang sangat praktis, mengapa tidak?
Dengan bersepeda ke kantor juga menunjukkan cintaku kepada generasi di belakangku karena hal ini berarti aku ikut menghemat penggunaan bahan bakar yang non renewable ini.
Dan aku sangat senang tatkala bertemu dengan teman-teman lain yang seide denganku.
Kalau kenyataannya mereka bersepeda ke kantor hanya satu minggu satu kali, well, it is better than never. Aku hanya beruntung saja karena rumahku terletak tak jauh dari kantor, dan tidak perlu melewati tanjakan, sehingga aku bisa lima kali dalam satu minggu pergi ke kantor. Seandainya anakku mau kuantar ke sekolah naik sepeda, tentu aku akan melakukannya. Sayangnya dia MENOLAK KERAS, sehingga praktis aku tetap naik sepeda motor setiap hari tatkala mengantar anak semata wayangku ke sekolah, kecuali hari Minggu. Namun toh aku tetap mengirit bensin karena selain itu, untuk kegiatan lain, aku naik sepeda.
Tentu aku juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman b2w Semarang lain yang belum secara maksimal naik sepeda ke tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi.
Yang penting sudah ada niat.
Dengan catatan: niat itu segera direalisasikan, tanpa membuat daftar alasan untuk tidak segera melakukannya. Mungkin dengan saling cerita pengalaman bike to work ke sesama anggota b2w Semarang, kita bisa saling mengompori satu sama lain untuk segera mewujudkan tujuan mulia b2w. :)
PT56 23.49 120808

Friday, July 11, 2008

More sex, please

More sex please, we’re septuagenarians

Men and women in their early seventies are having sex more often and enjoying it more than their counterparts three and four decades ago, according to a Swedish study published Wednesday.
Septuagenarian women in particular expressed satisfaction with their amorous activities, suggesting they may have benefited more from the loosening of sexual mores.
Despite an array of literature on the sexual habits and attitudes of younger adults, very little is known about what happens between the sheets for healthy men and women aged 70 and older.
Previous research has tended to focus on what goes wrong, sexually speaking, which has created the impression that the sex life of older people is dismal or non-existent.
Not true, according to Nils Beckman, a doctoral candidate at the University of Gothenburg.
“Our study shows that most elderly people consider sexual activity and associated feelings a natural part of later life,” he said.
Compared to the same age group in 1971, nearly twice as many married female septuagenarians reported having sexual intercourse in 2001, and a sharply higher percentage said they “always or usually” experienced orgasms, noted the study.
And while more than 10 percent of women interviewed 40 years ago had never had sex at all, by century’s end that percentage had dropped to 0.4 percent – a single respondent out of 229.
For men, too, sex at 70 on the cusp of the 21st century seemed to bring more pleasure than for older men of a previous generation.
But the news was not totally good; more men in 2001 also complained of low or no satisfaction, perhaps reflecting a cultural shift in openness in talking about sex.
And while the number of men reporting erectile dysfunction dropped, a higher number of men said they had ejaculation problems. The rate of premature ejaculation did not change.
Beckman and colleagues studied attitudes toward sex in later life based on interviews with Swedish 70-year-old at four different points in time: 1972, 1977, 1993, and 2001.
The study is published in the British Medical Journal (BMJ).
“The implication is that a generation’s sexual change – perhaps linked to the sexual revolution of 1965-75, is evident in this latest cohort of 70-year-olds,” Peggy Kleinplatz, a professor at the University of Ottawa in Canada, wrote in a commentary, also in the BMJ.

Published in The Jakarta Post
Thursday July 10, 2008
Page 12

Saturday, June 14, 2008

Nana and her cutie


“Hmm ... Ms. Nana with her cutie ...” komentar seorang rekan kerja tatkala hari Rabu 11 Juni lalu aku menyalakan my cutie notebook (sumpah! saingan cute-nya dengan yang memilikinya sekarang, bukan dengan sang Abang yang memberikannya lebih dari setahun yang lalu. LOL.) di ruang guru, tatkala aku akan mengerjakan the final term report, dan aku kangen berat dengan Abangku, atau well ... kangen dengan musik-musik yang dia kirimkan ke aku, ato kangen dua-duanya LOL, (Kok ga kirim CD-CD lain lagi Bang? LOL.) Kan asik mengerjakan term report sambil mendengarkan musik? 
Rekan kerjaku ini yang suka dikomentarin ‘narsis’ oleh para siswanya memang salah satu regular visitor of my friendster blog, sehingga dia pun tahu the nick I chose to give the cute notebook I got from my Abang.
Jadi ingat sms yang dikirimkan oleh salah satu siswa beberapa saat yang lalu.
“Ms2 ... mo numpang tanya ... DLu Laptop kecil mungil kyk Ms. Na2 (he3 ... just kidding!) tuch punya Ms. Na2?? Merk’na pa’an? Brp duit?? Thx yupz..”
Jawabanku:
“Sony VAIO, aku ga tahu berapa duit coz a good friend of mine gave it to me. Lucky me, envy me, huehehehe ...”
Komentarnya:
“Ohh ... lucky you!!! Iya, aku tuch pengen punya laptop yang mungil gitu buat dibawa ke kampus.”
Jawabanku:
“I know, from the way you asked me you wanted to buy such a cute notebook too.”
Balasannya:
“Ywda de Ms. Thx yup. Nice day...”
Jawabanku:
“Nice day too for you.”
Hari Jumat 13 Juni kemarin, tatkala standby di ruang guru, aku pun bersibuk ria dengan my cute notebook, ngetik sesuatu buat ngisi blog Angie, yang udah lumayan lama keteteran, ga kuisi apa-apa. :-D
A workmate asked me, “How big is the capacity of your notebook, Ma’am?”
“7 GB.”
“Oh, lumayan besar ya. Di pameran yang kukunjungi tadi siang ada notebook mungil kayak gitu, produk ASUS, namun kapasistasnya cuma 4 GB.” She explained.
“Oh yah? How much is that?” I asked her.
“4 millions. Aku sedang pengen nih, tapi belum punya duit. Kalo boleh pake kartu kredit, trus nyicil, tentu aku mau.”
Aku manggut-manggut mendengarnya.
“Cuma ASUS kok Ma’am. Kalo SONY VAIO kayak punya Ms. Nana, wah ... ga kebeli deh. M-A-H-A-L!”
Kontan aku jadi kangen berat sama Abangku. And jadi teringat how he has eased my life, karena membuatku bisa scribble dimana pun aku berada as long as there is the plug in and the electricity is on.
LL TBL 10.35 140608

Tuesday, June 10, 2008

Right to Change English

WE HAVE THE RIGHT TO CHANGE ENGLISH
By Hanung Triyoko, Salatiga

The upcoming Asia TEFL Conference in Bali is too important to overlook. It will be held from August 1-3, 2008, and this year’s theme is Globalizing Asia: The Role of ELT.

What intrigues me most is to what extent this conference will contribute to Indonesian nonnative English teachers’ efforts to implement successful English language teaching in classrooms across the country.

Will the conference inspire us to apply new approaches and methodologies based on the belief that English evolves as it spreads, and so there is no more “English” but rather many localized “Englishes”? Are we going to follow up the conference with agreement on ways to help students become proficient in Indonesian English?

For many here, the relation between language and identity is summed up in the familiar Javanese adage, Ajining diri ono ing kedaling lathi (The words you speak determine who you are). Simply put, it’s the essence of the relationship between the language and identity.

This conference will perhaps prompt us to seek answers to why very few people are convinced ELT (English Language Teaching) in Indonesia is successful. Many English teachers here base their lessons around strict, unbending ideals. This can create, whether intentionally or not, a hostile atmosphere that at its heart, threatens the students’ Indonesian identity.

For instance, how many Indonesian English teachers find it funny when students speak English with a marked accent? I’d say far too many. Anybody would be discouraged from speaking a foreign language if all it brings is ridicule and mockery.

As English teachers, the language forms an inextricably part of our social and personal lives, but the extent to which it identifies us varies. It depends on our day-to-day experiences with English and our understanding of the role of the language in our future. A similar model may be applied to our students. Do not expect all of them to want to know the intricacies of English grammar, because not all of them will grow up wanting to be English teachers.

Many teachers try to mold their students into competent English speakers with an ability approaching native English speakers. Some still teach this way, but others are beginning to think critically in light of the different circumstances students now face, and because the use of English in our society has now reached a level that earlier teachers could never have anticipated.

How many English learners in Indonesia face situations where the use of their mother tongue is restricted? The vast majority, one would think. Most students use English when speaking to their teachers or peers, or when reading English textbooks.

And yet they should be allowed the option of reverting to their native language if it’s too difficult for them to convey their message in English, assuming the meaning is not lost in the switch.

And they should be able to turn to a dictionary or friends or teachers or other sources whenever they find it too difficult to understand written English passages.

The need to establish and recognize a local English – Indonesian English or Indoglish – is not without basis. Malaysian English and Singaporean English (Singlish) are already taken for granted, and the debate on whether certain nations or communities can claim ownership of their local version of English is considered moot because of the seemingly unstoppable rise of localized English worldwide.

However, the realization of this dream should start with our willingness to stop prioritizing the “correctness” of pronunciations and accents even when the message remains intelligible and the meaning is not lost.

We should also stop limiting students’ vocabularies to what is published in ELT books, as long as words that make up the new lexicon are widely accepted by the students. Someday, for instance, when the time is right, we may even see abbreviations such as “OIC” for “Oh, I see” in textbooks.

Brutt-Griffler (1998, p. 387) defines nonnative English teachers as “nonnative speakers” with the “authority” to spread as well as to change English. However, this authority to change the language does not mean we can do whimsically.

It shoud be used to enable us to express ourselves more clearly when talking to others about our cultures and beliefs. English colloquialisms mean little from an Asian perspective, but the ability to construct our own colloquialisms opens up whole new opportunities for us.

Take for instance the English phrases “Excuse me” and “I am sorry”, which in Bahasa Indonesia both translate as maaf. To native English speakers there is a world of difference between the two expressions, but for nonnative speakers there is a distinct advantage in being able to use one expression to mean two different things.

Many native English speakers feel their language is sufficient for all situations, and hence don’t see the benefits of switching to a localized vernacular in cases like this.
Most of us would agree there are major differences are subtle, and it’s not that easy to pinpoint any concrete examples of this gap.

This can happen because very often we regard what our students write or say as mistaken or a failure to properly grasp the grammar. We judge them as such because we’ve been trained to compare them to accepted forms which we believe will never change.

Alternatively, we could consider these mistakes part of an emerging localized version of English, a language molded and influenced by the students and their understanding of a foreign language. We should welcome these differences with the hope that our students will eventually speak a similar English to us. The problem is we seldom see these differences for what they really are: the seeds of our very own localized English.

The writer is a lecturer at STAIN Salatiga and a student in the Master’s Program of Educational Leadership and Management, La Trobe University, Melbourne. He can be reached at hanungina@gmail.com


Published on May 31, 2008

Tuesday, May 27, 2008

Another May Tragedy Possible

ANOTHER MAY TRAGEDY POSSIBLE


By Frans H. Winarta, Jakarta
(the writer is a lawyer in Jakarta and chairman of the Indonesian Legal Studies Foundation)


It feels like yesterday when in fact it has been 10 years since reform was declared by its leaders Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid, Amien Rais and Hamengkubuwono IX in Ciganjur, following the fall of Soeharto’s New Order regime in 1998.


The promises at that time were of a democracy and government unblemished by corruption, collusion and nepotism (KKN), a professional military without the dual functions of the armed forces, the abolishment of extrajudicial agencies, the abolition of conglomerates, a people-based economy, human rights reverence, freedom of the press and other wishful promises.


But in reality, through the passage of time, those promises proved easier said than done because the feudalistic culture of politics, law, society and economy became embedded in our lives during the four decades of the New Order regime. Corruption is common, in an even more evenly distributed, widespread, sophisticated and shameless manner.


Although there is no more dual function for the military or extrajudicial agencies, and the press is more unimpeded and the Constitution can be amended, those facts cannot guarantee the people’s prosperity. The poor have become even poorer because of the decline in their purchasing power, whereas the political elites keep squabbling as if the remains of the New Order regime are for them to snatch away, and their selfish attitude is even more apparent.


It is disheartening that the people’s hope of democracy and prosperity has not been fulfilled. The ideal of a welfare state under the law has become more and more vague. Corruption is often discussed and argued over, but there is hesitation in the eradication of corruption among law enforcers due to their own involvement with corruption in the past.


And the most astonishing and alarming of all is the return of the conglomerates that were the source of injustice during the New Order regime. The prominent figures of the New Order have come back onto the stage of power in the executive, legislative and judicial institutions.


The elite tycoons are also back onstage, as if they have been innocent all along, to conquer and dominate by means of money and influence, just as they did in the Soeharto era with its ersatz capitalism. Bribery, collusion and providing special privileges for state officials are practiced, and earthly riches are spread.


The most unfortunate of all is that most of these tycoons are ethnic Chinese who, during the New Order regime, were pictured as “economic animals”, voracious, selfish and antinationalist. And all the while they remain as second-class citizens with all of the negative attributes that can make them targets for hate, riots and other social unrest.


Yet, they are still ready to serve and become milk cows for the ruling officials.


Maybe we have forgotten the suffering of the reformists, university students, NGO activists and human rights activists who toppled the authoritarian regime by sacrificing everything, including their lives. Will the May tragedy happen again?


Another May tragedy can happen when we are still stuck in pseudo-euphoria, uncontrollable freedom of speech, exaggerated exhibition of wealth in front of the public without showing respectful restraint toward the poor. Look at the extravagant wedding parties of tycoons’ children with thousands of guests.
Look at the luxurious celebrations for the Chinese New Year in the midst of the suffering and poverty of most of the people, who are still struggling to meet their very basic daily needs.


If this continues, it is likely that social unrest will intensify and a tragedy like May 1998 will recur, maybe in another, more massive form.

Published on The Jakarta Post
Thursday May 22, 2008
Page 6

Saturday, May 10, 2008

Him

Today
I found him
at friendster
I felt so elated

why am I still missing him?

KPDE 15.30 100508

Tuesday, May 06, 2008

Cervical Cancer

 


Doctors warn about cervical cancer
By Desi Nurhayati

Doctors have warned women to be aware of the risk of cervical cancer, a disease that usually shows no symptoms but has the highest mortality rate of cancers in Indonesia.


An estimated 20 women die of cervical cancer in Indonesia everyday, and 41 new cases are diagnosed, according to Yanto Sinaga, an obstetrician and gynecologist from the Indonesian Cancer Foundation.
“Breast cancer is the most deadly disease for women in the rest of the world, but in Indonesia it is second to cervical cancer,” Yanto said in a discussion recently.


Cervical cancer affects more than 500,000 women worldwide annually, killing half of them. about 80 percent of women with cervical cancer live in developing countries, including Indonesia.


The cervix is the part of the woman’s reproductive system that connects the uterus to the vagina.


Cervical cancer is usually caused by human papillomavirus (HPV)m a sexually transmitted virus.


“Promiscuity is among risk factors for cervical cancer. Women who have more than six sexual partners and those who first have sex before the age of 15 are at a higher risk of infection,” Yanto said.


“A man who has sex with a woman who carries HPV could pass the virus to another woman, even if he uses a condom.


He said the risk for women who used hormonal contraceptive such as contraceptive pills for more than four years was about one to one-and-a-half times higher than that for other women.


Women who smoke, have an insufficient antioxidant intake or a high birth rate are also among the high-risk groups, he said.


According to the American Cancer Society, cervical cancer is usually diagnosed in women aged between 35 and 55 years old, but it can occur at younger ages.


Even though about 92 percent of cervical cancer cases are asymptomatic, especially in the early stages, Yanto said women should be aware of certain signs that might appear.


“Abnormal vaginal discharges and bleeding during sexual intercourse are some of the symptoms,” he said.


“In the mid and late stages, the disease usually causes metabolic disorders because it affects major organs such as the kidneys and the liver.”


To test for signs of cervical cancer, the American College of Obstetrician and Gynecologists recommends an annual pap smear for sexually active women aged 28 years and above.


Pap smears have helped reduce the incidence and mortality rate of cervical cancer in many countries.
To conduct a pap smear, a doctor inserts a speculum into the patient’s vagina to collect a cell sample from the cervix.


“Unfortunately, many women in Indonesia are still reluctant to have a pap smear because they are shy. In many cases, women think it is not necessary to have the test because there are no symptoms of the disease,” Yanto said.


Immunization against HPV could prevent the disease, but does not guarantee immunity because the vaccine currently available cannot fight all types of HPV.

Cited from The Jakarta Post
Tuesday April 29, 2008
Page 9

Female Genital Mutilation

gambar diambil dari sini


3.1 Apa itu Female Genital Mutilation
Terdapat beberapa definisi mengenai Female Genital Mutilation (FGM):

1. Berdasarkan WHO information fact sheet No.241 June 2000, FGM merupakan semua prosedur termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ genital perempuan atau tindakan melukai lainnya terhadap organ genital perempuan baik untuk alasan budaya, agama, atau alasan lainnya yang tidak berkaitan dengan penyembuhan

2. Berdasarkan fact sheet no.23, Harmful Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children yang dikeluarkan oleh Office of the High Commissioner for Human Rights, FGM adalah istilah yang dipakai mengacu pada tindakan pembedahan untuk mengangkat sebagian atau seluruh bagian organ genital perempuan yang paling sensitif.

3 Berdasarkan Stedman's medical Dictionary, 26th Edition, 1995 mutilasi didefinisikan sebagai perusakan atau tindakan melukai dengan mengangkat atau merusakkan bagian-bagian yang nyata terlihat atau bagian penting dari tubuh

Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa FGM adalah segala prosedur atau tindakan yang ditujukan untuk menghilangkan dan melukai sebagian atau seluruh organ genital dari perempuan.

3.2 Asal Mula Female Genital Mutilation

Menurut pendapat beberapa ahli, pada awalnya FGM berasal dari Mesir. Tujuan dilakukannya FGM ini adalah sebagai perayaan saat seorang perempuan mencapai kedewasaan. Praktik ini merupakan akulturasi budaya antara penduduk Romawi yang waktu itu banyak tinggal di Mesir.

Dahulunya masyarakat Romawi mempraktikkan FGM ini pada perempuan kalangan budak untuk meningkatkan daya jual mereka di pasar. Masyarakat Mesir kemudian mengadopsi kebudayaan ini dengan tujuan membuat perempuan-perempuan Mesir lebih diminati sekaligus untuk menjaga keperawanan. Selanjutnya FGM berkembang menjadi tradisi religi dan mulai dipraktikkan oleh kelompok agama dan seiring dengan berjalannya waktu, tradisi ini menjadi populer dan agama bukanlah satu-satunya alasan FGM dilakukan.

3.3. Tipe-Tipe Female Genital Mutilation

Ada empat macam tipe FGM menurut fact sheet no.23, Harmful Traditional Practices Affecting the Health of Women and Children:

1. Tipe I : Sirkumsisi (Circumcision)
Menghilangkan bagian permukaan, dengan atau tanpa diikuti pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari klitoris. Ketika prosedur ini dilakukan terhadap bayi perempuan atau anak kecil perempuan, bisa jadi bagian atau keseluruhan dari klitoris dan sekeliling jaringan (tissues) akan terbuang.

2. Tipe II : Eksisi (Excission)
Pengangkatan klitoris diikuti dengan pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari labia minora.

3. Tipe III : Infabulasi (Infibulation)
Merupakan excission yang diikuti dengan pengangkatan labia mayora serta menempelkan kedua sisi vagina dengan jalan menjahit atau menyatukan secara alami jaringan yang terluka dengan mempergunakan media berupa duri, sutera, atau benang dari usus kucing. Pada infabulation akan ditinggalkan lubang yang sangat kecil (kurang lebih sebesar kepala korek api) yang dipergunakan untuk sekresi dan keluarnya cairan menstruasi.

4. Tipe IV : Introsisi (Introcission)
Jenis FGM yang dipraktikkan oleh suku Pitta-Pitta Aborigin di Australia, dimana pada saat seorang perempuan mencapai usia puber, maka seluruh suku akan dikumpulkan dan seseorang yang dituakan dalam masyarakat akan bertindak sebagai pemimpin prosedur FGM. Lubang vagina perempuan tersebut akan diperlebar dengan jalan merobek dengan menggunakan tiga jari tangan yang diikat dengan tali dan sisi lain dari perineum yang akan dipotong dengan menggunakan pisau batu. Ritual ini biasanya akan diikuti dengan aktivitas seksual secara paksa dengan beberapa lelaki muda. Selain di Australia, introcission juga dipraktikkan di Meksiko Timur, Brazil, Peru, dan suku Conibos. Serta
sebagian dari suku Pano Indian di bagian tenggara. Pada suku-suku tersebut operasi dilaksanakan oleh seorang perempuan yang dituakan dengan menggunakan pisau bambu, perempuan ini akan memotong jaringan sekitar selaput dara serta mengangkat bagian labia pada saat yang bersamaan membuka klitoris, tumbuhan obat akan dipergunakan untuk menyembuhkan diikuti dengan memasukkan objek berbentuk penis yang terbuat dari tanah liat.

3.4 Prosedur dan Usia Dilakukannya Female Genital Mutilation

Tidak ada prosedur standar dalam melakukan FGM, karena prosedur yang dipraktikkan oleh masyarakat dunia sangatlah bervariasi tergantung pada daerah, kebiasaan masyarakat serta adat-istiadat dimana perempuan tersebut tinggal. Sebagai contoh prosedur introcission yang dipraktekkan oleh suku Pitta-Patta Aborigin di Australia sangatlah berbeda dengan prosedur introcission yang dipraktekkan di Meksiko. Menurut Amnesti Internasional terdapat prosedur secara umum mengenai proses dilakukannya FGM yaitu:

1. Seorang perempuan yang akan melakukan FGM akan disuruh duduk di dalam air dingin untuk mematikan rasa di daerah yang akan dipotong serta mengurangi kemungkinan pendarahan. Pada umumnya perempuan tersebut tidak akan diberikan penghilang rasa sakit, perempuan tersebut akan dibuat tidak bergarak dengan cara dipegangi oleh perempuan-perempuan yang lebih tua, kaki perempuan tersebut akan dibuka dengan lebar sehingga bagian vagina akan terekspos.

2. Mutilasi akan dilakukan dengan mempergunakan alat pemotong seperti pecahan kaca, besi tipis, gunting, silet atau benda-benda tajam lainnya. Bila tipe FGM yang dilakukan adalah infabulasi maka duri atau jahitan yang akan dipergunakan untuk menahan serta merapatkan kedua sisi dari labia mayora dan labia minora yang telah dipotong dengan terlebih dahulu menyelipkan bambu atau kayu untuk menciptakan lubang pada daerah yang dirapatkan.

3. Selanjutnya perempuan tersebut akan diikat kakinya dan dibiarkan tergantung selama kurang lebih 40 hari, untuk menyembuhkan luka penggunaan bubuk antiseptik dimungkinkan, tetapi biasanya dipergunakan salep yang mengandung campuran tumbuh-tumbuhan obat, susu, telur, abu atau kotoran yang dipercaya memiliki khasiat untuk menyembuhkan.

Bagi perempuan yang diinfabulasi tidak akan memiliki besar lubang vagina yang normal, lubang vagina ini menjadi sangat kecil kira-kira hanya sebesar kepala korek api dan tidak mungkin melakukan aktifitas seksual. Hal ini dimungkinkan karena tujuan utama dari dilakukannya infabulasi adalah menjaga keperawanan perempuan yang belum menikah.

Bila perempuan yang diinfabulasi hendak melakukan aktivitas seksual, maka ia harus dibuka kembali (defibulasi), dan nantinya dibuka lebih lebar lagi untuk kepentingan persalinan. Pada banyak kebudayaan, defibulasi ini akan dilakukan oleh seorang suami setelah mengetahui bahwa pengantinnya masih perawan. Proses defabulasi ini dilakukan dengan mempergunakan alat-alat tajam ataupun kuku dari sang suami sendiri. Defulasi oleh bidan hanya dilakukan bila sang suami mengijinkan. Proses ini dilakukan berulang-ulang sehingga perempuan juga akan merasakan kesakitan dan penderitaan yang berulang-ulang apalagi nantinya akan sangat berisiko terkena penyakit.

Mengenai tempat, pelaksanaan FGM ini biasanya dilakukan di rumah pribadi, tetangga, kerabat, pusat kesehatan, atau bila FGM dianggap sebagai proses inisiasi maka akan dipilih sungai atau pohon tertentu.

Prosedur FGM ini sangatlah menyakitkan, baik pada saat prosedur dilaksanakan maupun pada masa setelah prosedur selesai. Tetapi anehnya sebagian besar pelaku FGM adalah perempuan sendiri dan hanya sedikit kebudayaan yang memungkinkan prosedur ini dilakukan pria. Seperti halnya prosedur usia dilakukannya FGM juga bervariasi namun pada umumnya FGM biasa dipraktekkan pada perempuan yang berumur 4 sampai 10 tahun, walaupun di beberapa komunitas tertentu FGM ini dipraktekkan pada masa bayi atau ditunda sampai seorang perempuan akan menikah. Pada beberapa tempat terutama di pedesaan, orang yang melakukan pemutilasian ini yaitu dukun mutilasi atau bidan akan

mendapat upah walaupun proses pelaksanaannya tanpa obat bius. Dalam proses FGM biasanya digunakan beberapa alat seperti pisau, pecahan gelas, pisau cukur, atau gunting. Namun, di negara-negara yang sudah berkembang FGM dilakukan secara higienis dengan menggunakan obat bius.

3.5 Alasan-Alasan dipraktikkannya Female Genital Mutilation
Ada beberapa alasan dilakukannya FGM yang dikelompokkan ke dalam empat alasan utama, yaitu:

1. Identitas budaya
Budaya dan tradisi merupakan alasan utama dilakukannya FGM, karena FGM menentukan siapa sajakah yang dapat dianggap sebagai bagian dari masyarakat, sehingga dianggap sebagai tahap inisiasi bagi seorang perempuan untuk memasuki tahap kedewasaan. Dalam masyarakat yang mempraktikan hal ini, FGM dianggap sebagai hal yang biasa dan seorang perempuan tidak akan dianggap dewasa sebelum melakukan FGM.

2. Identitas gender
FGM dianggap penting bagi seorang gadis bila ingin menjadi perempuan seutuhnya, praktik ini memberikan suatu perbedaan jenis kelamin dikaitkan dengan peran mereka di masa depan dalam kehidupan perkawinan. Pengangkatan bagian klitoris dianggap sebagai penghilangan organ di tubuh perempuan sehingga feminitas perempuan akan utuh dan sempurna, karena trauma yang didapatkan setelah proses ini berlangsung akan memengaruhi perempuan. FGM juga dianggap sebagai pemberian pelajaran kepada perempuan mengenai perannya dalam masyarakat.

3. Mengontrol seksualitas perempuan serta fungsi reproduksinya
FGM dipercaya dapat mengurangi hasrat seksual perempuan akan seks, sehingga dapat mengurangi terjadinya praktik seks di luar nikah. Kesetiaan seorang perempuan yang tidak dimutilasi terhadap pasangannya akan sangat diragukan oleh masyarakat. Dalam masyarakat yang mempraktikkan FGM, seorang perempuan yang tidak dimutilasi tidak akan mungkin mendapatkan jodoh.

4. Alasan kebersihan, kesehatan, dan keindahan
Alasan ini merupakan alasan pembenaran yang dipakai oleh banyak masyarakat di dunia untuk melakukan FGM. Mutilasi yang sering dikaitkan dengan tindakan penyucian atau pembersihan dalam masyarakat yang mempraktikan FGM. Seorang perempuan yang tidak dimutilasi dianggap tidak bersih dan tidak akan diperkenankan menyentuh makanan atau air.

FGM sering sekali dipromosikan dapat meningkatkan kesehatan perempuan serta anak yang dilahirkannya, dikatakan bahwa perempuan yang melakukan FGM akan lebih subur serta mudah melahirkan. Pendapat ini lebih merupakan mitos yang dipercaya masyarakat saja dan tidak memiliki bukti medis. Dari penjelasan mengenai prosedur serta dampak FGM dapat dilihat bahwa FGM ini dapat membahayakan jiwa, kesehatan, dan kesuburan seorang perempuan.

3.6 Dampak Praktik Female Genital Mutilation
Dampak dilakukannya FGM adalah sebagai berikut:

1. Konsekuensi Medis
Perempuan yang menjalankan prosedur FGM sangat berisiko besar mengalami berbagai masalah serius baik fisik maupun psikis. Masalah kesehatan yang dapat ditimbulkan berkaitan dengan tingkat higienitas alat yang dipakai dalam prosedur, keahlian orang-orang yang melaksanakan prosedur tersebut, serta tahapan-tahapan prosedur FGM itu sendiri.

Dampak fisik yang ditimbulkan oleh FGM terbagi menjadi dampak jangka pendek.dan jangka panjang Dampak jangka pendek dari FGM meliputi pembengkakan pada jaringan sekitar vagina yang akan menghalangi proses pembuangan cairan, infeksi yang disebabkan pemakainan alat yang tidak steril, serta kontaminasi luka karena air seni, pendarahan parah dan shock, pembuluh darah dari klitoris dapat mengalami pendarahan,

terjadinya infeksi, tercemarnya darah oleh racun dari alat yang tidak steril, dan kerusakan pada jaringan di sekitar klitoris serta labia yang setelah beberapa waktu akan menyebabkan tersumbatnya urine yang berimplikasi pada infeksi serius.

Dampak jangka panjang yang ditimbulkan FGM yaitu infeksi saluran kencing. Hal ini disebabkan karena terdapatnya penyakit yang timbul karena adanya bakteri serta sisa-sisa sel darah putih dan juga karena infeksi yang berulang-ulang pada saluran reproduksi. Lubang vagina yang menjadi sempit akan menyebabkan terganggunya saluran menstruasi sehingga perempuan akan merasa sangat kesakitan karena penumpukan residu pada vagina. Dampak lain yang ditimbulkan adalah infeksi pelvic yang menyebabkan tersumbatnya tuba fallopi yang nantinya akan berakibat pada kemandulan.

Pada tipe infabulasi dampak jangka panjang yang ditimbulkan akan menjadi lebih serius yaitu infeksi pada saluran kencing dan ureter, kerusakan pada ginjal, infeksi saluran reproduksi yang disebabkan terganggunya siklus menstruasi, infeksi parah pada pelvic sehingga menyumbat tuba fallopi, perluasan jaringan yang terluka, keloid, sakit yang diderita pada saat berhubungan (making love), dan kesulitan pada saat melahirkan akibat hilangnya elastisitas serta saluran pelicin pada vagina. Perempuan yang diinfabulasi akan membutuhkan 15 menit untuk kencing dan periode menstruasi mencapai 10 hari, kadang-kadang karena sempitnya lubang ini darah menstruasi akan berkumpul di perut. Sehubungan dengan penularan penyakit berbahaya, FGM juga merupakan sarana yang berbahaya dan riskan bagi penularan virus HIV dan hepatitis, diakibatkan pemakaian alat yang tidak steril.

2. Konsekuensi Seksual
Secara seksual FGM berdampak pada rusaknya ransangan seksual pada perempuan. Hal ini disebabkan karena klitoris yang sudah dihilangkan akibat praktik FGM. Klitoris merupakan organ seksual utama pada perempuan yang memiliki banyak sekali syaraf yang sangat peka terhadap sentuhan, sedangkan bagian lain dari vagina hanya memiliki respon yang minim terhadap sentuhan. Dengan dihilangkannya klitoris pada FGM, maka secara otomatis ransangan seksual pada perempuan akan menurun secara drastis sehingga akan butuh waktu yang sangat lama bagi perempuan dalam berhubungan seks untuk mencapai orgasme bahkan tidak mampu sama sekali dalam mencapai orgasme.

Hal ini tidak hanya berdampak pada perempuan saja. Secara tidak langsung laki-laki juga terkena dampaknya. Sebagai contoh di Mesir dimana terjadi peningkatan laki-laki yang menggunakan narkotika akibat dari hanya sedikit sekali laki-laki sehat yang dapat membuat seorang perempuan yang dimutilasi klitorisnya mencapai orgasme.

Berikut dua contoh kasus yang menunjukkan dampak FGM ini dari segi seksualitas:
1. Pengakuan dari seorang laki-laki Sudan tentang pengalaman seksualnya pada malam pertama perkawinannya.

"the first experience were very painful for her. For a long time we could not enjoy sex together, because it was a uniteral thing. It was I who had the orgasm. She only had fear and pain. I had had some experience, and knew either I would ruin the whole relationship, or with gentleness and patience I would eventually solve the problem. I love her very much, and for a long time, for several months, we both tried very hard to make it work. It was a nightmare. Of course I wanted sex. Everytime I approach her sexually, she bled. The wound I had caused was never able to heal. I felt horribly guilty. The whole thing was so abnormal. The thought that I was hurting someone I loved so dearly trouble me greatly. I felt like an animal. This is an experience that I would rather not remember."


2. Pengalaman Amina, seorang perempuan berusia 25 tahun dari Somali.

"I was infabulated when i was nine years old. I have had four operations to open up the infibulation for sexual relations with my husband since I got married four years ago but all this has been unsuccessful. Each time my husband comes near me the place close up. He cannot enter me. I have been through a lot of pain even to the point that I wanted to commit suicide. My husband unfortunately emotionally abuses me. He says I am a useless woman. It hurt me so much. I cannot speak to my family or to any member of the community. This will bring shame on my family. I need to see a psychologist, there will be gossip in the community and I will be dismissed as a mad person.


Dari kedua konsekuensi yang ditimbulkan oleh FGM, maka akan menimbulkan dampak yang ketiga yaitu konsekuensi psikologis yang akan diderita oleh perempuan yang melakukan FGM.

3. Konsekuensi Psikologis
Selain dampak fisik, FGM juga menimbulkan dampak psikis terhadap perempuan yang melakukan FGM. Dampak psikisnya yaitu perasaan cemas, takut, malu, serta perasaan dikhianati yang dapat menimbulkan dampak negatif jangka panjang pada kondisi psikis perempuan.

Berdasarkan penelitian beberapa ahli, shock dan trauma yang diderita dapat menyebabkan terbentuknya sifat pendiam dan penurut pada perempuan. Sifat-sifat ini dianggap baik bagi masyarakat yang mempraktikkan FGM. Walaupun di saat perayaan perempuan yang melakukan FGM akan mendapat hadiah akan menghilangkan sedikit trauma, namun dampak psikologis yang paling penting adalah perasaan merasa diterima sebagai bagian dari anggota masyarakat serta perasaan telah memenuhi persyaratan untuk menikah.

Berikut pernyataan Dr. Nahid Toubia, seorang gynaecology yang telah melakukan penelitian terhadap hal ini terhadap pasiennya di sebuah klinik di Sudan:

"Thousand of women present themselves with vague complaints all metaphorically linked to their pelvises, which really means their genital since they are socially too shy to speak of their genitals. They complain of symptoms of anxiety and depression, loss of sleep, backache and many other complaints uttered in sad monotonous voices.
When I probe them a little, the flood of their pain and anxiety over their genitals, their sexual lives, their fertility and all the other physical and psychological complications of their circumcision is unbearable. These women are holding back a silent sream so strong, if uttered, it would shake the earth. Instead it is held back depleting their energy and darining their confidence in their abilities. Meanwhile the medical establishment treats them as malingerers and a burden on the health system and its resources.