Search

Tuesday, May 24, 2011

Tetangga Sebelah

FACEBOOK

Ada dua feature yang paling sering dikomplen oleh para pemilik akun di FB; yakni ngetag foto dan memasukkan orang ke dalam sebuah grup tanpa minta ijin si pemilik akun terlebih dahulu.

Ngetag foto

Alasan utama aku mendua hati dari MP ke FB di pertengahan tahun 2009 dulu memang karena tak mau ketinggalan foto-foto kegiatan teman-teman b2w Semarang. Teman-teman yang banyak menganggap MP ga begitu user-friendly, dan kebetulan FB sedang amat sangat booming waktu itu, berbondong-bondong pindah ke FB. (Padahal ga banyak deh ) Dikarenakan aku selalu gaptek masalah fotografi – dengan alasan utama lebih suka difoto daripada memoto – dalam setiap kegiatan bersama teman-teman b2w Semarang, aku tidak pernah membawa kamera. (Kamera siapa juga yang akan dibawa? ) Nah, agar aku ga ketinggalan foto-foto itu, aku sempat sangat bersuka cita dengan feature ngetag foto ini di FB. Dengan feature ngetag ini, tiba-tiba foto-foto itu akan muncul di wall-ku. (Sedangkan kalau di empe, kita harus rajin nyambangi akun teman-teman yang mungkin posting foto-foto kegiatan.

gambar kuambil dari sini

Namun mendadak aku merasa jengah tatkala seorang rekan ngetag aku (dan banyak teman lain juga) foto-foto narsisnya; sedang main di toko sepeda, sedang bergaya naik sepeda, sedang ini sedang itu, sedang itu sedang ini. Masih mending kalau ada aku di foto-foto itu. Atau paling tidak fotonya bukan foto yang lagi bergaya sendirian namun ramai-ramai dengan teman-teman lain.

Demi tidak kentara terganggu kehadiran foto-foto pribadi seseorang muncul di wall-ku, diam-diam aku remove tag itu. Ga pake komplen langsung ke yang bersangkutan.

Masuk grup

Aku lupa tepatnya kapan tiba-tiba FB memungkinkan siapa pun memasukkan seseorang ke sebuah grup, tanpa perlu minta izin ke yang bersangkutan.

Meski sempat merasa jengah di awal-awal (terutama sebuah grup yang begitu saja mendudukkan aku sebagai salah satu admin grup dan sempat mendapatkan bejibun inbox yang memintaku memasukkan mereka yang kirim email untuk dimasukkan ke dalam grup) aku lebih memilih diam. Bukan karena pasrah, namun karena lebih ke ignorance aja. Walhasil, sekarang aku terhitung menjadi anggota lebih dari 10 grup di FB. Di antara sekian banyak grup, so far hanya di dua grup aku lumayan aktif berinteraksi: grup b2w Semarang dan grup Komselis (komunitas sepeda lipat Semarang) yang notabene merupakan ‘anak’ dari b2w Semarang.

FYI, meski FB memungkinkan siapa pun memasukkan orang lain ke sebuah grup tanpa izin, FB juga menyediakan fitur yang memungkinkan siapa pun ‘leave’ the group diam-diam. Jika memang tidak suka, ya siapa pun bisa leave the group yang tidak mereka sukai. Ada juga orang yang ‘berkoar-koar’ dulu dengan sopan bahwa mereka tidak suka dimasukkan ke grup begitu saja, maka mereka pun pamit untuk meninggalkan grup. Ada beberapa alasan yang selama ini dikemukakan. Pertama, karena merasa tidak ‘sejalan’ dengan visi dan misi grup tersebut. Kedua, karena tidak memiliki waktu luang yang lebih untuk ikut berinteraksi dengan aktif dengan member grup yang lain.

Seperti dalam kejadian ‘ngetag foto’, di awal aku juga tidak pernah komplen dimasukkan grup mana saja.  Kebetulan belum ada grup yang bagiku memiliki visi dan misi yang benar-benar bertolakbelakang dengan cara berpikirku. Aku juga belum pernah leave the group diam-diam, meski aku juga lebih sering tidak memperhatikan apa-apa yang dipost di grup. :-P

So far, grup-grup itu bisa kubagi menjadi empat kategori:
•    Sepeda: b2w Semarang, Komselis
•    Spiritual: spiritual Indonesia, diskusi spiritual, dll
•    Nasionalis; Semangat Indonesia, GregetNuswantara, dll
•    Sastra: Damselfly’s lament, Rumah Kata, Aliansi Penyair Timur, dll

Beberapa minggu lalu tiba-tiba aku dimasukkan ke sebuah grup oleh seseorang yang sangat jarang berinteraksi denganku di FB. (Read => aku dimasukkan ke grup-grup yang lain oleh seseorang yang ‘biasanya’ mengenalku karena interaksi yang lumayan sering di FB). Ketika aku periksa, aku sempat bingung karena grup satu ini tidak masuk satu pun kategori yang kuklasifikasikan di atas. Namun aku perhatikan most members adalah perempuan. Aku tidak kenal satu pun anggota kecuali seseorang yang memasukkan aku ke grup itu. “It was fine lah,” pikirku.

Time went by.

Hingga akhirnya aku ‘ngeh’ grup apa itu.  Si ‘pendiri’ grup mengaku sebagai seorang single parent. Dia berharap interaksi antar single parent bisa menjelma sebagai sebuah ‘bond’ dimana kemudian (mungkin) akan meningkat menjadi ‘sorority’ grup. It is sweet, isn’t it?

Namun ternyata tidak banyak member yang aktif posting sesuatu di situ: ngewall kek atau posting tulisan. Maka, ya begitulah, tidak ada yang kemudian menambah kenalan sesama single parent (aku menemukan di kemudian hari ternyata tidak semua member adalah single parent) di dalam grup.

Mungkin untuk menghidupkan grup, akhirnya si pendiri posting tulisan-tulisan yang bukan tulisannya sendiri, namun ditulis oleh salah satu member yang nampaknya karena gaptek, tidak tahu bagaimana cara posting tulisan.  Dari beberapa tulisan yang ada aku mencium gelagat mempergunakan sudut pandang policy ‘divide et impera’ antar perempuan: menjelek-jelekkan perempuan tertentu untuk kemudian memuja-muja perempuan lain. Kultur patriarki banget dah.

Itu sebab dengan tujuan menyebarkan semangat kesetaraan dan kesadaran diri apa itu makna sebagai seorang perempuan, aku posting beberapa tulisanku yang sangat kental nuansa pendidikannya – pendidikan tentang kesetaraan dan bahwa sesama perempuan harus saling asah, asih, asuh. Beberapa tulisan yang kupost di grup itu yakni “Kesetaraan Jender”, “Perempuan Sejati”, “Perempuan versus Perempuan”, “Perempuan oh Perempuan,” hingga yang paling terakhir “Sang Pendobrak versus Sang Penurut”.

Di semua tulisan yang kupost, aku menekankan bahwa pilihan dalam hidup ini ada di tangan perempuan, bukan bertumpu pada pandangan masyarakat dimana kultur patriarki di sini masih sangat kental. Seorang perempuan akan tetap menyandang ‘label’ sebagai perempuan sejati, tanpa pandang langkah apa yang dia pilih dalam hidup ini: be a full housewife? Be a career woman? Be married or single?

Aku sadar kemungkinan tulisan-tulisan yang kumaksudkan untuk pencerahan itu dicuekin member grup yang lain. Tak satu pun tergerak untuk membacanya. Atau mungkin membaca, namun tak sampai membuka cara pandang mereka bahwa yang penting dalam hidup ini adalah menghormati pilihan orang lain. Respect others, dengan harapan akan ada timbal baliknya: other people will respect us.

But at least, I have tried my best. What else can I do to open up people’s way of thinking?
Itu sebab aku menjadi sangat patah hati ketika menemukan tulisan yang jelas-jelas ditulis dengan semangat devide et impera. Kisah fiksi yang menggambarkan seorang perempuan yang menggoda seorang laki-laki mapan; sang lelaki dikisahkan tak mempan digoda karena dia memiliki seorang istri yang salihah. Tulisan yang sudah ada beberapa minggu di grup namun dengan sengaja kuhindari karena tentu akan membuat tanganku gatal untuk menulis komen.

But you can guess akhirnya aku pun tak kuasa menahan diri untuk tidak menulis komen. “What’s the point of making this group? To empower women? Because this post shows on the contrary.” Bla bla bla ...

I am no longer a patient ‘educator’ anyway. Sudah terlampau lelah jika harus menghadapi seseorang yang memuja status quo atas kultur patriarki. Si pendiri grup yang mengaku sebagai seorang single parent; yang mengaku perceraiannya disebabkan perempuan lain yang hadir antara dia dan mantan suaminya, namun juga mengaku bahwa perceraian itu tidak melulu salah si perempuan lain dan suaminya yang tergoda; dia mengaku dia juga ambil andil kesalahan.

I am no longer a determined debater. Terlalu malas berhadapan dengan orang-orang yang tak mau membuka cakrawala cara pandang mereka untuk melebihi illusi yang ada di mata mereka. Dan aku telah menjelma sebagai an annoying intellectual snob. Karena kalau kuteruskan diskusi itu, lama-lama hanya akan menjadi debat kusir tanpa manfaat.

So I decided to quit.

(Sudah sangat lelah ngurusi debat kusir di blogku di tahun-tahun 2006-2008 tentang gender, perempuan dan spiritualitas.)

Aku tidak pernah berniat masuk ke grup mana pun di FB. Maka kuputuskan to leave that particular group. I also removed that online buddy agar hidupnya peaceful. Hidupku juga damai.

I realize perjuangan tentang kesetaraan jender ini masih butuh waktu lama. But males bangetlah kalau harus ngurusin orang satu per satu. Masih mending kalau she is one very close friend of mine.



But anyway, aku tetap suka fesbuking lah, selain ngempi di lapak yang sempat gonjang-ganjing antar blogger dan online seller. Hihihi ...

PT56 21.11 220511

Tuesday, May 10, 2011

Unsung Heroes

My students and I were still talking about ‘unsung heroes’ – one topic provided in High Intermediate 1 class when out of the blue the light went out. Although there was an emergency lamp, the light was not enough to brighten the whole room well. It was not enough either to read the books without hurting our eyesight. Therefore then I switched the material from reading to speaking-listening.

A student suggested that we sit on the floor in a circle with the emergency lamp put very near to us.  There were six students altogether so we would not make a big circle anyway. I asked the students to talk about someone very important in their lives that they consider as ‘unsung heroes’. (Unsung heroes = people who have done something valuable in our lives that for other people not really outstanding.)

Intentionally I didn’t let the students talk about their parents. Most people must agree that parents are heroes for their children so I imagine it wouldn’t be exciting if everybody then talked about their parents. :)

One female student – Nanda – volunteered herself as the first narrator. She told us about one schoolmate that was always willing to lend her ears whenever Nanda needed someone to listen to her. You know, at times, people just need someone to listen to them and not necessarily give any suggestion or solution that sometimes is even not appropriate for us. Just listen. Enough.

Nanda chose another female student to tell her hero – Mieke. Mieke chose a teacher when she was in grade 5 of primary school. At that time she was chosen by the school to represent the school as one most outstanding student. That particular teacher was patiently helping her to prepare anything she needed. Even, when one time it was raining very heavily and it was flooded in some areas in Semarang, the teacher still willingly came to Mieke’s house to teach her; and he was just riding his old motorcycle!

Mieke chose Desta to continue the chain. Desta talked about her two best friends who were always there for her whenever Desta needed someone to cheer her up.

Desta asked Ghea to talk as the following narrator. Ghea talked about one good friend who seemed to live not far from her house because she said when she had a problem with her parents, she would directly run to that good friend’s house to confide in. :) And she was always ready to give Ghea solution to her problems; be it problem with parents, boyfriend, or schoolmates.

Not quite much different from Ghea and Desta, the following student, Audrey, also chose one good friend that had been close to her since they were in junior high school. Although now they don’t go to the same school anymore, they are often still in touch.

The last student – the only boy in the class who seemed to already enjoy his stay in that class among the talkative girls – talked about one male good friend of his; with the same reason: he was always there when Fauzi needed him.
Meanwhile, I was thinking who I would talk about when my students ‘shot’ me to talk about a hero in my life. :) and, yup! Since after Fauzi finished talking about his friend, we still had 5 minutes left, Nanda got me to talk about someone in particular. :)

Guess who??? :)

He is my biking mate! YAY! :) among my b2w Semarang friends, I labeled him as a savior. It all dates back from my first experience to have touring out of town – to Kedungjati railway station, around 40 kms away from RL; one bike store that has a very close relationship with b2w Indonesia. I underestimated the journey since I didn’t bring much water – just one bottle of mineral water 600 ml. I didn’t bring any muches either. It was some time in November 2008.

The track itself was in fact mostly ‘flat’, there were only 4 hilly roads that were not very high. But for me, it was enough to make me almost faint. :) moreover my old bike’s gear was broken so whether the track was ‘flat’, ‘up hill’ or ‘down hill’, I would still use the same gear. :-P When I no longer had water – didn’t think that water and snack would be very much helpful in that condition – and we had to go up one hilly road, I almost gave up. I chose to push the bike – TTB we call it; one joke among us b2w Semarang members. TTB, a ‘spoof’ of MTB (mountain bike), stands for TunTun Bike. LOL. My savior came to me and helped me. He let me walk and he pushed two bikes: mine and his.  

The journey on that day became double since when we arrived at Kedungjati station, the train going to Semarang already left. So? All of us had to ride our bike back to Semarang. :) a very unforgettable experience!

After that ‘touring’, I joined some other biking events – XC to Banyumeneng twice, biking to Banyumanik and one time biking to the toll road – my savior who lives in the western part of Semarang always accompanied me until I arrived in Pusponjolo – the neighborhood where my house is located. He wanted to make sure that I arrived home safe and sound.

“He is a gentleman, right Miss?” a student asked me.

“He sure is! But not only to me. He is always helpful like that, especially to newbies.”

After I finished talking about my savior, the bell rang. :)

Here is the picture of my savior! :)
FBBU 20.40 090511

when we were walking together on the 'touring' to Kedungjati

Sunday, May 08, 2011

Jogja 2011 Field Trip : Dibuang Sayang :)

JOGJA 2011 FIELD TRIP: DIBUANG SAYANG

Catatan tambahan yang dibuang sayang

Setelah menulis catatan tentang Jogja field trip bersama anak-anak kelas 7-12 sekolah tempat aku berbagi ilmu, masih ada hal-hal yang tentu sangat sayang jika dilupakan begitu saja dari persiapan menjelang field trip, field trip itu sendiri, dan kembalinya.


BERSEPEDA


Pertama aku sangat berterima kasih kepada dua rekan kerjaku – Ayik dan Lya – yang entah bagaimana kisah mulanya mereka memasukkan acara sepedahan sepanjang (atau sependek?) Selokan Mataram. They both know that I am crazy for biking.


Karena acara inilah aku semula berencana membawa Snow White. Ada dua hidden agendas dari rencana membawa Snow White ini. Pertama, kepengen bersepeda di sekitar Prambanan. Well, who knows bisa membawa sepeda ke dalam arena Prambanan. Selain itu juga tentu agar aku bisa bersepeda di sekitar hotel, di waktu luang. Kedua, mencoba ‘meracuni’ anak-anak bahwa bersepeda itu fun. Aku yakin tentu anak-anak akan tergoda untuk mencoba menaiki Snow White dan mereka akan tahu bahwa biking is indeed exciting!


Namun dengan sangat terpaksa aku gagalkan rencanaku ini setelah tahu bahwa bus yang akan kita naiki berukuran kecil. Ditambah lagi ketika ngobrol dengan anak-anak kelas 11 tentang rencana field trip ini. The two girls dari kelas 11 berencana membawa suitcase, setelah menghitung-hitung berapa baju yang akan dibawa. aku langsung membayangkan bahwa anak-anak kelas lain pun tentu juga akan membawa suitcase masing-masing yang tentu akan makan banyak space di dalam bagasi. So? Goodbye Snow White. Stay home sweetly, please?


Untuk mengobati rasa kecewa tak jadi membawa serta Snow White dalam field trip, aku membayangkan akan menaiki mtb yang ‘cool’ dalam acara sepedahan nanti. Sudah lama aku ga mengunjungi kakakku di Cirebon yang punya sepeda merk G***T yang sangat yummy dinaiki berapa jam pun lamanya aku nggowes keliling kota Cirebon, dengkulku ga kenal kata lelah. Pantat pun tak terasa panas. WAH!


Dan ... benar adanya! Rabu pagi 4 Mei itu di starting point waktu melihat jenis-jenis mtb yang diturunkan dari truck, my mouth directly watered! . Aku langsung memilih yang bermerk K**A berwarna ungu. Butuh beberapa menit di awal menaikinya untuk mengenal ‘watak’ sepeda pilihanku ini, aku langsung enjoy banget gowes. Jika tidak mengingat most of my biking mates yang bukan pesepeda di kehidupan sehari-hari mereka, wah ..

.
Kenyataan bahwa the biking program took only one hour, ini aja pakai acara berhenti menunggu yang ada di belakang, karena Toni beberapa kali hampir terjun bebas ke selokan. Dion yang baru belajar naik sepeda beberapa hari menjelang field trip terlihat lebih ‘settled’. Robert dan Stephen yang katanya memiliki Om yang juga gila sepeda tampak sangat menikmati acara ini, dan ikut kecewa ketika tiba-tiba kita telah sampai di Candi Sambisari, tempat usainya acara sepedahan. Bahkan Dion pun bilang, “Kok Cuma sebentar? Yuk balik lagi ke starting point yang tadi?”


Dan bea sewa sepeda pun terasa sangat mahal! Kita bayar Rp. 75.000,00 untuk sebuah sepeda dengan perkiraan kita menaikinya dalam waktu 2-3 jam. Namun ternyata hanya 1 jam saja. you can imagine it was absolutely not enough for me! Maka dengan sedikit ‘usaha’ aku bilang kepada si penyewa sepeda kalau aku ingin menaiki sepeda K**A yang kunaiki sampai kembali ke hotel. Paling pol hanya akan makan waktu satu jam dari Candi Sambisari ke Rejowinangun, Kotagede. Namun ternyata aku tidak diperbolehkan! Hiks ...


Jika aku gowes sendiri di Jogja, aku hanya bisa menaiki Snow White karena bakal repot kalau bawa Si Orange kesana, kecuali kalau mengulang lagi kisah 29-30 November 2008 lalu ketika aku dan 12 rekan b2w Semarang lain sengaja dolan ke Jogja sambil membawa sepeda. Dari 13 pesepeda, hanya satu yang membawa seli, yang lain mtb. (Let us hope my b2w friends and I will go to Jogja again by bringing our mtb!)


Ah yeah, sempat ditawari – atau dipromosiin – si bapak yang menyewakan sepeda acara sepedahan ke arah Kali Kuning menyusuri jalan-jalan yang tak jauh beda dari track yang kita lewati menuju Candi Sambisari. Tapi kalau diminta bayar Rp. 75.000,00 per sepeda, duuuhhh ... malas banget yak? 


Dari acara sepedahan ini, aku jadi pengen ngajakin teman-teman sepedahan untuk gowes sepanjang Selokan Mataram menuju arah Timur! (Waktu ke Borobudur 6 Maret lalu, kita menyusuri Selokan Mataram dari arah UGM menuju Barat/Barat Laut.) Tentu jika kita menyusuri Selokan Mataram ke arah Timur kita bakal sampai ke Prambanan!


THE GIRLS


Waktu pembagian anak-anak menjadi lima kelompok di bawah supervisi 5 orang guru, aku memilih dua siswa perempuan kelas 11 dan tiga siswa perempuan kelas 12 untuk berada di kelompokku. Kebetulan sebelumnya Olin dan Valen dari kelas 11 telah memintaku untuk memasukkan mereka under my supervision. Bukan karena apa-apa, tapi dari tiga guru perempuan yang mendampingi anak-anak field trip, hanya aku yang mengajar kelas mereka sejak mereka duduk di bangku kelas 9. Kebetulan pula jika kelas 8 yang kugawangi tak ada satu siswa pun yang ada.


The girls tidak banyak komplain sejak awal kita naik bus hingga usai field trip. Anya yang ternyata gila makan – ga keliatan banget karena tubuhnya yang paling langsing dari kita berenam – dengan murah hati membawa banyak jajan yang dia bagi-bagi kepada teman-temannya. Mulai dari ‘marning’, ‘biting’ (what a name of a food, lol), hingga bread dari satu bakery yang lumayan terkenal.



Ketika kita sampai di wisma yang jauuuuuhhh dari pekiraan anak-anak (read again my note on TOGETHERNESS BEATS DISCOMFORT), mereka hanya sedikit grumbling. Setelah mendapat ‘room’ kita langsung masuk kamar dan memilih bed masing-masing. Toilet yang ‘hanya begitu saja’  masih tetap menjadi gerundelan, but no matter what, mereka tidak komplain panjang-panjang. sedikit masalah: mereka terbiasa dengan toilet duduk, maka akan sulit bagi mereka jika harus ‘membuang hajat’ di toilet jongkok. Nevertheless, Trisha memberikan pernyataan yang melegakan, “Well Miss, with the money we paid for this field trip, this is already good. We understand.”


3 Mei sore aku tidak menyia-nyiakan waktu luang untuk berenang tentu saja. Air di kolam renang indoor itu seperti kolam renang indoor lain tentu sangatlah dingin. Seusai berenang, waktu masuk kamar dan akan mandi di toilet, wahhhh ... baunya sudah haruuuuumm. bau harum body wash dan shampoo yang wangi! The girls really adapted very fast! 


Malam itu aku mendampingi the girls shopping di Amplaz. Most of them – kecuali Valen yang terlihat tenang – terlihat seperti perempuan kebanyakan, crazy for shopping for clothes and shoes. Kita sempat mampir minum di ‘drink corner’ setelah usai lelah berputar-putar.


4 Mei siang waktu John’s mom came, aku godain the girls what if in the following field trip each student goes with their own parents so that they can choose to stay in which hotel in order that nobody complains about it. Olin berkomentar, “Ah ngga enak ah Miss. Mending menginap bareng teman-teman dari pada bareng orang tua.” “Although in such a simple inn like this?” aku godain lagi. “Yup!” katanya pasti. 


4 Mei sore waktu kita ke Malioboro, in fact I found them not really attracted to it. (Jadi kepikiran apakah pesona Malioboro telah memudar?) Aku ‘berhasil’ mengajak mereka berlima jalan kaki dari pemberhentian bus (di depan Bank Indonesia, tak jauh dari Taman Pintar) sampai ke Malioboro Mall sementara kulihat yang lain kebanyakan naik becak.


Ada kisah lucu tentang naik becak ini. Sewaktu bus berhenti, para tukang becak sudah berkerumun di depan pintu bus. “Becak mbak ... Cuma dua ribu rupiah ke Malioboro.” Kujawab, “Mboten Pak ...” Eh, salah satu dari mereka bilang, “Yen mbak-e mboten, nggih mboten nopo-nopo, tapi muride sampeyan mesti nitih becak!” 


From the five girls, hanya Shianny yang terlihat somewhat enjoyed the sightseeing along Malioboro. Yang lain lebih kepengen balik ke Ambarrukmo Plaza lagi.  apalagi setelah sampai Malioboro Mall yang tentu terlihat kumuh dibandingkan Amplaz. 


Seingatku yang menarik dari Malioboro adalah jalannya yang panjang, dimana di sepanjang trotoar ada banyak pedagang berjualan berbagai pernak-pernik merchandise. Bagi mereka yang memilih masuk toko, silakan ada banyak toko yang berjualan barang-barang yang tidak jauh beda dari para pedagang kaki lima. Maka yang asyik dari sightseeing di Malioboro adalah berjalan sepanjang jalan Malioboro sambil menawar barang-barang dagangan yang ditaksir.


And the girls did not seem to enjoy it. Aku curiga mereka membandingkan Malioboro dengan Orchard Road, jalan yang paling terkenal di Singapore. waahhh ...

TOUR GUIDE


Dari tour guide yang sempat ‘menemani’ kita, yang paling menarik adalah tour guide di Prambanan. Dia terlihat begitu menguasai sejarah Prambanan dan nama-nama masing-masing candi, ukuran luas tanah, jumlah candi yang ada, dll. Cara penyampaiannya pun menarik. Dia selalu bisa menjawab setiap pertanyaan yang kuajukan dengan mantap.


Yang paling terlihat grogi dan membosankan adalah guide di Tom’s silver. Dikerubuti sekitar 30 orang membuatnya terlihat sangat nervous waktu menjelaskan proses pembuatan perhiasan silver, dengan keringat sebesar butir jagung membasahi keningnya. Meskipun begitu, anak-anak yang semula terlihat tidak tertarik dengan penjelasan si guide plus ‘pemandangan’ yang kurang menarik pada waktu proses pembuatan perhiasan silver, mereka terlihat ternganga kagum waktu melihat hasil kerajinan yang dipamerkan di show roomnya.


Sementara itu tour guide yang kita pesan dari Semarang tidak menepati janjinya untuk datang. 


TOILET


Toilet memang yang paling dikeluhkan oleh anak-anak. Tentu karena mereka tidak terbiasa menggunakan toilet jongkok. Padahal dari semua ruang yang disediakan untuk kita, semua hanya menyediakan toilet jongkok. Untunglah waktu kita komplain ke pihak wisma, mereka kemudian menyediakan toilet di ruang 18 untuk dipakai bersama. Luckily, ruang 18 memiliki toilet duduk. Selama kita menginap dua malam di wisma Martha, pihak wisma membolehkan kita menggunakan toilet ruang 18.



Masalah ‘membuang hajat besar’ memang selalu menjadi issue utama bagi mereka yang bepergian dan tidak terbiasa melakukannya di toilet yang bukan di rumah. Angie selalu tidak bisa melakukannya selain di rumah. Demikian juga dengan beberapa siswaku. Meski kita telah ‘membawa’ mereka ke Amplaz yang tentu memiliki toilet dengan kondisi sebagus dan sebersih toilet hotel berbintang, tidak serta merta mereka bisa melakukannya.

Walhasil, dalam perjalanan pulang, beberapa anak tak henti-henti mengatakan ingin segera sampai rumah untuk melakukan ‘hajat’nya. Bahkan seorang siswa yang tak mampu lagi menahan kentut, dia pun kentut yang kemudian bau harumnya menyerbak ke seluruh penjuru bus.


POCKET MONEY


Masalah duit bawaan anak-anak pun menjadi satu hal yang memorable. Belanja baju di department store kelas Centro di Amplaz, well, you can imagine how much to spend. Dan gerombolan anak laki-laki yang menghamburkan uangnya waktu main di Time Zone/Game Fantasia, sampai seorang rekan kerja mengatakan, “Wahhh ... those kids ... I bet they have spent money as much as my one month salary only in two hours here!” .


Itu sebab waktu dia bertanya, sambil bisik-bisik, “Can you guess how much John’s mom has to spend for our dinner here?” I answered, “As much as our salary for months.” LOL.


MEALS


Dari uang yang harus dibayarkan oleh anak-anak untuk biaya field trip, meals tidak termasuk. That’s why we went dutch when dropping by at one food stall/restaurant.


Makan siang pertama kita mampir di sebuah restoran yang lumayan besar (ukurannya ) dekat area candi Prambanan. Banyak jenis makanan yang ditata prasmanan sehingga para pengunjung bebas mengambil apa saja yang mereka minati, kemudian membayar di ujung. Rasa lumayan tasty menurutku dengan harga yang relatif murah. Makan siangku – dengan menu rames – plus jus jeruk hanya berharga “Rp. 19.000,00.


Sesampai di wisma, banyak anak yang ingin mencoba masakan restoran milik wisma di sore hari itu, sehingga mereka tak lagi butuh makan waktu ke Amplaz malamnya. Mungkin ada juga anak-anak yang makan malam disana, but they were not under my supervision. Dan waktu kita jalan-jalan di Amplaz, acara bebas, sehingga banyak dari kita jalan sendiri-sendiri, dengan guru yang bertanggung jawab pada mereka.


Makan siang kedua, kita mampir di sebuah rumah makan dekat Kidz Fun yang kebetulan menyediakan menu ayam goreng kremesan dan soto. Rumah makan ini tidak sebesar restoran sehari sebelumnya dimana kita makan siang. Makan malam hari kedua kita semua ditraktir oleh John’s mom di hotel Melia. Kebetulan di ruang yang direserve oleh John’s mom telah juga direserve oleh sembilan orang bule. Selain itu juga ada rombongan beberapa petinggi daerah Jawa Tengah yang sedang mengadakan rapat yang akan makan malam di tempat yang sama dengan kita. Mungkin itu sebab menu masakan yang disediakan campur a la Eropa dan juga a la Indonesia.


Makan siang hari ketiga, demi memenuhi keinginan anak-anak ke Amplaz lagi, we had lunch there. Waktu memberitahu ini ke John – aku pikir dia bakal komplain karena tentu teman-temannya would spend hours there, sehingga ga bisa buru-buru balik ke Semarang – I got surprised by John’s answer. “Oh thank God Miss, we don’t need to go to warung anymore.”


GUBRAK. LOL.


FOTO NARSIS


I am frankly speaking very disappointed to find out that my students really did not enjoy their pictures to be taken. L Bagiku foto adalah jejak yang paling mudah kita telusuri kembali dari apa-apa yang pernah kita jalani dan alami. Dan terbiasa dengan teman-teman b2w yang hampir tidak ada yang tidak narsis, aku bengong waktu pertama kali di Prambanan anak-anak nampak ogah-ogahan diminta berkumpul untuk difoto. Hampir tidak ada yang menyaingiku dalam hal excitement untuk difoto. (Ga asik banget kan? Hiks hiks )


Waktu menjelang pemberangkatan biking, demikian juga yang terjadi. Apalagi waktu sepedahan kamera dibawa rekan kerja yang tidak ikut biking. Hampir tidak ada yang mengabadikan peristiwa biking ini kecuali ketika kita berhenti di satu titik, menunggu anak-anak yang tertinggal di belakang, aku memfoto anak-anak yang ada tepat di belakangku.


Untunglah kemudian sang tour leader menawariku untuk menjepretkan kamera sehingga aku pun terekam dalam foto.  And untungnya lagi kemudian Vincent mengeluarkan kameranya dan menyerahkannya kepada sang tour leader untuk mengabadikan kita.


Waktu melewati satu daerah dimana dari jauh gunung Merapi terlihat indah, sang tour leader menawari kita berfoto bersama, banyak anak yang memilih abstain, tidak ikut bernarsis ria. Sedihnya dakuuuuuuuuuu ...


And due to my technology illiteracy, waktu berkunjung ke Keraton pada hari ketiga, aku tanpa sadar memencet satu tombol di hape Samsungku, membuat aku tak bisa menggunakan kameranya. My gosh! Tak lagi bisa menjepret aku, sampe pulang.


Ah, that’s all for this moment. Kalau ada yang akan kutambahkan lagi, I will do it later.


PT56 14.50 080511

Friday, May 06, 2011

Togetherness beats discomfort

JOGJAKARTA - THE FIELD TRIP OF 2011:
TOGETHERNESS BEATS DISCOMFORT

Aiming to give memorable trip to the grade 12 students who will leave the school in less than two months, teachers as well as the principal planned the trip that involved all students from grade 7 to grade 12; consisting of 26 students altogether. Jogja was chosen as the destination as proposed by grade 10 students because most of them rejected the idea to go to Bali with high cost as the main reason.

Day 1, 3 May 2011

The 25 students – one student asked for permission not to join due to health problem – with five teachers as the supervisors left the school around 07.45 as scheduled. We were all ‘packed’ in one cute bus that had 32 seats. With quite ‘difficult’ effort all of us could overcome the problem to arrange all of the luggage in the limited space of the ‘trunk’ at the back of the bus.

The first complaint from the students was the condition of the bus whose space was really limited especially for those who had ‘big’ bodies as well as long legs. However, not long afterwards, everybody seemed settled, munching and sharing some snacks they brought, playing games inside their respective ‘PSP’ or any other game ‘gadget’ they had; or just listening to music from their respective cell phone or ipod.

 
preparing to enter the area of Prambanan temples

The trip to Prambanan temples – as the first destination – was good. Before we visited the temple, we dropped by first at one restaurant nearby to have lunch at 11.30. (It was quite early lunch, do you agree? But all of us needed energy to go around Prambanan temples.) Everybody was free to choose any kind of food to their heart’s content. We spent around 40 minutes here.

It turned out that many of the students had not visited Prambanan temples yet. Although they complained about the hot weather – it was sunny – they enjoyed the explanation from the tour guide, Pak Topo. They just found out that the history of Prambanan temples could be narrated at least from three different views: first; historical view (the temples were first built in the ninth century during Rakai Pikatan kingdom); second, legendary view (the temples were made by Bandung Bondowoso to fulfill the wish of Rorojonggrang, a princess that Bandung wanted to marry), third, archeological view (some archeologists predicted that the temples were built in the ninth century and from what kinds of rocks and how old the rocks were that were used to build the temples). Btw, Prambanan temples are categorized into Hindu temples.

From Prambanan we directly headed to the inn we would stay for two nights. It took around 30 minutes. When we arrived at ‘Wisma Martha’ and saw the ‘condition’ of the inn – quite small rooms with four narrow single beds and a very ordinary toilet – some male students directly complained very bitterly. (Compared to their ‘habit’ to stay in five star hotel when they have a vacation with their respective parents. ) Trying to calm them down was the responsibility of the teachers. 

“Who thought we needed to pay low? We want comfortable rooms!”

“How could we do ‘our business’ in such very ordinary toilets?”

 
picture downloaded from yogyes.com
The two questions above were the most often-heard complaint.  aha ... it seemed that the plan to give the most memorable trip to grade 12 students worked well. :-P However, the girls were very nice; they seemed to be more adaptable. (it reminded me of the ‘theory’ of ‘Survival of the fittest’ by Herbert Spencer. The girls will survive much better than some boys under certain circumstances. )

Despite the complaint about the small rooms and the very ordinary toilet, the swimming pool and the pingpong table provided by the inn entertained the students. Some boys seemed to enjoy some games of pingpong; some girls enjoyed swimming while the rest spent some time to have the ‘second’ lunch (or the early dinner?) in the restaurant of the inn.

 
some boys were playing pingpong ball in the pool

After taking a shower and taking some rest, everybody was ready to go to Ambarrukmo Plaza around 18.15 although it was not included in the itinerary in the first place. However, to console the students’ disappointment – in case they really could not do ‘their business’ in the toilet of the inn, they could do it in the toilet of  ‘Amplaz’  – the teachers decided to take the students to this seemingly most luxurious mall in Jogja.

Some girls directly enjoyed their shopping; some boys had fun in the ‘game’ center;  some others had a good time in one popular bookstore, the others had sightseeing.

We arrived back to the inn around 21.30. We were all supposed to go to bed early since we had to wake up early the following day.

Day 2, 4 May 2011

We had to wake up around 04.30 since the first activity on this second day was biking along Selokan Mataram. It would be better to do it in the early morning so that we would not get disturbed by the traffic and we could enjoy the fresh air.

We left for the starting point at 05.15, 15 minutes later from the plan. When we arrived in the starting point – a spot called ‘Babarsari’ – around 05.50, the bikes already arrived there. To have this activity, we rented the bikes we needed. Since not all of the students could ride a bike, there was one teacher accompanying them on the bus.

 
too bad my students were not as narcissistic as me

We started biking around 06.00. There was one guide showing the way; we headed to the east. The last point was one spot near Candi Sambisari. We arrived there at 07.00. Special appreciation for one student who seriously learned to ride a bike some days before the field trip, also another student who tried his best to join the biking although he was not accustomed to it so that several times he seemed almost to jump to the ‘selokan’.  Luckily we were all safe and sound when we arrived at the last point.

At 07.30 we already arrived back to the hotel to have breakfast together. Since we would start our activity at 10.00 we really had plenty of time to have fun in the inn. Some of the students played pingpong, some others played in the swimming pool and the rest had a good time in their respective rooms. The students really seemed to always enjoy their togetherness with each other. No more grumbles were heard.

At 10 we were all ready to visit the first destination, Tom’s silver, to learn the process of making ornaments or anything else from silver. From there, we continued our journey to Batik Rorojonggrang. These two places were located not far from the inn.

Around 11.30 we had our lunch somewhere near Kidz Fun. We got surprised by the coming of one student’s mother who specially came to comfort the son.  Another surprise was the owner of the restaurant who could speak English fluently. He must have heard us speaking English so that he excitedly greeted us in English. He turned out to have lived and worked in the US for 18 years!

Some of us planned to visit Kidz Fun after the lunch. However, the hot sunshine hindered some others – especially the girls – who were not excited by the idea of playing Go-Kart. Eventually, all of us even went back to the inn to rest.

At 15.40 we were all prepared to explore Malioboro street, one longest and most well-known street in Indonesia that sell many kinds of merchandise.

At 18.30 we were invited by John’s mom to have dinner at Melia Purosani hotel. She treated all of us a grand dinner, to comfort those who complained about the inn with its ordinary toilet.  We all enjoyed ourselves until 20.00. Then we went back to our inn. It in fact was raining heavily outside.


five girls in my room :)

Feeling very tired, many of us fell asleep easily around 22.30. Before that, around 20.45 some boys and one male teacher visited Kidz Fun again; they were still obsessed to play Go Kart. (Un)fortunately, this amusement park was already closed so they directly went back to the inn.

Day 3, 5 May 2011

It had been raining quite heavily since very early in the morning on this third day. Luckily all of us did not need to be in a hurry since we would check out at 09.30. Many students chose to stay inside their respective rooms since the weather was quite cold, not nice to swim or to play pingpong. We had our breakfast around 07.15. After that we all packed our luggage.

At 09.30 it was still drizzling but everybody was on time to bring their luggage back to the bus. With the help of the bus’ crew, we arranged the luggage. We left the inn around 09.40 and arrived at Sultan’s palace at 09.55. It was still drizzling.

During the tour around the palace, we got one communicative guide who explained this and that about each room we entered as well as the symbols found on the gate or anywhere. We could take pictures everywhere but one building; the batik museum where guests would find any kind of batik cloth or any other thing made by the members of the sultanate.

At 12 we left the palace. We dropped by at one shop selling some ‘oleh-oleh’ such as bakpia, geplak and some others. To fulfill the students’ want to go to Ambarrukmo Paza again, the teachers decided to let the kids have lunch there. We stayed at Amplaz for two hours, 12.30 – 14.30.

Due to exhaustion everybody went back to the bus really on time.  They no longer had energy to go around the mall for quite a long time. Besides, we all missed home already. We left the parking area of Amplaz at 14.30 and headed home. To give grade 12 students more unforgettable moment, on the bus some teachers had prepared one ‘video’ containing many old pictures of the students taken at some school events some years before. The hilarious noise of laughter really filled out the bus while watching the video!

Along the journey back to Semarang, everybody seemed excited by the trip.

Despite the exhaustion, we all had fun and proved one important value: togetherness in friendship is really everything. It ‘allegedly’ proved to beat the discomfort.

GL7 08.20 060511