Search

Saturday, May 30, 2020

Covid 19



Awal Maret 2020 ketika pemerintah pertama kali mengumumkan adanya pasien pertama (dan kedua ketiga karena mereka satu 'community' atau bahkan keluarga ya? Lupa) yang positif virus corona yang lebih dikenal sebagai covid 19, aku masih menganggapnya sepele. Apalagi ditambahi 'nyinyiran' orang bahwa orang meninggal yang disebabkan kecelakaan di jalan jumlahnya lebih tinggi ketimbang covid 19, aku benar-benar tidak menganggapnya serius. Plus pernyataan dokter Moh Indro Cahyono yang videonya bertebaran di medsos membuatku merasa aman, "aku tidak punya penyakit bawaan / comorbid" dan katanya covid 19 rentan untuk mereka yang berusia di atas 60 tahun.

 

Namun ketika mulai ada kabar ada pasien covid 19 yang dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang, loh, kok sudah sampai Semarang? Dan sudah ada pasien covid 19 yang meninggal di RS Moewardi Surakarta, aku mulai berpikir bahwa aku harus 'alert'. Meskipun mungkin jumlah pasien meninggal disebabkan covid 19 tidak sebanyak orang yang meninggal disebabkan kecelakaan di jalan, atau bahkan karena penyakit DBD maupun typhoid, covid 19 ini begitu mudah menular ke siapa saja tanpa pandang bulu. Dan, meski menurut teori bahwa mereka yang riskan terkena covid 19 ini mereka yang berusia di atas 60 tahun dan memiliki penyakit bawaan lain kenyataannya di Indonesia pasien yang meninggal di usia di bawah 50 tahun juga cukup banyak, plus juga pasien kanak-kanak yang di awal-awalnya dulu bakal aman.

 

Maka mulailah 'drama' karantina yang seumur hidupku -- setengah abad lebih -- belum pernah kualami. Stay at home, rebahan, rajin-rajin cuci tangan, mencuci baju tiap hari, terlebih jika pulang dari bepergian -- misal ke pasar atau supermarket untuk belanja bulanan. Tidak hanya itu, gegara tinggal di rumah, dan jumlah siswa yang menurun tajam, aku harus rela kehilangan kesempatan bekerja dan mendapatkan uang. Well, sebagai seorang loner sih, aku enjoy saja tinggal di rumah; yang tidak kunikmati ya itu tadi, no job means no money.

 

Meski menikmati stay at home, ga mungkin kan ya aku bakal terus terusan tinggal di rumah? Maka, sebenarnya, di balik stay at home ini tentu ada harapan penyebaran covid 19 benar-benar bisa ditekan, hingga di seluruh penjuru Indonesia kembali dikategorikan zona hijau alias bebas covid 19; hingga kita semua bisa beraktifitas seperti sedia kala.

 

Ini akhir Mei; berarti telah dua setengah bulan Indonesia berusaha untuk menerapkan 'stay at home' juga 'work from home' bagi sebagian pekerja. Telah kurang lebih sebulan sebagian wilayah Indonesia menjalani PSBB (pembatasan sosial berskala besar) maupun PKM (pembatasan kegiatan masyarakat), atau ' soft lockdown'. Sebagian pemerintah daerah mulai mempertimbangkan untuk melonggarkan PSBB / PKM, demi menggerakkan roda ekonomi yang tersendat-sendat gegara PSBB / PKM, dengan memberlakukan kebijakan yang disebut NEW NORMAL. Bagaimana ga tersendat-sendat, ambil contoh ringan saja yang terjadi di sekitarku. Satu warung soto yang biasanya masak beras 5 kg sehari, semenjak kebijakan 'stay at home' diberlakukan, si pemilik memasak hanya 1,5 kg sehari, itu pun kadang tidak sampai habis. Penjual daging ayam di pasar krempyeng dekat rumahku juga mengalami hal yang sama: biasa menjual sampai 50 kg sehari, di masa 'stay at home' dia hanya mampu menjual setengah dari jumlah sebelumnya; "Ini saya masih untung bisa terus berjualan daging ayam. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan kan?" katanya, pasrah.

 

Sialnya, sebagian rakyat Indonesia menerjemahkan NEW NORMAL sebagai virus corona tak lagi dianggap sebagai ancaman, hingga mereka pun kembali beraktifitas seperti semula. Sebagai pesepeda tentu yang kuamati adalah para pesepeda. Di masa pandemi begini, aku paling sepedaan sendirian (maksimal berdua dengan adikku yang tinggal satu rumah denganku); makanya aku kesal jika melihat rombongan orang gowes rame-rame, berkerumun, apalagi kemudian mereka mampir somewhere, misal angkringan, makan bareng-bareng, melupakan kemungkinan bahwa mungkin mereka akan mengeluarkan droplet yang akan menempel ke kawan sepedaan mereka, siapa tahu mereka ternyata OTG?

 

Jadi ingin menyitir status seorang kawan sekian hari lalu. Segala hal yang hadir dalam kehidupan kita selayaknya memberi kita satu pelajaran agar kita menjadi manusia yang lebih baik. Apakah kehadiran covid 19 benar-benar telah mengubah manusia menjadi lebih baik? Jika kita belum mendapatkan pelajaran dari covid 19 ini, mungkin memang belum saatnya covid 19 menghilang.

 

PT56 13.23 30-Mei-2020


Friday, May 29, 2020

Lebaran 2020

foto kujepret 1 Syawal 1441 H sekitar pukul 05.40



Tentu kita semua sadar bahwa lebaran 2020 ini sangat spesial disebabkan wabah covid 19 yang mengintai sejak akhir Desember 2019. meski kasus pertama di Indonesia disebutkan oleh pemerintah secara official di awal bulan Maret 2020, banyak pihak meyakini mungkin sebelum pasien pertama itu, virus corona telah memasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia sejak Desember 2019 itu juga mengingat waktu itu penerbangan dari Cina ke Indonesia belum ditutup. Seingatku awal Februari, menteri perhubungan telah melarang penerbangan dari Cina ke Indonesia, mengingat Dokter Hon -- founder sepeda lipat dahon -- tertahan untuk turut menghadiri launching pabrik seli dahon di Kendal; dan sebagai gantinya panitia menyelenggarakan video conference yang disaksikan oleh semua peserta event BACK TO DAHON tanggal 9 Februari 2020.

 

dari event Back 2 Dahon


Meski di awal Februari 2020 itu Indonesia telah menutup penerbangan dari Cina, kita belum menutup kehadiran pendatang dari negara lain kan? Dimana kemungkinan negara-negara itu telah memiliki kasus pasien covid 19.

 

But anyway, sejak pemerintah mengumumkan pasien pertama covid 19 di awal Maret 2020, sampai sekarang angka pasien positif covid 19 belum menunjukkan kurva yang melandai. Dan wabah ini telah benar-benar mengubah jalan hidup kita semua. Salah satunya: dulu ada adagium yang terkenal di budaya kita "mangan rak mangan anggere kumpul". Covid 19 telah mementalkan hal ini.

 

Lebaran biasaya merupakan moment istimewa untuk berkumpul bersama keluarga besar. Mereka-mereka yang biasanya menyibukkan diri bekerja selama nyaris 11 bulan, khusus di hari lebaran mereka akan mengambil cuti panjang, demi mudik untuk berkumpul dengan keluarga besar di kampung halaman. Sekian puluh tahun yang lalu aku punya seorang siswa yang menikah dengan seorang laki-alki asli Makassar. Dia curhat padaku betapa 'konyol' suaminya itu, "11 bulan kita menabung mati-matian, untuk kemudian kita habiskan di hari raya Idul Fitri untuk mudik ke kampung halamannya. Kalau saya komplain karena kita butuh menabung untuk biaya pendidikan anak-anak di masa depan dan saya minta untuk sesekali tidak perlu mudik ke kampung halamannya, dia akan menangis sambil menghentak-hentakkan kaki, persis anak kecil." Well, dia ngiri pada ceritaku bahwa meski kedua orangtuaku asli Gorontalo, mereka tidak pernah memaksa diri untuk mudik di hari lebaran. Orangtuaku realistis lah, biaya yang tidak sedikit untuk mudik lebih baik ditabung untuk kebutuhan di masa depan. Beda jika memang ada dana khusus yang bisa disisihkan untuk mudik sendiri, tabungan untuk pendidikan anak-anak di masa depan sendiri, dana khusus untuk perbaikan rumah sendiri, dll. Tidak semua orang beruntung bisa melakukan hal ini. (eh, padahal siswaku ini bekerja di satu Bank BUMN loh, suaminya juga, yang notabene kudunya income mereka berdua lumayan jumlahnya.)

 

Apa hal lain lagi yang membuat lebaran 2020 ini berbeda?

 

Aku turut terharu dan bangga ketika membaca status/foto yang diunggah di medsos dari kawan-kawan maya tentang mereka yang (terpaksa) menjadi imam shalat Ied, meski hanya untuk keluarganya sendiri. Kalau ga gegara himbauan pemerintah untuk tidak berkerumun di masjid/lapangan untuk menyelenggarakan shalat Ied berjamaah, mana mungkin mereka akan punya pengalaman nan menggetarkan ini yang kemungkinan terjadinya tipis di saat lain?

 

Ada sebagian kawan yang tahun ini tidak makan ketupat opor ayam dan sambal goreng ati (plus rendang daging) karena mereka tidak pulang kampung, karena biasanya yang memasak adalah orangtua/kakak/adik/bibi yang tinggal di kampung halaman. Sebenarnya kalau hanya menu ketupat opor + sambal goreng itu bisa kita makan di hari-hari lain ya, tinggal datang/pesan ke restoran yang menawarkan, tapi makan menu spesial ini di hari lebaran bersama orang-orang tersayang itu beda. Well, ini menurut pendapatku ya.

 

Sebagian kawan lain memamerkan kue-kue kering yang mereka buat sendiri gegara gabut di tengah himbauan pemerintah untuk "stay at home", jadi mereka tidak perlu memesan ke orang lain, atau beli di bakery.

 

Sebagian kawan lain lagi akhirnya memiliki pengalaman untuk berlebaran di rumah sendiri, bersama keluarga (kecil) mereka, suami/istri dan anak-anak karena mereka tidak mudik ke rumah orangtua atau mertua. Hal ini dilanjutkan dengan bertaburannya foto-foto hasil video call / zooming untuk silaturahmi virtual di medsos.

 

Pengalamanmu yang berbeda di lebaran 2020 ini apa, kawans?

 

Kalau aku? Aku sepedaan di 1 Syawal 1441 H pagi hari, menyambut sang mentari yang terbit dengan indah di ufuk Timur. Kalau ga gegara covid 19, ini sesuatu yang sangat IMPOSSIBLE kulakukan. Lol.

 

PT56 13.13 29-Mei-2020


Sunday, May 24, 2020

Debat Spiritualisme

Pasti tahu kan bahwa memperbincangkan satu hal ini ga akan pernah kehabisan materi. Apalagi jika orang menggunakan 'emosi' dengan memperdebatkannya. Sebagian orang bilang bahwa spiritualisme ini seharusnya termasuk ranah pribadi seseorang; namun bagi orang lain lagi hal ini sangatlah mengasyikkan untuk diperbincangkan (atau didebatkan). Karena ga akan pernah habis, butuh energi yang banyak plus waktu luang yang seluang-luangnya untuk terus menerus membahas tentang hal ini, selain 'lawan bicara' yang setara.



 

Di sisi lain, sebagian orang memiliki kepercayaan bahwa jika seseorang telah benar-benar meyakini yang dia imani, dia tak perlu 'memamerkan' hal yang dia imani ini. Biarlah ini menjadi ranah pribadinya dengan dirinya sendiri ("Tuhan" di dalam dirinya?) jika seseorang ini masih terus menerus memperbincangkannya, berarti sebenarnya dia masih ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang dia imani adalah hal yang (paling) benar. Jika dia merasa mampu 'mengalahkan' debat dengan orang yang berseberangan dengannya, dia akan merasa lebih yakin, atau dalam taraf tertentu akan merasa jumawa.


 

Di satu grup fesbuk yang kuikuti ada seseorang yang nampak gemar sekali melemparkan ide-ide tentang spiritualisme ini. Sebut saja namanya K. Menurutku, jika semua orang telah benar-benar meyakini yang dia yakini dengan seyakin-yakinnya, lol, mereka akan bergeming membaca ide-ide yang dilontarkan K, tak akan terpancing emosinya untuk, well, 'sekedar' meluruskan yang mungkin bagi mereka tidak lurus. Atau jika mereka terpancing untuk menanggapinya, dengan segala pengetahuan yang mereka miliki, tanpa merasa ego keyakinan mereka 'disenggol' akan terjadi obrolan yang mengasyikkan, baik bagi mereka yang membahasnya, maupun juga orang-orang lain yang sekedar turut membacanya.


 

Masalahnya tak semua anggota grup memiliki kedewasaan 'iman' (well, ini di mataku ya) sehingga terjadilah 'pertikaian' spiritual yang membosankan bagi yang membaca, lol. Semula aku mengira K masih belum yakin dengan apa yang dia imani sehingga dia butuh meyakinkan dirinya sendiri dengan melontarkan ide-ide yang bagi sebagian orang absurd itu, kebetulan K punya memiliki kemewahan berupa waktu luang seluang-luangnya, plus energi sebanyak-banyaknya, (juga kuota internet yang berlimpah) jadi ya hal ini ga akan berhenti dia lakukan. Semula aku masih cukup tertarik untuk membaca thread-nya, lama-lama aku sendiri yang membaca (tok) lelah. Lol.


 

Sampai akhirnya, aku memiliki kesimpulan baru: di usianya yang bisa dikatakan tak lagi muda, K ternyata tetap memiliki kejahilan yang tinggi. Jika ide-idenya menarik ego orang-orang yang tak setuju dengannya, dia justru akan sangat bergairah. Akan lebih susah baginya untuk menjaili orang-orang di sekitarnya, misal istri dan anak-anaknya, atau tetangganya, maka medsos adalah media yang paling pas buatnya untuk terus mengasah kejailannya. Lol.

 

PT56 22.00  24-Mei-2020


Friday, May 15, 2020

Sobat ambyar anyaran



Seperti yang kutulis di postingan sebelum ini, aku ini termasuk sobat ambar newbie. Kalau mengenal nama Didi Kempot jelas sudah lama, he was famous enough kan ya. 2 lagunya yang cukup melejit sejak puluhan tahun lalu juga aku tahu, Sewu Kuto dan Stasiun Balapan. Selain itu? Aku tidak tahu apa-apa.


Seingatku namanya mendadak ngehits di pertengahan tahun 2019, apalagi dengan artikel yang ditulis oleh Agus Mulyadi -- seorang penulis di mojok dot com -- yang cukup viral di pertengahan 2019 itu. Tulisan yang menggelitik dan membuatku penasaran, seperti apa sih sebenarnya lirik-lirik lagu Didi Kempot? Meski tertarik dengan artikel itu, aku masih biasa-biasa saja, belum pingin tahu lirik-lirik lagunya, sekaligus 'mengenal' lagu-lagu DK yang lain, well ... meski mulai penasaran.


Kenyataan bahwa beberapa kawan sepedaan mulai nampak demam DK -- misal berkaraoke menyanyikan lagu2 DK, merekamnya, dan ngeshare di medsos -- membuatku kian heran. 'Puncaknya' adalah di satu event sepedaan di Demak; gegara kita harus ngantri naik 'gethek' untuk menyeberangi satu sungai, para cewe2 yang entah mengapa sedang 'kumat' nyanyi-nyanyi ga jelas gitu deh, mulai dari lagunya Celine Dion "My heart will go on" sampai lagunya DK, yang berjudul "Layang Kangen". liriknya yang mendayu-dayu tentang kerinduan seorang kekasih pada kekasihnya yang tinggal jauh darinya membuatku kian penasaran. (Dan baru aku tahu beberapa hari lalu ternyata lirik lagu "layang kangen" ini ditulis oleh DK untuk para TKI/TKW yang merindukan keluarganya.) 


Dan begitulah, aku mulai hunting lagu-lagu DK di youtube, mengunduhnya dan mendengarkan lagu-lagunya, mulai dari "Layang Kangen", "Pamer Bojo", "Cidro", "Pantai Klayar", "Banyu Langit", dll. Mengamati lirik-lirik lagunya membuatku cukup merasa ikut nelangsa, lol, seperti yang kutulis disini. Namun saat menonton videonya saat konser, aku heran, DK sama sekali tidak menampakkan roman wajah yang nelangsa, lol, dia tetap ceria, malah cenderung menggoda para penonton konsernya yang nampak begitu terluka hati, lol. Di kemudian hari baru aku tahu nasihatnya pada para penggemarnya, bahwa patah hati itu tidak berarti akan membuat seseorang terus menerus meratap, dan tidak melakukan hal-hal lain, misal bekerja. Seperti yang kutulis di postingan ini, aku tidak pernah merasakan begitu lara, tidak pernah 'ditinggal pas sayang sayange', lol, namun toh dadaku tetap nyesek jika menyimak lirik-lirik lagunya. 


Dan ... saat mendadak Lord Didi dipanggil YMK pada tanggal 5 Mei 2020, aku merasakan patah hati orang yang ditinggal pas sayang sayange! Aku tahu aku bukan satu-satunya, tapi jika aku masih sering merasakan mataku mendadak basah, (misal hanya dengan membaca komen seorang sahabat di postinganku, "masih ambyar to miss?") di hari ke10 setelah meninggalnya, aku kebangeten ga sih? 


Al fatihah buatmu Mas Didi. Bahagialah disana.

PT56 21.05 15-Mei-2020

2 0 2 0



Sebagai seorang newbie dalam jajaran sobat ambyar, terutama semenjak the godfather of the broken heart ini wafat pada tanggal 5 Mei 2020, akhir-akhir ini saya cukup banyak menghabiskan kuota internet untuk menonton video2 yang menayangkan ulang acara televisi yang menghadirkan Lord Didi. Better late than never kan ya? Hmmm …

 

Dari sekian video yang kutonton, saya tertarik pada yang dikatakan oleh Andy Noya dari 'Kick Andy'. Bung Andy bilang waktu diwawancara, di balik panggung, Lord Didi bilang, "saya tidak tahu apa maksud Tuhan di balik 'kesuksesan' saya yang melejit seperti sekarang ini. Saya sempat merasa saya sudah cukup tua dan mungkin karir saya di dunia seni (musik campursari terutama) sudah mentok. Karir saya selama ini memang naik turun. Yang saya heran, ketika saya merasa sudah cukup, Tuhan memberi saya semua ini. Saya sedang bertanya-tanya ada apa di balik ini semua."

 

Satu pertanyaan retoris yang sangat filosofis, menurut saya. Waktu mendengar Bung Andy bilang ini, saya langsung tertegun. Lord Didi seorang perenung ternyata.

 

 

*******

 


Sebelum masuk tahun 2020, orang-orang yang mengaku 'bisa membaca' (di friendlist saya) berlomba-lomba menyatakan tahun yang terdiri dari dua angka kembar ini memberi isyarat segala yang kita terima pun akan dobel; jika itu adalah keberuntungan, maka kita akan mendapatkan keberuntungan secara dobel, begitu juga sebaliknya.

 

Setelah menginjak bulan kelima tahun 2020, mungkin bisa saya simpulkan bahwa di tahun yang angkanya dua angka kembar ini YMK memberi sebagian dari kita kekurangberuntungan yang dobel: gegara pandemi covid19 banyak orang kehilangan pekerjaan, banyak orang yang mendadak kehilangan orang-orang terdekat mereka, dan Indonesia kehilangan beberapa warga terbaiknya, misal Arief Budiman, Glenn Fredly, dan Didi Kempot. Too many to mention pokoknya.

 


Menyitir pertanyaan Lord Didi: apa maksud Tuhan di balik ini semua? Well, pandemi ini kebetulan menimpa hampir semua negara di seluruh dunia, tidak hanya Indonesia. Konon karena manusia ini adalah virus bagi (Ibu) Bumi, dan Bumi telah rusak sedemikian parah, covid 19 ini datang untuk menyembuhkan Bumi kembali. Dengan diberlakukannya 'lockdown' atau praktek sejenis ini di banyak negara, kadar polusi udara menurun drastis. Apakah sudah cukup? Belum. Konon masih akan lebih banyak lagi manusia yang harus 'pergi' dari Bumi. Meski puluhan ribu orang telah meninggal gegara covid19 di banyak negara, Bumi masih overpopulated. Mungkin inilah mengapa kita menemukan banyak orang ignorant pada peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah: "tinggal di rumah saja", "jaga jarak", "jaga kebersihan", "kenakan masker".

 

Masih berapa lama lagikah kita harus bertahan?

 

It does not matter anymore. Just go with the flow.

 

PT56 20.40 11 Mei 2020


Tuesday, May 05, 2020

RIP Lord Didi



Tulisan Vika Klaretha Dyahsasanti ini mewakili perasaanku. Di awal2 dulu aku tidak begitu bisa menikmati lagu campur sari. Namun, semenjak Didi Kempot melambung (lagi) dan diberi gelar "lord of the brokenheart", karena berada dimana pun, lagu2nya diputar dimana2, bahkan kawan2 sepedaan pun berlomba2 ngevlog dengan menyanyikan lagu2 Didi Kempot, aku jadi mulai iseng2 mendengarkan dan memperhatikan lirik2nya. Aku pun mengunduh lagu2nya dari youtube.

Selamat jalan kangmas. Selamat berbahagia di tempat barumu.
🙏🙏🙏
--------------

Kabar duka lagi, silih berganti. Kedukaan yang terasa beruntun ini selalu membuat saya merasa 2020 adalah tahun prihatin. Saya teringat Ratu Elizabeth. Pernah dalam suatu masa, Ratu merasa cobaan hidupnya lebih berat daripada tahun-tahun sebelumnya. Maka Ratu pun menyebut tahun 1992 itu sebagai annus horribilis, horrible year. Lawan dari annus mirabilis, miracle year.

Saya kira, bagi kita semua, 2020 ini adalah annus horribilis, ini semakin terasa tergenapi dengan berpulangnya Lord Dionysius Prasetya atau Didi Kempot. Kepergian yang mendadak, di saat Lord Didi baru saja membuat kegiatan pengumpulan dana spektakuler, di saat Lord Didi berada di puncak ketenarannya. Hati kita semua pun ambyar.

Sebenarnya saya bukan penyuka lagu campursari. Saya bukan penutur bahasa Jawa sejak lahir, sehingga awalnya saya asing dengan irama dan syair-syair lagu campursari. Ini masih ditambah, saya kurang suka pada tabuhan gendang dalam suatu lagu. Namun seiring berjalannya waktu, seiring makin terbiasanya saya mendengar langgam Jawa, saya mulai menyuka lagu-lagu legendaris seperti Mawar Biru, dan tentu saja Sewu Kutha serta Stasiun Balapan. Dua yang terakhir karya Lord Didi.

Demikianlah, meski bukan favorit, lagu-lagu campursari menjadi bagian dari keseharian saya. Terasa menyenangkan di telinga, dan menjadi sesuatu yang nyaman didengarkan di tanah Jawa ini. Bagi mereka para perantau, lagu-lagu campursari menjadi salah satu yang paling dirindukan dari kampung halamannya. "Ada rasa ayem tentrem saat mendengar lagu-lagu tersebut. Masyarakat yang nrimo, menjalani hidup dengan pasrah Gusti, tak suka ribut, dan selauw...." demikian penjelasan teman beberapa waktu lalu.

Dan di antara semua lagu campursari yang populer, lagu-lagu Lord Didi tentu primadonanya. Bersyair sederhana, gampang dipahami, namun mengena di hati. Menggunakan bahasa Jawa ngoko, bukan krama, membuat siapapun yang mampu berkomunikasi dalam bahasa Jawa meski sedikit, paham arti lagu-lagunya. Ini yang membedakan karya Didi dengan banyak musik tradisi yang terikat pakem ketat seni adiluhung, prestisius, indah, epik, namun gagal mencapai khalayak dalam jumlah besar.

Mungkin pula karena tema-temanya memang hal-hal yang digeluti masyarakat sehari-hari. Jatuh cinta, patah hati, tertipu, hal-hal sedih tanpa harus meratap-ratap. Kalau saya perhatikan, hanya di lagu-lagu Lord Didi, seseorang bisa meratap sedih karena patah hati sekaligus ingin melampiaskannya dengan berjoded.

Beberapa waktu lalu, seorang sutradara dan juga penulis skenario serta kru film lain mengadakan diskusi tentang Lord Didi. Mereka akan membuat film tentang lagu-lagu Lord Didi yang kembali populer dan fenomenal. Hampir semua kami memberi ide cerita film tentang orang yang bangkit dari keterpurukan. Anak miskin yang kemudian berprestasi, orang patah hati yang kemudian menemukan cinta sejati, orang tertipu dan mendapat pencerahan....

Ini artinya, secara umum, vibrasi lagu-lagu Lord Didi adalah positif, meski lagu-lagunya berbicara tentang sesuatu yang terasa sedih seperti kata 'ambyar'. Saya kira di situlah kekuatan Lord Didi. Ia berbicara tentang sesuatu yang 'ambyar' tetapi sekaligus ia mempersatukan.

Dengan lagu-lagunya, Lord Didi membuat masyarakat Jawa kembali bersatu. Tua muda, miskin kaya, relijius atau nasionalis, apapun itu bersepakat bahwa lagunya 'aman' didengar di manapun. Tak akan menimbulkan debat, bahkan bisa dinikmati bersama tanpa ada sekat.

Fenomena kembalinya Lord Didi di kancah musik orang Jawa itu juga saya ingat sebagai titik balik yang indah. Sekitar dua tahun lalu, dalam suatu acara perpisahan Diklat, untuk pertama kalinya saya kembali melihat betapa semua beramai-ramai turun berjoged. Tanpa ada sekat, tanpa ada batasan-batasan ideologi yang belakangan ini sering membatasi interaksi perempuan dan laki-laki di ruang publik. Juga tak ada bahasan menyebalkan seperti norak, ganjen, ataupun memalukan. Yang ada hanyalah guyub.

Sejak itu saya melihat, semua acara dimana lagu-lagu Lord Didi dinyanyikan selalu bernuansa sama. Guyub, rukun dan egaliter. Semua bebas berjoged, di dekat siapa pun, dan semua pun bebas bernyanyi. Membuat saya sedikit menyesal, tidak mampu menyanyi lagu-lagu campursari dengan baik, sehingga bisa berbagi kebahagiaan bersama dalam acara-acara gembira itu. Segera saja acara-acara apapun selalu diisi kegiatan ramah-tamah dengan bernyanyi dan berjoged lagu-lagu Didi Kempot.

Begitulah, orang Jawa kembali pada identitas 'guyub rukun' nya seiring maraknya lagu-lagu Lord Didi. Dan sejak itu, bahasan tentang melestarikan budaya Jawa, berikut kegiatan-kegiatan 'nguri uri budaya Jawi' kembali popular. Masyarakat Jawa secara umum tak lagi terlalu silau pada budaya luar. Terima kasih yang luar biasa pada Lord Didi, seorang pemersatu tanpa banyak jargon dan petuah.

Tetiba saya teringat sepenggal kalimat yang ditulis GM pada obituari Arief Budiman, yang juga baru saja berpulang dan meninggalkan kehilangan besar bagi bangsa ini. Tulis GM, "seorang yang menghilang setelah melaksanakan keadilan tanpa menunggu, tanpa perlu aplaus dalam pengorbanannya."

Saya kira, kalimat itu pun pas ditujukan pada Lord Didi.

Selamat jalan...
Rahayu Ing Palereman.

05 Mei 2020