Search

Thursday, June 20, 2019

Sekolah Favorite?

diambil dari link ini



Barangkali pengaruh orangtua sangat kuat dalam pencarian sekolah 'favorite', namun juga bisa tidak. Tiap orang tentu saja memiliki pengalaman yang berbeda. Ini pengalaman saya.


Untuk masalah pendidikan, seingat saya orangtua saya tidak mengajari anak-anaknya tentang sekolah favorit ini. Waktu saya dan kakak masih kecil, kita dimasukkan ke satu sekolah yang lokasinya dekat sekali dari rumah, kira-kira hanya butuh 2 menit untuk berjalan kaki dari rumah ke sekolah. Kita berdua berangkat sekolah, Madrasah Ibtidaiyah Al-Khoiriyyah I, setelah mendengar bel masuk berbunyi. :)


Setelah lulus SD, kakak memilih melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah, yang lokasinya lumayan jauh dari rumah. Saya tidak tahu apakah ini atas anjuran orangtua atau bagaimana. Namun saat saya lulus SD, ayah menawari saya apakah saya ingin melanjutkan sekolah di sekolah yang sama, Madrasah Tsanawiyah Al-Khoiriyyah I, atau ke SMP Muhammadiyah. (Saat itu para siswa perempuan di sekolah Muhammadiyah belum wajib mengenakan kerudung, sementara di Al-Khoiriyyah siswa perempuan sudah wajib mengenakan kerudung sejak kelas 3 SD.) Karena saya tidak mau satu sekolah (lagi) dengan kakak, saya memilih 'stay' di sekolah yang sama. Padahal saya bosan sekolah disitu karena lokasinya yang terlalu dekat rumah, sehingga rasanya saya kurang dolan. Lol.


Saya sudah mendaftar di Madrasah Tsanawiyah Al-Khoiriyyah, sudah dinyatakan diterima, ketika seorang kawan mengajak mendaftar ke SMP N 1, salah satu SMP favorit waktu itu, tapi saya tidak 'ngeh'. Maklum, saya masih super kuper. Lol. Untunglah orangtua setuju, bahkan Ibu saya mengantar saya mendaftar sekolah yang mulai pindah ke Jalan Ronggolawe, dari Jalan Pemuda, di belakang Balaikota.


Setelah pengumuman, dan saya diterima di SMP N 1, (kawan yang mengajak saya malah tidak diterima), orangtua menawari saya, "Mau lanjutin sekolah dimana? Di Al-Khoiriyyah atau SMP N 1?" ah ya tentu saja saya memilih sekolah 'baru', bisa 'dolan' rada jauh, dan tidak perlu satu sekolah dengan kakak. Hohohoho …


Setelah saya dinyatakan diterima di SMP N 1, beberapa tetangga bertanya, "Kok kamu bisa diterima di SMP N 1 Na? Bagaimana caranya?" dengan lugu saya jawab apa adanya, "Gampang kok, tinggal ndaftar, ikut ujian penerimaan siswa baru. Keterima. Sudah." kadang, ada pertanyaan lanjutan, "Orangtuamu bayar berapa?" saya jawab, "Ga bayar kok, kecuali uang pendaftaran. Itu saja."


Saya masih ingat wajah-wajah tetangga yang tidak percaya pada saya. :D mimik wajah yang membuat saya heran, mengapa orang-orang itu begitu kepo? Ada apa?"


Di hari pertama masuk SMP, saya bertemu beberapa kawan SD yang juga ikut tes masuk SMP N 1, dan dinyatakan tidak lulus tes, namun tetap masuk di sekolah itu. Dengan lugu, saya bertanya, "Lho, kok kamu bisa masuk sekolah sini?" dasar sama-sama masih kanak-kanak, dan lugu, kawan-kawan bercerita orangtua mereka membayar sejumlah uang ke kepala sekolah.


Dan, saya belajar untuk lebih dewasa, lebih 'memahami hal-hal yang dulu terlalu jauh untuk dijangkau'. Hihihihi …


Bersekolah di SMP N 1, saya akhirnya 'ngeh' bahwa ada sekolah favorite, ada sekolah yang biasa-biasa saja, padahal orangtua tidak mengajari saya tentang hal ini. Prestise mendadak menjadi tinggi jika kita  bersekolah di sekolah yang dianggap favorite di satu kota.


Setelah lulus SMP, saya berambisi untuk melanjutkan ke SMA N 3, sekolah negeri terfavorite di Semarang, demi prestise diri. Padahal waktu itu Ayah pinginnya saya masuk SMA N 6 saja, sama-sama sekolah negeri namun persaingan untuk masuk tidak seketat ke SMA N 3, namun tidak saya ikuti. Saya tahu kemampuan saya, dan syukurlah diterima disana. :)


Alhamdulillah saya juga diterima kuliah di satu universitas favorite di Indonesia, UGM Jogja.


Apakah bersekolah/kuliah di sekolah/universitas favorite menjanjikan masa depan cemerlang? Yang mungkin dikonotasikan duit banyak, mampu beli rumah dan mobil dan lain sebagainya?


Setelah bertemu kembali dengan kawan-kawan lama, (SMP/SMA) ternyata kawan-kawan yang dulu tidak seberuntung saya masuk ke SMA atau pun kuliah di universitas favorite, banyak juga yang nampak hidup berhasil, dengan kategori bisa mencari uang banyak -- entah bekerja entah memiliki usaha sendiri -- sehingga nampak hidup makmur. Ketimbang saya yang kesana kemari naik sepeda. #ehhh …


=======================


Waktu Angie akan masuk SD, saya ingin dia bersekolah di SD Siliwangi Semarang karena kawan-kawan SMP dulu yang lulusan sana terlihat cerdas dan pede. Siapa yang tidak ingin anaknya cerdas dan pede? Dan … nasib baik senantiasa mendampingi Angie. Setelah lulus SD Siliwangi, dia melanjutkan ke SMP N 1 -- meski di zamannya pamor SMP N 1 sebagai sekolah paling favorite telah tergeser. Dari SMP N 1, dia bisa masuk ke SMA N 3, sekolah negeri terfavorite di Semarang, sejak zaman saya SMA dulu.


Bukan melulu karena mendapat prestise tinggi, namun sekedar ingin napak tilas jejak Emaknya. Padahal waktu itu saya 'hanya' berharap Angie bisa masuk sekolah negeri, demi biaya spp yang murah dengan kualitas yang tidak buruk-buruk amat.


=====================


Berbincang tentang 'blank spot' sehingga anak-anak yang tinggal di daerah seperti itu kesulitan mendapatkan kesempatan bersekolah di sekolah negeri, berarti ini adalah masukan untuk pemerintah agar lebih memeratakan keberadaan sekolah negeri hingga di pelosok-pelosok kotamadya / kabupaten. Setelah itu terus meningkatkan kemampuan guru di seluruh sekolah -- khususnya sekolah-sekolah negeri -- dan fasilitas-fasilitas sekolah agar di kemudian hari benar-benar tak lagi ada istilah sekolah favorite.


LG 12.50 20/06/2019

Tuesday, June 18, 2019

Z O N A S I

ZONASI SEKOLAH




Waktu Angie akan masuk SMA tahun 2006, seingat saya itu adalah pertama kali diselenggarakan 'rayonisasi' atau yang sekarang dikenal dengan istilah 'zonasi'. Jujur saya, Angie diuntungkan dengan program ini karena kebetulan waktu itu kita tinggal di satu daerah yang dianggap satu rayon dengan satu sekolah favorit di Semarang, SMA Negeri 3. Dengan NEM yang hanya 26,8, Angie dengan mudah masuk ke sekolah dimana saya tercatat sebagai salah satu alumni. Ini setelah mengalami hari-hari penuh ups and downs, ngecek peringkat apakah Angie bakal keterima disana, jika tidak, kita harus buru-buru menarik formulir pendaftaran, dan memindahkannya ke sekolah sebelahnya, SMA Negeri 5, yang sebenarnya bukan merupakan sekolah yang buruk, hanya memang tidak sefavorit SMA Negeri 3.


Yang saya ingat, tahun ajaran 2006/2007 itu, semua sekolah negeri wajib mengikuti peraturan rayonisasi ini, harus menerima 60% siswa dalam rayon, dan 40% di luar rayon. Tahun itu, para calon siswa yang tempat tinggalnya di luar rayon, minimal memiliki NEM 27,0. gara-gara program rayonisasi ini SMA Negeri 3 'terpaksa' menerima para lulusan yang NEM-nya di bawah standar, bahkan katanya ada yang NEM-nya hanya 18!


Kebetulan angkatan 2006/2007 itu adalah angkatan pertama SMA Negeri 3 mengaplikasikan program 'sekolah berstandar internasional', sebagai pilot project. Dengan masuknya para siswa yang NEM-nya di bawah standar, para guru pun mengeluh karena mereka (konon) kudu bekerja ekstra keras.


Entah bagaimana prosesnya, tahun ajaran berikutnya, SMA Negeri 3 meminta perlakuan khusus agar tidak diwajibkan memberlakukan program rayonisasi, dan permintaan ini dikabulkan pemerintah kota.


Saya yang bekerja sebagai guru, dan pernah mengalami mengajar di sebuah lembaga bimbingan dimana para siswanya variatif dari sekolah 'unggulan' sampai sekolah 'ecek-ecek' pun merasa eneg dengan kemanjaan guru-guru sekolah favorit yang maunya hanya 'terima jadi'. Mereka ingin siswa-siswa mereka nampak unggul, untuk tetap mengukuhkan nama sekolah sebagai sekolah favorit, namun tak mau bekerja keras untuk memintarkan siswa yang mungkin kurang beruntung.


Entah apakah setelah nama programnya ganti, tak lagi 'rayonisasi' namun menjadi 'zonasi', dan penghapusan program 'sekolah berstandar internasional', SMA Negeri 3 Semarang masih mendapatkan privilege seperti dulu?


Tahun ini -- mungkin juga tahun-tahun lalu ya, saya tidak begitu memperhatikan -- masyarakat heboh lagi tentang zonasi ini. Mereka terbelah menjadi dua, pro dan kontra. Saya meyakini maksud pemerintah bagus, agar semua sekolah negeri mendapatkan bibit yang bagus, para calon siswa yang tinggalnya tidak jauh dari sekolah itu. Maka, tugas berikutnya adalah pemerintah juga seharusnya meningkatkan mutu guru semua sekolah negeri, melengkapi fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan siswa hingga bibit-bibit unggul yang masuk ke sekolah negeri yang saat ini mungkin dianggap 'pinggiran' tidak mubazir.


Saya setuju bahwa peran orangtua sangat penting disini untuk menekankan peningkatan karakter diri anak-anak mereka, sehingga sekolah dimana pun mereka akan terus berprestasi.


LG 12.00 18/06/2019

Thursday, June 13, 2019

Idul Fitri Syawal 1440 H / Juni 2019

Untuk pertama kali dalam hidupku -- sependek ingatan yang kusimpan -- tahun ini keluarga Podungge Semarang memiliki acara keluarga: pergi ke Cirebon. Bukan untuk menengok kakakku yang sakit seperti yang kulakukan di postingan ini, namun untuk "nyekar" kata orang Jawa, alias menengok makam. Ya, kakak yang kutengok pada tanggal 17 - 19 Mei 2019 akhirnya meninggal pada hari Selasa 21 Mei 2019 pukul 13.44 WIB. :(

Latar belakang:

Kedua orangtuaku adalah sepupu -- mereka berdua menyandang nama 'fam' yang sama, yakni Podungge. Ayah konon telah merantau ke Semarang semenjak beliau lulus SD, mengikuti kakakknya yang waktu itu tinggal di Semarang. Mungkin setelah tinggal dan bekerja di Semarang selama kurang lebih 10 tahun, Ayah kembali ke Gorontalo untuk menikah. (kedua orangtuaku tidak saling kenal sebelum menikah itu.) setelah menikah, Ibu diboyong ke Semarang. Semua anak-anaknya lahir di Semarang. Semenjak mereka berdua menikah dan tinggal di Semarang, mereka tidak membiasakan 'mudik' ke Gorontalo di hari lebaran.

Waktu aku masih kecil dulu, aku ingat kadang kedua orangtua mengajak menghadiri satu acara yang diselenggarakan oleh dan untuk orang-orang Gorontalo yang tinggal di Semarang. Entah, mulai kapan acara gathering itu berhenti jadi tak ada lagi acara silaturrahmi antar orang-orang berdarah Gorontalo di Semarang. Tapi, saya masih ingat di tahun 1986 aku dan kakak adik diajak orangtua untuk berkunjung ke rumah sebuah keluarga keluarga Gorontalo waktu lebaran. Tak lama kemudian aku melanjutkan studi di Jogja. Tak ada lagi acara kunjung mengunjungi seperti ini lagi.

Lebaran bagi kami sekeluarga ya shalat Ied di lapangan, kemudian pulang ke rumah, saling salam-salaman (tidak ada ritual sungkeman di budaya Gorontalo), kemudian makan ketupat opor plus sambal goreng ati masakan Ibu. Setelah itu, paling nongkrong di teras menonton orang-orang lalu lalang mengenakan baju baru, satu hal yang dulu tidak pernah kupahami mengapa orang-orang lain nampak sibuk di hari lebaran sementara keluarga kami tidak. :)

6 Juni 2019

Setelah 'nyekar' di makam Ayah Ibu dan kakak pertama (yang tidak pernah kami kenal karena kakak ini meninggal di usia lima bulan karena muntaber), kami sekeluarga bersiap-siap berangkat ke Cirebon. Aku, Angie, Nunuk, (adikku persis) dan Riska (adik bungsu) bersama suami dan kedua anaknya. Kita berangkat ke Cirebon setelah berkunjung ke rumah tetangga di depan rumah, yang biasanya berkunjung ke rumah di hari pertama lebaran tatkala Ibu masih sugeng.

Kita lewat jalan tol buatan Pak Jokowi setelah kita keluar dari Mangkang. Jalan tol yang semula dibuat one way dari arah Jakarta menuju Semarang untuk memberi ruang luas pada para pemudik, kali itu sudah buka untuk dua arah. Perjalanan lancar, kita sempat istirahat di satu rest area yang kemungkinan terletak di daerah Tegal.

Kita sampai di rumah kakak ipar sekitar pukul 15.00.

7 Juni 2019

Pagi-pagi aku sempat mengajak dua keponakan jalan-jalan ke sawah (maklum, orang kota, lol) ditemani Nunuk dan Angie. Setelah pulang ke rumah, mandi, kita baru siap-siap nyekar.


Kita berangkat ke makam Kasinengan sekitar pukul 09.30.

Dari sana, istri kakakku mengajak dolan ke satu destinasi wisata bernama 'Waterland'. Waktu kesini aku baru ngeh bahwa Laksamana Cheng Ho konon juga mampir di Cirebon ketika berlayar ke Nusantara, mungkin sekitar abad 14, tak hanya mampir di Semarang, atau Surabaya.









Melihat sekilas 'Waterland' ini, aku ingat BJBR alias Bee Jay Bakau Resort yang kukunjungi bersama Ranz di Probolinggo Desember 2017. BJBR merupakan area hutan bakau / mangrove di pinggir laut. Selain berwisata menjelajah hutan bakau, pihak pengelola juga membangun cottage-cottage di atas air laut, jembatan panjang di atas laut dimana pengunjung bisa berjalan-jalan di atasnya, sembari berfoto di spot-spot yang dibuat instagrammable. Ada juga kolam yang dibuat sedemikian rupa sehingga ketika bermain air disini seolah-olah main di pantai, dengan air tawar tentu saja.

Waterland tidak ada kawasan bakaunya, namun ada cottage-cottage yang dibangun di atas air laut, selain ada restauran yang berbentuk kapal dan ada nama CHENG HO di satu dinding luar kapal. Ada dua kolam renang yang disediakan untuk mereka yang ingin bermain air . Namun karena kita tidak membawa baju berenang, kita tidak nyemplung. Selain itu, ada beberapa waha permainan sederhana untuk menyenangkan anak-anak. Tiket masuk sebesar Rp. 60.000,00 (mungkin kena 'tuslah' lebaran ya?) terasa cukup mahal jika kita kesini tanpa berenang. :D

Menjelang pukul 13.30 kita sudah kembali.






Sorenya kita sempat ke Pantai Kejawanan untuk menonton sunset. Mengapa aku memilih pantai ini karena beberapa bulan lalu kakakku sempat dibawa kesini untuk dimandikan, konon air yang ada di pantai ini bisa dipakai untuk mengobati penyakit kulit yang diderita kakakku. Nunuk yang waktu itu sedang berada di Cirebon, ikut menemani ke pantai. Katanya setelah dimandikan di pantai inik, penyakit kulit kakakku terlihat kian parah, melepuh. Tapi, setelah itu, luka-lukanya 'lepas', hingga istrinya waktu itu, konon tinggal mengusap seluruh kulit tubuhnya dengan baby oil.

8 Juni 2019

Setelah mandi dan packing, kita meninggalkan rumah kakak iparku sekitar pukul 08.00. Dia mengajak kita sarapan di RM Jamblang Bu Nur. Tapi, sesampai sana, ternyata antrian para pengunjung yang ingin makan disana mengular hingga keluar. :( Duh, padahal kita ingin segera balik ke Semarang, karena ada info yang beredar bahwa jalan tol akan dibuat one way menuju Jakarta untuk memberi ruang yang lebih lapang pada mereka yang ingin kembali ke ibu kota.

Kita tidak jadi makan di Bu Nur; kita pindah ke RM Jamblang Pelabuhan. Ternyata, sesampai sini, kita juga kudu ngantri untuk mengambil makan. :D well, maklum, lebaran yaaa. baru kali ini kita berlebaran di kota lain, bukan di Semarang. :)

Sebelum pukul 10.00 kita sudah berada di jalan menuju Semarang.

N.B.:

Waktu kakak (menjelang) meninggal, adikku sempat bertanya apakah kita akan memakamkan jenazahnya di Cirebon atau di Semarang. Adikku sempat kepikiran untuk memakamkan di Semarang. Aku pikir istrinya justru yang memiliki hak penuh untuk menentukan dimakamkan di Semarang atau Cirebon. Ketika istrinya tahu kita tidak keberatan, maka proses pemakamannya pun cepat. Aku bilang ke adik-adikku kita akan punya alasan untuk menjaga silaturrahmi dengan kakak ipar ketika kita akan menengok makam.

N.B. (2):

Jika aku mendapatkan mood yang bagus, mungkin aku akan menulis sedikit khusus tentang kakakku, Yusdi Podungge.

13.31 13-Juni-2019