Search

Wednesday, March 29, 2023

Umroh: pengalaman spiritual?

 

'terowongan' antara bukit Shafa dan Marwah untuk melakukan ibadah 'sa'i'

ini bukan kisah saya, namun salah satu sahabat saya yang kebetulan mendapatkan kesempatan umroh gratis, hadiah dari satu instansi BUMN.

dia mengaku waktu kecil dulu dia sangat suka membaca kisah para Nabi, salah satunya adalah kisah Nabi Ibrahim dengan istrinya, Siti Hajar. dikisahkan Siti Hajar harus berlari antara bukit Shafa dan Marwah demi mencari air untuk minum anaknya, Ismail. sumber air yang (konon) ditemukan oleh Siti Hajar di kemudian hari dikenal sebagai sumber air zam-zam, air yang dikisahkan memiliki banyak manfaat.

Saat sahabat saya ini, sebut saja Y, umroh, dengan mudah dia mendapatkan air zam-zam saat sampai di Madinah, demikian juga saat di Makkah. dan konon sumber air zam-zam ini terletak dekat Ka'bah. dengan 'iseng' Y mencoba mencari kira-kira lokasi sumber air zam-zam ini di mana. dia tidak menemukannya. sementara itu, kita tahu bahwa kompleks di sekitar Ka'bah terus menerus dibangun, menggunakan marmer. lalu apa yang terjadi dengan sumber air zam-zam? apakah pemerintah Saudi Arabia tidak 'menjaganya' dan menjadikannya sebagai situs sejarah? 

 akhirnya Y menyimpulkan bahwa air zam-zam ini hanyalah 'bikinan' pemerintah Saudi saja. demi apa? demi cuan!

lalu mengapa area sekitar Ka'bah terus menerus dibangun? tentu demi agar bisa menampung lebih banyak jamaah. bahkan 'bukit' Shafa dan Marwah pun sudah dibangun sedemikian rupa hingga bisa juga dipakai untuk jamaah shalat, demi apa? demi devisa untuk Saudi Arabia tentu saja.

lalu, di manakah letak kesakralan ibadah umroh/haji? pemerintah Saudi kian 'greedy' untuk menambah devisa dengan berjualan ritual umroh/haji sekaligus berjualan air zam-zam, para jamaah rebutan shalat di makam Nabi di masjid Nabawi, rebutan/dorong-dorongan untuk mencium hajar aswad, dlsb.

well, sebenarnya sudah banyak orang yang bisa 'melihat' bahwa ada sisi komersil dari ibadah umroh/haji dari pihak pemerintah Saudi Arabia, selain juga dari pihak para penyedia bisnis agen perjalanan yang menyelenggarakan ibadah umroh/haji. tapi, tentu lebih banyak lagi orang-orang yang tidak bisa melihat hal ini dengan jernih. 

sebagian orang-orang tetap saja akan merasa kian relijiyes jika mereka bisa pergi umroh setiap tahun, misalnya. padahal sekali saja sudah cukup ya. itulah sebabnya sebagian ulama mengatakan ketimbang uang dipakai untuk pergi umroh setiap tahun, lebih baik uangnya dipakai untuk membantu para fakir miskin. 


MS48 20.52 29.03.2023

Tuesday, March 28, 2023

GG versus Angie and me (2)

 

Lorelai and Rory

Saya mulai menyadari bahwa saya telah begitu lama 'deserted' Angie's feeling sekitar pertengahan tahun 2022. Waktu itu kami berdua sedang 'eating out' dan saya bercerita tentang masalah yang sedang dihadapi oleh seorang kawan medsos. Si anak yang bersekolah di satu sekolah negeri (masih duduk di bangku SMP) awalnya keukeuh untuk tidak menerima peraturan sekolah bahwa siswa perempuan 'disarankan dengan sangat' (alias diharuskan ya?) yang beragama Islam untuk mengenakan penutup kepala alias jilbab. Sang ibu pun mendukung dengan kuat keinginan sang anak -- dan didukung oleh kawan-kawan medsos sealumni -- dengan membuat semacam 'keriuhan' di medsos hingga sekolah ditegur oleh pemerintah.

 

Beberapa bulan kemudian tiba-tiba si anak bilang ingin mengenakan jilbab. Tentu saja ini dianggap aneh oleh sang ibu. Setelah diinterogasi ternyata dia merasa risih ketika di sekolah kawan-kawannya yang laki-laki terlihat memandang dadanya; terutama ketika mengenakan baju olahraga, pada saat pelajaran olahraga tentu saja.

 

Sampai di sini, tiba-tiba Angie mengatakan bahwa dulu dia sering diperlakukan sama oleh kawan-kawan (laki-laki tentu saja) di sekolahnya, bahkan juga beberapa guru. Padahal waktu Angie duduk di bangku SD, SMP, maupun SMA, belum banyak anak-anak sekolah yang mengenakan 'baju Muslim'. Dia sangat risih namun dia tidak tahu dia harus bercerita kepada siapa.

 

Saya terhenyak mendengarnya. Where was I? What kinda mother am I so that I did not know my very own daughter underwent such a thing?

 

Angie sedang duduk di bangku kelas 5 SD, saya nampaknya sedang sibuk mengejar ambisi pribadi saya dengan kembali ke bangku kuliah. Saya tinggalkan dia di Semarang bersama ayahnya, yang ternyata juga sering tidak ada ketika Angie sedang butuh seseorang.

 

Sejak saat itu, saya berpikir bahwa kami berdua butuh 'us time' lebih sering dan tidak hanya menggunakan waktu itu untuk saling bercerita tentang apa-apa yang terjadi padanya di kantor, apa yang terjadi pada kawan-kawan dekatnya, juga apa yang terjadi pada saya, baik di kantor, maupun di dunia maya saya. (Angie tahu saya bisa fesbukan berjam-jam setiap hari, dan punya banyak kisah menarik yang bisa saya share dengan Angie.) kami butuh 'us time' di mana kami bercerita lebih ke dalam diri kami masing-masing.

 

Sabtu malam 25 Maret kemarin tiba-tiba kami, out of the blue, mendapatkan kesempatan itu, saat kami ngobrol di kamar Angie. (She was not feeling well due to her gastric acid.) dalam percakapan itu (atau bisa saya sebut sebagai 'sesi curhat') Angie semula bercerita tentang sesuatu yang mengingatkan saya masa-masa menyedihkan saya di pernikahan pertama saya dengan ayahnya; sebegitu emosionalnya saya (mungkin saya sedang PMS ya) hingga saya lepas kendali dan bilang, "how could you remind me of that sad moment? How could you make me cry?" yang langsung disambar oleh Angie, "Don't you realize what you used to do made me feel so alone? I had no one to confide in! even only to talk to!" dilanjutkan dengan, "and you didn't ask my opinion before you divorced dad!"

 

There!

 

Ternyata apa yang selama ini saya pendam sendiri -- kekhawatiran bahwa Angie merasa kurang saya perhatikan -- benar adanya. Emosi saya langsung luruh, saya meminta maaf berulang kali pada Angie karena apa yang dulu saya lakukan, mau tidak mau  dia pun menjadi korban.

 

Karena saya yakin Angie sudah dewasa dan bisa saya ajak bicara, saya bercerita bagaimana hubungan saya dengan ayahnya dulu itu, sebelum perceraian yang pertama. Kesalahan tentu tidak melulu di pihak ayahnya, saya dengan ego saya yang tidak lebih rendah ketimbang ego seorang laki-laki, bahkan juga bagaimana keluarga saya -- ibu dan dua adik perempuan -- memperlakukan ayahnya tentu 'menyumbang'pertengkaran-pertengkaran antara saya dengan ayahnya.

 

Ketika saya memutuskan untuk menikahi ayahnya kembali sebelum saya berangkat ke Jogja untuk melanjutkan kuliah, saya sebenarnya berpikir yang terbaik untuk Angie -- menurut cara berpikir saya. Pertama, saya melihat Angie kecil merasa tidak nyaman karena seolah hidupnya 'fatherless'. (dan dia membenarkan alasan saya ini, meski kami belum pernah berbicara tentang hal ini sebelumnya.) Kedua, mungkin dia akan merasa lebih nyaman hidup bersama ayahnya ketimbang bersama neneknya dan dua tantenya. (Well, meski ternyata kenyataannya, saat saya berada di Jogja, Angie sering merasa ditinggal tanpa ada yang memahaminya, ayahnya sibuk memikirkan perasaannya sendiri.)

 

(saya ingat saat itu pernah ada seorang teman sekolah dolan ke rumah, dan bertanya, "Ngie, ibumu di mana? Kok ga kelihatan?" Angie menjawab, "Di Jogja. Kuliah lagi." temannya berkomentar, "Hah? Kalau aku jadi kamu, pasti aku sudah menangis." Angie menjawab bahwa dia baik-baik saja. Mungkin saat itu dia belum memahami diri sendiri bahwa memang dia merasa baik-baik saja, namun kenyataannya di kemudian hari dia merasa begitu tidak dipedulikan. 😞 )

 


 

 

Masih banyak yang kami bicarakan, hingga akhirnya menurut saya akhirnya Angie 'menerima' keputusan saya mengapa saya menceraikan ayahnya, meski sudah lama dia menerima kenyataan bahwa saya dan ayahnya tak lagi bersatu, namun dari percakapan kami berdua malam Minggu kemarin, dia tahu bahwa memang keputusan saya untuk bercerai itu untuk kebaikan kami berdua, saya dan Angie.

 

Tentu saja saya masih jauh dari seorang Lorelai Gilmore. Waktu pertama kali Rory mengenal ayahnya, Christopher Hayden, (Rory was 16 years old, the same age when Lorelai got pregnant), dia juga memprotes Lorelai mengapa ibunya memutuskan untuk tidak mau menikahi ayahnya dan memilih menjadi single parent saat membesarkan Rory. Butuh waktu lama juga bagi Lorelai untuk meyakinkan Rory bahwa dengan menjadi single parent -- namun tidak merasa tertekan dalam perkawinan yang dilakukan karena merasa 'terpaksa' -- Lorelai akan bisa mencurahkan perhatiannya penuh terhadap Rory.

 

But I will try my best to open up my conversation with Angie more often. Better late than never, do you agree?

 

PT56 06.06 28.03.2023

 

This writing is the continuation of my writing in this link

You may check this writing of mine too 😊

Sunday, March 26, 2023

One thing leads to another?

 


ONE THING LEADS TO ANOTHER?

 

One year ago

We said 'I love you' to each other

(I don't remember what for)

For that was the only thing we could do

Loving each other

Inside our hearts

:

And we realize

This thing will not lead us to anywhere

 

One year ago'

We kept saying 'I love you'

To each other

As if saying it one time

was not enough 

:

"I hope I will make you feel good

When I say this magical sentence to you,"

You once said

 

One year has passed

Do you remember the last time

You told me those 3 lovely words?

Is that sentence no longer logical

So we don't need to say it again and again

Like we used to?

 

Today, 26 March

I do wanna say it again to you

But I am somewhat doubtful

If you will only respond,

"thank you for loving me,"

That enough will break my heart.

 

Sometimes

Being in love feels like shit

 

PT56 22,25 26/03/2023 

 

Monday, March 20, 2023

My 'Awakening'

 


Pagi ini, Senin 20 Maret 2023, Mbak Rani menulis sedikit tentang awal mula perjalanan her spiritual 'awakening': dari seseorang yang culun, submissif, tertindas hingga menjadi seseorang yang merdeka.

 

Mbak Rani menyebut seorang rekan kerjanya -- di awal karirnya -- sebagai seseorang yang 'trigger' perjalanan spiritualnya, bukan dari debat tentang relijiusitas / spiritualitas berkepanjangan, namun dari pertanyaan-pertanyaan usil dari si rekan kerja, yang dia beri inisial, WA. Aku copas dari wall Mbak Rani:

 

WA ini perempuan seniorku 2 tahun dalam usia. Ia amat cerdas, luas, berparas dan berpenampilan B aja, pikirannya yang luar biasa! Ia berkulit kuning, bermata sipit. Dan dalam pekerjaan sehari-hari dia pula yang mengajariku menulis sambil kerja. (Dia editorku yang pertama dan yang paling berjasa).

 Ketika itu aku bertahan dengan segenap kekuatan iman dan rasa takutku. Tetapi pernyatan-pernyataan WA kerap terlalu telak dan menohok logikaku. Sering aku mulas setelah mendengar cerocosnya. Kadang, ia membuatku mual dengan sebuah pertanyaan. Kerap aku pulang naik angkot cuma memikirkan sepotong guyonannya yang menyakitkan dan menghina keyakinanku tetapi sungguh-sungguh menggugah kesadaranku sampai ke akar-akarnya.

 

Mungkin di dalam darahku ada bibit-bibit kemerdekaan dan kemanusiaan yang teramat kuat sebagaimana setiap orang lainnya. Perlahan tapi pasti aku mulai membuka mataku untuk mengkritisi segala sesuatu yang telah dijejalkan oleh orang-orang ke dalam otak dan dadaku. ... Orang-orang yang juga telah terdoktrin dan terdikte. Mereka juga adalah korban. Korban yang bertugas menjaring korban-korban baru!

 

 

Membaca status itu, saya jadi teringat seseorang yang saya temui online di tahun 1999, seseorang yang saat itu saya akui sebagai 'my online boyfriend' (meski dia sendiri kurang suka dengan istilah 'boy' karena dia merasa sudah dewasa, lol, he was 47 years back then). 'Cuma' online boyfriend ya gaes, karena sampai hubungan kami ended, kami berdua tidak pernah bertemu fisik. Sebut saja namanya Rick, singkatan dari Richard, dia tinggal di CA.

 

Semua bermula dari diskusi kita tentang poligami. Saya -- yang masih berada di bawah 'bayang-bayang' dogma agama Islam -- tentu percaya bahwa poligami itu diperbolehkan dalam agama Islam demi kebaikan bersama, baik laki-laki maupun perempuan.  Saya berusaha menjelaskan pada Rick mengapa dalam agama Islam poligami diperbolehkan, Rick -- saya tidak tahu apakah dia beragama atau tidak, apakah dia ke gereja atau ke tempat peribadatan yang lain atau tidak -- tentu mencoba mematahkan keyakinan saya bahwa poligami itu satu hal yang 'acceptable' dan baik-baik saja. Apakah saya begitu saja setuju dengan 'ocehan' Rick waktu itu? hoho, tentu tidak semudah itu, Ferguso. 😝

 


 

Dari topik poligami ini, kami berbincang tentang banyak hal lagi yang kalau saya ingat-ingat sekarang justru malah menunjukkan betapa culunnya saya, lol. Makanya, satu kali Rick bilang, "there is an intellectual gap between us." hahaha …

 

Itulah sebabnya setelah saya belajar tentang feminisme, yang kemudian membawa pengalaman spiritual saya menuju sekularisme, dan berlanjut ke agnotisme, kadang saya kepengen 'ketemu' Rick lagi dan berbincang dengannya. Well, harapan saya dia baik-baik saja, dan bahagia dalam hidupnya.

 

PT56 12.36 20.03.2023 

 

Perhaps you will find this writing and that writing of mine interesting to read. :) 

 

Sunday, March 19, 2023

Bad Review

  

Carrie in 'Critical Condition' episode

In Episode 6 season 5 of Sex and the City, Carrie's book -- Sex and the City -- got a review from Michiko Kakutani. Carrie felt upset with Kakutani's sentence, "All in all, I enjoyed spending time in Ms. Bradshaw's sharp, funny, finely-drawn world where single women rule and the men are disposable." well, perhaps Carrie intended to say that SOME men are disposable, but she didn't mean ALL men are disposable.

 

This reminded her of her bumping into someone named Nina Katz who happened to be Aidan's next girlfriend after he broke up with Carrie. Nina showed a very not nice facial expression toward Carrie. That facial expression itself was already a bothering 'review' for Carrie: was she that bad?

 

So, Carrie wrote for her column:

 

"Why is it that we only seem to believe the negative things people say about us no matter how much evidence there is to the contrary? A neighbor, a face, an ex-boyfriend can cancel out everything we thought once true. Odd, but when it comes to life and love, why do we believe our worst reviews?"

 

Watching this part of the episode reminded me of one ex-student who happened to be born on the same date with me: 12 August. He said that a Leo would NEVER forget people who did something unfair -- can be something done or perhaps just something 'said' to him/her; people whom a Leo person never have any bad 'judgment' before, and out of the blue, he/she said something unfair and did something bad to a Leo.

 

Luckily some hours before watching (again) this episode, I had a chit chat with a friend. He in fact befriends with someone who has written annoying comment on one social media of mine, let's call this someone Y. knowing that Y was this friend's school mate back then, without feeling doubtful I told him what Y has done to me. Bla bla bla …

 

Indeed, Carrie was right. Why do I keep remembering negative things people say about me? Even from someone who doesn't know me in person?

 

Hmfttt

 

PT56 22.10 19/03/2023

Sunday, March 12, 2023

Gilmore Girls versus Angie and Me

 


Pertama kali saya menonton serial Gilmore Girls mungkin di sekitar tahun 2007/2008, tertrigger pernyataan seorang kawan kerja, "Watch this serial Ma'am, you're gonna love it. This is like about you and Angie." tentang kedekatan hubungan seorang ibu -- Lorelai Gilmore -- dengan anak perempuannya -- Rory Gilmore sehingga mereka lebih nampak seperti dua orang sahabat, dari pada sepasang ibu-anak. Lorelai hamil dan melahirkan Rory di usia 16 tahun, this makes sense jika mereka nampak seperti dua orang sahabat ketimbang ibu-anak.

 

Pertama kali menonton, saya langsung suka. Percakapan-percakapan panjang antar ibu-anak ini selain kocak juga mengandung perenungan kehidupan sehari-hari. Saya beberapa kali menulis artikel untuk blog setelah terilhami menonton GG, meski tidak sebanyak tulisan saya tentang SATC. Jelas, saya dulu hanya menonton 2 season GG -- season 1 dan season 2, dipinjami DVD seorang kawan -- sementara saya menonton SATC lengkap 6 season. 😊

 

Dulu, saya memang seperti melihat diri saya dan Angie di diri Lorelai dan Rory. Hubungan yang hangat, obrolan yang mengalir lancar setiap hari, saling curhat, you name it.

 

Namun, akhir-akhir ini saya mulai berpikir berbeda. Saya tidak 'sehebat' Lorelai yang selalu mengedepankan Rory dalam mengambil keputusan sehari-hari, termasuk memilih sekolah, berusaha untuk membayar 'tuition' yang mahal, dibandingkan memikirkan dirinya sendiri.

 

Saya adalah seorang perempuan cum ibu yang sebenarnya jauh lebih sering memikirkan diri saya sendiri, Angie yang harus berkompromi. Dimulai dari ketika saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di American Studies tahun 2002, saya meninggalkan Angie di Semarang, tinggal berdua dengan ayahnya. Apakah saya meminta izin dulu ke Angie sebelum itu? Tentu saja tidak. Angie had to conform to a kinda life I gave her.

 

Ketika saya memutuskan untuk meninggalkan ayahnya, (sebelum perceraian saya dan ayahnya yang kedua kali) Angie yang masih duduk di bangku SMP sempat terhenyak, dan menangis. (My mistake, I never asked why she was crying back then, I was too afraid to ask). Dengan egois saya bilang, "Honey, trust me, your mom will be happier to live alone without your dad, and as a result, you will be happier too to see me happy, for I will not be a depressed mother." and I would not accept a 'no' from her as an answer.

 

Saya mulai mempraktekkan bike to work lifestyle di tahun 2008. Angie masih duduk di bangku SMA kelas 12. saya mulai sibuk sepedaan di tiap weekend ketika dia sudah kuliah, saat Ranz mulai kuliah di Udinus. Senin - Jumat saya sibuk bekerja dari pagi sampai malam (I had 2 jobs back then, in the morning at one school, in the evening at LIA English Course), Sabtu pagi saya bekerja, Sabtu malam dan Minggu saya sibuk sepedaan. Praktis waktu saya yang tersisa untuk Angie hanya di hari Minggu sore - malam. Prakteknya? Saya sudah lelah, saya lebih sering tidur ketimbang meluangkan waktu ngobrol dari hati ke hati dengan Angie.

 

Pantai Indrayanti, tahun 2012

 

Hubungan kami berdua tetaplah hangat, tapi ya itu, obrolan sehari-hari kami ya hanya seputar tadi kuliah apa, dosenmu bagaimana, teman kuliahmu bagaimana. Sangat jarang kami berbicara dari hati ke hati. Tidak seperti Lorelai dan Rory yang kadang bertengkar demi kebaikan masing-masing, untuk kemudian hangat lagi.

 

Kesadaran ini membuat saya berpikir saya harus menebus waktu-waktu lalu yang telah terbuang. Semoga kami berdua masih punya waktu yang panjang untuk lebih kian terbuka akan diri kami masing-masing. Sampai sekarang dia masih trauma untuk 'dekat' dengan seorang laki-laki, salah satunya adalah karena hubungan buruk antara saya dan ayahnya yang dia lihat. (Dan masih ada penyebab lain, let me keep this secret by myself.) Well, saya bukan tipe seorang ibu yang mengejar-ngejar anak perempuannya untuk segera menikah setelah mencapai usia tertentu. Saya sendiri yang pernah mengalami pernikahan yang buruk tidak trauma kok, lha malah Angie yang trauma. I felt so guilty. 😔

 

PT56 11.52 12/03/2023

 you may read these writings of mine inspired by Gilmore Girls.


P.S.:

You may read this writing of mine too.

Thursday, March 09, 2023

WANG SINAWANG

 


"No one is better than anybody else," kalimat ini satu kali dulu dikatakan oleh salah satu siswa saya. "You may be better in English than me, but I may be better than you in other things," jelasnya lagi.

 

Kalau tidak salah, anak itu masih duduk di bangku SMA saat berada di kelas saya, mungkin sekitar dua dekade yang lalu. Dan saya tercenung mendengarnya. Entah dia mengutip pernyataan orangtuanya atau gurunya, saya lupa. Namun sampai sekarang, saya terus mengingatnya.

 

Ini jelas selaras dengan 'axiom' WANG SINAWANG, yang selalu saya ingat ketika saya merasa terpuruk karena sesuatu hal. Kehidupan manusia itu 'hanya' nampak indah jika dilihat dari jauh, namun ketika kita 'nyemplung' ke dalam kehidupan orang-orang tertentu, belum tentu kita akan mengatakan hal yang sama. Setiap orang jelas memiliki masalah yang harus mereka hadapi dan cari pemecahannya. Dan konon, Tuhan tidak akan memberi cobaan kepada hambaNya di luar kemampuannya. Tentu ini berlaku hanya pada mereka yang percaya bahwa Tuhan itu ada. Yang agnostic seperti saya lalu bagaimana? Hahaha … pikir saja sendiri, Na, lol.

 

Di medsos saya punya seorang kawan yang sering menulis bahwa dialah breadwinner utama dalam keluarganya, suaminya -- saat masih hidup -- juga bekerja namun yang menjadi tumpuan dana untuk kebutuhan sehari-hari dari gajinya. Dia berulang kali menulis hal itu entah untuk apa ya, lol. To impress her cyber friends that she is a good wife? To convince herself that she is a good woman? Then what for? Wkwkwkwk … (pardon me for my being nosy, lol.)

 

Saat menikah, saya masih kuliah, ayahnya Angie sudah bekerja, namun yang menopang kuliah saya secara finansial tetap ibu saya. Setelah saya lulus kuliah, mendapatkan pekerjaan, saya tak lagi 'nyadong' ke ibu, bahkan juga ke ayahnya Angie. Apalagi saat krisis moneter terjadi di tahun 1998, dia kehilangan pekerjaan, uang yang saya dapatkan dari bekerja tidak lagi 'hanya' saya gunakan untuk kebutuhan saya dan Angie, namun juga ayahnya.

 

Awal tahun 2000 saya dan dia bercerai. Di pertengahan tahun 2002, kami menikah lagi karena saya akan pergi ke Jogja untuk melanjutkan kuliah, dan entah mengapa saya merasa tidak nyaman meninggalkan Angie dengan ibu dan adik-adik saya. Mungkin juga saya masih 'kalah' oleh kultur patriarki bahwa untuk berbahagia, seseorang harus menikah. Dan kecemburuan Angie jika melihat saya 'dekat' seseorang membuat saya tidak berani mencoba menjalin hubungan dengan orang lain. Kalau dengan ayahnya sendiri, tentu Angie tidak akan merasa cemburu.

 

Di pernikahan kedua ini, saya tetap satu-satunya breadwinner.

 

Tahun 2008 saya resmi menceraikan dia lagi, setelah kami berpisah 'ranjang' sejak tahun 2005. what triggered this? Biarlah hanya saya yang tahu.

 

Apakah kemudian saya iri pada para perempuan yang dalam hidupnya tinggal 'nyadong' ke suaminya? Sama sekali tidak. Kembali ke motto WANG SINAWANG. Dan bahwa 'no one is (completely) better than anybody else', bukankah yang paling nyaman dalam hidup ini adalah merasa LEGAWA dengan apa yang kita miliki? 'Jatah' yang kita terima dalam kehidupan kita saat ini konon juga disebabkan apa-apa yang kita lakukan di kehidupan kita sebelum ini, kata seorang kawan Buddhist.

 

PT56 17.42 9 Maret 2023

 

Wednesday, March 01, 2023

B u c i n 6

 


Pagi-pagi 'sarapan' tulisan Mbak Rani tentang bucin. Seorang perempuan -- tulisnya -- jika sudah bucin, apa pun akan dia lakukan untuk sang pujaan agar sang lelaki tidak pernah berpaling darinya.

 

  1. Dia akan mengabaikan sahabat-sahabat baiknya demi menjamin kepentingan kekasihnya, yang jelas nomor satu dibanding apa pun di dunia ini. Demi menyenangkan kekasih hatinya, dia tak akan mendengarkan apa pun kata para sahabat bahkan saudaranya.
  2. Dia pun tak akan segan untuk memenuhi segala kebutuhan sang kekasih, bahkan kalau perlu berhutang demi menjamin kenyamanan si lelaki.

 

Apakah dengan demikian sang lelaki akan setia padanya? "No way!" kata Mbak RRM. Mengapa? Karena instinct seorang lelaki adalah menjadi hunter dan provider!

 

Membaca tulisan ini, saya lega karena ternyata tingkat kebucinan saya masih di level ecek-ecek, lol. Tingkat kebucinan saya hanya pada taraf remaja culun: "cannot stop thinking about him, days and nights". Bawaannya ndengerin lagu-lagu cinta yang dia kirim, membaca chat-chat lama (uhuk!), dan tentu menulis puisi buatnya.

 

JUST THAT!

 

Ecek-ecek bukan? Kaaan! 😉😊😄

 

Btw,

 

Membaca tulisan Mbak Rani mengingatkan saya pada seseorang yang pernah datang dalam kehidupan saya sekian tahun lalu. Untung kami ga jadi 'jadian', lol, karena sesuatu hal. Beberapa bulan kemudian, Ranz mengetahui sesuatu tentang lelaki itu: dia tipa lelaki yang hunting perempuan-perempuan yang dia lihat 'established' (namun 'kesepian') demi providing kebutuhan pacarnya. Nah lo.

 

PT56 11.01 01.03.2023

 

B u c i n 5

 


Tulisan di bawah ini saya copas dari akun facebook mbak Rani Rachmani Moediarta 

 

Bucin
 
Perlu jatuh bangun dalam bucin dan menyaksikan korban-korban bucin berjatuhan untuk membuatku sadar betapa menyebalkan diriku yang dulu bucin itu. Dan kumaklumi bila dulu aku pernah dijauhi sahabat dan orang -orang dekatku karena itu.
 
Orang-orang bucin itu sering tanpa sadar mengorbankan orang-orang lain demi menjamin kepentingan kekasihnya: orang nomor satu dalam hidupnya.Acap kali tindakannya tidak masuk akal dan tergolong bodoh meski dia sebenarnya cerdas sewaktu belum kena candu bucin. Demi menyenangkan dan memberi servis kelas satu kepada kekasihnya, ia rela melepas dan kehilangan semuanya, mulai dari hubungan baik dengan teman-teman dekat, bahkan saudara-saudaranya, tidak takut kehilangan kepercayaan mereka, dan bahkan ... harga dirinya! 
 
Berkali-kali telah kusaksikan teman-temanku yang bucin mengambil peran sebagai providers all in secara tidak masuk akal. Dia rela sampai berhutang demi menjamin hidup lelaki yang jadi kekasihnya! Rela mencicil kartu kredit demi memberikan hiburan kepada yang tersayang!
 
Sick! Isn't it?!
 
Jangan dikira, perempuan itu cuma mengandalkan pemberian gratisan dan jaminan finansial dari lelaki. Pada perempuan bucin yang mandiri secara finansial, yang terjadi sebaliknya: apapun diberikan, segala sesuatu bisa disediakan demi merebut hati lelaki idamannya. 
 
Memang nggak apa-apa juga perempuan yang menjadi sumber finansial bila itu yang memungkinkan. Yang jadi masalah selalu adalah pemberian dan jaminan itu tidak menjamin cinta bakal berbalas setimpal dan apalagi kesetiaan! Sama sekali tidak! Padahal, itu yang diharapkan. ....
 
Kepada teman perempuanku yang tengah bucin dan minta saran, aku selalu mengingatkan. "Lelaki itu DNA-nya hunter dan provider. Senyaman-nyamannya dia menikmati uang kita perempuan, di lubuk hati paling dalam dia ingin berburu dan menyerahkan hasil buruannya kepada yang menunggu di rumah, bukan dikerangkeng dalam kenikmatan tanpa keringat. 
 
"Senyaman-nyamannya dia bergelimang fasilitas yang kita sediakan, di dalam instingnya dia ingin jadi penjamin kebutuhan survival. Oleh karenanya, lelaki yang dijamin Si Bucin berpotensi tidak punya harga diri, tidak setia, dan lekas bosan! Dia jadi ingin berburu yang lain yang lebih mengasyikkannya dan lebih mengangkat harkat derajat dan martabat kelelakiannya!"
 
Kesimpulannya? Perempuan bucin yang kebetulan tajir bisa saja menahan lelaki idamannya dengan uang dan fasilitasnya. Tetapi tidak hati dan kesetiaannya. Never. (cetak tebal dari saya, Nana)
 
Aku ngobrolin pengalaman bucin kami masing-masing bersama 3 teman perempuan beberapa bulan lalu. Aku mengaku pernah bucin dan bodoh. Temanku menimpali cerita dengan kisah perbucinannya yang jauh lebih dramatis lagi dan telah membuat hidupnya terpuruk. Lalu teman yang satu lagi yang paling tajir dan jauh lebih muda daripada kami berdua menegaskan. "Wah, kalau aku sih nggak akan bucin. Kalau jatuh hati aku nggak pernah bucin, tuh."
 
Selang beberapa bulan dia jatuh cinta. Dan kami melongo menyaksikan banyak tingkahnya yang tidak masuk akal ... berperan sebagai provider! Gemeeeez tetapi tidak berdaya. Dan kami memutuskan tidak berbuat apapun. Karena tahu dari pengalaman sendiri percuma memberi saran, nasehat, pandangan kepada yang tengah bucin. ... 
 
Bagi si bucin, kekasihnya adalah sumber kenikmatan, adalah candu tingkat yang paling tinggi. Rokok bagi perokok, masih belum apa-apa. Alkohol bagi alkoholik masih belum setara. Aku duga, kekasih bagi Si Bucin adalah ... heroin! Sudah susah lepasnya dan apapun dilakukan demi mendapatkannya. Padahal, candunya ingin lepas bebas. ...!
 
😝
😁
Begitulah ketika cinta dan seks menjadi candu! Dan memang menurut neurosains, proses biokimiawi kecanduan itu di dalam otak yang sami mawon. ...
 
Maaf, aku numpang lewat saja bagi yang kebetulan kini sedang kecanduan. ...
 
1 Maret 2023 


----------------------

Komen saya pendek saja:

Jika 'begitu' itu (yang digambarkan mbak Rani di tulisannya) sebagai definisi bucin, berarti saya belum pernah menjadi seorang bucin, apalagi bucin kaffah, 😆😅😂 belum pernah. ya mungkin karena saya belum pernah merasa memiliki uang segitu banyaknya sampai mampu 'ngopeni' seorang lelaki, memberi apa yang dia ingini hanya agar demi si lelaki stay with me. hihihi 

'Taraf' bucin saya 'cuma' cannot stop thinking of him! just that. culun sekali kan yaaa. hihihi ...