Search

Friday, March 29, 2019

Yang telah berlalu, biarlah berlalu



Bahwa Indonesia seolah-olah terbelah menjadi dua semenjak pilpres tahun 2014 adalah satu hal yang nampaknya diakui banyak orang. Mungkin awalnya para pendukung Prabowo tidak menerima kenyataan bahwa junjungannya kalah, hingga mereka terus menerus merecoki jalannya pemerintahan Jokowi. Tak hanya itu, banyak bertebaran hoax di masyarakat tentang Jokowi dan keluarganya. (Google sendiri saja ya, banyak kok, ga perlu saya beri contoh disini.) ini tentu dalam rangka untuk melemahkan posisi Jokowi yang dulu sempat di'prediksi' bakal diturunkan dari kursi kepresidenan tak lama setelah dilantik menjadi presiden. Ternyata prediksi ini meleset. Hingga di tahun kelima ini putra asli Solo ini tetaplah menjabat menjadi presiden.


Bisa diperkirakan bahwa tahun ini Jokowi akan dicalonkan kembali menjadi presiden periode tahun 2019 - 2024 mengingat keberhasilan beliau membangun di banyak bidang, meski belum semuanya, meski di pihak sebelah, keberhasilan ini sama sekali tidak dilihat karena mereka lebih fokus mengais-ngais kekurangan dan kelemahan Jokowi, misal di bidang memberi perlindungan pada kaum minoritas.


Meski saya melihat sendiri beberapa -- mungkin banyak -- kawan (lama) saya yang di tahun 2014 dulu pendukung Jokowi sekarang berbalik menjadi (seolah-olah) musuh Jokowi, ternyata dari survey-survey yang dilaksanakan oleh lembaga yang cukup kredibel, prosentase kemenangan Jokowi diprakirakan lebih tinggi ketimbang tahun 2014.


Media sosial terus menerus menyuarakan keberpihakan yang mempertunjukkan jurang yang menganga. Rakyat Indonesia yang sekian lama terbelenggu tak bisa menyuarakan aspirasinya secara terbuka, seperti menemukan pintu keluar di zaman android ini. Twitter, facebook, whatsapp, bahkan instagram pun menjadi kanal aspirasi itu. Orang-orang seperti bermusuhan secara terbuka.


Di tengah-tengah ini, muncul meme, "teman lama ditemukan oleh facebook, dipererat oleh whatsapp, dipisahkan oleh pilpres".


TEMAN LAMA

Harus saya akui, sejak memiliki akun di facebook tahun 2009, saya banyak menemukan kawan-kawan lama, SMP, SMA, beberapa kawan kuliah. Dan gegara itu, saya sempat ikut reuni SMP dan SMA. Namun karena saya ini tidak sociable, datang ke reuni tidak berarti perkawanan yang sempat terhenti puluhan tahun berlanjut lagi. Beberapa kawan dekat -- sebut saja 'sahabat'  -- yang juga berkawan di facebook, menurut saya terlihat 'berbeda' pandangan, jika dibaca dari status-statusnya. Saya langsung membayangkan adalah hal yang hampir mustahil jika saya dengan mereka bakal bisa seakrab dulu lagi, ngobrol tentang hal apa saja bisa nyambung. Puluhan tahun telah berlalu. Masak sih kita tidak berubah? Kita bisa saja telah menjelma menjadi dua orang dengan karakter yang berbeda.


Lalu, apa yang harus dipertahankan dalam 'pertemanan' yang jelas-jelas tak lagi nyambung? Bukankah kita berteman itu untuk ngobrol nyaman, mungkin bisa dilanjutkan dengan saling curhat. Jika dua orang tak lagi nyambung, ga usahlah memaksakan diri untuk terus saling bermanis-manis. Kepalsuan itu memuakkan. Tak hanya tentang politik, namun juga bidang lain, misal spiritual.


Saya memang begini orangnya. :D lebih baik memiliki satu dua sahabat yang beneran nyambung ketimbang puluhan kawan yang bikin mlongo ketika ngobrol. Lol.

LG 15.15 29/03/2019

Tuesday, March 19, 2019

Nostalgia


My ex dulu suka sekali mendengarkan lagu-lagu Iwan Fals, saat kita masih pacaran. Ehem.'Resiko'nya jelas, aku jadi familiar dengan lagu-lagunya. Setelah kita menikah di awal sembilanpuluhan, dia suka mendengarkan lagu-lagu KLA/Katon. Berbeda dengan lirik lagu-lagu Iwan yang kritis dan to the point, lirik lagu KLA sangat romantis dan manis, hingga tanpa my ex 'tulari', aku suka lagu-lagunya KLA/Katon. (Aku kan orangnya romantis dan manis, meski kadang-kadang suka menangis. lol.)

gambar diambil dari sini

Setelah kita berpisah, aku menghindari mendengarkan lagu-lagu Iwan Fals maupun KLA/Katon, karena tidak mau terseret masa lalu. CPU tempat aku menyimpan lagu-lagu mereka pun kebetulan rusak tak lama setelah kita berpisah. Praktis, aku tidak bisa mendengarkan lagu-lagu 'kenangan' dengan sang mantan. :D

gambar diambil dari sini

Namun, entah kapan aku mulai mendengarkan lagi lagu-lagu KLA/Katon. Mungkin karena memang aslinya aku suka liriknya ya. Jika di awal aku sempat 'sedikit' terseret masa lalu, lama-lama aku pun biasa saja mendengarkan lagu-lagu KLA/Katon yang terkenal di dekade sembilanpuluhan. Everything needs time, doesn't it? :D

Baru di tahun 2019 ini tiba-tiba aku ingin mendengarkan lagu-lagu lawas Iwan Fals lagi, pas aku sudah punya laptop baru dan Ranz install 'internet downloader' sehingga dengan mudah aku bisa download lagu-lagu dari youtube.com. Jadi, ya, begitulah, aku pun mengunduh banyak lagu-lagu Iwan Fals yang terkenal di dekade delapapuluhan. Dan ternyata seperti yang sempat aku prakirakan, ketika mendengarkan lagu-lagu lawas itu, teringat lagi saat-saat kita pacaran dulu. Kekekekeke … Cuma ingat momen-momen itu lho ya, bukan berarti aku merindukan masa-masa itu. Tak ada rasa -rasa lain.

Jadi heran, dulu itu aku menikahinya karena apa ya? Cinta? Apa sih cinta itu? Setelah menginjak usia setengah abad, aku bisa menggugat, cinta itu apa? LOL. Pasti semata hanya karena aku ingin dianggap 'normal' oleh masyarakat, bahwa aku seorang perempuan yang normal, punya pacar yang (dulu) ganteng, lol, punya suami, punya anak. That's all. Did I feel good in our marriage? Awalnya sih iya, namun lama-lama tidak lagi. Jika kucoba analisis menggunakan tulisanku di link ini, penyebabnya adalah dia tidak siap dengan lingkungan baru yang dia (terpaksa) masuki setelah kita menikah. Awalnya, aku (merasa) menjadi korban ketidaksiapannya memasuki lingkungan baru. Di kemudian hari aku merasa, dia pun korban dari kehidupan pernikahan yang kita masuki bersama. Bagiku pribadi, perceraian adalah satu cara menyelamatkan Angie, anakku, dari menjadi korban selanjutnya, agar dia tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan bahagia.

Entahlah jika satu kali nanti, aku akhirnya menyadari bahwa tanpa sengaja apa yang kita lakukan -- terutama yang kulakukan -- pun menyebabkan Angie menjadi korban. :(

Bahwa sekarang Angie menjadi sangat selektif dalam memilih laki-laki mana yang mendekatinya barangkali adalah satu 'lesson learned'. Dan bahwa dia tak selalu harus conform dengan apa yang dianggap 'normal' oleh masyarakat, juga merupakan kesimpulan yang dia ambil dari memiliki nyokap sepertiku, seorang perempuan yang memiliki pengalaman hidup sepertiku.

LG - IB 17.17 19-Mar-2019

Beradaptasi


Ada orang yang beradaptasi dengan lingkungan -- baik yang dia masuki dengan sengaja maupun merupakan konsekuensi pilihan -- dengan cepat, ada yang lambat, namun aku yakin juga ada yang stagnan.

gambar diambil dari sini

Pernikahan termasuk salah satu lingkungan yang sejenis ini. Banyak orang menikah tanpa menyadari bahwa dengan pernikahan, mereka memasuki satu fase kehidupan baru dengan lingkungan yang bisa jadi berbeda dari yang mereka bayangkan semula. Yang mereka bayangkan lebih sering seperti yang didongengkan dalam fairy tales, yang sialnya hanya dikisahkan, "after getting married, they live happily ever after". Dan dongeng berhenti di pesta pernikahan. Seolah setelah menikah, tak ada lagi kisah tentang pertengkaran, air mata, dan lain sebagainya. Padahal tentu sudah banyak contoh yang bisa kita lihat di sekitar kita, betapa orang hidup itu sering dirongrong pertanyaan, "kapan menikah?" setelah menikah, pertanyaan selanjutnya adalah, "kapan punya anak?" setelah punya anak yang pertama, "kapan punya anak lagi? Masak punya anak Cuma satu?" dan seterusnya … dan seterusnya. Emang enak dirongrong terus menerus oleh orang-orang yang bahkan tak membantu apa pun dalam kehidupan kita, kecuali nyinyir?

gambar diambil dari mojok

Lingkungan 'baru' yang tak diantisipasi ini akan membuat seseorang melakukan hal-hal yang tanpa dia pahami akan menyebabkan orang-orang lain yang ada di sekitarnya ikut serta menjadi korban. Seorang laki-laki yang shocked mendapati kehidupan pernikahan akan memperlakukan istrinya dengan tidak semestinya; hal ini juga bisa terjadi sebaliknya. Jika keduanya 'lulus' dalam lingkungan yang baru (pernikahan) belum tentu mereka akan lulus dalam fase selanjutnya, punya anak. Di kultur patriarki yang masih berpandangan bahwa mengurus anak adalah tanggung jawab seorang perempuan sepenuhnya, akan membuat seorang laki-laki tak perlu merasa ikut membantu istrinya mengurus anak. Jika sang istri mengalami post-partum depression, kehadiran anak -- yang mungkin lahir atas keinginan keduanya, atau hanya merupakan resiko dari tindakan coitus yang pasangan ini lakukan -- bisa menyebabkan sang istri menjadi korban, jika sang istri baik-baik saja, namun secara mental si laki-laki belum siap punya anak, dan tidak tahu harus 'ngapain' setelah sang anak dilahirkan, akan membuat anaknya menjadi korban.

Banyak orang memandang pengalaman pribadinya bagaimana orang tua mereka memperlakukan mereka sebagai anak menjadi satu landasan memperlakukan anaknya. Memang kadang hal ini berhasil menjadikan seorang anak memiliki kepribadian dan karakter yang baik, namun tak semua pengalaman sang orangtua cocok jika diterapkan pada anak mereka. Apalagi zaman telah berubah. Seseorang yang dilahirkan di dekade enampuluhan -- misalnya -- namun baru punya anak di awal abad milenial, dan tetap memandang pengalaman pribadinya dibesarkan oleh orangtuanya di dekade tujuhpuluhan sampai delapanpuluhan sebagai acuan memperlakukan anaknya yang merupakan generasi Z tentu akan sangat tidak tepat.

Bagaimanakah menyadarkan orang agar tak membuat orang lain menjadi korban dari apa yang mereka lakukan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja?

LG 11.41 19-Mar-2019


Wednesday, March 13, 2019

Dating Single Moms?

Bromo, August 2023
 
Tulisan ini merupakan respon tulisan serupa di link ini, yang ditulis oleh seorang single mom dari kultur Barat. Respon ditulis oleh seorang single mom yang hidup di kultur Timur, berdasarkan pengalaman pribadi, dengan cara berpikir yang mungkin ga Timur-Timur amat. :D

Ada minimal sembilan poin yang ditulis mengapa dating single moms tidak semudah orang kira. :) Kesembilan poin itu ditulis tentu berdasarkan pengalaman seorang perempuan yang tinggal di negeri Barat. (Amerika apa ya?) Mungkin tidak semua akan kutulis responnya, hanya poin-poin yang 'mungkin' hanya dialami oleh seorang single mom di Indonesia.

  1. First of all, don't call us MILFs.

Bagi yang mungkin sangat inosen dan belum tahu singkatan apakah MILF itu, perlu saya jelaskan bahwa MILF itu singkatan dari "Moms I'd like to f*ck" atau mungkin lebih 'simpel'nya kata itu bisa diartikan "objek seks".

15 tahun lalu, saat saya masih super inosen, lol, saya punya kenalan seorang laki-laki yang masih berusia di awal 20-an. Dia bilang, laki-laki seusia dia sangat suka ngedate dengan perempuan yang berusia di atasnya, yang sudah (pernah) menikah, karena satu hal: mereka akan mendapatkan kepuasan seksual dengan mudah, karena perempuan-perempuan itu tak perlu lagi membentengi 'selaput dara' mereka yang jelas-jelas sudah sobek. LOL. (Dengan asumsi, semua perempuan yang sudah menikah telah melakukan 'coitus' dengan pasangannya masing-masing lho ya.)

Dan seperti kata salah seorang sobatku "semua laki-laki inginnya satu 'itu' mbak, jangan terlalu inosen dong"; satu 'petuah bijak' lol yang dia sampaikan padaku hampir 20 tahun yang lalu, saat saya masih jauh lebih inosen dibandingkan 15 tahun yang lalu. Kekekekeke …

Experiences mature people, do you agree?

Sangat mengesalkan, bagi saya pribadi, you know, jika semua laki-laki yang tertarik pada single moms selalu didasarkan pada satu hal ini. Kalau pun sampai satu hal ini terjadi itu adalah bonus, namun bukan hal utama. Jangan terlalu berpikir bahwa semua single moms segitu desperate-nya karena dianggap jablay hingga mau-mau saja diajak gituan. Lebih mengesalkan lagi jika seorang laki-laki terlihat sok moralis (di awal), "saya ga akan ngajak yang engga2 kok," tapi baru juga 2/3 minggu berlalu, sudah ngajakin phone sex.

  1. We haven't lowered the bar

Para single moms tidak segitu desperate-nya lah untuk mendapatkan pasangan (ngedate) sehingga merendahkan standar, apalagi jika dianggap berpikir, "siapa saja boleh deh, yang penting ada yang mau." LOL.

Ini masih ada hubungan dengan nomor satu di atas juga. Jangan dikira hanya dengan dikirimi gambar/meme/video "I need you badly" atau "teganya dirimu nyuekin aku" kita akan mudah luruh. Apalagi dikirimin foto diri yang sedang horny, kemudian dikira kita akan serta merta ketularan horny dan menjawab, "oke deh, yuk." You must be pulling my leg. LOL.

Kecuali, ini mungkin lho ya, kecuali jika memang kamu seorang laki-laki yang ganteng dan sexy-nya seperti Freddie Mercuri di usianya yang pas matang, sekitar 35 - 38. apalagi jika ditambah tajir, hingga ketika ngedate, ga perlu mikirin duit. Kekekekeke …

  1. We are not Daddy shopping

FYI, mungkin tidak sedikit laki-laki yang tidak siap ditinggal istri -- entah karena meninggal atau perceraian -- bukan hanya karena kebutuhan seks namun terutama tidak tahu kudu ngapain untuk membesarkan anak seorang diri. Hingga, bahkan di kencan yang pertama, telah berbisik ke telinga calon pasangannya, "Aku ingin kamu menjadi ibu anak-anakku." Bagi sebagian perempuan, mungkin kalimat itu terdengar sangat sweet dan cute, lol, namun bagi perempuan lain kalimat itu mengesankan betapa tidak bertanggungjawabnya si laki-laki. Ketika memutuskan untuk punya anak, siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, harus siap untuk menjadi single parent, untuk mengantisipasi apa pun yang bakal terjadi.

Well, mungkin ada juga single mom yang mencari calon suami untuk membantunya membesarkan analk-anaknya, terutama dalam bidang finansial, tapi jangan digebyah uyah dong, bahwa semua perempuan seperti itu.


  1. Even if you pay, dates cost us too

Di artikel yang asli, untuk poin ini, si penulis menulis pengalamannya ketika dia harus membayar lebih mahal untuk menyewa 'baby sitter' yang akan menjaga anaknya ketika dia ngedate dengan seorang laki-laki. Pengalaman ini membeberkan bahwa ketika kencan, meski si laki-laki yang membayar -- makan, minum, dll -- bukan berarti si perempuan tidak mengeluarkan uang sepeser pun.

Di Indonesia, mungkin situasinya berbeda. Masih banyak single moms yang 'mungkin' mudah meninggalkan anak-anak untuk berkencan, karena mereka masih tinggal dengan anggota keluarga yang lain. Atau mungkin anak bisa dititipkan ke tetangga, dengan memberi buah tangan ketika usai kencan dan menjemput anak dari tetangga. Atau, anak-anak diajak sekalian, mungkin akan menjadi momen yang tepat untuk mengenalkan anak-anak dengan calon pasangan sang ibu. Eh? LOL.

  1. No glove, no love

Kondom, seharusnya dianggap sebagai sahabat mereka yang 'sexually active', tak hanya untuk pencegahan kehamilan di luar pernikahan, namun terlebih lagi untuk benteng agar tidak tertular penyakit seksual.

Sudah tahu kan 'penemuan' yang mengejutkan sekian tahun lalu bahwa banyak ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV? Hal ini memberi kita 'pelajaran' bahwa suami-suami para ibu rumah tangga itu menularkan penyakit itu kepada istri-istrinya dari melakukan hubungan seks yang tidak aman -- alias tanpa kondom -- di luar rumah, entah dengan pekerja seks, atau dengan siapa lagi.

Jika para ibu-ibu rumah tangga itu saja harus melindungi diri dari berbagai penyakit menular -- misal dengan meminta sang suami menggunakan kondom -- apalagi para single moms, yang bakal terkena permasalahan yang lebih berat jika mereka tertular penyakit seksual, siapa yang akan merawat anak-anak, dan biaya pengobatan yang tidak sedikit, plus time consuming.

Nomor ini bisa jadi merupakan kelanjutan poin satu dan dua di atas. Jika seorang laki-laki telah dianggap 'lulus screening'  hingga bisa membawa seorang single mom ke tempat tidur, jangan lupa sedia kondom. :)

  1. We are not looking to raise another kid

Terdengar egois ya? Tapi, siapa pun boleh egois dong, tak hanya laki-laki. :D

Tidak semua single moms menginginkan pasangan untuk mencarikan 'ayah pengganti' buat anak-anak mereka lho. Banyak dari mereka yang 'hanya' ingin memiliki hubungan yang sehat, antara laki-laki dan perempuan. Nah, ini berarti mereka pun tidak berarti siap untuk menjadi ibu tiri/sambung anak-anak si laki-laki.

Ini adalah hal penting, jadi benar-bear butuh dibahas di awal hubungan. What kinda relationship do the two people want? Jika dua-duanya tidak keberatan untuk menjadi ayah/ibu tiri bagi anak-anak pasangannya, ya go ahead. Namun, jika salah satu tidak menginginkan hal ini, jangan dipaksakan. Mending putus di awal sebelum segalanya kian runyam.

  1. Go over your hang-ups about co-parenting

Ada banyak pasangan yang meski telah berpisah, mereka tetap committed untuk membesarkan anak-anak mereka bersama-sama. Hal ini berarti memungkinkan mereka untuk terus berhubungan, terutama untuk membahas tentang apa-apa yang dikaitkan dengan anak-anak. Jadi, jangan mudah baper jika pasanganmu berhubungan dengan eks suami/istri. Mungkin mereka hanya berdiskusi tentang anak-anak, dan bukan apakah mereka akan CLBK. :D

Namun, jika calon pasanganmu benar-benar tak lagi berhubungan dengan mantannya. Berbahagia lah. Kamu tak perlu merasa cemburu tak penting karena mantan ini.

  1. Our kids come first but we don't come last

Bagi banyak single moms (tidak semua ya) anak-anak jauh lebih penting dibanding hal-hal lain sehingga sebelum mereka mengambil keputusan untuk mau menikah lagi, perasaan anak-anak adalah poin utama untuk menjadi pertimbangan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa para single moms itu menganggap diri sendiri tidak penting. Mereka juga penting. Maka, satu hal sangat penting sebelum memutuskan menikah lagi adalah apakah pernikahan (baru) itu akan memberi rasa nyaman bagi mereka, sekaligus untuk anak-anak. Apakah dalam pernikahan yang baru para perempuan ini tetap cukup punya waktu (dan dana) untuk menyenangkan diri sendiri, tak melulu harus mengurus pasangan (yang baru) dan anak-anak, apalagi jika ditambahi dengan anak-anak dari pasangan (yang baru).

Saya mengenal dan mendengar cerita banyak perempuan yang menikah lagi hanya dengan mementingkan perasaan mereka sendiri, dan mengesampingkan perasaan anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan sebelumnya. Atau bahkan mengingkari kenyataan bahwa mereka punya anak dengan cara menitipkan anak-anak kepada orangtua, agar bebas untuk menikah lagi. Hal seperti ini akan menimbulkan masalah yang cukup besar di kemudian hari. Jadi, sebaiknya dihindari deh.

  1. We have so much less time to waste

Single moms yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan finansial tentu tak punya waktu luang hanya untuk berhura-hura. Mereka tentu telah mempertimbangkan segala hal secara matang sebelum melakukan ini itu itu ini. Jika kencan dengan seorang laki-laki hanya akan membuang-buang waktu, dan tak ada manfaatnya, tentu mereka lebih memilih menghabiskan waktu dengan anak-anaknya. Atau menikmati 'me-time' dong. :)

Mengacu ke paragraf di atas, jika seorang laki-laki hanya tertarik pada seorang perempuan namun tak mau menerima anak yang akan dibawa si perempuan itu dalam pernikahan, sebaiknya tidak usah bermain-main dengan perempuan ini. Tak semua single moms punya waktu luang untuk main-main tidak jelas. Trauma seorang anak yang tidak diinginkan oleh sang ibu karena sang ibu memilih menikah dengan laki-laki lain, ketimbang merawat dan membesarkan anaknya sendiri akan menghasilkan trauma-trauma lain, dan korban-korban lain.

gambar diimpor dari sini


Women were born to nurture, not to get nurtured?

Saya pernah membaca pernyataan ini somewhere, tapi lupa dimana. Oke, bila dihubungkan dengan satu waktu sekian ribu tahun yang lalu, setelah kaum perempuan menemukan teknologi bercocok tanam, saat dimulainya dikotomi area kekuasaan: laki-laki di luar rumah untuk berburu binatang, perempuan di rumah untuk bercocok tanam (di ladang sekitar tempat tinggal). Namun, konon, sebelum teknologi bercocok tanam ditemukan (oleh kaum perempuan), tentunya laki-laki perempuan sama-sama berburu dong? Ketika kemudian perempuan mulai bercocok tanam, mengapa mereka harus mendadak menerima 'takdir' sebagai nurturer? Bukan lagi hunter?


Dalam drama "The Cocktail Party" karya T. S. Eliot, ada satu tokoh perempuan, Celia, yang panggilan jiwanya adalah to love others, to dedicate her life for others. Kebahagiaan yang sempurna dia dapatkan setelah mendarmabaktikan hidupnya sebagai "sister" di satu komunitas pagan. Sementara itu, dalam novela "The Yellow Wallpaper" karya Charlotte Perkins Gilman, sang tokoh utama, perempuan tak bernama, dikisahkan sebagai seorang perempuan yang bahkan tak mampu mencintai anak yang dia lahirkan sendiri.

"Personal is political"

Prinsip kaum feminis ini cocok diterapkan dalam segala situasi. Perempuan adalah makhluk sempurna, complete, dan memiliki hak penuh untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, apakah dia akan menjadi seorang nurturer, hunter, atau apa pun juga. Tanpa laki-laki dalam hidupnya, dia telah 'complete; tanpa memiliki anak, dia juga makhluk 'complete'. Dengan memiliki pasangan hidup, atau mungkin anak, tak akan membuatnya 'lebih lengkap' ketimbang tidak punya.

LG 11.54 06-Mar-2019