Search

Sunday, March 28, 2010

Why feminist?


Why feminist?

Ayu: mbak Nana feminis ya?
Nana: yup. Are you?
Ayu: engga, aku perempuan biasa aja.
Nana: ok deh. :)
Ayu: mmm ... boleh tahu ngga apa yang membuat mbak menjadi feminis?
Ayu: mari berdiskusi dengan saya tentang gender dan feminis mbak.
Nana:
Ceritanya cukup panjang kukira, in short, aku terlalu innocent kali ya menerima pelajaran agama sejak kecil, bahwa perempuan ada di bawah laki2, sampai aku menemukan buku SETARA DI HADAPAN ALLAH karya Riffat Hassan dan Fatima Mernissi. Aku masih sangat ‘relijius’saat itu, jadi bahwa buku itu ditulis oleh feminis Muslim sangat penting bagiku.

Selain itu, bahwa aku menikahi pria yang salah, tentu sangat berpengaruh.

Begitu.

Kesimpulan:
  1. seandainya aku tidak menikahi pria yang salah, aku akan tetap menjadi perempuan ‘kebanyakan’.
  2. seandainya aku tidak menemukan buku SETARA DI HADAPAN ALLAH, aku tidak akan mendapatkan perspektif lain dalam memandang relasi laki-laki perempuan.
  3. seandainya aku tidak menerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah di American Studies, aku tidak akan memiliki uang ‘berlebih’ yang bisa kupakai untuk membeli buku.
  4. seandainya aku tidak bertanya ‘mengapa begini’ ‘mengapa begitu’ tentang agama yang ‘dipaksakan oleh orang tuaku untuk kuanut sejak bayi’, aku tidak akan mendapatkan ‘kesadaran baru’ tatkala membaca buku SETARA DI HADAPAN ALLAH.
  5. seandainya di kawasan UGM (pada waktu itu) tidak ada orang yang menggelar dagangan berupa buku-buku – yang kulewati dari kampus ke kos dengan jalan kaki – aku tidak akan menemukan dan membeli buku tersebut
Kesimpulan selanjutnya:
Memang beginilah jalan hidupku!
PT56 16.16 280310

Wednesday, March 24, 2010

Khatib Perempuan

Khatib Perempuan
Sri Rahayu Arman

"ENAM ’L’ (laki-laki lagi, laki-laki lagi)," gerutu Gifta (24) tak kuasa menahan jemu setiap kali menyimak ceramah. "Kenapa khatib-shalat Jumat ataupun shalat tarawih-selalu laki-laki? Tak adakah kesempatan bagi dai perempuan untuk berkhotbah?"

GERUTUAN Gifta cukup beralasan. Dari sekian ribu masjid di Tanah Air, tak satu pun perempuan menjadi khatib. Satu-satunya perempuan yang ia dengar berani berkhotbah Jumat di hadapan pria adalah Prof Amina Wadud, sarjana Muslim terkemuka. Ia naik mimbar Masjid Claremont Main Road di Cape Town di Afrika Selatan. Namun, Wadud menuai kritik bertubi-tubi tak
hanya dari kalangan pria Muslim, melainkan juga dari kaumnya sendiri-para Muslimah-di sana. Bahkan, lembaga yang berpengaruh di Cape Town, Dewan Syariah Islam, dan para pendukungnya mengancam hukuman mati kepada siapa pun yang punya ideologi di belakangnya atas kejadian bersejarah itu (Esack: 2004).

Sebagai Muslimah kritis, Gifta tak tinggal diam. Ia membuka-buka literatur Islam di perpustakaannya. Ia pun dikejutkan sebait kalimat yang dibacanya berulang-ulang: "Salah satu syarat menjadi khatib adalah laki-laki." Seketika itu otaknya dijejali pertanyaan: mengapa khatib hanya dibatasi bagi laki-laki dan tidak ada kesempatan bagi perempuan? Begitu diskriminatifkah Islam sehingga untuk menjadi khatib harus berjenis kelamin laki-laki? Ataukah hal ini sekadar konstruksi fuqaha (ahli hukum Islam) yang hampir semuanya laki-laki?

Kegelisahan Gifta sangat penting ditelaah lebih jauh. Lebih dari sekadar ada diskriminasi fikih terhadap nilai ibadah laki-laki dan perempuan, hal ini memicu kita membongkar sejarah domestifikasi atau subordinasi perempuan dalam masyarakat Islam.

Secara umum, khatib adalah orang yang menyampaikan ajaran agama atau khotbah sebelum shalat Jumat atau kegiatan keagamaan lain. Untuk itu, seorang khatib harus memiliki kecakapan dan pengetahuan agama yang baik. Dan kini yang memiliki kecakapan dan pengetahuan agama yang cukup tak hanya laki-laki. Terbukti, kini mubalig perempuan telah bermunculan.
Sayangnya, mereka tetap tidak bisa menjadi khatib maupun iman shalat di masjid. Mereka hanya bisa menjadi khatib atau imam di rumah atau pelbagai majelis taklim di kalangan perempuan sendiri.

Jelaslah, perempuan tidak boleh berkhotbah di masjid bukanlah karena ketidakmampuan mereka. Setidaknya, ada tiga hal yang menjadi alasan pembatasan khatib hanya bagi laki- laki.

Pertama, berawal dari ketidaksunahan perempuan melakukan shalat berjemaah di masjid. Pandangan itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Daud, "Janganlah kamu melarang perempuan-perempuan kamu sekalian untuk datang ke masjid, tetapi rumah lebih baik baginya." Juga dituturkan dalam riwayat lain, "shalat seorang perempuan di ruang tidur lebih baik daripada ia shalat di ruang rumahnya. Jika seorang perempuan, di serambi rumahnya lebih baik daripada ia shalat di masjid" (di riwayatkan Al-Bayhaqi. Lihat As-Sunnah al-Kubra, Juz III, hlm 132).

Hadis inilah yang kemudian digunakan ulama fikih sebagai pembenaran bagi ketidakutamaan, bahkan kemakruhan, perempuan shalat berjemaah di masjid dengan alasan untuk menghindari fitnah. Karena itu, perempuan lebih disarankan shalat berjemaah di rumah sebab shalat berjemaah di masjid merupakan simbol kebebasan kaum perempuan untuk berserikat dan
beraktivitas saat itu. Untuk itu, pembatasan agar perempuan shalat berjemaah di rumah saja sama dengan mencegah perempuan melakukan sosialisasi dan aktualisasi diri. Nah, kita bisa bayangkan! Jika shalat berjemaah di masjid saja dimakruhkan, bagaimana jika ia menjadi seorang khatib, orang yang memberi ceramah? Jelas, mustahil.

Kalau kita cermati hadis di atas, itu bisa juga ditafsirkan sebagai pilihan. Karena situasi kultural masyarakat Arab saat itu belum benar-benar aman bagi perempuan untuk keluar rumah, tetap di rumah menjadi pilihan yang lebih baik bagi mereka. Hadis riwayat Abu Daud di atas sama sekali tidak mengindikasikan ketidakbolehan perempuan shalat berjemaah atau beraktivitas di masjid.

KEDUA, adanya anggapan bahwa perempuan itu kurang berakal dan beragama. Anggapan itu bermula dari penafsiran hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah: "Wahai kaum perempuan, bersedekahlah, karena aku melihat kamu sekalian sebagai penghuni neraka paling banyak." Para perempuan bertanya, "Mengapa wahai Rasul?" Nabi SAW menjawab, "Kamu sering mengumpat dan melupakan kebaikan orang, aku sekali-kali tidak melihat orang yang (dikatakan) sempit akal dan kurang agama, tetapi bisa meruntuhkan keteguhan seorang lelaki, selain kamu." "Mengapa kami (dianggap) sempit akal dan kurang agama, wahai Rasul?" Nabi SAW menjawab, "Bukankah kesaksian perempuan dianggap setengah dari kesaksian laki-laki?" "Ya," jawab mereka. "Itulah yang dimaksud sempit akal; bukankah ketika sedang haid wanita tidak shalat dan tidak puasa?" "Ya," jawab mereka. "Itulah yang dimaksud kurang agama." (HR Imam Bukhari).

Memahami hadis ini, kebanyakan orang berkesimpulan sederhana. Karena sempit akal dan kurang agama itulah perempuan dilarang menjadi pemimpin, imam shalat, dan khatib. Padahal, jelas-jelas isi hadis ini tidak sesuai dengan prinsip dasar Al Quran, yakni kesetaraan (masâwah). Untuk itulah hadis ini perlu di telaah ulang. Menurut profesor hukum Islam terkemuka, Khaled M Abou El Fadl, kurangnya agama pada hadis ini bukan berarti wanita secara alamiah kurang cerdas dan kualitas agamanya lemah. Namun, yang kurang itu taklifnya atau pembebanan tugas ibadahnya. Pembebanan tugas ibadah bagi perempuan memang lebih sedikit daripada laki-laki.
Ketika sedang haid, nifas, dan hamil, misalnya, wanita Muslimah diberi keringanan tidak salat dan diizinkan tidak berpuasa (tetapi harus menggantinya dengan puasa juga).

Maka, jelaslah "kurang agama" dalam hadis itu sama sekali tak menyiratkan "kurangnya kualitas iman" wanita Muslimah, melainkan "ringannya beberapa tugas agama tertentu" bagi mereka. Dan "keringanan" atau "kekurangan" itu diabsahkan agama, tanpa mengurangi mutu iman dan ibadah mereka.

Sejarah Islam membuktikan, bahkan sampai sekarang, banyak perempuan memiliki kualitas olah pikir cemerlang. Begitu pula dengan kualitas keimanannya yang mendalam. Siti Aisyah, misalnya, adalah wanita yang meriwayatkan lebih dari 10.000 hadis Nabi. Rabiah Adawiyah adalah pelopor mazhab cinta sufi. Bahkan, menurut Al-Jahiz, ulama klasik, para fukaha belakangan seperti Al-Sakhawi, Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Suyuthi itu belajar kepada sejumlah guru perempuan (Khaled: 2004).

Ketiga, adanya anggapan suara perempuan itu aurat, pengundang hawa nafsu. Sebagaimana hadis yang dituturkan Abd Allah ibn Umar, "Perempuan adalah aurat sehingga apa pun yang berbau perempuan adalah jerat setan." Oleh karena itu, dengan berkhotbah, perempuan seakan telah membuka auratnya di muka publik dan bisa mengakibatkan munculnya hawa nafsu bagi
yang mendengarkan. Jadi, perempuan dilarang menjadi khatib karena suara perempuan dianggap mengundang hawa nafsu.

Kalau kita telusuri lebih jauh, anggapan itu sebenarnya pengaruh dari budaya pra-Islam yang menganggap diri perempuan pada dasarnya diciptakan sebagai penggoda. Untuk itu, pandangan seperti itu harus diteliti ulang. Muhammad al-Ghazali, tokoh Islam Al-Azhar, mengatakan, "Tidak seorang pun di antara ahli fikih yang mengatakan suara perempuan aurat. Jika ada, pendapat itu hanya isu bohong semata."

Lebih dari itu, memandang suara perempuan sebagai pengundang hasrat berahi kaum lelaki jelas-jelas merendahkan martabat kaum lelaki sendiri. Betapa lemahnya kualitas moral seseorang bila ia tergoda hanya karena mendengar suara, apalagi berupa nasihat keagamaan.

DENGAN demikian, ketiga alasan itu sebenarnya tidak lagi memadai untuk menolak perempuan berkhotbah. Dalil-dalil di atas harus dipahami secara kontekstual, sesuai dengan situasi dan kondisi budaya saat dalil itu dikemukakan, sebab prinsip utama dalam Islam adalah musawah, hak yang sama antara laki-laki dan perempuan, tidak mengenal pembatasan dan diskriminasi dalam pelaksanaan ibadah.

Kala situasi sekarang berbeda dengan dulu, keamanan telah sepenuhnya dijamin, dai-dai perempuan pun bermunculan, masihkah kita tidak mau memberi kesempatan bagi perempuan untuk berkhotbah atau memimpin shalat di masjid?

Barangkali di antara kita belum ada yang berani tampil seperti Prof Amina Wadud. Namun, setidaknya kita berani bertanya dalam diri kita: apa yang sebenarnya kita takutkan dan apa yang kita pertahanankan jika perempuan bicara di masjid? Apakah ada yang akan merasa bakal kehilangan otoritasnya sebagai pemimpin agama dalam masyarakat? Ataukah rasa maskulinitas kita sedang terancam? Wallahualam.

Artikel ini pernah di muat di rubrik Swara Kompas pada hari Senin, 25 Oktober 2004.

Jilbab: Antara Kesucian dan Resistensi

Jilbab; Antara Kesucian dan Resistensi
Oleh Sri Rahayu Arman


Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan.

Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural Arab ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis “beraliran” Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Fatima Mernissi, misalnya, menggugat bahwa jilbab hanya menjadi penghalang yang menyembunyikan kaum wanita dari ruang publik (Pemberontakan Wanita: 1996). Tapi di sisi lain, jilbab dianggap sebagai pembebas dan ruang negosiasi perempuan.

Pada titik ini, jilbab sebenarnya masuk pada arena kontestasi —sebuah permainan makna dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan (ruang gerak, persamaan dll).

Menurut penelitian Stern (1939a: 108), “Nabi Muhammad tak memperkenalkan kebiasaan berjilbab.” Hansen juga berpendapat (1967: 71), “pemingitan dan jilbab merupakan fenomena asing bagi masyarakat Arab dan tak diketahui pada masa Nabi.” Asal-usul jilbab dibahas oleh banyak orang pada tahun 1970-an dan 1980-an (lihat misalnya Marsot 1978: 261-276; Dengler 1978: 229-244; El Guindi 1983: 79-89). Jilbab telah umum diakui keberadaannya di wilayah Mesopotamia/Mediterania. (Fadwa el-Guindi: 1996). Al-Zarkasyi juga telah mengemukakan bukti bahwa beberapa kota penting di zaman Romawi dan Yunani sudah menggunakan kostum yang menutupi seluruh anggota badan, kecuali satu bola mata untuk melihat (al-Zarkasyi: 1970).

Pandangan yang lebih moderat lahir dari seorang penulis Iran, Navabakhsh: “Semula Alquran sendiri tak menetapkan kapan wanita harus dihijab dari lingkungan laki-laki. Tak dikenal sebagai suatu fenomena sosial historis pada masa Nabi. Hijab ketika itu lebih sering diasosiasikan dengan gaya hidup kelas atas di kalangan masyarakat petani dan para pendatang, yang merupakan tradisi pra-Islam di Syria dan adat di kalangan orang-orang Yahudi, Kristen, dan Sasania.” (Mustafa Hashem Sherif: 157).
Kewajiban berjilbab biasanya didasarkan Q.s al-Nur [24]: 31 dan al-Ahzab [33]: 59). Kedua ayat itu melegitimasi kesucian para pemakai jilbab di ruang privat maupun publik. Sayangnya, jarang sekali diungkap konteks sosial dibalik turunnya ayat-ayat tersebut. Bagi para mufasir, kedua ayat itu turun setelah peristiwa fitnah keji terhadap Aisyah. Fitnah perselingkuhan Aisyah ini sangat menghebohkan umat Islam di Madinah. Fitnah keji itu berakhir setelah turun ayat Q.s al-Nur: 31, khusus untuk membersihkan nama Aisyah.


Sejak peristiwa itu turun ayat lain yang cenderung membatasi ruang gerak keluarga Nabi, khususnya dalam Q.s al-Nur dan al-Ahzab di mana ayat-ayat jilbab itu ditemukan. Dilihat dari konteks ayat-ayat jilbab, hijab dan kecenderungan pembatasan perempuan, khususnya kepada keluarga Nabi, seolah merupakan refleksi dari suatu situasi khusus yang terjadi di Madinah ketika itu.
Riwayat lain mengukuhkan bahwa suasana masyarakat Madinah ketika itu tak tentram, dalam situasi perang berkepanjangan. Apalagi, umat Islam saat itu baru saja mengalami kekalahan dalam perang Uhud, yang membengkakkan populasi janda dan anak yatim. Janda dan anak-yatim-perempuan ketika itu sering kali menjadi objek pelecehan seksual dari laki-laki nakal. Hanya kaum perempuan bangsawanlah yang terhindar dari pelecehan itu karena mereka mengunakan jilbab. Maka, seruan untuk berjilbab pada saat itu adalah salah satu srategi budaya atau tindakan preventif atas terjadinya pelecehan terhadap perempuan.


Dalam konteks kekinian, jilbab juga menjadi simbol identitas, status, kelas dan kekuasaan. Menurut Crawley, misalnya, pakaian adalah ekspresi yang paling khas dalam bentuk material dari berbagai tingkatan kehidupan sosial sehingga jilbab menjadi sebuah eksistensi sosial, dan individu dalam komunitasnya (Al Guindi 117). Di Afrika Utara, jilbab menjadi pembungkam perempuan dalam wilayah publik secara umum. Namun, kadangkala juga kerap digunakan oleh perempuan pedesaan bepergian di luar wilayah mereka.” (Sharma 1978: 223-4).

Di Yaman, jilbab sebagai simbol status yang terstratifikasi. Bagi perempuan bangsawan memakai syarsyaf, jenis jilbab yang terbuat dari sutera. Sementara perempuan dari status ekonomi yang lebih rendah cenderung memakai sitara. Makhlouf menyatakan bahwa “jilbab, walaupun jelas-jelas merupakan pembatasan komunikasi … [dia juga merupakan sebuah simbol] alat komunikasi … [dan] berjilbab tentunya menciptakan suatu perintang bagi ekspresi bebas wanita sebagai seorang pribadi … [tapi jilbab juga meningkatkan] ekspresi diri dan femininitas” (Makhlouf 1979: 31-32).
Lebih dari itu, jilbab juga menjadi simbol pembebasan dan resistensi. Sebagai gerakan resistensi, ia tak hanya berhenti pada masyarakat Timur Tengah, melainkan terejawantah dalam masyarakat muslim modern di berbagai belahan dunia. Resistensi adalah sebuah perlawanan atau strategi untuk mengukuhkan eksistensi seseorang atau suatu komunitas. Cudjoe dan Harlow mendefinisikan resistensi sebagai sebuah tindakan yang dirancang untuk membebaskan masyarakat dari penindasnya, dan ia sepenuhnya memasukkan pengalaman hidup dibawah penindasan itu, yang kemudian menjadi prinsip estetik yang otonom (Cudjoe dan Harlow: 2000).

Di Aljazair, misalnya, jilbab mempunyai peran penting dalam proses kemerdekaan negara ini. Kolonial Perancis tidak hanya mengontrol hukum Islam —perkara-perkara pidana tapi juga menghancurkan kebudayaan mereka— memberangus adat setempat, dan melarang warga mempelajari bahasa mereka sendiri. Para pendatang Perancis mendominasi wilayah Aljazair dan memegang posisi-posisi fungsionaris publik, dan mengontrol pos-pos subordinat di bawahnya. Strategi lainnya adalah mem-Perancis-kan wanita Aljazair dengan mencabut akar budayanya. Jilbab menjadi target kolonial untuk mengontrol dan melepaskan— untuk mempengaruhi wanita Aljazair agar melepaskan jilbabnya dengan alasan untuk memodernisir Aljazair. Namun, budaya tradisional Arab–Aljazair memandang keluarga adalah pusat di mana dunia sosial moral itu berada; wanita adalah pusat identitas sakral keluarga dan penjaga harga diri dan reputasi keluarga Arab. Keibuan dipandang sakral. Maka, menyerang wanita Muslim, berarti mendestabilisasikan inti sistem sosial-spiritual dan memperkosa secara literal maupun figuratif akar budaya mereka. Dan salah satu bentuk perlawanan Aljazair terhadap apa yang dilakukan oleh Perancis itu adalah memperkuat jilbab sebagai bagian dari simbol nasional dan kultural perjuangan wanita Aljazair (El Guindi: 1996).


Di tanah air, jilbab tidak hanya dipakai orang tua, tapi juga para remaja, pekerja di kantor, instansi maupun pemerintahan, para artis, bahkan para pelacur sekalipun. Tentu, ia pun sarat makna. Di satu sisi, jilbab menjadi simbol pakaian muslimah santri, terutama yang berasal dari pesantren. Di sisi lain, ia dijadikan busana yang lazim dikenakan hanya pada momen-momen kerohanian —salat, pengajian, berkabung, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan; sebaliknya tak dipakai pada berbagai aktivitas kesehariannya.

Pada akhir 1980-an, ribuan mahasiswi dan pelajar berjilbab membanjiri jalanan di berbagai kota besar. Mereka memprotes kebijakan Mendikbud yang melarang jilbab di sekolah-sekolah umum. Mereka ingin mengukuhkan identitas kemuslimahannya dengan mentradisikan berjilbab. Jilbab lebih dari sekadar kewajiban, tapi simbol kultural yang membedakan komunitas mereka (santri) dengan komunitas lainnya (abangan dan non-muslim).

Kalangan selebritis sibuk menutupi kepalanya yang biasa terbuka itu dengan jilbab di bulan Ramadhan. Jelas pemakaian jilbab tak ada hubungan dengan kesalehan maupun ketaatan beragama. Sebab, begitu bulan suci itu usai, jilbabnya pun dilepas. Bagi mereka, berjilbab hanyalah tuntutan pasar; strategi untuk meraup keuntungan material dengan penampakan spiritual.

Begitu pula para pelacur. Di Nangroe Aceh Darussalam, mereka menyembunyikan identitasnya dengan memakai jilbab (Lily Munir, 2002). Mengingat posisinya sebagai pekerja seks dalam ruang sosial dianggap hina, kotor, dan melecehkan moralitas, mereka harus mencari simbol sebagai alibi stereotip itu. Dengan memakai jilbab, mereka ingin eksistensi dan identitas mereka diakui dan dihormati di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, tidaklah layak jika kita menggeneralisir bahwa perempuan berjilbab itu berarti suci, sopan, dan saleh. Begitu pula sebalikya, perempuan tidak berjilbab dicitrakan sebagai perempuan kotor, kurang sopan, dan tidak taat beragama.
Pendek kata, jilbab secara historis mempunyai banyak makna. Jilbab lebih dari sekadar cita rasa berbusana religius. Jilbab terkadang tampil sebagai simbol ideologis dari suatu komunitas tertentu, menjadi fenomena bagi suatu lapisan elit sosial, menjadi simbol segregasi jender, menjadi simbol komunitas patriarki, menjadi simbol “keterbatasan” peran wanita, dan lain-lain. Jilbab adalah sebuah fenomena majemuk, memiliki tingkat-tingkat makna dan beragam konteks. Persoalan jilbab tak lagi wajib-mubah, haram-halal, etis-tidak etis. Ia menyiratkan simbol sarat makna dan kepentingan, tergantung siapa pemakainya[]

Jilbab: Antara Kesucian dan Resistensi