Search

Friday, March 15, 2013

Relasi suami - istri

Renungan Jumat

Di salah satu dinding sosial media, seseorang menulis tentang seorang laki-laki yang dianggap tidak punya pekerjaan (bisa dibaca 'pengangguran'?) padahal dia memiliki kegiatan berjualan nasi dengan omzet lima ratus ribu rupiah perhari dengan keuntungan 50% alias dua ratus ribu rupiah perhari. Ini berarti dalam waktu satu bulan -- jika dia berjualan 30 hari sebulan -- dia bisa mengantongi keuntungan Rp. 7.500.000,00 sebulan. Jumlah pendapatan yang cukup fantastis jika tinggal di kota-kota 'kecil' (baca => luar Jakarta, namun masih di Pulau Jawa).


Pengalaman tetanggaku beda. Sekitar 15 tahun lalu, di ujung gang sebelah ada satu warung 'bongkar pasang' yang berjualan pecel, rujak, kolak, dll. Yang berjualan seorang perempuan paruh baya. Semakin lama pelanggannya semakin banyak, hingga dia merasa perlu dibantu oleh seseorang untuk melayani pelanggan. Dia dibantu oleh suaminya. (Sebagai tetangga yang tidak NGEH dengan gosip di kitaran RT/RW, aku tidak tahu 'profesi' apa yang dipunyai suaminya sebelum 'bekerja' membantu sang istri.) Sekian tahun berlalu. Aku yang memandang dari luar, pasangan suami istri yang dikaruniai dua orang anak ini nampak baik-baik saja dari segi finansial maupun relasi per personal. (Meski mungkin di mata masyarakat sang suami ini dianggap 'rendah' karena tidak memiliki profesi di luar rumah.)


Pengalaman tetangga lain. Seorang suami bekerja di sebuah retailer, sebagai pengantar barang-barang yang dipesan oleh warung/toko/supermarket dan sejenisnya itu. Sekitar 3 tahun lalu sang suami divonis dokter bahwa dia mengidap penyakit ginjal. Penyakit ini kian parah sehingga dia harus menjalani cuci darah tiap minggu. 3 bulan pertama dia sakit, kantornya masih menolerir dia tidak masuk kerja dan tetap membayar gajinya penuh. Setelah 3 bulan berlalu, dan kesehatannya tidak segera membaik, dengan sangat terpaksa dia diminta mengundurkan diri dari perusahaan dengan diberi pesangon gaji yang cukup dipakai untuk hidup oleh keluarga kecil itu (suami, istri plus satu anak yang masih duduk di bangku SD kelas 1) beberapa bulan. Setelah itu, tentu mereka harus mencoba segala macam cara untuk survive.


Sekitar satu tahun lalu aku dengar sang istri mencoba membuka warung penyetan di sore hari. Sang suami yang memang tidak bisa hidup sesehat orang lain (dia menggunakan kartu sehat untuk cuci darah seminggu sekali sehingga dia tidak perlu membayar) tentu tak bisa lagi mencari pekerjaan lain. Maka waktu aku mendengar kisah sang istri berjualan warung penyetan ini, aku membayangkan sang suami membantu sang istri ala kadarnya, apa yang bisa dia bantu. Paling tidak menjaga anak semata wayang mereka dan menemaninya belajar di sore/malam hari. Seperti kisah tetanggaku yang berjualan pecel, rujak, dll.


Namun ternyata kisah 'berakhir' sedikit (atau banyak ya?) berbeda. Sang istri merasa dan berpikir bahwa sang suami adalah seseorang yang malas karena tidak mau bekerja. Dengan alasan tidak mendapatkan nafkah lahir sekian tahun, dia pun melayangkan pengajuan cerai ke Departemen Agama.


Ketimpangan relasi suami istri -- yang ditunjukkan dalam surat kawin yang diterbitkan oleh pemerintah, bahwa suami adalah kepala keluarga yang menafkahi anak istri dan istri adalah ibu rumah tangga yang berbakti pada suami dan merawat anak-anak -- telah membuat banyak keluarga kehilangan pride, karena masyarakat yang terlalu 'peduli' (atau campur tangan) kehidupan keluarga lain.


GL7 11.11 15/03/13