Search

Thursday, August 31, 2023

Afterlife

 


Some time ago, I was involved in a talk about this thing: "afterlife" with one loved one of mine. I claimed as an agnostic to him; or that's what he 'concluded' about me from reading my blog posts.

 

Do agnostics believe afterlife?

 

Well, until 10 years ago, I still signed my posts in blog as "Nana, the secular". I finally decided to claim myself as an agnostic after 2012 for sure, with inexplicable reasons. :) Well, I realized long ago that I am in the process of searching. Therefore, I myself can't say that I will be an agnostic till the end of my life.

 

(haha, I believe it doesn't matter to you, does it?)

 

I can't avoid the fact that I was raised in a very rigid religious family. I got Islamic teachings not only from the school where I used to study, but more importantly was also from my very own parents. Therefore, if someone asks me what I have in mind whether I believe in the afterlife, I actually cannot stay away from the illustration of the condition of the afterlife I used to get from both my teachers and parents. But do I still believe in it? Of course not anymore.

 

My teachers used to say that only Muslims will go to heaven. Other people -- non Muslims -- will go to hell, no matter how good their deed is when they live in their life; because Islam is the only religion approved by the One and Only Almighty. Non Muslims will be punished to go to hell forever because they don't want to convert to Islam when they are alive.

 

(Therefore some -- I can't say many, moreover most of them -- Muslims then do anything bad they wanna do in their life (cheating, killing, corruption, etc) because eventually they will go to heaven. Of course there will be time for them to go to hell for those whose negative deed is bigger than their virtue, this is called that those Muslim people need to be 'cleansed' before entering heaven.)

 

"Do you believe so?" asked my loved one.

 

Well, during my life journey (thanks to facebook where I get a lot of different insight from many people I get to know there), especially in my senior age, I have met people from different walks of life. The insight I got from befriending with them gave me another idea.

 

In Islamic teaching, people know a philosophical term 'insan kamil'. Ibnu Arabi, one well-known sufi 'coined' this term as one perfect man, to refer to Prophet Muhammad. Insan kamil is the highest level of Muslim. Therefore, to be Insan kamil is what every Muslim covets to be.

 

Referring to that term, I have an idea that all people who have reached that level -- insan kamil -- will 'moksha' when they die. They will be liberated from any suffering, dukha and samsara; either they will enter 'nirvana' (heaven?) or they will just disappear. For those who do not reach that level yet, they will be reincarnated. And life will go on that way, for everyone.

 

This is what I think now when someone asks me about life after death. This is my level of my belief right now. And, I am still searching …

 

PT56 13.48 31.08.2023

 

Tuesday, August 29, 2023

Nana dan Angie di Sekolah Basis 3 Day 3

 

aku bersama Romo Sindhu

Minggu 27 Agustus 2023

 

Pagi ini bangunku molor, lol. Baru jam 6 aku beranjak dari tempat tidur. Karena kulihat kawan-kawan sudah ngantri untuk mandi, aku memutuskan untuk mandi di kamar mandi yang tersedia di luar joglo. Kemudian nyicil packing sebelum sarapan.

 

Seperti hari kemarin, sarapan disediakan pukul 07.00. Namun aku dan Angie ke tempat makan pukul 07.30. kebetulan letak joglo 1 terletak yang paling dekat dengan pendopo Zoetmulder dibandingkan dengan joglo-joglo lain. Tempat makan letaknya berdampingan dengan pendopo.

 

seusai sarapan di hari ketiga

 

Usai sarapan, pukul 08.00 kami langsung berkumpul di pendopo Zoetmulder untuk mendengarkan kuliah Filsafat Politik yang disampaikan oleh Romo Setyo. Selain memberi kuliah filsafat politik, Romo Setyo sekalian me-wrap up hal-hal yang sudah kita bahas dua hari sebelumnya. Beliau memulai dengan kisah tentang seseorang yang gagah, tinggi, tampan namun tuli dan rabun jauh. Orang ini memiliki sebuah kapal yang megah. Akan tetapi karena dia tuli dan rabun jauh, dia tentu tidak bisa membawa kapal mengarungi lautan luas. Untuk itu dia membuka lowongan para pekerja yang akan bekerja sama membawa kapal itu berlayar.

 

Romo Setyo di hari ketiga

 

Dalam prakteknya, sayangnya, para pekerja ini ternyata berkelompok-kelompok berdasarkan kepentingan sendiri-sendiri. Mereka pun mulai saling sikut menyingkirkan kelompok lain yang tidak se'vibrasi' dengan mereka. Homo homini lupus pun berlaku di sini. Yang menang akan menyingkirkan yang kalah. Pihak mana pun akan melakukan hal yang sama. Apakah setelah menang mereka akan membawa kapal berlayar dengan mumpuni? TIDAK! Mereka hanya akan berpesta pora merayaka kemenangan. Lalu bagaimana nasib kapal dan si pemilik yang gagah, tinggi, tampan namun tuli dan rabun jauh? Dia hanya bisa memandang tanpa bisa melakukan apa-apa.

 

Ini adalah analogi sebuah negara (kapal), pemiliknya (rakyat) dan para pekerja yang tamak (politisi). Siapa pun yang memegang kemudi, hasilnya akan sama: rakyat akan terus terombang-ambing di lautan luas itu.

 

Sesi terakhir diperuntukkan mereka yang sudah memiliki outline karangan yang mungkin didapatkan setelah mengikuti kelas menulis dan kelas politik yang diselenggarakan oleh BASIS.

 

Acara ditutup pukul 12.00 dengan berdoa bersama, berfoto bersama, kemudian makan siang bersama.

 

Aku dan Angie meninggalkan Omah Petroek pukul 14.00. kami mampir ke HeHa Forest yang baru buka di daerah itu. Pukul 15.30 kami turun menuju Alif Transport, mengembalikan sepeda motor yang kami sewa. Dari sana, kami ngegrab ke pool Ara**n di daerah Jombor. Kami naik travel pukul 17.30, dan kami sampai di rumah pukul 21.00.

 

Sampai jumpa di SEKOLAH BASIS edisi 4 tahun depan! insyaAllah!

 

PT56 15.15 29/08/23

 

foto bareng, setelah penutupan

di belakang kami itu klenteng


Nana dan Angie di Sekolah Basis 3 Day 2

 

sebagian peserta kelompok 3 bersama Romo Setyo

Sabtu 26 Agustus 2023

 

Sekitar pukul 05.50 aku membangunkan Angie untuk berburu foto Gunung Merapi. Kata Romo Setyo, kita bisa mendapatkan foto Gunung Merapi yang terlihat 'cetha' sebelum pukul 06.00. Jika berburu setelah pukul 06.30, sebagian badan gunung akan tertutup kabut. Namun, kami ga bisa stay lama berburu foto karena kami berdua sama-sama kebelet kudu ke toilet segera, lol.

 

Sarapan disediakan pukul 07.00.

 

Kelas Menulis 2 dimulai pukul 08.00. Peserta yang tergabung dalam kelompok 3 mengikuti kelas Romo Sindhunata, di pendopo Zoetmulder. Romo Sindhu tidak berbicara tentang 'how to write' seperti yang dilakukan oleh Ayu Utami, karena katanya, "sudah banyak buku yang diterbitkan tentang how to write ini." sebaliknya, beliau berbicara tentang teori Rene Girard yag meliputi etnologi, antropologi, psikologi, mitologi, teolodi, dan sastra. Sastra itu tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan masyarakat, karena sastra adalah sumber yang 'mewahyukan' kebenaran-kebenaran tentang masyarakat.

 

Romo Sindhunata

Jika seseorang dilekati oleh profesinya -- misal seorang ASN -- dan dia ingin menulis sesuatu untuk mengkritik pemerintah, misalnya, dia bisa menggunakan media sastra untuk menyampaikannya.

 

Saat Romo Sindhu bicara ini, aku ingat cerpen AA Navis yang berjudul "Robohnya Surau Kami". Karena kritik keagamaan ini ditulis dalam bentuk karya sastra, tentu hal ini tidak mengakibatkan kemarahan kaum agamis.

 

Kelas Menulis 3 dimulai pukul 10.30, setelah snack time jam 10.15 - 10.30. Kali ini jatah kelompok 3 pindah ke 'ruang kaca' untuk mendengarkan sharing dari Romo Setyo Wibowo. Romo Setyo mengawali 'kuliah'nya dengan menyebutkan bahwa 60% pemilih di tahun 2024 adalah generasi Z dan generasi milenial. Jika kita-kita yang 'melek masa lalu' tidak peduli pada apa yang terjadi, bisa-bisa orang yang di masa lalu tangannya berlumuran darah masyarakat memenangkan pemilu karena tidak ada pendidikan politik yang layak untuk generasi Z dan generasi milenial itu.

 

Romo Setyo share 3 hal yang berkenaan dengan pengalaman beliau menulis di BASIS. Mulailah dengan (1) membaca fenomena sehari-hari. Dilanjutkan dengan (2) memiliki latar belakang keilmiahan yang bisa dipertanggungjawabkan dan (3) argumen yang kokoh perlu disampaikan dengan membuatnya cair, agar mudah dipahami dengan gamblang oleh pembaca.

 

Setelah makan siang, pemateri selanjutnya adalah Benny H. Juliawan pukul 13.30. Romo Benny berbicara tentang dunia digital yang telah begitu mengubah kehidupan kita sehari-hari. Dilanjutkan oleh Bayu Risanto yang berbicara tentang klimatologi. Sesi terakhir sebelum istirahat sore bersama pemateri Yustinus Prastowo, tokoh perpajakan staf khusus Ibu Sri Mulyani. (aku lelah dan mengantuk sekali di sesi Bayu dan Y Prastowo ini, so don't ask me what they were talking about. Lol.)

 

Romo Benny sebelah kiri

 

2 aktivis reformasi 98 mengisi acara setelah makan malam usai. Romo Benny berkisah tentang pengalamannya saat membidani lahirnya FORKOT menjelang reformasi 98 itu dan bekerja sama dengan para mahasiswa non UI (hahaha) waktu itu untuk turut bersama-sama dengan gerakan moral dari masyarakat dalam usaha melengserkan Suharto. Setelah Romo Benny, ada bung Dewanto Handoko yang dahulu adalah bestie-nya Budiman Sujatmiko. Dedy (nickname-nya) dan BS adalah dua aktivis 98 yang bebas dari penculikan tim mawar. Sebagai seseorang yang memandang Prabowo sebagai seseorang yang tangannya berlumur darah kawan-kawan seperjuangannya dulu (ada lebih dari 10 orang menghilang sejak saat itu, termasuk penyair Wiji Thukul) namun BS malah justru mendukung Prabowo menjadi capres di pilpres 2024, tentu saja Dedy benci pada pengkhianat satu itu.

 

Dewanto Handoko (kiri)  Romo Setyo (kanan)

Romo Haryatmoko

 

Sebagai 'gong' malam itu adalah Romo Haryatmoko. Untuk sesi ini, panitia membagikan soft file artikel tulisan Romo Moko yang berjudul "Pentingnya Kritik dan Godaan Demagogi". Romo Moko yang kocak dan suka menyelipkan humor-humor di tengah pembicaraannya benar-benar membuat melek yang yang sempat mengantuk. Saking pintarnya beliau mlipir kesana kemari saat berbicara, aku bingung mau mencatat apa, karena beliau nampak hanya mengajak bicara audience-nya. Haha …

 to be continued.

mumpung ketemu, foto bareng dong. hehe


Nana dan Angie di Sekolah Basis 3, Day 1

 

aku dan Angie di kelas menulis dengan narsum Ayu Utami

Background:

 

I could join this event SEKOLAH BASIS 3 (the first and the second event were held online) because I follow instagram account of @penerbitkpg. Guess what? I started following that account in the middle of May 2023 because I joined a quiz held there. The quiz was held as one program to lead to an 'event titled "Quo Vadis Ayu Utami?"

 

Jumat 25 Agustus 2023

 

Aku dan Angie berangkat ke Jogja dengan naik travel Ar***n yang meninggalkan pool di Taman Kasmaran pukul 09.10. (Semula kami berencana turing naik motor saja Semarang - Jogja. Selain lebih murah, juga untukku sendiri sebagai napak tilas nostalgia melewati jalan dari Semarang - Ungaran - Bawen - Ambarawa - Secang - Magelang - Muntilan. But something not nice happened a few days before we left for Jogja. So? I decided we took 'travel'.) ini kali pertama aku ke Jogja dengan naik travel ini. Aku cek di google, pool travel Ar***n ini ada di daerah Jombor. Karena travel lewat jalan tol, kami masuk Jogja via Klaten, aku yakin kami akan masuk ring road untuk menuju Jombor.

 

Aku dan Angie turun di perempatan Kenthungan -- Jalan Kaliurang km 6 -- sekitar pukul 12.20. dari sini, kami naik grab ke Alif transport, untuk sewa motor. Setelah dapat motor, aku mengajak Angie keluar dari area itu lewat Gang Megatruh, dan kami mampir makan siang di outlet 'Yamie Panda' situ. Kami Cuma pesan satu porsi karena aku ingat porsinya cukup besar untuk perut kami yang tidak terlalu besar, lol.

 

Usai maksi di situ, aku mengajak Angie mampir ke outlet Roti O yang terletak di daerah situ juga, Jakal km 5. Angie butuh ngopi. Aku menghabiskan iced cappuccino pesananku di situ, sedangkan punya Angie masih utuh. Dari sana, kami langsung naik ke Jakal km 22/23. Omah Petroek tempat diselenggarakannya SEKOLAH BASIS 3 terletak di daerah yang sejuk itu.

 

Sekitar pukul 14.00 kami sudah sampai di Omah Petroek. Setelah mendaftar ulang, dan mendapatkan info bahwa kami ditempatkan di Joglo 1, kami pun langsung check in. Di dalam joglo, ada 8 bed dengan 8 lemari kecil, tentu untuk 8 peserta yang menginap di lokasi. Waktu kami berdua datang, ada 3 peserta lain yang sudah check in. 2 orang dari Depok, sedang yang seorang lain dari Kartasura.

 

Jam 14.30 upacara pembukaan diselenggarakan di Pendopo Zoetmulder. Romo Setyo Wibowo membuka acara dengan resmi. (FYI, beliau adalah seorang dosen STF Driyarkara, dengan spesialisasi Greek Philosophy.)

 

Ayu Utami

 

Kelas Menulis 1 dimulai pukul 15.00. Peserta dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama tetap stay di pendopo Zoetmulder, dengan narasumber Romo Sindhunata. Kelompok 2 bergeser ke ruang 'kaca' dengan narasumber Romo Setyo. Sedangkan kelompok 3 bergeser ke ruang auditorium 2 di belakang area Omah Petroek ini, dengan narasumber Ayu Utami. I was lucky karena dikelompokkan menjadi satu kelompok dengan Angie (penginapan kami berdua juga sama-sama di Joglo 1) karena sudah lama aku ingin merasakan kuliah bareng dengan Angie., berada dalam satu ruangan. Ha ha …

 

Ayu berbagi cara 'menulis esai kreatif'. Kelas berjalan sampai pukul 17.15.

 

Makan malam disediakan pukul 17.30.

 

Agenda berikutnya adalah sharing pengalaman aktivis reformasi 98 dengan Valentina Sagala pada pukul 19.00. sedangkan Suci Mayang Sari, seorang aktivis reformasi juga, yang sekarang berkiprah di bidang politik dengan bergabung PSI, berbagi pengalamannya saat penembakan mahasiswa Universitas Trisakti di bulan Mei 1998 karena dia berada di kampus saat itu.

 

Acara ditutup pukul 21.00. saat para peserta dan narasumber istirahat.

 

goodie bag yang diterima oleh peserta, berisi 1 majalah Basis, dan 2 blocknote yang cantik

Valentina Sagala

Suci Mayang Sari

Monday, August 28, 2023

BROMO - MADAKARIPURA - GILI KETAPANG - BJBR Day 3

 


Sabtu 19 Agustus 2023

 

Sejak awal, aku tidak ada pikiran untuk berkunjung ke Gili Ketapang, meski tentu saja aku kepengen. Dolan ke BJBR saja sudah cukup. Apalagi ketika Angie mengeluh lelah sehari sebelumnya. Tapi, pagi ini, Ranz mencoba merayuku untuk mau ke Gili Ketapang. Paginya kami ke Gili Ketapang dulu, siangnya baru ke BJBR. Kan BJBR buka sampai jam 8 malam.

 

Aku pun mencoba merayu Angie untuk mau ke Gili Ketapang terlebih dahulu. Atau jika dia tidak mau ikut, mungkin pagi itu biar dia leyeh-leyeh dulu di hotel, aku, Ranz dan Deven ke Gili Ketapang. Pulangnya, kami jemput dia di hotel, kemudian bareng-bareng ke BJBR. Namun setelah aku tunjukkan foto-foto Gili Ketapang dari google ke Angie, Angie mau ikut! Yuhuuuu. Setelah sarapan, kami pun buru-buru mandi dan siap-siap.

 

di perahu

 

Kebetulan, hotel yang kami inapi lokasinya tidak jauh dari dermaga pelabuhan Tanjung Tembaga. Dengan taksi online kami berempat menuju ke sana. Saat akan masuk pelabuhan, taksi kena retribusi empat ribu rupiah, sedangkan kami berempat kena 'charge' duapuluh ribu rupiah. (seorang bayar lima ribu rupiah). Sesampai sana, ada sebuah perahu yang sudah berisi lumayan banyak penumpang yang akan menyeberang ke Gili Ketapang. Apakah setelah kami berempat naik perahu, perahu segera berangkat? No way! Wkwkwkwk … kami masih harus menunggu sampai perahu benar-benar penuh! Orang-orang di sekitar kami berbicara dengan bahasa Madura yang membuat kami merasa 'alienated', lol. Masing-masing kami membayar Rp. 10.000,00.

 

Kami naik perahu sekitar pukul 09.00, dan perahu akhirnya berangkat pukul 09.44. air laut yang berwarna biru cukup menghibur hati yang tadi sempat merasa tidak sabar mengapa perahu tidak segera diberangkatkan, lol. Perahu yang kami naiki sampai di Gili Ketapang pukul 10.10. butuh kurang lebih 35 menit dari pelabuhan Tanjung Tembaga menuju Gili Ketapang. 

 

naik bentor menuju pantai Pasir Putih, Gili Ketapang

 

Sesampai dermaga Gili Ketapang, Ranz langsung mengajak naik bentor. Kami berempat membayar Rp. 35.000,00. oleh si bapak bentor, kami langsung diantar ke pantai 'pasir putih'.

 

Karena ga kepikiran akan nyemplung laut, aku tidak membawa celana pendek maupun sendal jepit. Ternyata o ternyata, setelah melihat air laut yang begitu jernih, dan pasir putih yang lembut, aku tak kuasa menahan diri untuk tidak nyemplung! Akhirnya? Ranz membelikanku sendal jepit (lagi!) hahahaha … kemudian aku membeli celana pendek. Aku juga menawari Angie beli celana pendek agar dia bisa ikutan nyemplung ke laut.

 





 

Kata bapak bentor, tempat untuk bermain dan berfoto-foto, tidak hanya di spot dimana kami dia turunkan dari bentor. Ada spot lain lagi. Tapi ternyata waktu berjalan dengan begitu cepat! Tahu-tahu sudah jam 12.30 dan perut sudah mulai melilit kelaparan. Ranz menawariku apakah kami akan maksi di situ atau setelah menyeberang balik ke Probolinggo. Aku memilih makan di situ saja, dari pada terlambat makan siang, Angie bisa ngambeg. Hahaha … Angie dan Ranz itu sama-sama punya masalah asam lambung, tapi Angie bakal langsung ga tahan jika perutnya perih pedih melilit, Ranz masih agak mending. Aku pesan ikan bakar dua porsi untukku dan Angie. Deven pesan indomie goreng dan telur. Ranz ikutan nyemilin ikan bakar yang kumakan. :)

 

detik-detik Angie mengejar sendal jepitnya yang 'kabur' dibawa ombak 😜

 





 

 

Saat kami makan, ada dua orang lelaki yang ikutan berteduh di gazebo tempat kami duduk-duduk dan makan siang. Ternyata salah satu dari mereka menawari kami untuk menyewa perahu jika kami ingin kembali ke pelabuhan Tanjung Tembaga. Wah … ini asyik, kami ga perlu menunggu lama sampai perahu penuh! Dengan biaya Rp. 150.000,00 kami berempat bisa langsung kembali ke Probolinggo dari spot pantai Pasir Putih itu! 

 



dalam perahu yang kita sewa, sebelum perahu berangkat, tiba-tiba ada 2 orang berlari-lari menuju perahu untuk ikut balik ke dermaga Tanjung Tembaga
 

Sekitar pukul 15.00 kami berempat sudah sampai di BJBR! Tiket BJBR. Tiket masuk Rp. 50.000,00 per orang. Saat taksi memasuki area BJBR menuju tempat parkir, kami melewati pantai buatan yang sudah tidak menyerupai pantai buatan lagi. Hiksss … di sampingnya sekarang dibuat kolam renang. Hari itu hari Sabtu dan kolam renang nampak sepi. Tempat parkir pun sepi, tidak banyak mobil yang terparkir di sana.

 

I can conclude that BJBR underwent sort of damage during pandemic. Pablebuat?

 

Sebelum mulai berjalan ke area mangrove, aku dan Angie ke toilet terlebih dahulu. We needed to change our clothes. Dan Angie yang butuh ganti pembalut tapi dia lupa membawa memintaku untuk membeli di toko dekat kolam renang. Dan … ternyata tidak ada toko yang buka di daerah kolam renang itu. Untungnya Ranz bawa pembalut. Angie was saved!

 


 

Kami pun berjalan masuk ke area mangrove. Jika di tahun 2017 lalu dengan mudah kita akan berpapasan dengan pengunjung lain, maupun pegawai BJBR yang bertebaran di mana-mana untuk ngecek sampah (yang barangkali dibuang sembarangan oleh pengunjung) atau memberitahu arah kemana kita harus berjalan, kami sama sekali tidak bertemu siapa-siapa.

 

(FYI, beberapa minggu sebelum kami berangkat, aku sempat ngecek penginapan di dalam BJBR. Ada beberapa tipe. Yang aku ingini adalah bungalow yang terletak di pinggir laut dengan pemandangan laut lepas. Harganya Rp. 1.350.000,0 untuk dua orang. Kalau maksain sih ya mampu ya, tapi waktu itu aku dan Ranz memutuskan untuk tidak usah menginap di dalam BJBR. Kami menginap di 'kota' saja.) ada bungalow dengan pemandangan hutan bakau, harganya Rp. 950.000,00 untuk dua orang. Membayangkan menghadap hutan bakau di malam hari kok rada-rada spooky ya? Hohoho …)

 

Melihat kondisi ini, aku dan Ranz bersyukur bahwa kami tidak jadi 'memaksa diri' untuk menginap di dalam BJBR. Saking sepinya, jadi beneran spooky pasti, lol. Mana ketika kami tiba di 'jembatan terpanjang untuk naik sepeda di atas laut' kami mendapati bahwa air laut sedang 'turun', pemandangannya jadi benar-benar biasa saja.

 

Karena ga mau kelelahan, saat sampai di resto BJBR, aku langsung mengajak masuk, pesan minum dan cemilan. Kami bisa duduk-duduk di situ sementara menunggu saat membidik sunset. Kebetulan saat itu ada sekelompok orang sedang mengadakan acara di situ, jadi situasi resto cukup rame. Selain kami berempat, ada beberapa rombongan lain yang sedang santai-santai di sana.

 







 

Sekitar jam 5 sore, aku mengajak yang lain meninggalkan resto, menuju spot untuk memotret sunset. Kebetulan saat itu, rombongan orang yang sedang ada acara di situ pun ramai-ramai berjalan ke arah yang sama. Meskipun begitu, situasi tetap belum seramai dulu, Desember 2017.

 

Kami pulang ke hotel sekitar pukul 18.30. Sesampai hotel, Deven dan Angie istirahat di kamar masing-masing, aku dan Ranz ke luar, ke rumah makan tempat kami membeli makan semalam sebelumnya untuk beli makan malam. Angie minta dibeliin sesuatu asal bukan nasi. So? Aku belikan ayam goreng tanpa nasi. Aku dan Ranz masih sama: memesan manuk gemmeck bakar, dan Deven nasi goreng ayam mentega.

 

Minggu 20 Agustus 2023

 

Pagi itu kami tidak punya acara apa-apa. Sarapan datang pukul 06.30, dan kami tetap makan di depan kamar yang kutempati. Setelah itu, kami mandi dan packing.

 

Pukul 10.10 kami meninggalkan penginapan menuju stasiun Probolinggo. Sesampai sana, Angie dan Deven sama-sama merasa kelaparan, lol. Jadi kami mampir di warung bakso yang ada di dalam kawasan stasiun. Baksonya lumayan enak, kuahnya juga. 

 

 

Jam 11.11 kami sudah masuk ke dalam stasiun. Meski di tiket tercatat KA Sritanjung berangkat pukul 11.29, jam 11.11 kereta sudah datang. Jadi kami langsung masuk ke dalam gerbong.

 

Seperti waktu berangkat, KA berhenti agak lama di stasiun Surabaya Kota untuk ganti lokomotif. Kemudian kereta juga berhenti agak lama di stasiun Kertosono karena kehabisan air.

 

KA Sritanjung yang kami tumpangi sampai di stasiun Purwosari pukul 19.20. Mas Martin dan mba Niken, kakaknya Ranz menjemput, dan mengantarku dan Angie ke pool travel Citi*****. Travel yang kami tumpangi meninggalkan pool jam 20.00. alhamdulillah perjalanan lancar. Aku dan Angie sudah sampai rumah dengan selamat sebelum pukul 22.00.

 

Capek? Iya! Excited? Jelasss. Kapan-kapan mau diulangi lagi? Mauuuu, lol.

 

PT56 14.18 24.08.2023

 

Thursday, August 24, 2023

BROMO - MADAKARIPURA - GILI KETAPANG - BJBR Day 2

 


Jumat 18 Agustus 2023

 

Alhamdulillahnya pagi itu, Deven mudah dibangunkan, dan dia nampak sudah sehat lagi. Mungkin memang dia 'mabuk' kendaraan. Setelah istirahat yang cukup, dia sehat lagi.

 

Setelah jeep yang dicarter Fitri datang, rombongan Fitri pun menyusul sampai di Parama. Dia bersama keponakannya, Ambar teman SMP -- yang berarti juga teman Angie SMP -- dan satu orang teman Fitri yang menyetir mobil. Keren juga dia bisa nyetir mobil sampai Cemara Lawang. Masalahnya adalah ini kali pertama dia menyetir mobil naik sampai Cemara Lawang!

 

Karena info yang kami terima bahwa Pananjakan sudah penuh turis, kami diajak ke Seruni Point.

 

  • (FYI, pertama kali ke Bromo di tahun 1990, aku dan kawan-kawan kuliah berjalan kaki dari (mungkin) Cemara Lawang sampai Gunung Bromo, melewati lautan pasir. Kami menyaksikan matahari terbit dari pinggir kawan Bromo.
  • Kali kedua ke Bromo di tahun 2000, aku dan kawan-kawan diajak ke Pananjakan (1). Setelah turun dari jeep, kami hanya butuh naik tangga tak lebih dari 30 anak tangga, kami sudah sampai 'puncak' dan tinggal menunggu matahari terbit.
  • Kali ketiga di tahun 2017, aku dan Ranz 'mengikuti' rombongan jeep maupun motor menuju Pananjakan naik sepeda. Kami tidak sampai atas karena hujan turun. Di mana pun kami berhenti, jelas kami tidak akan sempat menyaksikan sinar matahari terbit.

 

Seruni Point terletak kurang lebih hanya 2 kilometer dari penginapan kami, dengan trek naik turun. Sesampai di tempat 'parkir' jeep, kami turun. Dari situ, kami masih harus jalan kaki sejauh kurang lebih 2 kilometer lagi, dengan trek mendaki yang cukup ekstrim. Aku ternyata kaget bahwa kami harus berjalan lumayan 'jauh', lol. (Aku telanjur membayangkan jalan kaki paling hanya 500 meter je, lol.) dan sepagi itu, dadaku rasanya berat saat berjalan mendaki. Aku pun mengajak Ranz balik ke tempat parkir jeep. Di situ ada gardu pandang yang bisa dipakai untuk menyaksikan matahari terbit. Katanya. Aku biarkan Angie berjalan bersama Fitri, Ambar dan Fani (keponakan Fitri) ke puncak Seruni. Namun, ternyata Ranz tergoda tawaran naik kuda. Untuk menyewa satu kuda, kami dipatok harga Rp. 100.000,00. Ranz menyewa 3 kuda: untukku, untuknya dan untuk Deven.

 

Berhubung waktu itu suasana masih gelap gulita, aku tidak sadar melewati Angie yang sedang berjalan. Dia dan Fitri 'terpaksa' berjalan pelan-pelan menemani Ambar yang katanya sama sekali tidak pernah berolahraga. Hoho … Angie pun tidak menyangka aku sudah menyalipnya. Ha ha …

 

Setelah turun dari kuda, kami masih harus mendaki tangga sekitar 250 anak tangga! Jika kondisi kakiku sehat, ini sih kecil ya. (untuk menuju air terjun Grojogan Sewu, para pengunjung harus melewati 1250 anak tangga!) untunglah pagi itu, kakiku bisa diajak kompromi, malah nafasku yang harus aku kelola dengan baik.

 


 

Sampai atas, jelas sudah banyak wisatawan lain, most of them were foreigners. Bangga dong ya jadi orang Indonesia, ketenaran keindahan Bromo sampai ke manca negara! Hasilnya? Ya susah 'rebutan' lokasi strategis untuk memotret sunrise, lha orang bule itu tinggi-tinggi je. Hahahahahaha …

 

Saat semburat oranye mulai muncul di ufuk Timur, orang-orang pun menyiapkan hp/kamera masing-masing. Tunggu punya tunggu, kok dari tadi Cuma semburat warna oranye doang ya yang muncul? Mataharinya manaaa? Ternyata, bukit yang terlihat dari Seruni point itu menghalangi kami untuk bisa mendapatkan pemandangan sunrise yang ciamik. Ouw … ya sudahlaaah, tidak apa-apa. Hahahaha …

 

Meskipun begitu, kami bisa mendapatkan pemandangan yang ciamik ke Gunung Batok, Gunung Bromo dan sekitarnya. Tapiiii, titik-titik strategis telah dipenuhi para bule yang badannya tinggi-tinggi itu. Hadeeeeh.

 


 






 

Kami turun ke tempat jeep parkir sekitar pukul 06.30. Jeep yang aku tumpangi tidak terlihat di situ, entah kemana. Sopirnya nampak penuh rahasia memang sejak awal. Hiksss … Aku dll perlu menunggu sekitar 15 menit, itu pun setelah Fitri menelpon orang itu.

 

Dari Seruni Point, kami dibawa ke Bukit Teletubbies. Ternyata memang lokasinya cukup jauh. Naik jeep, lumayan ngebut, kami butuh waktu lebih dari 15 menit je. Bayangin kalau naik sepeda dengan gurun pasir yang pasirnya begitu 'mangsir' (tidak padat seperti saat di musim hujan), beraaat banget pastinya.

 


Kami di Bukit Teletubbies sekitar 30 menit mungkin. (aku lupa melihat jam.) Aku menyempatkan diri pipis. Oh ya, di area sini, untuk pipis, kita diminta membayar Rp. 5000,00. Aku sempat pipis tiga kali saat di area Bromo, boros! Hahahaha …

 

Dari area Bukit Teletubbies, kami ke arah Pasir Berbisik. Ketika jeep yang ditumpangi Fitri dkk sudah berhenti, jeep yang kutumpangi menyusul, berhenti sebentar di samping jeep yang satunya, eh, tiba-tiba jeep yang kutumpangi ngebut pergi. Si sopir sibuk menelpon/ditelpon seseorang, sambil menyebut-nyebut 'toilet'. Semula aku pikir dia sedang ditelpon Fitri. Jeep kemudian berhenti di kawasan Gunung Bromo. Setelah aku turun, jeep langsung kabur.

 


 






Aku bertanya pada Fitri apakah dia tadi menelpon sopir jeep yang kutumpangi. Katanya tidak. Dan sekarang jeep kabur. Ini berarti sopir itu pun melayani wisatawan lain. Sama sekali tidak professional!

 

Mood-ku langsung buruk. Ranz juga. Apalagi aku mencari toilet di sepanjang warung-warung yang ada di situ, tidak kutemukan. Dan ternyata aku salah. Warung-warung itu memang tidak menyediakan toilet; toilet ada di lokasi lain. Saat mencari toilet ini, aku bersama Angie dan Fitril. Ranz bersama Deven menunggu somewhere. Ambar, Fani, dan mas Mail (yang menyetiri mobil yang disewa Fitri dari Semarang) ada di satu warung makan situ.

 

Fitri menelpon sopir (kalau ga salah namanya Susio) beberapa kali, baru akhirnya diangkat. Fitri komplain mengapa tadi tidak berhenti di Pasir Berbisik. Dia ngeles bla bla bla. Tapi dia mau mengantar kami ke Pasir Berbisik lagi. Sayangnya saat itu sudah jam 09.30 (ini setelah kami semua bergabung di satu warung untuk sarapan), dan sopir dari Probolinggo sudah berjanji untuk menjemputku dkk di hotel Parama jam 10.00. Dengan sangat terpaksa, aku, Angie, Ranz dan Deven balik ke hotel langsung. Kami pun tidak berjalan ke kawah Bromo.

 

Nampaknya, jika next time kami ke Bromo lagi, kami harus menginap di Cemara Lawang dua malam, seperti yang aku dan Ranz lakukan di bulan Desember 2017. Biar puas.

 

Kami sampai di hotel pukul 10.05. Kami langsung buru-buru packing. (Kami berempat tidak ada yang mandi di Cemara Lawang. Hahahahahahah …). Kami check out dari hotel sekitar pukul 10.30.

 

Kami sampai di tempat parkir destinasi wisata air terjun Madakaripura sekitar pukul 11.15. Di sini, kami langsung ditawari untuk beli mantel (yang harganya sekitar 8000an kalau beli di mini market, di sini kami beli dengan harga sepuluh ribu rupiah) dan sendal jepit. Sungai yang dalamnya sampai sekitar 30 - 40 cm termasuk trek yang harus kami lewati menuju air terjun. Itu sebabnya kami sebaiknya tidak mengenakan sepatu, lebih baik pakai sendal. Plus, tebing yang mengucurkan air yang kami lewati akan membuat kami seperti kehujanan.

 

Setelah membeli 3 mantel (Ranz sudah bawa sendiri) dan satu pasang sendal jepit buatku (Ranz, Deven, dan Angie sudah bawa sendal jepit), kami dihampiri seorang lelaki. Dia menawarkan diri menjadi guide, "trek yang dilewati nanti sulit," katanya. Dia mematok harga seratus ribu rupiah. Ranz pun menawarnya menjadi limapuluh ribu rupiah. Si bapak menggumam tidak jelas, kalau tidak salah dia bilang, "di sini itu ada karang taruna yang mengelola." bla bla bla … Kemudian dia bilang lagi, "ojek … ini butuh 3 ojek,"

 

Whattt? Kok butuh ojek?

 

Si bapak menjelaskan, "iya, lokasinya jauh kalau tidak naik ojek nanti kelamaan sampainya." Satu motor ojek dihargai limabelas ribu rupiah.  Aku ingat waktu kami akan ke destinasi wisata Srambang, dari tempat parkir kami juga disarankan naik ojek, dengan biaya limaribu rupiah. Aku naik ojek bareng Deven, Ranz sendiri, Angie juga sendiri.

 

Ternyata memang benar, kita butuh naik ojek. Jarak dari tempat parkir menuju loket membeli tiket masuk jauh juga je, mana trek naik turun pula. Sudah untung permukaan jalan sudah bagus.

 





 

Setelah sampai, di sisi kanan ada beberapa warung. Salah satu dari penjual warung menjajakan minuman sambil bilang, "nanti jalannya jauh, di dalam tidak ada warung." akhirnya aku beli 1 botol air mineral plus 3 biji pisang goreng yang masih hangat. Lumayan, aku makan 1 biji, 2 biji lain untuk Deven dan Angie.

 

Aku ingat sopir yang mengantar kami ke Cemara Lawang dari Probolinggo bilang bahwa jalan kaki menuju air terjun tidak terlalu jauh. So? Aku berharap maksimal 1 kilometer lah ya. Ternyata???

 

Untunglah kondisi kakiku baik-baik saja, juga nafasku (yang sempat ngos-ngosan paginya saat mendaki Seruni Point.) Dengan semangat aku terus mengikuti bapak guide yang nampaknya berjalan santai, namun ternyata cukup cepat jika dibandingkan dengan langkahku. Haha … Aku sempat khawatir jika Deven kelelahan, namun ternyata dia 'tough' juga. Mungkin jarak air terjun - loket penjualan tiket sekitar 2 - 2,5 km.

 

Aku yang paling bersemangat menuju Madakaripura, terus berada di belakang si bapak. Deven ada bersamaku, di belakang ada Angie dan Ranz. Lebih sering Ranz di paling belakang. Kalau dalam pasukan sepeda, posisinya itu disebut 'sweeper'. :D

 

Menjelang sampai lokasi dimana kami harus masuk ke sungai, ada post tempat seseorang berjaga; di sini disediakan helm-helm yang harus dikenakan oleh wisatawan, in case ada batu yang jatuh dari tebing. Atau, minimal melindungi kepala dari curah air terjun. Di sini, 'fungsi' si bapak guide baru terasa, lol. Dia menggandeng kami (eh, terutama aku dan Deven, lol) saat melewati sungai. Dia memilihkan jalur yang aman dan tidak licin.

 

Setelah melewati sungai, kami sampai di satu lokasi untuk foto-foto, di tempat ini jika kami melepas mantel, curahan air terjun akan dengan mudah membasahi kami (makanya aku ga berani mengeluarkan hp, 'untung' hpnya Ranz waterproof, jadi dia tetap bisa memotret kami.) aku lihat, Angie tidak tahan untuk tidak mengabadikan keindahan tebing dan air terjunnya sehingga dia pun nekad mengeluarkan hpnya, yang tidak waterproof.

 

Di spot itu, ada rombongan bule, sebagian mengenakan mantel, sebagian lain lagi tidak, mereka hanya mengenakan boxer. Mau foto-foto tanpa mereka masuk frame, rada susah, lol.

 

Dari spot itu, si bapak mengajak jalan lebih ke 'dalam' lagi. Kali ini, kami harus naik-naik batu yang cukup besar. (duh kakikuuuuu …) dengan sabar dan telaten si bapak memegang tanganku naik batu, menyeberang, hingga sampai di 'ujung'. Setelah aku, Deven berikutnya yang 'diseberangkan' oleh si bapak. Kemudian dilanjutkan Angie dan Ranz. Keduanya ga mau digandeng si bapak, merasa cukup mampu menjaga diri sendiri. Haha …

 






 

Di spot yang lebih dalam ini, penampakan air terjun Madakaripura jauh lebih ciamik! Aku bersyukur aku mengikuti instruksi si bapaka guide untuk melewati trek naik-naik batu itu: lokasinya mmmm … cantik sekali!

 

(kemarin waktu ke sana, aku berpikir, cukup sekali saja ke Madakaripura. Sekarang saat menuliskan kisahnya, aku merasa, aku ingin dolan ke sini lagi. Ha ha …)

 

Setelah kami merasa cukup puas, kami kembali berjalan ke gerbang masuk, dimana terletak loket menjual karcis. Dalam perjalanan kembali, kali ini Angie terseok-seok di belakang. Digodain si bapak, "mbaknya sudah capek ini." haha … lha gimana? Paginya kami bertiga -- aku, Ranz, dan Deven -- naik kuda menuju 'bawah tangga' Seruni Point, Angie jalan kaki. Kali ini, kami bertiga masih segar bugar, Angie lelah.

 

Sebelum balik ke tempat parkir, kami mampir di satu warung untuk jajan. Angie minta dibelikan cappuccino. Aku cukup minum air mineral dan ngemil gorengan. Kali ini, kami hanya 'memakai' ojek 2 sepeda motor untuk Ranz dan Angie. Aku dan Deven mbonceng si bapak guide. Kami sampai di tempat parkir sekitar pukul 14.30. Ranz memberi Rp. 70.000,00 ke si bapak guide.

 

Dari sana, kami langsung menuju Probolinggo. Di Probolinggo, Ranz sudah booking 2 kamar di Graha Wahidin Syariah yang terletak di Jl. Wahidin. Rasanya aku ingin segera mandi, kemudian leyeh-leyeh di tempat tidur!

 

Angie ternyata tidak hanya kelelahan, dia juga kelaparan! Waktu aku bilang, "kata mbak resepsionis, ada rumah makan di sebelah sana," dia langsung ngambeg, lol. "Apa? Kita keluar jalan kaki lagi? Angie capek!" lol. Tapi waktu kutawari go food, dia tidak mau. Jadi, ya aku, Ranz dan Deven keluar, mencari rumah makan terdekat.

 

Kami hanya perlu berjalan kaki kurang lebih sejauh 200 meter, kami sudah sampai di satu rumah makan. Aku memotret menunya dan mengirimkannya ke Angie. Dia memilih nasi goreng ayam mentega, pilihan yang sama dengan yang dipilih Deven. Aku dan Ranz kebetulan juga punya pilihan yang sama: manuk gemmeck alias burung puyuh bakar. Deven juga ingin dibelikan french fries, sementara Angie minta dibelikan jamur crispy plus teh hangat.

 

Setelah memesan dan membayar, kami berjalan kaki 'mencari' minimarket, Deven pengen beli jajanan. Mungkin kami berjalan sekitar 3 kilometer sore itu.

 

Kami berempat makan malam di depan kamar yang aku inapi dengan Angie. Di situ ada satu meja dan empat tempat duduk yang terbuat dari batu.

 

Usai makan malam, mandi, aku sudah tidak kuasa menahan kantuk, bobo lah aku, dengan perut yang kian membengkak. Hiksss … 

 

to be continued.