Search

Saturday, April 24, 2021

T a d a r u s

 


Di satu tulisan di blog beberapa bulan lalu disini, aku menulis bahwa aku diajari membaca huruf hijaizah oleh ayah sejak aku kelas 1 SD. Sebelumnya, kakakku 'belajar mengaji' di seorang tetangga yang memang menerima anak-anak tetangga untuk belajar mengaji. Seingatku, ayah ibuku pasrah bahwa kakakku akan belajar mengaji -- membaca huruf hijaiyah -- dengan baik dengan tetangga itu. Hingga satu kali, ayah ngecek kakakku untuk membaca surat-surat pendek dalam juz 'amma. Akhirnya ketahuan bahwa kakakku menghafal surat-surat pendek itu, namun tidak benar-benar bisa membaca huruf-huruf hijaiyah itu dengan baik. Walhasil, ayah mengajari sendiri kakakku, plus aku, untuk membaca alquran.

 

Sekarang aku kagum bagaimana ayah yang sibuk bekerja di sebuah BUMN tetap bisa menyediakan waktu untuk mengajari aku dan kakakku mengaji. (Mengapa bukan ibuku ya? Entahlah.)

 

Aku khatam (pertama kali) alquran ketika aku duduk di kelas 3 SD. (Berarti kakakku duduk di kelas 4 SD.) setelah itu, ayah tidak pernah 'membebani' kita membaca alquran setelah shalat maghrib, misalnya. Aku ingat, beberapa kali ditanya guru sekolah, "Kamu mengaji sampai juz berapa Na?" kujawab, "Saya sudah khatam alquran," dengan bangga. Seingatku, guruku juga nampak bangga mendengarnya. Lol. Namun, satu kali aku tertegun dengan seorang guru yang bertanya lagi, "Memangnya kalau sudah khatam, kamu ga mengaji alquran lagi?" aku diam saja, lol. Lha gimana, 'instruksi' untuk membaca alquran setelah shalat (dari ayahku tentu saja) belum ada. Lol.

 

Bulan Ramadan ketika aku duduk di bangku kelas 4 SD adalah saat pertama aku (dan kakakku) mendapat instruksi untuk tadarus: satu hari harus membaca 1 juz, sehingga ketika Ramadan usai, aku khatam. Akhir dekade 70an itu, sekolah-sekolah libur selama bulan Ramadan, namun sekolahku tetap masuk. :D (FYI, di dekade itu, di Semarang sekolahku merupakan satu sekolah dari sedikit sekolah yang libur hari Jumat. Jika sekolah-sekolah Muhammadiyah belum mewajibkan siswi-siswinya mengenakan jilbab, sekolahku telah mewajibkan siswi-siswinya mengenakan jilbab setelah menginjak kelas 5.)

 

Dan, tadarus itu membaca alquran secara tartil ya, tidak perlu dilagukan, tapi tetap harus dengan suara keras. Waktu itu, biasanya aku dan kakakku akan tadarus barengan, meski kita membaca sendiri-sendiri. Setelah selesai satu juz (kadang, kita langsung 'habis' 1 juz saat tadarus), kita berdua akan sama-sama mengeluh haus, lol. Sebenarnya kita bisa mencicil ya, plus bisa melakukannya setelah berbuka, agar setelah tadarus dan haus, kita bisa minum. Tapi, saat itu, usai berbuka di rumah, kita akan shalat maghrib dan isya' lanjut tarawih di masjid, saat-saat kita 'bermain' (baca => sosialisasi) dengan tetangga. Tentu kita tidak ingin 'mengorbankan' saat-saat 'bermain' ini untuk tadarus, lol.

 

Tadarus ini merupakan instruksi dari ayah saat bulan Ramadan. Di luar Ramadan, kita 'bebas'. Well, sebenarnya ayah bilang, "Jika di bulan puasa kalian bisa mengaji 1 juz, harusnya di luar bulan puasa, kalian bisa mengaji lebih dari 1 juz sehari dong," tapi, karena bukan 'instruksi' (yang kesannya 'wajib' kita lakukan, lol) kita tidak mengaji sampai 1 juz sehari di luar bulan Ramadan. Lol.

 

Ini kenangan masa kecilku, saat duduk di bangku SD, aku dan keluarga tinggal di Bulustalan, satu perkampungan padat tak jauh dari Tugumuda, dimana di tiap gang, ada masjid dan PPP selalu menang saat pemilu, lol. Saat aku duduk di bangku 1 SMP, keluarga pindah ke Pusponjolo. Kebiasaan (instruksi ini akhirnya menjadi 'habit') tadarus tentu terus berlanjut, hingga aku kuliah di Jogja. Ayah meninggal saat aku duduk di semester 7.

 

Sekarang? Aku lupa kapan terakhir aku tadarus. :D

 

PT56 08.20 24042021