Search

Saturday, July 27, 2019

What are you afraid of death?


Aku ingat ketika masih duduk di bangku SD, lupa kelas berapa, seorang guru bercerita tentang apa yang terjadi setelah seseorang meninggal. Jika seseorang memiliki amalan yang baik selama hidup di dunia, misal, melakukan semua perintah Tuhan (menyembahNya sesuai 'tata cara' dalam agama dan memperlakukan sesama makhluk dengan baik, berarti memiliki hablum minallah dan hablum minannas yang baik) dan menjauhi semua laranganNya, maka setelah meninggal, orang itu 'tinggal di alam kubur' dalam damai. Dia akan seperti 'tidur' nyenyak, hingga tiba hari 'kebangkitan' datang. Maka, meski 'hari kebangkitan' itu bisa jadi baru datang ribuan tahun lagi, dia tidak akan merasa lama, karena tidurnya yang super nyenyak. Namun jika seseorang itu melakukan yang sebaliknya, dia akan terus menerus disiksa di alam kuburnya. Jangankan menunggu 'hari kebangkitan' yang mungkin akan datang ribuan tahun lagi, dalam hitungan jam saja, dia sudah tidak tahan.


Tentu saja menjaga hablum minallah dan hablum minannas yang baik tidak semudah yang diomongkan orang. Itu sebab Nana kecil lebih 'fokus' pada siksa kubur yang tak habis-habis hingga ribuan tahun lamanya. Ini sebab kematian adalah satu hal yang sangat menakutkan bagiku. Dulu.


**********


Sekian puluh tahun berlalu.


Nana yang dulu bersekolah di madrasah ibtidaiyah menyeberang ke ranah agnostik, setelah waktu kecil dulu terbrainwash menjadi seseorang yang 'relijius Islam'. Sekian dekade berikutnya, Nana membiarkan cara berpikirnya 'meliar' melepaskan diri dari brainwash yang telah membayang-bayangi puluhan tahun.


Lalu, bukankah kematian tak lagi menakutkan? Karena seorang agnost itu tak mudah percaya (apa bukti Tuhan itu ada/tak ada? Apa bukti siksa kubur itu ada/tak ada? Apa bukti kehidupan di alam akhirat itu ada/tak ada? Dst … dst … Semua hal adalah keragu-raguan bagi seorang agnost.)


Akhir-akhir ini (Juli 2019) pengguna medsos (facebook) sedang hobi bermain 'faceapp'. Salah satu kawan facebook memainkannya, sembari menulis kepsyen, "aku ga ingin hidup setua ini. Yang penting jika anakku sudah siap mandiri, aku sudah siap mati." kujawab, "aku masih ingin hidup lama, yah sekitar 20 - 30 tahun lagi, ingin melihat selepas dipimpin oleh Pak Jokowi, apakah Indonesia akan seberuntung ini dipimpin oleh seorang presiden yang bisa dikategorikan 'telah selesai dengan dirinya sendiri.' apakah Indonesia justru akan mengalami kemunduran, seperti Jakarta selepas 'ditinggal' Ahok." Jawabannya, "ah, sebagai minoritas, aku sudah pesimis sih mbak. Pinginku jika bisa mengirim anakku tinggal di luar negeri, sudahlah." obrolan kita masih ada kelanjutannya …


Well, memang sebagai seseorang yang tentu memiliki curiosity yang cukup tinggi, aku jujur, aku sangat ingin tahu what will Indonesia be like 20 - 30 years later. Jika berbincang tentang kematian dan kondisi politik di Indonesia, entah mengapa aku sedikit menyesalkan mengapa ayahku meninggal dalam  usia yang masih cukup muda, 56 tahun, sehingga beliau tidak sempat mengalami rezim OrBa ditumbangkan oleh kekuatan rakyat. Meski dulu aku dan ayahku tidak pernah berbicang tentang kondisi politik ini, aku tahu beliau tidak menyukai OrBa.




Aku serius menulis komen seperti itu di lapak kawan itu. Tapi, kemudian aku bertanya pada diri sendiri, apakah sebenarnya di bawah lapisan kesadaran, aku masih menyimpan ketakutan yang dulu kusimpan puluhan tahun gegara brainwashing yang dilakukan oleh guru SD itu? Hingga aku terkesan ingin 'menunda' kematian hingga 20 - 30 tahun lagi? Bukankah usia itu misterius?


Melepas kemelekatan memang tidak semudah membalikkan tangan. Seberapa pun pahit hidup ini, kita tetap bisa memilih untuk berbahagia, bukan? Mungkin itu sebab aku begitu mencintai hidupku, dan belum siap untuk berpindah ke dimensi berikutnya. Aku masih ingin menemani anakku menikmati hidupnya, hingga (who knows) dia menemukan tambatan hatinya dan beranak pinak.


LG 18.21 27-Juli-2019

Wednesday, July 10, 2019

Dolan ke Dieng Saat Bersalju


Setelah tujuh tahun berlalu, akhirnya aku dan Angie plus Ranz berkesempatan dolan ke Dieng lagi, tanpa rencana muluk-muluk. πŸ˜ƒ Jika di bulan Januari 2012 dulu kita bertiga dolan ke Dieng setelah aku mendapat undangan nikahan seorang (eks) rekan kerja di Wonosobo, kali ini kita "ngikut" rencana yang dibuat oleh Tami dan Dwi, dua gadis pelor yang ternyata telah tak kuat lagi bersepeda jarak jauh. πŸ˜”




Tiga hari sebelum berangkat, aku baru menawari Angie apakah dia mau ikut ke Dieng. Ternyata matanya langsung berbinar-binar waktu mendengar tawaranku itu, padahal beberapa tahun lalu sepulang dia dari Dieng diajak tantenya, dia nampak enggan mendatangi kawasan yang terkenal berhawa dingin itu. πŸ˜€


Sabtu 29 Juni 2019




Kita bertiga -- aku, Angie, Ranz -- bersama Fitri sobat lama Angie yang telah beberapa kali menemani kita jalan-jalan telah sampai di terminal mini Sukun pukul tujuh pagi. Ternyata Dwi dan Tami yang mengajak kita berkumpul di Sukun jam itu belum kelihatan. Setelah menitipkan motor, sarapan ringan di warung yang ada disitu, Dwi dan Tami muncul.


Pukul 08.00 kita berangkat ke Wonosobo naik shuttle car  jurusan Purwokerto. Biayanya Rp. 60.000,00 per orang. Di tengah jalan kita harus melewati beberapa kawasan yang sedang diperbaiki, yang berarti perjalanan kita agak tersendat. Untunglah kita naik shuttle car yang lebih mudah mobile ketimbang bus. Kendaraan yang kita naiki sudah berbelok ke arah Barat, sebelum sampai Secang. (Aku molor di hampir sepanjang jalan, lol, gegara malam sebelumnya aku tidak bisa tertidur nyenyak.) Kita melewati satu hutan (karet?) yang nampak kering kerontang di tengah musim kemarau ini, dan jalan yang dipilih bapak sopir nampaknya bukan jalan yang biasa dilewati orang, sempit dan tentu tidak beraspal. (hari gini, di Pulau Jawa, ada jalan yang tidak beraspal? Kudu dilaporin Pak Jokowi nih. Lol.) Untunglah saat lewat jalan sempit ini kita tidak berpapasan dengan shuttle car lain dari arah berlawanan, bakal ga cukup space-nya.


Menjelang pukul 12.00 kita telah sampai terminal Wonosobo. (Diam-diam aku deg-degan excited karena ingat 7 tahun lalu kita turun disini, kemudian aku dan Ranz gowes ke arah alun-alun, sementara Angie naik angkot kesana. Ya, aku memang lebay. Hihihi … ) Di bangku depan, Fitri dan Angie yang duduk di samping bapak sopir yang bekerja ngobrol, Fitri memberitahu bapak sopir bahwa kita akan ke Dieng. Maka, ketika kendaraan yang kita naiki melewati bus yang menuju Dieng (tulisannya WONOSOBO - DIENG - BATUR) bapak sopir memberi tanda agar bus itu berhenti karena ada calon penumpang yang akan ikut naik.


Dwi menandai jam 12.20 kita pindah ke bus mini itu. Biayanya Rp. 20.000,00. Semula bus itu hanya ada 1 penumpang, plus kita berenam, lama-lama bus pun penuh, meski sebagian dari mereka tidak menempuh jarak jauh. Jika 7 tahun yang lalu, aku molor di bus menuju Dieng, lol, kali ini aku cukup alert memandang jalan yang kita lewati. Ternyata trek menuju Dieng cukup sempit dan berkelok-kelok nanjak. Duh, trek yang sulit nih jika naik sepeda karena jalan yang sempit itu dipadati kendaraan yang lalu lalang dari dua arah. Mending nanjak Bromo deh kayaknya.


Sekitar satu setengah jam kemudian kita sampai di kawasan Dieng.  Horraaaaay. Kita turun tepat di depan losmen Bu Djo** yang lumayan terkenal di google itu. Dwi telah booking dua kamar disitu. Ranz pun kemudian juga booking satu kamar lagi setelah dia kuberitahu bahwa Angie dan Fitri positif ikut kita. Jika dua kamar yang dibuking Dwi itu tanpa kamar mandi (dalam), kamar yang dibuking Ranz ada kamar mandi dalam. Ketika kita akan check in, kita baru ngeh jika satu kamar yang dibuking Ranz terletak di homestay yang berbeda. :( Kita baru nyadar bahwa pihak losmen Bu Djo** itu semacam makelar. Angie, Fitri, Dwi, dan Tami sudah diantar seseorang untuk masuk kamar yang sudah dibuking, sementara aku dan Ranz masih menunggu diantar ke homestay yang dipesankan oleh pihak makelar.


Setengah jam kemudian kita baru diantar ke homestay PRATAMA yang terletak di Gang Pandawa, tak jauh dari minimarket Indo*****. Setelah melihat kamar yang dipesankan untuk kita disini, Ranz langsung memutuskan untuk memindah keempat gadis di losmen Bu Djo** ke homestay yang sama dengan kita. Meski kita bisa saja berkomunikasi lewat WA untuk memutuskan kita mau ngapain bersama, ga enak lah ya jika kita menginap di penginapan yang berbeda. Tak lama kemudian, mereka berempat menyusul ke homestay PRATAMA.





Sementara menunggu kamar yang satu lagi dibereskan, kita berenam ke Telaga Warna dengan menyewa 3 sepeda motor. Biaya sewa satu sepeda motor Rp. 100.000,00. sebelum sampai di Telaga Warna, kita melewati satu post dimana ada pihak wisata lokal menjual tiket seharga Rp. 10.000,00 yang bisa dipakai untuk masuk ke beberapa spot wisata, yang tidak masuk itinerary kita, misal Museum Kaliasa. :D Untuk masuk Telaga Warna, kita membeli tiket seharga Rp. 15.000,00 per orang.


Jika di tahun 2012 dulu belum ada spot-spot instagrammable untuk pengunjung selfie, kali ini sudah ada beberapa lokasi yang menjadi 'rebutan' para pengunjung untuk foto-foto. 😍Memasyarakatnya media sosial -- gegara android yang memudahkan orang online -- telah mengubah wajah destinasi wisata, dengan dibangunnya spot spot instagrammable selain membuatnya kian ramai dikunjungi wisatawan.






Dari Telaga Warna kita ke Kawah Sikidang. Kawasan kawah yang 7 tahun lalu berupa tanah lapang kosong, selain beberapa spot kawah, tanpa ada spot spot instagrammable, sekarang malah terkesan kumuh dengan spot-spot yang nampak dibuat secara ngawur disana sini. 😧 belum lagi ada sepeda motor trail dan ATV yang bersliweran. 😞

Menjelang maghrib kita meninggalkan kawah Sikidang kembali ke penginapan. Kita mampir makan malam dulu di satu rumah makan. Lagi aku membandingkan suasana yang jauh berbeda; 7 tahun lalu area ini sangat sunyi selepas maghrib, sekarang hiruk pikuk. Sangat bagus untuk orang lokal yang berbisnis ya, tapi bagi pengunjung, ini terlalu penuh sesak. πŸ˜’ Duh, ga kebayang suasana sini di masa penyelenggaraan DIENG CULTURE FESTIVAL. Hmft … mungkin penuh sesaknya ngalahin area Borobudur saat Waisak?

mie ongklok

Setelah makan, kita kembali ke penginapan. Dan … aku mulai menggigil kedinginan. Wedew. Di kamar yang kutempati, aku berbagi dengan Angie dan Fitri. Sedangkan di kamar satunya lagi, Ranz, Dwi, dan Tami shared the bed together.


Malam itu, Angie sempat keluar sebentar menemui temannya yang menyusul ke Dieng bersama suaminya setelah tahu Angie pun dolan ke Dieng. Sementara aku melawan kedinginan dengan mengenakan dua kaos lengan panjang plus jaket dan meringkuk di bawah selimut yang tebal,  ternyata, tanpa kutahu, tiga perempuan di kamar sebelah jalan-jalan menikmati suasana malam. πŸ˜–πŸ˜•πŸ˜”πŸ˜’


Minggu 30 Juni 2019


Semula Dwi dan Tamii berencana ke Sikunir pagi ini, menjaring sunrise view disana. Namun atas rekomendasi si Ibu yang punya/penjaga homestay, mereka ga jadi ke Sikunir. Area yang bersalju adalah Candi Arjuna. Sebaiknya pagi ini kita jalan ke Candi Arjuna jika ingin mendapatkan pemandangan rerumputan yang digayuti embun bersalju di pagi hari, sebelum pukul tujuh. Sedangkan sunrise di Sikunir bisa kita dapatkan pada kesempatan lain. πŸ˜ƒ


Pukul setengah enam kita sudah bersia-siap, kemudian mulai jalan. Kawasan Candi Arjuna hanya terletak kurang lebih 1 kilometer dari homestay, kita lebih baik kesana jalan kaki karena jalan yang macet. (WHATTT? M-A-C-E-T??? 7 tahun yang lalu area ini sunyi sepiiiii, aku dan Ranz kesulitan mencari orang yang berjualan makanan untuk sarapan. Namun sekarang area ini macet! Banyak orang berbondong-bondong ke kawasan Candi Arjuna, untuk membuktikan embun yang berupa butiran salju.  Hmmm … barangkali jika tidak sedang bersalju, kawasan ini ga sepenuh sekarang ya?






Di halaman parkir (dalam) dekat pintu masuk Candi Arjuna yang penuh dengan rerumputan, penuh orang-orang yang nampak menikmati hawa dingin, dan terheran-heran dengan embun berupa salju yang menggayuti rerumputan yang ada. Bagiku pribadi yang menakjubkan disini bukan hanya salju yang membuat rerumputan yang mengering itu berwarna putih, namun pemandangan gunung-gunung yang ada di sekitar kita sangat indah!


Lebih dari pukul tujuh, kita masuk ke kawasan candi, setelah sebelumnya menikmati kentang dan jamur goreng. Selain itu, aku juga sempat minum secangkir kopi hitam.









Waktu kesini bulan September 2019 bersama kawan-kawan kerja, aku tidak berjalan memutari kawasan candi, (dibandingkan waktu pertama kali kesini tahun 2012, aku bersama Angie dan Ranz menjelajah sampai ke Candi Bima) karena kawan-kawan kerja yang nampak enggan berjalan jauh. Eh, ternyata pergi kesini lagi bersama gadis-gadis muda ini sama saja. Mereka enggan mengeksplor jauh, yang penting telah dapat foto buat ngeksis di media sosial. Hadeeeh. Ya sudah, aku manut saja. πŸ˜‚


Pukul delapan lebih kita keluar. Saat sarapan! Kita mampir ke satu rumah makan yang kita lewati saat berjalan kaki menuju homestay. Jika tadi malam aku memesan mie ongklok, pagi ini aku memesan nasi goreng ayam.


Setelah sarapan, kita kembali ke homestay. Beberes bentar, ganti pakaian, kemudian kita berenam beranjak ke Batu Ratapan Angin, naik motor. Biaya sewa Rp. 100.000,00 untuk kita pakai selama kita berada disitu, kurang lebih dua hari.


















Ini kali kedua aku ke Batu Ratapan Angin, yang pertama bulan September 2018 waktu kesini bersama kawan-kawan kerja. Pemandangannya cukup ciamik, kita bisa melihat Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari atas. Disini juga banyak spot instagrammable, dimana untuk foto-foto di spot-spot itu, kita harus membayar limaribu rupiah per orang, per spot. Tami sempat mencoba ayunan, dan untuk itu, dia harus membayar Rp. 25.000,00.


Pukul dua belas kita telah kembali ke homestay. (NOTE: jalanan macet!) Saatnya kita beberes, kemudian check out. Kurang lebih pukul setengah dua kita meninggalkan homestay, setelah foto bareng dengan si Ibu yang telah 'melayani' kita dengan baik.


Kita cukup jalan kaki kurang dari 5 menit telah sampai di jalan dimana kita bisa menunggu bus menuju Wonosobo. Namun jalanan macet membuat kita berjalan kaki menuju pertigaan, dimana jika lurus kita akan sampai Telaga Warna, jika belok kiri, kita akan menuju Wonosobo. Sebelum ada bus yang bisa kita naiki lewat, kita melihat tiga kawan KOMPAL, komunitas pesepeda dari Gunung Pati telah sampai. Yang lain sedang dalam perjalanan nanjak. Wah, hebat Om Ali dan Om Har Aj. (yang satu lagi, aku lupa namanya, hihihi …)


Setelah foto bareng dengan kawan-kawan KOMPAL, kita melihat sebuah bus jurusan Wonosobo lewat, kita langsung mencegatnya dan naik. Beruntunglah karena 5 dari kita mendapatkan tempat duduk, Ranz satu-satunya yang terpaksa berdiri karena bus penuh. Jalan turunan/menanjak itu penuh kendaraan yang lewat, jauh lebih penuh ketimbang sehari sebelumnya. 😏


Pukul tiga sore kita telah sampai di alun-alun Wonosobo. Kita janjian dengan seorang sopir shuttle car pukul empat sore. Kita masih ada waktu untuk makan siang yang kesorean di satu pujasera yang terletak disitu. Kali ini aku memesan capcay ayam.


Setelah ada sedikit 'masalah' dengan shuttle car yang akan kita naiki, akhirnya kita mendapatkan mobil yang akan mengantar kita kembali ke Semarang. Pukul 17.17 kita naik mobil yang menjemput kita di alun-alun, tak jauh dari pujasera tempat kita makan. Dari sini, pak sopir mengajak kita mampir sebentar di terminal, katanya dia harus lapor ke pak bos terlebih dahulu. Mobil benar-benar meluncur ke arah Semarang pukul 17.37. alhamdulillah perjalanan lancar, kita telah sampai di Sukun pukul 21.00.


Ranz masih harus melanjutkan perjalanan menuju Solo dengan naik bus. Dia melaporkan bahwa dia tidak mendapatkan tempat duduk karena bus penuh penumpang. 😟


Dan … rasanya aku ingin segera kembali ke Dieng lagi, untuk menikmati rasa menggigil kedinginan. Hahahahaha …


PT 56 17.17 03 July 2019