Search

Saturday, September 01, 2007

Bahasa Inggeris

BAHASA INGGERIS
oleh Sumar Sastrowardojo
(seorang anggota milis RumahKitaBersama)

Di dalam seminar di ruang kuliah (class participation) ataupun di tengah pertemuan umum dengan orang setempat, acapkali kita berdiam diri karena merasa canggung dan segan berbahasa English. Ada sebuah anecdote yang mengatakan karena bahasa Inggeris bukan bahasa kita jadi kita tidak perlu mempelajarinya, cukup berbahasa Indonesia
saja dan pada suatu waktu mungkin menjadi salah satu bahasa dunia karena pemakaiannya yang cukup luas selain di Indonesia juga di Malaysia, Brunei dan Singapura, dan dipelajari di beberapa universitas di dunia.

Karena merasa canggung dari sikap demikian maka kita terkenal sebagai suatu bangsa yang berendah hati (modesty) dan tidak suka menonjolkan diri, yang pada penilaian moral orang-orang Barat dianggap tinggi juga. Namun kita tidak jujur terhadap diri kita sendiri bila kita tidak akui bahwa kelemahan berbahasa Inggeris itulah yang ada di balik kesan bermoral tinggi itu.

"Kita" adalah kita sebagai pelajar dan mahasiswa di luar negeri, kita adalah kita sebagai diplomat di perwakilan-perwakilan RI di luar negeri (Kedutaan Besar, Konsulat Jenderal, Konsulat). Sudah menjadi pengetahuan dan pengalaman umum bahwa dengan beberapa perkecualian, para diplomat dan para konsul kita tidak punya keberanian untuk menyatakan pandangan dan pendirian mereka sebagai wakil-wakil bangsa di depan forum internasional dan lebih suka "berdiam diri" dan bergerombol-gerombol dengan rekan-rekan sebangsa sendiri.

Kemampuan berbahasa Inggeris mereka merupakan hambatan yang sangat besar untuk berbicara dengan lancar dan terus terang. Hal ini bukanlah pendapat saya sendiri, akan tetapi waktu bekerja sebagai pegawai setempat (local staff) di KJRI New York, saya mendengar sendiri dari Bp. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Menlu RI, pada suatu ceramah.

Dengan penuh hormat kepada atasan saya karena orangnya baik sekali dan sekarang konon sudah menjadi ambassador, diplomat-diplomat yang dikirim ke New York dan seharusnya sudah fasih (flawless) berbahasa Inggeris, beliau masih harus mengambil "freshman English" (bahasa Inggeris yang sangat elementer) di college yang dekat dengan kantor.

Waktu saya mendampngi beliau mengunjungi jawatan-jawatan, badan-badan, kantor-kantor untuk menawarkan jasa perawat-perawat dari Indonesia, saya agak malu Dari para pejabat Deplu yang diharapkan tentu lebih banyak daripada dari local staff yang bahasa
Inggerisnya tidak sempurna tapi sedikitnya mampu mengadakan conversation yang sederhana juga. Setiap percapan atasan saya selalu beliau mulai dengan "Indonesia is interesting," bukannya "Indonesia is interested in." Sampai ada yang menanyakan: "What is so interesting with Indonesia?" atau ada yang menyeletuk:"Really?"

"Keuntungan" negara-negara yang dijajah oleh Inggeris dan Amerika (English speaking countries), adalah kemampuan mereka dalam bahasa dunia tsb, beda dengan bahasa Belanda yang bukan bahasa dunia, dan hanya dipakai di Belanda, Suriname dan Afsel.Di pasaran Amerika, banyak terjual buku-buku novel dan karangan-karangan ilmiah tulisan orang-orang India. Demikian pun penyiar-penyiar tv, banyak yang asalnya dari negara-negara bekas jajahan Inggeris dan Amerika.

Dalam pada itu sikap berendah hati kita itu barangkali dapat dikembalikan kepada situasi bangsa bekas jajahan yang sehingga sekarang belum menemukan kembali jatidirinya (national identity) nya sendiri. Meskipun begitu, bila kita bandingkan sikap itu dengan sikap bangsa-bangsa lain yang pernah dijajah juga, misalnya mereka yang datang dari negara-negara Afrika bekas jajahan Perancis, yang belajar dan bekerja di Amerika Serikat, maka jelaslah sudah bahwa perkiraan itu meleset.

Bangsa-bangsa itu lebih lincah berkomunikasi dengan warga setempat dari pelbagai lapisan masyarakat, dan bicara mereka dapat berjalan dengan bebas dan wajar meskipun aksennya masih tebal, seperti layaknya antar manusia merdeka yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Tampaknya tidak ada hambatan mental yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan akan kata dan kalimat yang harus dipergunakan untuk menjelaskan maksud dan kehendak mereka.

Bahkan bangsa-bangsa tetangga kita di ASEAN, yang datang dari Filipina, Singapura ataupun Malaysia memperlihatkan kelebihannya daripada kita dalam bertukar fikiran pada sidang atau pertemuan di mancanegara. Mereka dapat dikatakan mempunyai bekal modal lebih untuk menandingi kekuatan lawannya bicara. Dengan begitu, pribadi bangsa-bangsa itu juga lebih menonjol (mengemuka) dan memperoleh perhatian dan penghargaan dari bangsa-bangsa lain. Modal lebih itu adalah kecakapan mereka menggunakan bahasa Inggeris.

Saya kira hal ini juga yang menyebabkan kita selalu bisa diakali dalam perundingan-perundingan internasional, bahkan sekarang juga tidak berusaha untuk menyelesaikan suatu pertikaian internasional, seperti Ambalat dan pulau-pulau yang diklaim oleh negara jiran. Dan baru-baru ini perjanjian dengan Singapura untuk menggunakan pulau-pulau kita sebagai tempat latihan bertempur; yang sangat merugikan kita, akan tetapi kita tidak bisa berkutik, karena mereka bilang perjanjian itu baru bisa dirobah setelah 14 tahun lamanya.

MOHON DENGAN HORMAT AGAR KALIMAT SEBELUMNYA DI BAWAH INI DIRALAT DAN DITAMBAH DENGAN HURUF-HURUF YANG TERCETAK TEBAL.

Terima kasih.


Bandingkanlah dengan waktu Republik Indonesia baru berumur satu DASAWARSA (SEPULUH TAHUN) tahun, sudah dapat menyelenggarakan suatu konferensi internasional yang besar di Bandung (Asian African Conference) yang dihadiri oleh 29 negara, berkat kemampuan pemimpin-pemimpin kita yang mampu berbahasa Inggeris, dan bahasa-bahasa asing lainnya, yang mereka pelajari waktu mereka masih duduk di sekolah menegah pada zaman penjajahan.

Demikian sekedar corat-coret saya, tidak lupa saya mohon maaf sebesar-besarnya serta pengertian sedalam-dalamnya dari sahabat-sahabat RKB, karena banyak kesalahan, kekhilafan maupun kekurangan yang kurang berkenan. Atas perhatian sahabat-sahabat RKB, saya haturkan beribu terima kasih sebelum maupun sesudahnya.

Salam hormat takzim,
sum.

Melampaui Pluralisme

Buku “Melampaui Pluralisme: Etika alquran tentang Keanekaragaman Agama”” ditulis oleh Hendar Riyadi, dicetak oleh RMBooks & PSAP Januari 2007. Dalam kata pengantarnya, Professor Dr. Komarudin Hidayat menulis bahwa buku ini merupakan sebuah ijtihad untuk menciptakan hubungan yang konstruktif antarumat beragama yang selalu menyimpan potensi konflik. Di tengah-tengah era dimana konflik antar umat beragama semakin meningkat, yang bisa membahayakan integrasi negara, buku semacam ini sangatlah dibutuhkan.
Indonesia merupakan sebuah negara yang mengakui keberagaman agama yang dianut oleh pare penduduknya, paling tidak ada 6 agama: Islam dengan pengikut terbesar, kemudian Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu. Toleransi yang digembar-gemborkan harus diakui bahwa hal tersebut tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. Contoh terburuk dari ketidaktoleran ini bisa kita sebutkan sebagai konflik di Ambon beberapa tahun lalu, juga di Poso, dan di beberapa tempat lain. Jika memang semangat toleransi itu ada di dalam hati setiap warga negara Indonesia, dimanapun mereka berada, tidak akan mudah para provokator merasuki cara berpikir orang-orang dan menyebabkan konflik berdarah karea perbedaan agama.
Orang-orang yang sulit mempraktekkan toleransi itu tentu karena mereka yakin bahwa apa yang dituliskan di dalam kitab suci yang mereka percayai benar—bahwa hanya agama merekalah yang benar. Untuk itulah, untuk menumbuhkan semagat toleransi, harus ada cara baru dalam membaca dan memahami ayat-ayat kitab suci. Semangat inilah yang mendasari Hendar Riyadi melakukan riset dan menghasilkan buku “Melampaui Pluralisme”.
Untuk menghasilkan interpretasi ayat-ayat Alquran yang inklusif, Hendar Riyadi menawarkan metodologi yang berbeda dari yang digunakan oleh para ahli tafsir klasik: metode penafsiran yang integratif. Metode ini didasarkan pada beberapa teori penafsiran. Baik yang berkembang dalam tradisi keilmuan Islam maupun yang berkembang dalam tradisi teori hermeneutika kontemporer. Yang paling penting untuk digarisbawahi adalah Alquran harus dibaca secara utuh, secara totalitas, dan bukan sebagian-sebagian.
Selain metodologi, Hendar Riyadi juga menawarkan untuk menggunakan perspektif yang berbeda: perspektif etika relijius. Etika relijius yang dimaksudkan di sini adalah pertimbangan-pertimbangan atau keputusan-keputusan moral yang didasarkan pada pandangan dunia Alquran , konsep-konsep teologis, serta kategori-kategori filsafat dan dalam beberapa hal merujuk pada etika sufistik.
Dalam postingan sebelum ini, yang berjudul ‘toleransi’ dan ‘toleransi 2’ aku telah menyebut beberapa bagian buku ini. Bagi pengunjung blogku, bisa juga membaca ulasanku tentang buku yang sama di alamat berikut ini:


Terima kasih.
LL 18.01 010907