Search

Monday, December 18, 2017

Scary Questions

I just read a friend's status on social media. She wrote that a new acquaintace of hers treated her lunch; after the lunch, that new acquaintance asked my fb friend, "What is your religion?"

Due to the fact that nowadays, Indonesia's atmosphere has easily got tense in the name of religion -- people seem no longer frendly anymore to other people with different religion/faith/spirituality, my friend was confused to answer that question. She regretted for accepting the free lunch. LOL. Would it make her in a difficult situation in the future?

In the same status, she wrote, "I would rather be asked when I would get married than what my religion was." (hey, read this in humorous tone, will ya? LOL)

Background:

Many women in certain age brackets are easily annoyed when they are asked about marital status.


Reading that status of hers, I remember one serial in Sex and the City. In that serial, Charlotte just got involved in a lesbian group. She thought those women were intellectual, successful, and fun to make friend with. She realized how nice her life was without feeling worried thinking about (unfaithful) men. LOL.

Perhaps she would go on being involved with those lesbian women -- as an alternative of her three best friend circle, Carrie, Samantha, and Miranda.

One day, her lesbian friends invited her to a party. One of the girl offered her to go on a holiday together with the others, to one exotic island. They would go there by private jet owned by the 'big boss'. Then, she introduced Charlotte to the big boss.

After some friendly chitchat, the big boss asked her, "Are you gay?"

Charlotte seemed unprepared with that question. (while in fact Samantha had warned her about this before.) Innocently she answered that she found a very nice bond among her new lesbian friends, very relieving to live without thinking of man, bla bla bla ... The most important point was, "In sex, I think, no, I believe I am straight."

The big boss smiled, while showing smurky face, "We will not accept you if you don't eat pussies." LOL.

So, my question is, in your opinion, which is the most threatening question?

1) What is your religion?
2) Are you married?
3) Are you gay?

LOL.

IB 16.46 18/12/2017

Thursday, December 14, 2017

Mantan o Mantan

Barusan baca di satu grup facebook tentang kisah seseorang yang hadir ke pernikahan mantan (pacar). Dia (perempuan) datang karena di hatinya sudah tidak ada lagi rasa suka kepada sang mantan; sehingga dia datang ya hanya sekedar untuk menghormati undangan yang dikirimkan kepadanya.

taken from here

Sungguh di luar dugaannya ketika di pernikahan itu dia bersalaman dengan sang pengantin laki-laki, si pengantin menggenggam tangannya cukup lama, sambl mengatakan sesuatu yang blas ga enak didengar, (aku agak lupa kalimat tepatnya bagaimana) "Kamu ga usah baper ya? Aku nikah duluan, Semoga segera nyusul, masak kamu single terusan?" LOL.

Karena terpana (lebay yo ben kata-kataku ini LOL), , dan ga mau kalah, si perempuan menjawab, "Aku sih gampang mencari pengganti kamu. Aku malah kasihan sama si mbak yang kamu nikahi, kok dia mau dapat bekas orang lain?"

wkwkwkwkwkwkwkwk ...

Aku sih belum pernah datang ke pernikahan mantan. Para mantan (uhuk!) menikah tanpa mengundangku, eh, karena kita juga sudah lamaaaa ga berhubungan lagi. LOL.

Beberapa tahun yang lalu mantanku (baca : bokapnya Angie) menikah. Kupikir (bukannya ge-er ya) aku akan diundang. Aku sempat mempertimbangkan kira-kira akan datang atau tidak. (seperti si mbak yang ada di kisah di atas), aku sama sekali sudah tidak ada perasaan apa pun ke dia, positif maupun negatif) Namun ternyata aku tidak diundang. Ya syukurlah. LOL.

Tapiii ... seandainya aku diundang, dan aku datang, kemudian kejadian si mbak di atas terjadi kepadaku, aku akan bilang ke dia, "Lha wong kamu itu kubuang di pinggir jalan. Kok ya mau-maunya perempuan ini memungutmu? Kalo aku, jelas ogah." LOL.

N.B:
Apa alasanmu datang ke pernikahan mantan? LOL.

IB180  14.30 14/12/2017

Thursday, December 07, 2017

Rafting bersama CitraElo



Yang namanya rezeki, kadang memang tak pernah kita duga datangnya ya? Terkadang, ... bum ... out of the blue ... sekonyong2 ... begitu saja rezeki itu datang. LOL.

Itulah yang kurasakan ketika mendadak seorang rekan kerja memberitahu bahwa kantor tempat aku bekerja sejak tahun 1996 (angkatan jadul banget! LOL) akan mengadakan outing yang berupa arung jeram a.k.a rafting.

Sebagai seorang pecinta olahraga berenang (cinta pertamaku sebelum mengenal sepedaan, well, meski aku tentu telah bisa bersepeda sejak duduk di bangku SD, namun jatuh cinta pada olahraga bersepeda ini kurasakan baru mulai tahun 2008 :D) tentu saja aku menyukai tawaran bermain air yang ... well ... cukup memacu adrenalin ini : arung jeram. Maka, tentu saja aku tidak mengabaikan tawaran ini.

Tiga hari sebelum berangkat, setelah aku yakin ada beberapa kursi kosong – karena beberapa rekan kerja menyatakan tidak bisa ikut – aku menawari Angie ikut. Angie yang telah kuperkenalkan pada dunia berenang sejak dia berusia enam tahun tentu dengan suka cita menerima tawaranku ini. Yuhuuu ... berarti ini adalah rafting bersama kita berdua yang kedua kali. Yang pertama, tahun 2016 bersama rekan kerja Angie. Kali ini bersama rekan-rekan kerjaku.

Minggu 26 November 2017

Aku dan Angie telah sampai kantorku yang terletak di Jalan Imam Bonjol sebelum pukul lima pagi. Bus yang kita tumpangi meninggalkan kantor sekitar pukul 05.05, molor 5 menit dari waktu yang telah kita sepakati bersama.


Perjalanan cukup lancar. Kita sampai di lokasi CitraElo pukul 07.20, 40 menit lebih awal ketimbang waktu yang ditentukan oleh pihak penyelenggara. Karena kita datang cukup pagi, kita masih ada waktu untuk menikmati suasana pedesaan di sekitar kita. Gunung nan hijau, air sungai Elo yang mengalir, beserta pepohonan di sekitar. Sungguh asri dan sedap dipandang mata. Berhubung saat itu sedang musim hujan, hawa sungguh sejuk dan segar. Matahari nampak malu-malu bersinar.


Sekitar pukul setengah sembilan kita diberangkatkan ke Blondo, nama daerah dimana kita akan memulai perjalanan arung jeram. Kita diantar kesana dengan mengendarai angkutan umum yang telah disewa oleh CitraElo. Di atas tiap-tiap angkutan yang kita kendarai, pihak penyelenggara meletakkan dua buah boat, dimana di dalam boat itu terletak life jacket yang akan kita kenakan. Dayung diletakkan di dalam kendaraan.

Setelah sampai Blondo, kita dibagi dalam beberapa kelompok. Tiap-tiap kelompok terdiri dari 5 orang, menjadi enam orang bersama sang pemandu rafting. Di kelompokku ada aku, Angie, Nurjannah (NJ), Imam, dan Samsul.


Seperti biasa, sebelum kita diberangkatkan, ada seorang instruktur yang memberi kita arahan hal-hal yang harus kita perhatikan. Sangat penting bagi para newbie, sedangkan bagi mereka yang telah kesekian kali rafting, arahan ini bisa menjadi semacam penyegaran kembali.

Sekitar pukul setengah sepuluh, kita mulai bergerak menuju air. Dalam boat, Samsul dan Imam duduk paling depan. Di baris kedua ada aku dan NJ, Angie duduk di baris ketiga, sendirian. Sang pemandu – pak Gimin namanya kalau aku tidak salah dengar – duduk paling belakang.

Jika tahun lalu aku membawa hape yang kuletakkan dalam wadah plastik yang kukalungkan di leher, kali ini aku sama sekali tidak membawa apa-apa. Baju ganti kutinggal dalam bus, sedangkan hape dan lain-lain kuletakkan dalam tas Angie yang disimpan di satu ruangan yang disediakan oleh CitraElo di base camp mereka.


Seperti biasa, yang membuat perjalanan sepanjang arung jeram exciting dan meriah adalah kehebohan para peserta. LOL. Kebetulan pak Gimin seorang pemandu yang usil, baru beberapa meter kita meninggalkan titik awal, dia sudah mulai mencipratkan air kepada ... kita berlima! Yeay! LOL. Yang membuat Angie, aku, NJ, Samsul dan Imam basah yang pertama kali adalah pak Gimin sendiri! LOL. Setelah itu barulah kita mulai bermain mencipratkan air kepada para peserta lain yang boat-nya ada di sekitar kita.

Dua laki-laki yang duduk di boat yang sama denganku ternyata tidak memiliki daya fight yang tinggi. LOL. Berhubung tidak ada sejenis kompetisi yang nyampai duluan di titik akhir bakal dapat award, mereka berdua mendayung dengan santai, sama sekali tidak terburu-buru. Melihat mereka berdua seperti itu, ya sudahlah, aku dan dua perempuan lain di belakang ikutan nyante. LOL. Kadang ikutan ndayung, kadang membiarkan pak Gimin mendayung sendiri. LOL. (Shhhttt ... jangan ditiru! LOL.)


Btw, ini adalah pengalaman rafting pertama buat seorang NJ. Sejak awal dia nampak tegang, meski sudah kuberitahu bawa sungai Elo sangat ramah buat para newbie. Dia langsung terlihat panik waktu seorang rekan kerja kita – Dewi – yang duduk di boat yang lain terjatuh ke dalam air. Meski Dewi dengan cepat dibantu naik kembali ke boat, NJ nampak tidak jenak.

Kata pak Gimin penyebab seorang rafter terjatuh adalah karena dia tidak konsentrasi penuh. Bahkan lebih parah lagi, mungkin sedang melamun. LOL.

Dewi tidak hanya jatuh sekali. LOL. Kali kedua dia jatuh, kebetulan lokasi dia jatuh dekat dengan boat kita, maka pak Gimin membantunya naik ke boat kita. Jadilah kita bertujuh. Baru beberapa saat Dewi ‘menumpang’ boat kita, eh, dia jatuh lagi. LOL.

Setelah akhirnya Dewi kita kembalikan ke boat dia sendiri, eh, malah Samsul jatuh dengan sendirinya. LOL. Benar kata pak Gimin, karena kita melamun, tidak konsentrasi ke apa yang sedang kita lakukan, bisa membuat kita terjatuh. LOL.

Yang jatuh berikutnya adalah NJ. Kekekekeke ... Dia terjatuh ke air karena ... dia diusilin pak Gimin, dalam kondisi dia melamun! LOL. Namun pak Gimin tidak berhasil mengusiliku maupun Angie. J kita berdua senantiasa alert!  Yeaaaah. LOL.

Seperti biasa, setelah melampaui 6 kilometer kita rafting, kita semua diberi kesempatan beristirahat, dan menikmati air kelapa muda dan beberapa kudapan.

Menjelang pukul 12.00 kita semua sudah sampai di titik akhir, di bawah tempat kita duduk-duduk santai di pagi hari, sebelum kita diberangkatkan ke Blondo. Kita langsung naik, kemudian mandi di tempat-tempat yang telah disediakan. Setelah itu, kita menikmati makan siang, yang merupakan satu paket dengan arung jeram tersebut. Menu makan siang kita adalah sayur lodeh tanpa cabe, ayam bakar, oseng tempe, sambal terasi yang maknyus, dan krupuk.

Sekitar pukul 12.40 kita meninggalkan lokasi CitraElo dengan perasaan lega. Kita bisa menikmati berarung-jeram tanpa diganggu hujan! Oh well, meski kata pak Gimin sih kalau kita rafting pas hujan turun malah jauh lebih asyik. Hmmm ... kapan-kapan lagi deh. LOL.


Dari sana, kita mampir sejenak ke Candi Mendut yang terletak tak jauh. Namun karena hujan turun (akhirnya!) kita tidak lama disini. Sekitar pukul 13.30 kita melanjutkan perjalanan. Karena tak seorang pun menyatakan ingin mampir di satu tempat lain (hujan yang turun telah memadamkan hasrat kita! LOL) akhirnya kita hanya mampir di tempat beli oleh-oleh. Kemudian lanjut pulang ke Semarang.

Sekitar pukul 14.30 kita mengatakan goodbye Magelang! Kapan-kapan tentu aku dan Angie akan kembali lagi! yeay!

LG 15.15 02/12/2017 

Saturday, October 21, 2017

KLARIFIKASI

KLARIFIKASI

Sekali-sekali sok merasa seperti pejabat publik yang punya ‘musuh’ politik gapapa kan ya? :D Setelah lebih dari setahun saya move on, dan ternyata orang-orang yang ada di grup sebelah nampaknya masih berkutat pada issue lama, mungkin saya perlu membuat sedikit klarifikasi. Pakde Jokowi yang biasanya cuek digosipin apa pun oleh orang-orang yang tidak pro dia saja kadang bikin klarifikasi kok. (duh, bandingin diri sendiri dengan Pakde Jowoki, ga tau diri amat. LOL.)

Ini tentang api dalam sekam di antara beberapa (ga ‘banyak’) kawan sepeda di kota Semarang, yang ‘terbagi’ ke dalam beberapa grup. To the point saja yak.

Mengapa saya keluar dari grup B setelah saya sempat masuk ke dalam grup WA mereka selama beberapa bulan?

1.    Saya tidak mau ‘dianggap’ masuk grup sepeda manapun kecuali B2W Semarang dan Komselis, karena no matter what Komselis merupakan bagian yang tak terpisahkan dari B2W Semarang karena orang-orang (awal) yang berinisiatif ‘mendirikan’ adalah orang-orang yang dulu juga terlibat dalam B2W Semarang. Ini adalah preferensi saya sendiri, untuk terlibat dalam grup sepeda yang gerakan moralnya jelas.
a.    B2W Semarang untuk mengkampanyekan hidup sehat dengan meninggalkan kendaraan bermotor dan menggantinya dengan sepeda
b.    Komselis untuk penggunaan sepeda lipat yang diharapkan kian mendorong orang untuk bersepeda ke tempat kerja kala terbentur pada jarak yang dianggap cukup jauh, atau terbentur kontur jalan yang kurang menguntungkan

2.    Ketika saya melihat kemungkinan bahwa grup B menjadi komunitas, saya dengan sadar diri mengundurkan diri. (meski waktu itu dibantah oleh An – atas dasar pernyataan seseorang lain di grup itu — bahwa grup itu tidak akan menjadi komunitas.) Mengapa saya merasa perlu keluar dari grup WA mereka? Karena ternyata sebagian dari mereka nyinyirin saya ketika saya tidak ikut kegiatan yang mereka adakan, misal sepedaan ke pesta duren di Gunung Pati.

Sejak tahun 2011 saya terbiasa dolan berdua dengan soulmate sepedaan saya, terus terang saya kesal ketika dinyinyiri seperti itu. Apalah daya, saya hanya perempuan biasa. LOL. Lha wong ketika Komselis ngadain acara – misal gowes ke area Mangrove Morosari tahun 2015 – saya dan Ranz malah gowes ke Curug Semirang, kawan-kawan Komselis juga ga ada yang nyinyir. LOL.

3.    Saya tidak mau berada di satu grup WA, dimana ada beberapa personil yang suka ngompori orang lain – yang biasanya anggota baru grup – untuk tidak menyukai komunitas yang telah eksis sejak tahun 2009. Bahwa oknum-oknum tertentu menyebarkan gosip, misal, “Eh, si T itu ngeper lho diminta jadi tuan rumah jamselinas!” dan karena caranya sangat santun untuk ngompori orang, orang-orang yang dikompori itu tidak merasa telah dikompori. LOL. Saya tidak mau ikut-ikutan jelek-jelekin komunitas sepeda lipat Semarang (yang pertama berdiri di kota Semarang).
Hey, no matter what, saya ikut ‘membidani’ kelahiran Komselis, ikut menentukan apakah Komselis akan berdiri sendiri atau tetap dianggap merupakan bagian dari B2W Semarang.

Semoga 3 alasan di atas cukup menjawab pertanyaan orang-orang di grup sebelah. Sebenarnya masih buanyak lagi yang mengganjal di hati saya, tapi saya kira ini cukup. Saya baik hati loh agar orang-orang itu tidak terus menerus ghibah tentang saya, juga Ranz, Tami, dan mungkin Dwi. Ketiga alasan di atas murni alasan saya. Saya yakin Ranz, Tami, dan mungkin Dwi, memiliki alasan mereka sendiri mengapa mereka keluar dari grup WA satu setengah tahun yang lalu, Maret 2016.

Demikian. Postingan ini saya tulis tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.


LG 09.20 21/09/2017 g

Saturday, August 05, 2017

Choose what and who you want to

taken from here


As a woman who always tries to support other women to choose what kind of life they want to have, I have tried to understand them, whether they ...


  1. choose to live single and be happy
  2. get married and be a (full) housewife
  3. get married and get a job for self-esteem or self-actualization
  4. get married and get a job as a breadwinner while their husbands stay home -- either as a househusband or perhaps run business from home
  5. get divorced after finding out that married life is not as what they imagine (e.g. husband is not reliable or anything
  6. get married after a divorce (with whatever reason the divorce is, and whatever reason the remarriage)
  7. stay married after finding out that their husband cheats on them, with whatever reason they use to stay in the marriage (economy, kids, social status, etc)
  8. choose to have a baby while deciding to stay single
  9. you name it ...
However, I will NEVER accept any woman who flirts a married guy and tries to trap him to leave his wife, or foolishly proposes him to make herself as the second, third, or nth wife of the guy, with whatever reason they have in mind. 

Polygamy, for me, is just celebration of lust by abusing the so-called holy verse of alquran.

Thursday, June 22, 2017

Pertengkaran :)

Beberapa minggu lalu aku sempat ngobrol dengan seorang teman. Dia bilang dia sedang kesal kepada suaminya yang membuat mereka bertengkar berlarut-larut. Aku kaget setelah tahu masalahnya sebenarnya (bagiku) sepele saja: apakah mereka perlu membeli korden jendela yang baru. Temanku bilang dia kepengen beli, mumpung ada korden dengan harga murah. Suaminya bilang, mereka tidak membutuhkan korden baru. Toh mereka merencanakan akan pindah ke tempat lain, kalau mereka mendapatkan tempat lain yang lebih representatif untuk tempat tinggal.

Berhubung sudah beberapa tahun aku menjomblo, sehingga tidak pernah terlibat pertengkaran-pertengkaran ‘sepele’ (namun bisa berakibat ‘besar’) antar suami istri, aku tidak melihat ‘keuntungan’ mengapa temanku dan suaminya harus bertengkar. 

“Why don’t you just listen to him? Toh nanti kalian akan pindah? What’s the point of your being stubborn to buy that curtain?” tanyaku, heran. LOL.

“Nampaknya karena aku pengen ngeyel aja lah. To get his attention, probably.” Jawabnya, ringan. “Aku tahu dia yang benar. Tapi aku pengen beli korden itu, mumpung murah.” Katanya lagi.

Beberapa tahun lalu, seorang teman lain cerita kepadaku betapa dia kesal pada suaminya, karena sesuatu hal. Rasa kesal ini membuatnya enggan berkomunikasi pada suaminya. Dan hal ini merembet ke masalah tempat tidur. Dia enggan bercinta dengan suaminya, dan sok tidak menginginkannya.
Meskipun sekarang aku jomblo, aku pernah punya pengalaman serupa, sehingga aku beri dia saran untuk segera menyelesaikan permasalahan itu, dan tidak membiarkannya berlarut-larut. 

“You two directly talk to each other about it. Be open with each other. Ga usah pakai sok gengsi siapa yang salah siapa yang benar. You had better not challenge yourself, ‘it is okay for me to get divorced.’”
Sok banget toh si Nana ini? LOL.

Waduh ... Nana nggosip. LOL.

Tapi aku yakin masalah yang nampaknya sepele dalam satu hubungan (apalagi dalam pernikahan), jika dibiarkan lama-lama bisa menjadi besar. Tatkala masalah-masalah sepele berakumulasi, suatu saat akan memuncak, dan bisa berakibat sangat fatal.

What’s the point of getting married if not to have a life partner? A soulmate? So, why should get involved in quarrel? Moreover in fight?

PT56 21.35 210609

#repost, tulisan 8 tahun lalu 

J O M B L O


 

Sebuah tulisan lama, kutulis 8 tahun lalu, copas dari akun facebook :)

Hari Minggu 21 Juni 09 ketika menghadiri acara syukuran khitanan anak seorang teman anggota komunitas b2w Semarang, beberapa teman laki-laki curhat tentang betapa galau mereka saat malam minggu datang dan mereka masih jomblo. (Background: dari kurang lebih 30-50 anggota komunitas yang lumayan aktif beraktifitas bersama, jumlah perempuan yang bergabung masih di bawah 10 orang.) 

“Rasanya malu kalau malam minggu di rumah saja, ketahuan belum punya pacar.” Kata seseorang. Itu sebabnya dia akan pergi dari rumah tatkala malam minggu tiba, tidak penting dia akan menghabiskan malam minggunya dimana. 

Jadi ingat malam minggu sebelumnya, tatkala kumpul-kumpul dengan teman dari komunitas yang sama, b2w Semarang, seorang teman laki-laki bilang, “Ayo to Jeng, aku dicariin pacar. Murid-muridmu tentu ada kan yang ‘melek’? Kasihan malam minggu gini aku seorang diri saja.”

Belum pernah aku menyadari bahwa kesendirian bisa menjadi begitu hal yang menyedihkan, sekaligus memalukan bagi orang-orang tertentu. LOL. Atau mungkin aku sudah lupa karena tahun-tahun terakhir ini aku dengan bangga mengakui menjadi anggota ‘single and happy’ community. LOL. Kalau pun toh duuuuluuuuu aku pernah mengalami rasa ‘kok aku ga laku ya?’ (LOL), tapi seingatku aku ga sampai merasa suatu hal yang memalukan malam minggu kok di rumah saja, ga ada yang ngapelin. (Maklum, aku perempuan, tinggal di kultur dimana perempuan biasanya ‘diapeli’ dan bukannya pihak yang ‘ngapeli’.)

Hal ini mengingatkanku kasus Cici Faramida yang dianiaya oleh suaminya. Pertanyaan pertama yang langsung muncul dari benakku tatkala mendengar kasus ini adalah, “Why the hell did she marry that jerk?” 

Mengapa menikah? Mengapa harus merasa bahwa orang yang menikah lebih bahagia daripada orang yang tidak (atau belum) menikah? (I have many articles on this in my blog athttp://afeministblog.blogspot.com under tag ‘marriage’.)

Mengapa harus punya pacar? Mengapa harus merasa nelangsa tatkala tidak punya pacar?

“What have you done so far to get a boyfriend?” tanya seseorang padaku beberapa bulan lalu.
“Should I really do something serious to get one?” tanyaku balik.

“Well, do you think you will get a boyfriend without ‘struggling’?” tanyanya lagi.

“I am okay. Why should you trouble yourself to ask me such a thing?” aku sebenarnya ingin mengatakan, “Mind your own business!” tapi Nana adalah seseorang yang sangat sweet (LOL) untuk mengatakan hal seperti itu. LOL.

“You are lonely, aren’t you?” tuduhnya.

Iki piye to ki? LOL. Sing ngrasakke sopo jal? LOL.

Well, anyway, he is just a guy I found on net. It is very easy to discard him from my list. So, aku tidak perlu memasukkan kata-katanya dalam hati.

Another related case. 

Beberapa minggu lalu seorang sepupu (perempuan) jauh datang ke Semarang. Aku lupa kita sedang ngobrol apa, tahu-tahu dia bilang, “Kalau mbak Nana tinggal di Gorontalo, tentu mbak Nana sudah menikah lagi.”

I was really dumbfounded sehingga aku hanya bengong saja dan tidak berkomentar apa-apa.
Tak lama kemudian, suami sepupu (yang juga sepupuku) ini mengirim email kepadaku, bertanya apa rencanaku ke depan to get a hubby-to-be. Kalau perlu mungkin aku sebaiknya berkunjung ke Gorontalo. (Mungkin ada banyak cousin Podungge yang masih single? LOL.)

What a ridiculous thing. 

Tatkala aku bilang, “I have no idea yet about getting married again.” dia berkomentar, “You are a good woman.” 

(HELLO EVERYONE OUT THERE!!! CAN YOU EXPLAIN IT TO ME, PLEASE??? Apa hubungan antara belum punya rencana menikah lagi dengan being a good woman?

Jadi ingat omongan usil Wakasek Angie beberapa bulan lalu, waktu aku terpaksa menemuinya karena suatu kasus. Sang Wakasek yang rese ini bertanya, “Ga ada rencana menikah lagi Bu?”

“Belum.” Jawabku. 

Ekspresi wajahnya kaget. “Belum atau tidak?” tanyanya, meyakinkan telinganya barangkali. LOL.
“Belum.” Jawabku lagi.

“Oh, sebaiknya Ibu menjawab tidak, toh sudah punya anak. Sebaiknya Ibu berkonsentrasi membesarkan anak saja. Tapi kalau memang Ibu berencana menikah lagi, ya saya doakan semoga mendapatkan suami yang baik.”

R-E-S-E!!!

See? Betapa kontradiktif apa yang dikatakan oleh sepupuku dan Wakasek yang super rese itu.

Kembali ke percakapan teman-teman b2w Semarang.

Aku belum menemukan jawaban mengapa seseorang harus merasa nelangsa dan malu tatkala belum punya pacar. 

Mengapa seseorang harus merasa nelangsa dan malu tatkala dia belum (atau tidak) menikah. Apalagi hal ini diakui oleh kaum laki-laki, yang menurutku, seharusnya tidak begitu ‘peduli’ pada kejombloan, mengingat di ‘marriage-oriented society’ tempat kita tinggal ini, yang biasanya sangat merasa merana kalau belum menikah itu biasanya perempuan. (For one example, you can click this http://afeministblog.blogspot.com/2006/05/marriage-oriented-society.html
Anybody can help me? 
PT56 21.13 210609

Monday, June 19, 2017

Gowes Mudik

Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Semarang, meski orangtua asli Gorontalo, aku "mengalami" mudik hanya ketika kuliah di Jogja. Mudik ke Semarang dari Jogja. Usai kuliah, tak lagi lah aku mengenal kata 'mudik'.

(Cek tulisan lamaku tentang mudik disini.)

Beberapa hari terakhir ini, sosial mediaku sedang heboh dengan postingan #gowesmudik. Beberapa kawan sepeda yang tinggal di kawasan Jakarta mudik ke daerah masing-masing dengan bersepeda. Berhubung aku tak (lagi) mengenal istilah mudik, tentu aku ga perlu 'ngiri' untuk melakukan hal yang sama. :) Tapiiiii ... musim Lebaran akan selalu mengingatkanku pada kisah bikepacking pasca lebaran di tahun 2012, dimana aku dan Ranz bersepeda dari Semarang menuju Tuban. (Eh, Ranz juga gowes dari Solo ke Semarang sehari sebelum kita berangkat menyusuri pantura bersama.) Cek tulisanku disini dan juga disini. :)



Padahal, aku dan Ranz gowes pasca lebaran tidak hanya di tahun 2012 lho. Kita juga melakukannya di tahun 2011 (bersepeda dari Solo ke pantai Nampu - Wonogiri). Di tahun 2013 kita bersepeda dari Solo ke pantai Klayar - Pacitan. Kedua kisah ini kita lakukan beberapa hari setelah lebaran. Tahun 2014 kita ke Blitar dan Malang di bulan Ramadhan. Tahun 2015 kita mbolang ke Bali dan Lombok juga di bulan Ramadhan. Tahun 2016 kita mbolang bareng 4 perempuan lain, dimana kemudian kita menyebut diri sebagai Semarang Velo Girls. Kita hanya ke Jogja waktu itu.

Lalu, apa istimewanya gowes sepanjang pantura Semarang - Tuban itu? Mengapa jika melihat posko mudik bertebaran, aku langsung terkenang perjalanan menuju Tuban? Jawabannya ternyata simpel saja! Sepanjang pantura memang posko mudik bertebaran dimana-mana, sangat mudah bagi kita mendapatkannya. Sedangkan dalam perjalanan dari Solo ke Wonogiri maupun dari Solo ke Pacitan, posko mudik yang disediakan masyarakat setempat sangatlah terbatas.

Nampaknya, jika aku ingin merasakan sensasi #gowesmudik, (pastinya beda dong dengan hanya sekedar gowes dari satu kota ke kota lain?) aku harus kembali ke bangku kuliah, minimal balik ke Jogja lagi. Atau ... pindah ke kota lain? LOL.

IB180 20.30 19/06/2017

Naif

pic diambil dari sini

Duluuuuuu ... aku pernah berpikir bahwa seorang perempuan yang telah menikah tak akan lagi mampu menarik perhatian laki-laki lain. J Pandangan ini mendadak dimentahkan oleh seseorang – yang pada waktu itu usianya di bawahku lebih dari 10 tahun – yang kutemui di dunia maya, lebih dari 10 tahun yang lalu.

Cerita lengkapnya begini. J

Aku yang sedang jenuh mengerjakan tesis “akhirnya” kembali ke dunia perchattingan dunia maya untuk sekedar hiburan di tengah-tengah browsing materi untuk tesis. Kala itu situs ‘mIRC’ masih sangat eksis. (Aku belum pakai Yahoo Messenger.) Untuk mendapatkan “chat partner” yang seusia, (agar ngobrolnya enak, ga terhalang gap usia) aku sengaja memilih nick yang menunjukkan usiaku, yaitu “fe36smg”, yang sekaligus menjawab pertanyaan klise yang biasanya keluar di awal chatting, yaitu “a s l” a.k.a “age sex location”: I am a female, 36 years old, from Semarang. Di luar ekspektasiku, ternyata yang tertarik menyapaku lebih banyak laki-laki yang usianya jauh di bawahku, let’s say 10 tahun.

Dari sekian banyak “chat partner” yang kudapatkan, tentu ada beberapa yang asyik diajak ngobrol. Tapi, yang akan kutulis disini, yang membuatku sadar betapa naifnya diriku, LOL, hanya satu.

Waktu itu dia adalah seorang mahasiswa satu perguruan tinggi di Semarang. Ketika kutanya apa yang membuatnya tertarik mengajakku ngobrol – dia masih di awal usia duapuluhan – karena aku jauh lebih tua darinya, dia menjawab, “perempuan seusiamu itu justru sangat menarik bagi laki-laki sebayaku. Laki-laki seusiaku sangat tertarik pada seks. Kalau pun kita punya pacar, kita ga berani lah mengajak pacar kita berhubungan seks. Jika dia hamil, berabe kita karena tentu kita akan diminta menikahinya, padahal secara finansial kita belum siap. Secara psikologis juga belum. Pacar yang kita punyai – yang mungkin usianya tak jauh dari kita, mungkin lebih muda – hanya untuk sekedar status sosial. Kita punya pacar. Tapi kita ga akan tega mengajaknya bercinta.”

Aku bengong. LOL.

Lebih bengong lagi mendengar penjelasannya berikut.

“Lain halnya jika laki-laki seusiaku memiliki kawan dekat perempuan seusiamu, yang sudah menikah. Perempuan yang sudah menikah adalah ‘partner’ yang sangat aman buat kita. Pertama, dia sudah pengalaman sehingga kita justru bisa belajar “how to behave and what to do in bed.” (ih wow!) Kedua, karena sudah menikah, ga mungkin lah dia meminta kita ‘bertanggungjawab’ untuk menikahinya (setelah ngeseks dengannya). Ketiga, mungkin kita tidak perlu mengeluarkan uang waktu kencan.”

Everything he said made sense, didn’t it? :D

Maka sejak itu aku pun berubah cara pandang. LOL.

Aku berpikir tentu banyak laki-laki – sebrengsek apa pun – akan mempertahankan perkawinannya, sehingga ketika mereka mendapati kejenuhan dalam perkawinan, mereka akan mencari “perempuan yang aman” untuk diajak kencan, yakni istri orang. Seorang kawan dunia mayaku saat ini suka menggunakan istilah “binor” alias “bini orang”. Hanya sekedar untuk mengurangi kejenuhan, bukan untuk mencari masalah yang lebih besar, misal pertengkaran dengan istri yang mungkin akan berujung ke perceraian. Binor adalah solusi tepat. LOL. Satu syarat utama tentu adalah si perempuan ini pun tetap ingin menjaga perkawinannya, bukan malah ingin menceraikan suaminya untuk kemudian menuntut pacarnya menceraikan istrinya, agar mereka “bersatu”. Meski, well, harus dipahami tentu ada juga tipe laki-laki dan perempuan yang seperti ini.

Beberapa tahun yang lalu, aku dengar beberapa kawan (laki-laki) memiliki ‘hobi’ mengajak kencan perempuan lain, namun tetap berusaha menjaga image bahwa mereka adalah suami yang setia. Atau mungkin, tipe laki-laki yang berpikir bahwa laki-laki itu milik istri “hanya” ketika di rumah, namun menjadi milik umum, begitu keluar rumah. Dan, sialnya (atau ‘kebetulan’ ya?) mereka memiliki istri yang mengamini adagium ini.

Nah, agar perkawinan mereka tetap awet, kupikir perempuan yang mereka ajak kencan harusnya binor dong ya? Agar si perempuan tidak ‘menuntut’ si laki-laki untuk menikahinya, dengan menyalahgunakan, eh, memanfaatkan tafsir surat annisa ayat 3 bahwa laki-laki boleh menikahi perempuan yang mereka sukai, dua, tiga, empat ...

Sekian hari lalu, baru saja mendengar cerita (yang telah basi) bahwa sekian tahun lalu salah satu kawan laki-laki yang kukisahkan di paragraf di atas pernah mencoba mengajak kencan seorang perempuan yang masih single, namun ditolak. Laki-laki yang dikenal santun ini (lihat di postinganku yang tentang monster berbusana malaikat) memang pernah berhasil menggaet perempuan (yang waktu itu masih single) dan si perempuan diberi hadiah sebuah sepeda lipat. Aku melihatnya sebagai “mutual relationship”, si laki-laki menginginkan sesuatu dari si perempuan, si perempuan mendapatkan sesuatu dari si laki-laki. Laksana hubungan jual beli. Namun, tentu tidak semua perempuan seperti itu lah. (seperti juga tidak semua laki-laki santun bak malaikat namun berhati monster gila perempuan.) Mengapa dia tidak mengencani binor saja yak demi keutuhan rumah tangganya?

Mendadak aku ingat satu laki-laki lain, yang pernah mampir dalam hidupku sekitar 8 tahun yang lalu. Dia bilang, “laki-laki seusiaku (akhir duapuluhan – red) sangat tertarik pada perempuan matang seusia 40-45 tahun Na. Mereka nampak sangat menarik dan seksi karena kematangannya. Tapi, mungkin nanti ketika aku berusia di atas 40 tahun, aku akan tertarik pada perempuan yang jauh lebih muda. Entahlah.”

Dan nampaknya terkadang aku masih saja NAIF. Hahahahah ...


LG 10.30 19062017

Saturday, June 17, 2017

Hello Yahoo!

Bagi yang sudah mengenal dunia internet sejak (akhir) dekade sembilanpuluhan, tentu tahulah bahwa pada zaman itu yahoo.com adalah search engine raksasa. Google sudah ada -- seingatku -- tapi masih bisa dianggap bayi lah, belum ada apa-apanya. Meski email pertama yang kupunyai tidak berdomain di yahoo.com akhirnya satu kali aku punya juga email di yahoo.com yang saat itu memang spektakuler.

Jadi, 'fasilitas' a.k.a widget -- atau apa pun namanya lah -- di yahoo.com yang pernah kunikmati?

Well, selain email gratis, satu fasilitas lain yang banyak dinikmati orang pada zaman itu adalah YM! alias Yahoo Messenger. Namun satu yang paling kusukai pada waktu itu adalah web 360-nya, serupa fasilitas blog, tatkala aku mulai suka (dan pede) menulis di tempat publik. Entah mengapa aku lebih suka posting tulisan di web 360 waktu itu ketimbang di web lain, bahkan termasuk blogger atau blogspot. Dengan posting tulisan di web 360, orang-orang yang terdaftar dalam "friendlist"ku di YM! akan mendapatkan notifnya, sehingga mereka mungkin akan membacanya. Beberapa kali aku mendapatkan respons dari tulisan yang kuaplot di web 360, dan menjalin diskusi dengan beberapa orang.

gambar diunduh dari sini

Aku lupa kapan web 360 akhirnya ditiadakan oleh yahoo. Mungkin tidak laku lagi. Entah. Aku sempat gelagapan ingin mencoba menyelamatkan tulisan-tulisan yang kuaplot disana ke blog (lain), tapi nampaknya karena akses internet masih bisa dianggap mahal saat itu, aku ga ingat apakah aku sempat melakukannya.

Selain YM, web 360, tentu tak ketinggalan pula adalah keberadaan mailing list yang diadakan oleh yahoo. Di tahun-tahun 2006 - 2012 aku cukup aktif di milis-milis yang kuikuti. Dari milis-milis itu aku mendapatkan kenalan, teman, dan sahabat, selain tentu saja pengetahuan yang bermanfaat (dan membantu membentukku menjadi Nana yang sekarang).

Yahoo Messenger sudah down, tak lagi laku, menyusul web 360. Beberapa hari lalu (Juni 2017) perusahaan yahoo sudah dibeli pihak lain. Well, untuk sementara ini email yahoo masih berlaku. Akankah hilang juga dari peredaran satu saat nanti?

(email pertamaku di eudoramail.com sudah hilang sekian tahun lalu. eudoramail.com sempat berganti ke lycos.com namun kemudian ilang juga.)

Hmmm ... nothing really lasts forever?

Bagaimana dengan blog nantinya ya? Will they be gone? Lalu, tulisan-tulisanku yang 'kuabadikan' di blog akan juga menghilang? Seperti buku-buku di rak bukuku yang dimakan rayap? :(

IB180 17062017


Monday, June 12, 2017

Relijiusitas semu

Jika tidak salah ingat, pertama kali aku "berani" makan di tempat terbuka di bulan Ramadhan di awal-awal dekade sembilanpuluhan, di Jogja. Entah apa yang membuatku menerima ajakan seorang kawan kos waktu itu untuk ikut makan dengannya di satu lapak terbuka di kawasan kampus UGM. Temanku yang satu ini mungkin sudah biasa melakukannya, sehingga dia nampak 'biasa' saja. (Maksudku tidak merasa rikuh atau grogi di bulan puasa makan di tempat terbuka.) Aku? Tentu saja merasa sangat amat bersalah dan (sedikit) tidak nyaman, meski aku sendiri waktu itu sedang mendapatkan 'izin' untuk tidak berpuasa.

foto diambil dari link ini

Jangankan makan di tempat umum, makan di rumah bagi seorang perempuan yang sedang menstruasi pun di bulan puasa harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Di dekade itu, kadar relijiusitas rakyat Indonesia bisa dikatakan belum begitu terasa. Belum banyak perempuan mengenakan jilbab. (Kata seorang kawan facebook, entah berdasarkan riset 'betulan' atau hanya sekedar melihat masyarakat, di dekade itu, dari sekitar 50 perempuan ketika berkumpul, ada 1 orang yang berjilbab, sekarang bisa jadi dari 50 perempuan, hanya ada 5 perempuan yang tidak mengenakan jilbab.) Belum ada ormas Islam yang merasa berhak untuk melakukan 'sweeping' warung-warung makan yang buka di siang hari. Belum ada 'peer pressure' di satu komunitas dimana sekelompok orang merasa punya hak untuk melakukan pemaksaan individu-individu yang ... misalnya ... tidak berjilbab.

Meskipun begitu, tak begitu banyak kulihat orang-orang yang makan maupun minum di tempat umum di bulan Ramadhan. Juga tak banyak warung makan yang buka, apalagi lapak-lapak (makanan) di pinggir jalan.

satu angkringan di Gombong

Beberapa hari lalu, aku mampir di satu warung bakso untuk makan siang. Disitu kulihat ada 5 perempuan yang sedang makan. Tiga orang mengenakan baju yang sama, mungkin seragam kantor. Dua dari 3 perempuan ini berjilbab. Dua perempuan lain -- nampak seperti ibu dan anak -- sang ibu mengenakan jilbab syar'i alias jilbab panjang dan lebar hingga menutupi bagian pantat.

Hal ini membuatku berpikir, ketika kecil dulu, 'brainwashing' bahwa makan di siang hari di tempat umum di bulan puasa itu sangat tidak etis dan memalukan sangat kuat, sehingga rasanya aku malu sekali jika melakukannya. Waktu itu rakyat Indonesia belum 'terlihat' serelijius sekarang. Sekarang, bahkan orang-orang yang jelas-jelas mengenakan 'atribut' keagamaan melakukannya tanpa merasa 'pekewuh' ya? Padahal banyak orang menggembar-gemborkan relijiusitas.

Relijiusitas semu? Hanya di permukaan?

IB180 20.22 12062017

Saturday, June 10, 2017

Monster berbalut Malaikat

Seberapa sering kita "tertipu" penampilan luar seseorang?

Ini adalah kisah seorang kawan. Dengan beberapa kawannya yang lain. Di lingkungan perkawanan yang sama denganku. :)

Ada seseorang yang nampak begitu santun, baik, murah hati, dan suka menolong. Maka kawan-kawan pun memujanya bak malaikat. Hingga satu kali -- satu per satu -- kawan-kawanku ditusuknya dari belakang. Terkadang, menusuknya sambil meminjam pisau seorang kawan lain, sehingga tak ada yang sadar bahwa si santun inilah yang menusuk. Hanya orang-orang tertentu yang kemudian menyadari bahwa si murah hati ini ternyata selalu memiliki "udang di balik bakwan" di tiap kebaikhatiannya memberi barang ke orang lain.

Yang lain? Tetap saja memandang sang monster ini sebagai malaikat. Hmffttt ...

Yang berikut ini, aku copas dari komen seorang kawan di facebook.

Copas komen seseorang di postingan Mbak RaniJane : Monster sejati justru memang seperti malaikat penampakan fisiknya
Rani : Ya sih, aku mengalaminya berkali-kali dalam hidup. Meski sudah kulihat sebagai monster, orang-orang ternyata masih melihatnya sebagai malaikat ..
#selfreminder #selfnote

Wednesday, June 07, 2017

Antara Afi, Mita, dan aku

Antara Afi, Mita, dan aku

Tentunya sudah pada tahu kan bahwa tak lama setelah nama Afi menjulang tinggi, dia diterpa tuduhan plagiat. Tulisannya yang berjudul “Belas Kasih dalam Agama Kita” dituduh merupakan hasil copas – tanpa menyertakan nama penulis asli – dari seorang facebooker bernama Mita Handayani. Jika engkau se’addicted’ aku pada facebook dan memiliki ‘list of friends’ setipe denganku, pastilah (pernah) tahu nama Mita Handayani yang status-statusnya banyak diviralkan para facebooker lain.

gambar diambil dari sini

Aku beberapa kali membaca status Mita yang diviralkan, sebagian besar – jika aku tidak salah ingat – tidak menawarkan hal-hal yang baru menurutku. Ide-idenya sudah lama kubaca/kuketahui dari sumber lain. Entah tentang spiritualisme / agama, entah tentang kesetaraan jender, dll. Aku sendiri tidak berteman dengan Mita, juga tidak ‘follow’ status-statusnya. Jadi, jika aku pernah membaca statusnya, ini karena seseorang dalam ‘list of friends’ku membaginya di dindingnya.

Waktu pertama kali membaca status Mita yang dibagikan seseorang, (maafkan jika aku sudah lupa tentang apa), aku mengangguk-angguk setuju, karena satu hal, idenya sudah lama kuketahui. Mita hanya mengolah data yang dia terima entah dari mana, kemudian dia tuliskan di dinding facebooknya. Just that. Nothing new. Nothing special. Itu sebab aku tidak berpikir untuk mem-follow-nya.

‘Geger’ bahwa si remaja Banyuwangi ini ternyata dituduh menyalin status Mita – dengan hanya sedikit mengganti beberapa kata – membuatku (baru) sadar (better late than never kan yaaa? :D ) bahwa ternyata Mita Handayani ini hanyalah berupa akun ‘anonymous’, tidak ketahuan siapa di balik akun ini. Tulisan-tulisannya memang banyak menginspirasi orang, namun publik tidak pernah tahu jati diri facebooker Mita Handayani ini siapa sebenarnya. Kenyataan ini-lah yang justru membuatku terperangah. WOW!
 
gambar diambil dari sini

Ide-ide yang diucapkan oleh Afi dalam 2 talkshow yang kutonton di youtube – di Fakultas Fisipol UGM dan di acara Rossie Silalahi di Kompas TV – tentang mayoritas versus minoritas, tentang agama yang dia yakini ‘hanyalah’ warisan, adalah hal-hal yang sangat membuatku bergairah menulis di blog sekitar 10 tahun yang lalu. ‘Kerajinan’ku menulis di blog (dalam Bahasa Inggris) pun menarik seorang blogger bernama Fatih Syuhud (yang tidak kukenal secara pribadi, hingga sekarang) untuk dia masukkan dalam ‘featured blogger’ dalam web-nya. Satu syarat yang disertakan oleh Fatih Syuhud – untuk bisa masuk kedalam ‘featured blogger’ adalah si blogger bukan seorang anonymous.

Nama ‘Mita Handayani’ sebenarnya nama yang ‘sangat manusia’ LOL (bandingkan dengan nama-nama yang tak masuk akal, seperti ‘kamu itu ngangenin’, ‘aku chayank kamu celamanya’. LOL. Namun toh, Mita Handayani tetaplah sebangsa robot. LOL. Nobody knows her background, her real identity.

gambar diambil dari sini

Terus terang, jika aku mampu (dan berani) menulis status-status yang bakal kemudian diviralkan orang sampai ratusan bahkan ribuan kali, aku inginnya pribadi seorang Nana Podungge juga ikut terkenal (atau tercemar yak?) dong. LOL. Namun, kalau dipikir-pikir, bakal dibully para haters seperti Afi, wahhh ... apa mending seperti Mita saja ya? Kekekekekeke ...

Sekian tahun lalu mungkin aku masih suka melibatkan diri dalam debat-debat ga penting tentang spiritualitas / agama di grup-grup facebook tertentu. Ga bakal bisa makan enak apalagi tidur nyenyak jika telah terlibat dalam satu ‘ide’ andai aku merasa belum mampu meyakinkah ‘lawan’ debatku.

Tahun-tahun sebelumnya lagi – saat mailing list alias milis masih sangat marak – aku punya energi yang jauh lebih besar lagi. LOL. Aku bergabung dengan banyak milis, berdebat dengan banyak orang, sedih kala merasa aku gagal ‘save’ seseorang dari cara berpikirnya yang salah (menurutku), LOL, bersuka cita mana kala aku merasa ‘menang’. Heran, aku punya begitu banyak energi dan waktu luang dari mana yak? (yang pasti, tahun-tahun ini, aku belum bersepeda. LOL.)

Sekarang, aku jauh lebih tenang dan ‘damai’ dengan diri sendiri. LOL. Aku akan berbagi pengalaman hidupku – entah dalam spiritualisme, kesetaraan jender, pengalaman hidup, dll – dengan orang-orang yang ada di sekitarku (saja). Aku merasa sudah cukup berbagi cerita-cerita kala bersepeda. Tak perlu lagi ‘menantang’ debat ini itu itu ini.

Di akhir tulisan, aku kembali ingin meng-applause Afi atas keberaniannya berbagi hal-hal yang ternyata masih dianggap tabu (misal ‘agama itu warisan’) meski dengan nama yang tidak asli, namun seorang Asa Firda Inayah memang benar-benar ada; dia berani membagikan ide-ide yang dianggap kontroversial di saat kehidupan di Indonesia tercarut marut masalah mayoritas – minoritas, pribumi – non pribumi, dlsb. 10 tahun yang lalu, (saat aku berenergi penuh menulis tentang hal ini di blog), situasi di Indonesia belum separah sekarang, plus sosial media belum semudah sekarang diakses orang dengan teknologi android yang mempermudah going online.

Teruslah membaca dan menulis Afi. Teruslah menginspirasi.

LG 14.04 06 Juni 2017



Wednesday, May 31, 2017

Asa Firda Inayah




Mumpung nama Afi sedang fenomenal ... mumpung aku punya semangat menulis, mari menulis sedikit tentang Afi (Asa Firda Inayah). J

Frankly speaking, aku tidak tahu banyak tentang anak remaja (lulusan?) satu SMA di Banyuwangi, satu kota kecil di ujung Timur Jawa Timur; satu kota yang pernah kukunjungi (eh, mampir) waktu dalam perjalanan menuju Taman Nasional Baluran dan menyeberang ke Pulau Bali. (ga penting ya? Cuma nunut tenar doang nih akunya. LOL.)

Mungkin – seperti kebanyakan orang – aku pertama kali “mengenalnya” dari tulisannya yang berjudul WARISAN yang telah dibagikan ribuan kali di sosial media; cara pandang yang sebenarnya “biasa” saja bagi mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi (menurutku), yang telah pernah merasakan menjadi pihak minoritas yang terdiskriminasi (seharusnya seperti ini, pikirku), atau paling tidak yang pergaulannya luas dimana dia bergaul dengan orang berbagai macam kalangan.

Bahwasanya Afi – demikian nama ngetopnya, bukan nama sebenarnya – ‘baru berumur’ belasan tahun, berasal dari satu kota kecil, yang berarti pergaulannya (selayaknya) tidak seluas cara pandangnya, menjadikan cara pandang Afi ini tidak biasa. Dia pun mengaku bahwa sekian waktu lalu – entah bulan, entah tahun – dia pun bercara pandang sempit hingga tiba saat dia membaca satu buku yang merupakan ‘titik balik’; dan ... voila ... dia pun (seolah mendadak) memiliki cara pandang yang universal. Jika mengacu ke satu tulisan lamaku di blog, dia berhenti berpikir bahwa dia termasuk “the chosen race”.

Dalam talkshow yang diselenggarakan oleh Fisipol UGM, Afi menyebut buku yang berjudul “The Magic of Thinking Big” tulisan David Schwartz yang membuatnya ‘berbalik’, tak lagi berpikir sempit, namun mulai berpikir secara universal. Selain menyarankan para remaja seusianya untuk membaca buku itu, Afi juga menyarankan untuk membaca buku yang berjudul “The 7 habits of highly effective people” karangan Stephen R. Covey.

In case you wanna know (ehem ...) satu buku yang merupakan trigger awal perjalanan ‘titik balik’ku adalah buku “Setara di hadapan Allah” tulisan Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, buku yang iseng-iseng kubeli di satu lapak tidak permanen saat pulang dari kampus, tahun 2003.

Sekian tahun kemudian setelah membaca buku itu – sembari membentuk diri untuk menjadi seorang feminis dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan itu – aku mulai melabeli diri sebagai seorang sekuler. Sekian tahun berikutnya, kupikir sudah saatnya aku melepas label sekuler, berpindah ke ranah agnostik. Hingga saat ini ... mungkin lebih tepat aku menyebut diri sebagai seorang pengembara, tanpa label.

Akankah seorang Afi pun menjadi seorang Muslim sekuler dalam kehidupan pribadinya? (bukan dalam kehidupannya bermuamalah lho ya.) Ataukah ratusan buku yang dihadiahkan kepadanya dari sebuah penerbit saat dia menjadi tamu di satu televisi swasta akan membuatnya menjelma menjadi sosok lain lagi?

Mari kita tunggu.


LG 15.10 31052017


Saturday, May 13, 2017

Mau Eksis?



Aku mulai blogging sekitar pertengahan tahun 2005 (better late than never dong yah? :) ) Awalnya aku nulis postingan untuk blog menggunakan Bahasa Inggris, karena waktu itu aku sedang pursuing my studies di American Studies dimana aku sering harus menulis artikel dalam Bahasa Inggris. Setahun kemudian, aku baru mulai menulis blog dalam Bahasa Indonesia, hal-hal remeh temeh dalam kehidupanku sehari-hari.

Aku ngeblog untuk 'catharsis' -- salah satu jalan keluar untuk meluapkan emosi, pikiran dan sebagainya -- tak ada (atau belum ada kali ya? LOL) -- keinginan untuk ngeksis. Blas ga ada lah untuk itu.

Adalah satu hal yang membanggakan bagiku ketika seseorang yang tidak kukenal secara pribadi memasukkan blog-ku dalam daftar blog-blog yang dia 'feature' dalam blognya. (Click this link.) Aku sudah lupa awalnya bagaimana hingga aku tahu aku 'ditulis' di blog orang. LOL. Fatih Syuhud ini 'hanya' mengamati tulisan-tulisanku di blog, kemudian menulis tentangku. Herannya, tulisannya benar banget mencerminkan memang begitulah aku, cara pandangku.


Akhir tahun 2008, satu hal lain lagi yang membanggakan buatku, kala aku dimasukkan dalam kategori TOP TEN BLOGGER INDONESIA 2008, masih menurut versi orang yang sama, Fatih Syuhud.

Hobi blogging ini tentu tak hanya berhenti di menulis hal-hal yang 'disturbing my conscience'. Hampir segala hal yang kualami kutulis, termasuk awal-awal aku bergabung dengan Bike 2 Work Semarang, 'kepanjangan' tangan dari Bike 2 Work Indonesia. Kutulis juga kisah-kisah sepedaanku, kuunggah di blog ini maupun itu.


Awal tahun 2012, aku putuskan untuk membuat blog tersendiri untuk memudahkan pengarsipan tulisan-tulisan tentang sepedaan. Kuberi judul blog itu MY BIKING DIARY.  Adalah satu hal di luar ekspektasiku bahwa blog ini di kemudian hari akan menjadi lebih lively ketimbang blog-blog lain. (Saya lelah! LOL. Eh, salah, Saya telah tumpul. :( )

Aku menulis di blog sepedaan itu murni untuk pengarsipan kisah perjalananku bersepeda. Bahwa di kemudian hari seorang Nana Podungge lebih dikenal sebagai 'goweser' ketimbang sang feminis yang romantis, yaaa apa boleh buat? LOL. Bahwa ketika mengikuti event sepedaan di luar propinsi aku bertemu dengan orang-orang yang ramah menyapa, "Mbak Nana ... saya pembaca blog anda." atau "Mbak Nana ... saya terinspirasi pengalaman njenengan turing naik sepeda lipat gegara membaca blog anda." menjadi satu bukti bahwa ... itulah, saya lumayan tercemar, ups ... terkenal. LOL.

Aku kenal sepedaan ya gara-gara berkecimpung di orang-orang yang mendirikan Bike to Work Semarang. Namun, aku dikenal orang (jadi NGEKSIS dong eikeh LOL) bukan karena keterlibatanku dengan kumpulan orang-orang yang ingin menginspirasi orang lain untuk menggunakan sepeda sebagai moda transportasi ke kantor, namun karena aku mbolang kesana kemari dengan bersepeda. (Thanks to my bikepacking soulmate Ananda Ranz, tanpa dia aku mah apa tuh. LOL.) Dan ... NGEBLOG!

Kesimpulannya adalah ... jika ingin ngeksis di dunia sepedaan, coba saja caraku.
(1) Cari solmet mbolang. Enakan mbolang berdua (bagiku) ketimbang sendirian. LOL.
(2) Tulis kisah mbolangmu itu di blog.
(3) Aktif di dunia maya, untuk ngiklanin blog-mu itu dong
(4) Ikut event skala nasional, eh, regional juga boleh kok

Sampun. Cekap mekaten nggih :)

IB 09.40 13052017