Search

Wednesday, November 24, 2021

Dosa Waris 2

 


Istilah ‘dosa waris’ dalam bidang pendidikan pertama kali kudengar dari seorang (ex) rekan kerja mungkin sekitar dua dekade yang lalu. Mengingat kita adalah guru Bahasa Inggris, contoh yang paling sering kita bahas waktu itu adalah pronunciation yang salah. Jika seorang guru salah mengajarkan pronunciation sebuah kata, (mungkin dikarenakan malas ngecek kamus), maka bisa dipastikan anak didiknya akan salah juga cara membaca kata tersebut. Jika anak didiknya ternyata menjadi guru, dan ‘take it for granted’ tanpa ngecek kamus, dia juga akan mengajarkan cara membaca yang salah.

 

Misal waktu aku duduk di bangku SMP, guru Bahasa Inggrisku mengajari cara membaca ‘flour’ seperti tulisannya /flour/. Guru waktu SMA juga membacanya sama, maka kupikir memang begitulah cara membacanya. Sampai akhirnya aku menjadi guru, bertemu sebuah buku dimana di dalamnya berisi berbagai jenis games, salah satunya adalah ‘homophones’. Yang dimaksud ‘homophones’ dalam Bahasa Inggris adalah ada dua atau lebih kata yang cara membacanya sama namun penulisannya berbeda, misal /eyes/ dengan /ice/, /two/ dengan /too/ atau /to/. Nah, di lembar game ini lah aku menemukan kata /flour/ yang disamakan pronunciationnya dengan /flower/. Tentu saja aku kaget dan langsung ngecek kamus. To my surprise, aku baru nyadar bahwa sekian tahun aku pun telah membaca kata ‘flour’ dengan salah.

 

Satu kata lain lagi adalah kata ‘vehicle’. Guru SMA-ku membacanya /vihaikel/. Waktu kuliah S1 dengan pede aku membacanya /vihaikel/. Di satu kesempatan, aku disalahkan oleh seorang teman sekelas, karena katanya cara membacanya adalah /vi’ikel/. Karena tidak terima (mosok guruku salah?) aku langsung ngecek kamus, dan mendapati ... memang guruku yang salah cara membacanya.

 

 

Pengucapan yang salah mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan mengajarkan teori yang salah. Ini pernah (nyaris) kualami ketika kuliah di Program Studi American Studies. Untung waktu itu di tengah kebingunganku dan kawan2 sejurusan, ada seorang dosen yang baru pulang dari negara Paman Sam menjelaskannya.

 

Menyimak obrolan di grup yang berjilid-jilid di grup mengingatkanku pada istilan 'dosa waris' ini. Kata 'absen' yang diambil dari Bahasa Inggris memiliki makna tidak hadir, namun dalam Bahasa Indonesia bisa berubah makna menjadi 'kehadiran'; frase 'DAFTAR ABSENSI' bermakna 'DAFTAR KEHADIRAN'. Kata 'bergeming' yang memiliki arti 'diam' alias 'tidak bergerak' namun oleh banyak jurnalis disalahatuliskan dalam artikel-artikel mereka hingga malah memiliki makna sebaliknya. Berarti kita bisa menyimpulkan bahwa media pun bisa menjadi sumber dosa waris, lol.

 

Kalau kata 'rock' dalam genre musik diterjemahkan menjadi 'cadas', mungkin berasal dari kata 'rock' yang bisa diartikan batu dan batu memiliki kemiripan dengan cadas alias lapisan tanah yang keras.

 

Kata mbak peneliti Mamanya dik Marjan, kita sebaiknya mengacu ke KBBI yang pastinya ditulis oleh ahli Bahasa yang dianggap memiliki kompetensi untuk mengecek satu kata memiliki arti yang telah dibakukan dalam Bahasa Indonesia atau belu. Atau, jangan-jangan para ahli bahasa itu bisa jadi juga menyebarkan dosa waris? Wkwkwkwk …

 

Kalau kata jeng ayu Ike, tulisan ini menunjukkan bahwa aku termasuk orang yang punya waktu luang seluang-luangnya dan tak lagi butuh mengejar mengumpulkan harta. Wkwkwkwk …

 

Semarang 24 November 2021

 

N. B.:

ini merupakan lanjutan dari tulisan disini. 

Monday, September 20, 2021

S e l e r a

 

Carrie and Big, on their first official date

Tiap orang memiliki selera yang berbeda. Itulah sebabnya ada idiom, "beauty is in the eye of the beholder".

 

Tulisan ini terinspirasi oleh status seorang kawan yang satu kali menulis status di zaman mudanya dulu dia suka perempuan yang berkulit gelap dengan tubuh berisi. Pada dekade 80-an memang dunia televisi Indonesia belum dihujani oleh iklan-iklan "putih itu cantik". Belum ada brainwashing "cantik itu putih, langsing, dan rambut lurus."

 

Saat membaca status itu, saya teringat satu serial Sex and the City yang berjudul "Secret Sex". Episode ini mengisahkan bagaimana Carrie pertama kali ngedate dengan Mr. Big. Mereka pergi ke satu Chinese restaurant setelah making love. Disana Carrie bertemu dengan seorang kawan lamanya, Mike Singer, yang sedang makan malam bersama seorang perempuan. Carrie dengan excited ingin bertanya siapa perempuan itu, namun Mike menunjukkan gelagat tidak ingin memperkenalkan Carrie pada perempuan yang dikencaninya itu.

 

Carrie and Mike in "Secret Sex" episode


Keesokan hari, Carrie bertemu dengan Mike di satu showroom. Mike berkisah bagaimana dia bertemu dengan Libby: saat dia sedang patah hati ditinggal begitu saja oleh pacar lamanya, dan begitu saja dia bertemu dengan perempuan yang katanya "warm, unpretentious." plus, "With her I had the best sex in my life."

 

Meskipun begitu, Mike juga bilang, "She is just not the one I see myself with."

 

Nah lo.

 

"So, what's wrong?" tanya Carrie. Yang dijawab secara gamblang oleh Mike, "She is not beautifulAll I know is that she is not the right woman for me in the larger sense."

 

Carrie, sang kolumnis dan di episode 1 session 1 mendaku diri sebagai "sex anthropologist" pun Cuma bisa melongo mendengarnya. Carrie bertanya dalam hati, apakah Mike itu seseorang yang dangkal, atau hanya ingin jujur?

 

*****

 

Kemunculan serial Sex and the City pada dekade 1990-an konon memang ingin 'memasyarakatkan' kenyataan bahwa sex bukan hanya kebutuhan kaum laki-laki. Meski di sisi lain, SATC nampak masih ragu-ragu untuk menyuarakan hal lain: hak para LBTQ atau kisah cinta antar ras/kulit. SATC juga masih memuja high class society yang berkulit putih.

 

Pertanyaan saya:

 

Can you fall in love (and have mind-blowing sex/orgasm) with someone whom you think is not good-looking? Do you feel shy to 'show off' your partner when you think she/he is not good-looking? Or do you belong to the type of people who believe that "beauty is the eye of the beholder" or "love will make someone look gorgeous"?

 

Different people have different interest. So, why bother what other people say about our choice?

 

Semarang 20 September 2021

 

Wednesday, September 08, 2021

K e n t u t



Meme ini mengingatkan saya satu serial Sex and the City. Carrie Bradshaw, the main protagonist, satu pagi, terbangun di apartment Mr. Big, pacar (baru)nya. (Waktu itu mereka masih baru jadian). Tanpa sengaja, Carrie mendadak kentut keras sekali. Hal ini membuat Carrie merasa malu sekali sehingga dia langsung kabur, kembali ke apartment-nya sendiri, padahal Mr. Big hanya tertawa terbahak-bahak saat mendengarnya. Sebelum Carrie pulang, Mr. Big menawarinya minum kopi, tapi Carrie telanjur malu, dia kabur begitu saja.

 

Setelah mampu menghapus rasa malunya, dan menyadari bahwa tingkah lakunya itu kekanak-kanakan, keesokan hari Carrie ke apartment Mr. Big lagi. Nah, sialnya, malam itu Mr. Big mengaku lelah sekali sehingga menolak ajakan Carrie untuk make love. Dan itu terjadi hingga 3 malam berturut-turut. Maka gelisahlah Carrie. Dia menganggap Mr. Big tak lagi mencintainya karena Carrie hanyalah seorang perempuan yang kentut. Apalagi ketika dia curhat pada Samantha, seorang sahabatnya, Samantha bilang,

 

"no honey, you are a woman. And men don't like women to be human. We aren't supposed to fart, douche, use tampons or have hair in places we shouldn't."

 

Tidak peduli pada apa kata Miranda -- seorang sahabatnya yang lain -- bahwa "farting is human. You are just being human doing that." Carrie tetap merasa "I am just a woman who farted" sedangkan pacarnya adalah "He is a perfect guy, lives in a perfect apartment, wears perfect clothes, has a perfect job, perfect … perfect …"

 

Padahal kentut itu kan melegakan ya gaes? Apalagi jika bisa membuat kita kian langsing. Maka? Mari kita kentut :)

  

Wednesday, September 01, 2021

Isolasi Mandiri

 ISOLASI MANDIRI

Akhirnya, covid 19 pun datang ke rumahku. Bukan aku, atau Angie, tapi suami adik bungsuku yang 'ketiban sampur' kali ini.
Rumah yang kutinggali ini adalah rumah warisan orangtua. Aku dan keluarga pindah kesini tanggal 17 April 1981. alhamdulillah rumah ini cukup luas, dan kami (aku dan keluarga) biasa 'membagi' (secara visual) rumah ini menjadi 'rumah bagian depan' (ada 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, 1 ruang tamu dan 1 ruang keluarga) dan 'rumah bagian belakang' (ada 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, 1 ruang makan, 1 dapur). Selain itu, masih ada halaman samping di sebelah Selatan rumah yang cukup luas untuk kami menggerakkan badan selama terpaksa isolasi mandiri dengan limpahan sinar matahari yang cukup. Di sisi Utara rumah (samping ruang makan) juga ada sedikit ruang terbuka yang biasa kami pakai untuk menjemur baju setelah dicuci. Sedangkan untuk suami adikku berjemur, dia bisa melakukannya di halaman depan rumah, di ujung Selatan yang juga terkena sinar matahari selepas pukul 08.30 pagi.
Awal mula covid 19 datang, 5 Juli saat suami adikku ke Weleri untuk urusan pekerjaan. Disana bertemu dengan seorang kolega. Hari itu juga dia pulang ke Semarang; keesokan hari berangkat ke Weleri lagi. Menginap disana beberapa hari, baru pulang hari Sabtu 10 Juni, dengan keluhan, "tubuhku terasa tidak enak."
Hari gini, saat covid19 tersebar dimana-mana, tentu kami sekeluarga langsung 'alert'. Adikku langsung menginstruksikan suaminya untuk memakai masker selama di rumah, terutama saat keluar dari kamar. Wiken itu dia masih mandi di kamar mandi belakang. Sebenarnya aku ingin langsung memintanya tidak perlu ke rumah bagian belakang, tapi kami sekeluarga masih belum yakin apakah dia hanya sekedar tidak enak badan karena kelelahan atau karena terpapar virus.
Hari Senin 12 Juli, dia berangkat lagi ke Weleri. Stay disana beberapa hari dan mengabari bahwa tubuhnya kian terasa tidak enak. Adikku pun melarangnya untuk pulang ke Semarang, agar tidak menulari yang tinggal di rumah. Sekitar hari Jumat 15 Juli adikku mengabari pak RT tempat tinggal kami tentang kondisi suaminya, pak RT pun melarang suami adikku untuk pulang. 🙁 Kemudian adikku berpikiran untuk menghubungi pak RT dimana suaminya sedang berada, di Weleri, dengan harapan satgas covid yang berada di Weleri bersedia 'mengurusi' suaminya.
Singkat cerita, hari Senin 19 Juli, suami adikku memaksakan diri untuk pulang ke Semarang karena ternyata petugas puskesmas yang terletak dekat rumahnya di Weleri bilang takut untuk datang ngecek. 🙁 pak Lurah yang pernah positif covid 19 pun takut datang, khawatir terinfeksi lagi. 'Untung'nya perjalanan pulang ke Semarang lancar, -- tidak ada 'cegatan' yang katanya berlapis-lapis di jalan menuju masuk kota Semarang. Kami yang ada di rumah sudah siap 'menyambut'nya, 2 anak-anak (usia 7 dan 10) alhamdulillah mudah diberi pengertian untuk tetap berada di rumah bagian belakang. Kamar depan dipakai untuk isolasi mandiri. Yang isoman masih bisa bergerak lumayan leluasa; selain di kamar, ada kamar sebelah yang dihubungkan oleh pintu 'dalam' plus kamar mandi. Dia juga bisa keluar ke teras. Syukurlah teras cukup luas sehingga tidak akan 'menakuti' orang-orang lewat jika mereka tahu ada yang positif covid 19 di rumah kami, dan yang sedang isoman berjemur di teras.
Untuk makan, adikku meletakkan makanan di ruang tamu dibungkus kertas makanan, atau plastik. Di kamar untuk isoman sudah disediakan piring dan sendok. Adikku dan suaminya tidak berpapasan, meski tentu ketika adikku meletakkan makanan di ruang tamu, dia mengenakan masker, dan langsung membasuh tangan dengan hand sanitizer setelah kembali dari ruang tamu menuju belakang.
Tanggal 19 Juli itu suami adikku swab antigen di klinik Hasna, dan hasilnya positif. Saat adikku mengabari pak RT, ternyata dia malah mengomeli adikku yang mempersilakan suaminya kembali ke rumah. 🙁 namun, kemudian dia melaporkan pada satgas covid di RT kami, dan memberi kami bantuan berupa beras 5 kg, minyak goreng 1 liter, beberapa bungkus mie instant, satu kaleng kecil korned dan setengah kg gula pasir. Kisah beberapa kawan tentang 'jaga tangga' di daerahnya yang siap mengantar makanan siap makan sehari 3 kali tidak ada di RT kami; atau ada tetangga yang mengantar sayur-sayuran untuk kami masak sehingga kami tidak perlu keluar rumah juga tidak ada. Meskipun begitu, kami tetap bersyukur karena ada tukang sayur langganan yang kiosnya terletak di ujung gang 9 (rumah kami di ujung gang 😎 bersedia mengantar sayur mayur dan lauk yang kami pesan lewat WA ke rumah beberapa kali.
Sementara itu, dengan usaha menghubungi temannya yang pernah menjalani karantina, adikku mendapatkan nomor telpon beberapa orang yang bisa dihubungi untuk meminta akses bisa masuk karantina di rumah dinas Walikota. Ini karena suami adikku merasa kurang nyaman isolasi mandiri di rumah. Alhamdulillah hari Rabu 21 Juli ada kabar baik ada kamar kosong di rumah dinas Walikota. Karena tidak ada ambulance yang siap menjemput (semua ambulance sibuk), suami adikku berangkat ke rumah dinas Walikota naik taksi online. Alhamdulillah sopir grab yang kami pesan, tidak keberatan membawa pasien positif covid 19.
Sementara kami semua tetap stay di rumah bagian belakang, (kamar tempat isoman plus ruang tamu tetap tidak kami jamah sama sekali), kadang adik bungsuku masih keluar rumah karena keperluan sekolah 2 anaknya. Kebetulan si Adek baru keterima kelas 1 SD negeri dekat rumah, plus si kakak yang baru naik kelas butuh buku-buku yang harus dibeli.
Hari Minggu 25 Juli sore, aku dan Angie keluar rumah, Angie harus swab antigen dahulu sebelum hari Senin 26 kembali 'work from office' setelah WFH satu bulan. Sesampai rumah, adikku mengabari ada kabar dari rumah dinas Walikota bahwa suaminya dianggap sudah cukup sehat sehingga diminta untuk pulang. Dengan catatan masih tetap harus jaga jarak dengan yang lain, isoman masih berlangsung sampai 2 minggu sejak dia dinyatakan positif covid 19. Kenyataannya, kami sekeluarga memintanya untuk tetap jaga jarak sampai 2 minggu setelah 25 Juli itu.
Alhamdulillah masa isolasi mandiri sudah usai. PPKM sungguh tidak terasa memberatkan sama sekali jika kita telah merasa menjadi 'tawanan di dalam rumah sendiri'. Well, at least, buat kami sekeluarga.
Semoga kita semua selalu diparingi kesehatan oleh Yang Maha Kuasa, dan kita mampu memanfaatkan kehidupan kita untuk kemaslahatan bersama, bagaimana pun itu caranya. Amin.
N. B.:
Keterangan foto, aku tetap berusaha menyalakan 'strava' selama harus isolasi mandiri dengan berjalan kaki di halaman samping rumah, sekalian berjemur, kadang sendiri, kadang 2 keponakan ikut menemani berputar-putar. Well, dari pada tidak bergerak sama sekali, ye kan?
Semarang, 10 Agustus 2021




Saturday, April 24, 2021

T a d a r u s

 


Di satu tulisan di blog beberapa bulan lalu disini, aku menulis bahwa aku diajari membaca huruf hijaizah oleh ayah sejak aku kelas 1 SD. Sebelumnya, kakakku 'belajar mengaji' di seorang tetangga yang memang menerima anak-anak tetangga untuk belajar mengaji. Seingatku, ayah ibuku pasrah bahwa kakakku akan belajar mengaji -- membaca huruf hijaiyah -- dengan baik dengan tetangga itu. Hingga satu kali, ayah ngecek kakakku untuk membaca surat-surat pendek dalam juz 'amma. Akhirnya ketahuan bahwa kakakku menghafal surat-surat pendek itu, namun tidak benar-benar bisa membaca huruf-huruf hijaiyah itu dengan baik. Walhasil, ayah mengajari sendiri kakakku, plus aku, untuk membaca alquran.

 

Sekarang aku kagum bagaimana ayah yang sibuk bekerja di sebuah BUMN tetap bisa menyediakan waktu untuk mengajari aku dan kakakku mengaji. (Mengapa bukan ibuku ya? Entahlah.)

 

Aku khatam (pertama kali) alquran ketika aku duduk di kelas 3 SD. (Berarti kakakku duduk di kelas 4 SD.) setelah itu, ayah tidak pernah 'membebani' kita membaca alquran setelah shalat maghrib, misalnya. Aku ingat, beberapa kali ditanya guru sekolah, "Kamu mengaji sampai juz berapa Na?" kujawab, "Saya sudah khatam alquran," dengan bangga. Seingatku, guruku juga nampak bangga mendengarnya. Lol. Namun, satu kali aku tertegun dengan seorang guru yang bertanya lagi, "Memangnya kalau sudah khatam, kamu ga mengaji alquran lagi?" aku diam saja, lol. Lha gimana, 'instruksi' untuk membaca alquran setelah shalat (dari ayahku tentu saja) belum ada. Lol.

 

Bulan Ramadan ketika aku duduk di bangku kelas 4 SD adalah saat pertama aku (dan kakakku) mendapat instruksi untuk tadarus: satu hari harus membaca 1 juz, sehingga ketika Ramadan usai, aku khatam. Akhir dekade 70an itu, sekolah-sekolah libur selama bulan Ramadan, namun sekolahku tetap masuk. :D (FYI, di dekade itu, di Semarang sekolahku merupakan satu sekolah dari sedikit sekolah yang libur hari Jumat. Jika sekolah-sekolah Muhammadiyah belum mewajibkan siswi-siswinya mengenakan jilbab, sekolahku telah mewajibkan siswi-siswinya mengenakan jilbab setelah menginjak kelas 5.)

 

Dan, tadarus itu membaca alquran secara tartil ya, tidak perlu dilagukan, tapi tetap harus dengan suara keras. Waktu itu, biasanya aku dan kakakku akan tadarus barengan, meski kita membaca sendiri-sendiri. Setelah selesai satu juz (kadang, kita langsung 'habis' 1 juz saat tadarus), kita berdua akan sama-sama mengeluh haus, lol. Sebenarnya kita bisa mencicil ya, plus bisa melakukannya setelah berbuka, agar setelah tadarus dan haus, kita bisa minum. Tapi, saat itu, usai berbuka di rumah, kita akan shalat maghrib dan isya' lanjut tarawih di masjid, saat-saat kita 'bermain' (baca => sosialisasi) dengan tetangga. Tentu kita tidak ingin 'mengorbankan' saat-saat 'bermain' ini untuk tadarus, lol.

 

Tadarus ini merupakan instruksi dari ayah saat bulan Ramadan. Di luar Ramadan, kita 'bebas'. Well, sebenarnya ayah bilang, "Jika di bulan puasa kalian bisa mengaji 1 juz, harusnya di luar bulan puasa, kalian bisa mengaji lebih dari 1 juz sehari dong," tapi, karena bukan 'instruksi' (yang kesannya 'wajib' kita lakukan, lol) kita tidak mengaji sampai 1 juz sehari di luar bulan Ramadan. Lol.

 

Ini kenangan masa kecilku, saat duduk di bangku SD, aku dan keluarga tinggal di Bulustalan, satu perkampungan padat tak jauh dari Tugumuda, dimana di tiap gang, ada masjid dan PPP selalu menang saat pemilu, lol. Saat aku duduk di bangku 1 SMP, keluarga pindah ke Pusponjolo. Kebiasaan (instruksi ini akhirnya menjadi 'habit') tadarus tentu terus berlanjut, hingga aku kuliah di Jogja. Ayah meninggal saat aku duduk di semester 7.

 

Sekarang? Aku lupa kapan terakhir aku tadarus. :D

 

PT56 08.20 24042021