Search

Wednesday, December 18, 2019

Why getting married




Di satu serial  GILMORE GIRLS, ada scene dimana Rory sedang ngobrol dengan Paris tentang bagaimana seseorang bisa jatuh cinta. Rory yang baru saja 'jadian' dengan Jess -- setelah mendadak putus dengan Dean -- menjawab something like, "you will fall in love with someone who is compatible with you. Compatible here means having the same interest of kinds of books, watching the same kinds of movies, laughing at the same jokes, things like that." Perasaan yang hadir di hati Rory setelah bertemu dengan Jess, bukan ketika dia bertemu dengan Dean.
 
*********

Aku pernah mengatakan hal yang mirip seperti ini kepada Angie, my one and only daughter, ketika dia duduk di bangku SMP, dengan bahasa yang lebih sederhana, "Cari pasangan yang dengannya kita nyambung."


*********


Beberapa hari lalu,  Angie menghadiri pernikahan seorang sobat yang dia kenal di bangku SMP. Angie tahu bahwa sobatnya ini baru saja pacaran dengan laki-laki yang kemudian menjadi suaminya itu, maka Angie penasaran apa yang membuat sobatnya itu mau diajak menikah. :D "Karena orangtuaku merasa he was the man. Orangtuaku senang dengan cara laki-laki itu membawa diri dalam keluarga besarku." jawabnya.

"Do you love him?" asked Angie.

"I think I am okay with him," she answered.

"Why do people decide to get married with people they are not sure they are compatible?" tanya Angie kepadaku.

Pertanyaan Angie mengingatkanku pada satu topik yang mendapatkan porsi lumayan banyak kutulis di blogku, "why getting married?" Banyak alasan yang telah kutulis di blog, sebagian besar hasil dari ngobrol dengan para mahasiswa/siswaku.

  1. To celebrate sex 
  2. To have (legal) babies (inside wedlock)
  3. To strengthen the bond with the loved ones
  4. To get rid of society's pressure that someone must get married after reaching certain age
  5. To ease financial burden
  6. To continue the family business
  7. To apply their religion's 'demand'

Biasanya jawaban pertama itu yang sering disebut oleh para mahasiswa/siswa, namun pada saat itu, aku menjawab nomor 4, "a very strong social pressure", yang dibenarkan oleh Angie. Sobat Angie yang itu merasa dia sudah mencapai usia tertentu dimana orangtuanya merasa berhak untuk terus menerus bertanya kapan dia menikah. Orangtuanya merasa laki-laki itu financially established sehingga membuat mereka merasa secure 'melepas' anak perempuannya.

IB 20.02 18-December-2019


Tuesday, December 17, 2019

Move On


Gegara nonton serial Gilmore Girls, "episode" Rory dan Jess di youtube, aku jadi ingat curhatan dua orang laki-laki sekitar 10 tahun lalu; seorang dari mereka adalah (ex) mahasiswa, seorang lain lagi adalah seorang laki-laki yang (sempat) pedekate. Ihir. Lol.

Rory and Jess

Si A, ex mahasiswaku, lelaki berusia di awal duapuluh tahunan (saat berada di kelas yang kuampu) dikaruniai wajah yang lumayan menarik, well, at least di mataku. Aku membayangkan dia bakal menjadi an apple of most girls di kampus. Dia mengakui hal ini, namun dia sendiri belum bisa move on dari perempuan yang dia pacari waktu duduk di bangku SMA. Mereka putus ketika A diterima masuk kuliah di universitas negeri di kota Semarang, sedangkan (mantan) pacarnya tetap tinggal di kota kelahiran. Waktu duduk di bangku kuliah, dia beberapa kali berganti pacar, namun karena tak juga mampu melupakan si mantan yang (katanya) dengan semena-mena memutuskannya begitu saja, akhirnya dia memilih untuk tidak pacaran dulu, ketimbang dia melukai hati lebih banyak perempuan yang berharap padanya. Ehem …


Yang satu, sebut saja namanya B, lelaki berusia di awal tigapuluh tahuan ketika curhat padaku. Hampir mirip dengan A, dia dan pacar masa SMA-nya putus karena dia pindah ke Semarang untuk melanjutkan kuliah. Karena masih berharap untuk bisa kembali kepada pacar masa remajanya itu, dia tidak pacaran di Semarang. Hingga dia balik ke kota kelahirannya, memulai hidup baru sebagai seorang pengusaha furniture, dan bertemu dengan mantan pacarnya yang ternyata telah menikah lelaki lain. Akhirnya memang B menikah dengan perempuan lain. Namun dia mengaku setiap kali bertemu secara tak sengaja dengan mantan pacarnya itu, dia selalu ambyar, lol, terkenang masa lalu.


Pengalamanku sendiri, well, memiliki kisah yang hampir mirip. Laki-laki yang pernah kupacari mengaku merasakan hal yang sama dengan A maupun B. Bisa saja mereka sudah menikah, namun tetap ketika bertemu denganku, mereka seperti kerbau dicucuk hidungnya, pingin ngikutin aku kemana aku pergi. Lol. Untunglah aku bukan tipe pelakor yang bakal merasa jumawa jika bisa merebut laki-laki orang. Lol.


Kembali ke serial Gilmore Girls. Dulu, aku menonton session 1 & 2, karena seorang sobat memiliki CD lengkapnya. Kemudian adikku mengunduh session 3. dari serial yang sudah kutonton, Rory digambarkan pernah pacaran dengan Dean, pacar pertamanya, kemudian pindah ke lain hati, Jess, sang pendatang baru di kota Stars Hollow, Connecticut. Selain mereka berdua, masih ada Tristan, dan Logan.


Ketika Rory berpaling ke Jess jelas terlihat Dean tidak rela melihat kekasihnya yang cantik dan cerdas berpaling. Well, meski akhirnya dia sendiri memiliki pacar dan menikah di usia yang masih sangat muda, jelas terlihat dia tidak bisa move on dari Rory. Setelah menikah, Dean sempat terlibat perselingkuhan dengan Rory. :)


Jess, si bengal yang dikirimkan ke Stars Hollow oleh ibunya untuk diasuh oleh Luke, pamannya, jatuh cinta pada Rory karena dia melihat koleksi buku Rory yang sesuai dengan seleranya. Meski sudah 'punya' Dean, ternyata Rory pun tertarik pada Jess, setelah Jess mengembalikan bukunya dengan 'catatan-catatan' di margin, menunjukkan bahwa Jess memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Setelah mereka putus, hingga bertemu lagi di usia mereka yang sudah cukup dewasa, Jess tetap dikisahkan masih memendam rasa cinta pada Rory, sementara Rory telah memiliki keasih yang lain.


Bagaimana kisah Rory dengan Logan? Well, aku kudu nonton dulu gaes. Lol.

LG 12.20 17-December-2019

Wednesday, December 11, 2019

B u c i n

Tahu istilah bucin kan? 😛

Akhir-akhir ini -- Desember 2019 -- seorang kawan facebook mengaku sedang menjadi bucin setelah menjomblo sekian (puluh?) tahun dan gadis incarannya ternyata menyambut perasaannya. Sebut saja namanya B alias Bucin. 😝 kebetulan B ini seorang penulis -- dia pernah menerbitkan lumayan banyak buku, mulai dari novel hingga jenis-jenis buku lain. Bisa kau bayangkan dia akan menuliskan perasaannya (hampir) setiap hari kepada perempuannya itu di dinding ratapan buatan kangmas Mark Zu. 😆😅😄.

gambar diambil dari sini

Bagi seorang penulis -- well, sebenarnya hal ini juga bisa berlaku untuk orang-orang lain yang mau dan bisa melakukannya -- menulis merupakan satu aktifitas yang cathartic, melegakan hati yang (mungkin) galau. Jadi bisa dipahami jika B pun mulai sering menulis status tentang perasaannya kepada sang pujaan.

Lalu, apa hubungannya denganku?

Well, apa yang B lakukan merupakan hiburan bagiku, lol. Membaca status-statusnya mengingatkanku saat jatuh cinta, rasanya ingin selalu menulis untuknya, bahkan kadang rasanya ingin memberitahu seluruh dunia bahwa aku sedang jatuh cinta. Jika aku sedang jatuh cinta, otomatis hal ini terjadi, begitu saja, tanpa perlu aba-aba. lol.

Sebagai seseorang yang percaya bahwa jatuh cinta -- entah apakah kemudian menjadi bucin atau tidak -- itu bisa terjadi pada siapa pun, di usia berapa pun. Apalagi jika yang dijatuhcintai pun membalas perasaannya! Indahnya dunia! Wahhh ... meski kata B, perempuannya yang indah itu pun terkadang menjelma menjadi bedebah, lol. Semenjak mereka jadian, B memiliki hobi membuat perempuannya tersenyum dan tertawa. Sedangkan si perempuan kian suka membuat B rindu, galau, dan semakin gemas kepadanya. lol.

Membaca status-status orang yang sedang jatuh cinta merupakan satu hal yang jauh lebih menyenangkan ketimbang membaca status orang yang membenci, apalagi di tengah-tengah nyaris 45% rakyat Indonesia yang mungkin masih tidak terima Pak Jokowi terpilih lagi menjadi presiden untuk yang kedua kali.

Ye kan? lol.

IB180 20.00 11-Desember-2019

Sekolah Alam

foto diambil dari sini 



Disclaimer: meski judul tulisan ini "sekolah alam" tulisan ini tidak berkisah tentang sekolah alam lho ya. :)


Pertama kali saya mendengar istilah "sekolah alam" 10 tahun yang lalu, tahun 2009, dari seorang kawan yang tinggal di daerah Bekasi. Dia berkisah bahwa sekolah alam ini bertujuan mengenalkan anak-anak pada alam karena 'bangunan' sekolah tempat anak-anak 'menuntut ilmu' merupakan tempat yang terbuka, benar-benar bersatu dengan alam. Mengingat kawan saya ini seseorang yang hobinya trekking, mountain climbing, terkadang bikecamping/bikepacking, saya langsung mendapat gambaran seperti apa itu. Dia tidak menceritakan kepada saya secara detil kurikulumnya seperti apa.


FYI, kawan saya ini pernah berusaha memberi kesan bahwa dia seorang yang liberal cara berpikirnya, lebih tepatnya Muslim yang liberal. Meski pernah tidak setuju dengan beberapa pendapat Gus Dur di masa hidupnya, waktu mendengar kabar Gus Dur meninggal di akhir tahun 2009 itu, dia bilang sangat sedih dan mengakui bahwa Gus Dur adalah salah satu pemikir yang berpikir secara progresif demi kebaikan Indonesia di masa depan.


Namun, seliberal2nya dia, dan (konon) mau memahami saya yang sekuler (saat itu) dia keukeuh mengatakan ingin berusaha membuat saya "kembali" menjadi relijiyes. Lol. Beberapa kali kita sempat 'debat' tentang relijiusitas dan spiritualitas yang sempat membuat saya (nyaris) patah hati, lol, seseorang yang katanya berwawasan luas namun tidak bisa menerima cara pandang saya. Sayangnya, keinginan 'luhur'nya itu tidak terwujud, saya justru "berpindah" ke ranah agnostik dari sekulerisme. Lol.


Beberapa tahun kemudian, saya tahu bahwa ternyata di Semarang pun ada sekolah sejenis. Dari seorang kawan yang pernah menjadi 'pseudo teacher' disana saya mendapat gambaran bahwa sekolah ini dikelola oleh orang-orang yang sejenis kawan yang saya kenal 10 tahun lalu, yang alih-alih bisa menerima saya yang 'berbeda' darinya, namun tetap bersikukuh bahwa cara pandangnya tentang relijiusitas yang benar. Kok begini ya?


Barusan beberapa menit lalu saya menonton (potongan) video di satu grup yang saya ikuti tentang protes seorang guru sekolah alam bahwa negara tidak berhak untuk mencampuri sekolah membuat kurikulum, padahal sekolah itu masih menerima bantuan keuangan dari pemerintah. Si guru bilang bahwa guru bukan alat negara, guru adalah pembangun peradaban, dan dia menyebut Rocky Gerung sebagai satu 'guru' panutannya. Peradaban jenis apa yang ingin dia bangun jika panutannya adalah seseorang yang terus menerus menghujat kebijakan pemerintah yang sah?


Nah lo.


Jadi, sebenarnya, definisi sekolah alam yang benar itu apa ya?


LG 12.12 11-Desember-2019

Tuesday, November 12, 2019

Sobat Ambyar

semenjak pertama kali dengan malu-malu aku mengakui sebagai salah satu sobat ambyar, (bisa dicek di link ini) akhirnya pada hari Minggu 10 November 2019 aku mengakuinya secara terbuka, lol, meski di kalangan satu komunitas yang tidak biasa aku bersosialisasi. hohoho ...

hari Minggu 10 November 2019 untuk pertama kali, RT dimana aku tinggal mengadakan piknik keluarga. kebetulan seluruh anggota keluargaku ikut, aku dan Angie, Noek adikku yang satu, dan Riska adik bungsuku lengkap dengan suami dan dua anaknya. di bus, kru bus menyediakan fasilitas karaoke, bahkan kita bisa memilih lagu apa saja yang akan kita nyanyikan, karena ada yang menyalakan wifi sehingga bisa dengan mudah terhubung ke youtube. you can imagine, jelas lagu-lagu Didi Kempot menjadi salah satu pilihan. dan ... tanpa malu-malu (awalnya malu juga sih, hihihi) aku ikut berkaraoke, dua lagu, Cidra dan Kalung Emas. Angie yang sudah sering mendapatiku mendengarkan lagu2 DK sebelum tidur, biasa saja mendengarnya. Tapi, Noek adikku itu heran aku bisa nyanyi lagu campur sari. kekekekekeke ...

tadi pagi di rumah, sembari ngerjain tugas dari kantor, iseng aku browsing youtube, mencari penyanyi lain yang menyanyikan lagu-lagu DK yang tidak berirama campur sari atau keroncong. Akhirnya aku menemukan channel Dyah Novia, suaranya bening dan enak di telinga. salah satu lagu yang berjudul KARTOYONO MEDOT JANJI terdengar begitu mengharu-biru mematahhatikan orang yang mendengarnya. Ada memang ya orang yang seperti itu, mempermainkan perasaan orang lain, ini berlaku untuk laki-laki maupun perempuan sebagai pelaku maupun korban. Dan, aku yang tidak pernah ngalamin pun ikut terhanyut, jadi mewek waktu ndengerin dan ikut humming. hihihi ... malu-maluin ga sih. kekekekekekeke ... well, enak juga kok dengerin lagu-lagu berbahasa Jawa yang aslinya berirama campur sari dibawakan secara slow pop begini.

Yuk ikut nyanyi! :)


Monday, November 11, 2019

P a m e r



Memang media sosial itu ada untuk ajang pamer. pamer apa saja. yang merasa diri good-looking secara fisik, ya jelas hobi selfie dan memamerkannya di akun-akun medos mereka, instagram, facebook, you name it. yang merasa diri cerdas, pamer kecerdasan lewat tulisan-tulisan yang bernas dan (mungkin) up-to-date. bahkan kadang ada yang saking ngebetnya dianggap cerdas, dengan nekad nyulik status-status orang (yang mereka anggap cerdas) dan mengunggahnya di timeline mereka tanpa menulis nama penulis status asli. yang hobi memotret, memamerkan hasil jepretannya. yang hobi traveling, mungkin memamerkan foto-foto tempat wisata yang mereka kunjungi, plus ada penampakan mereka di foto-foto itu. yang hobi memasak, memamerkan hasil masakan plus (mungkin) resepnya. dll.

ada orang yang sadar bahwa media sosial itu ajang pamer, dan mereka juga hobi pamer, sehingga mereka pun mahfum jika orang-orang lain di timeline mereka melakukan hal yang sama.

ada yang sadar namun kadang kesal melihat orang-orang pamer hal-hal ga penting (bagi mereka). jika sesekali pamer foto selfie sih oke lah ya. tapi kalau sehari seseorang mengunggah foto selfie berkali-kali, ya bikin muntahlah. kata mereka. lol.

ada orang yang tidak sadar bahwa media sosial itu adalah ajang pamer, sehingga tiap hari mereka komplen, memprotes mereka yang mereka anggap tak tahu malu pamer mulu setiap saat. lol.

aku tipe yang kedua, honestly, apalagi jika orang yang selfie (hampir) setiap hari di mataku ga good-looking, seneb liatnya. kekekekekeke ... apalagi jika seseorang itu orang yang baru nge-add aku, dan ga pernah melakukan interaksi denganku. lha ngapain mereka nge-add aku, heh? lol.

ini edisi #nyinyir 

IB180 20.25 11/11/2019

Tuesday, September 17, 2019

Umpama tanganku dadi suwiwi



Setahun terakhir ini selera musikku berubah-ubah dengan mudah. lol. Sejak kecil sih aku sudah sangat menyukai lagu-lagu Ebiet G. Ade, pernah punya albumnya dari Camellia 1 sampai album kesepuluh, Menjaring Matahari kalau tidak salah. Setelah itu kayaknya aku juga punya album musik berikutnya, tapi aku lupa judulnya. Sekarang sih entah kemana kaset-kaset itu. 😛 Ketika pertama kali punya komputer tahun 2004, aku sempat punya album mp3-nya di harddisk, entah 'dapat' dari mana, atau aku 'beli' cd-nya kali ya, yang kemudian kusimpan di harddisk. Namun ketika harddisk ini rusak, mungkin sekitar tahun 2010, ya sudah, wallahu 'alam. lol.

Sejak kecil aku juga tentu familiar dengan lagu-lagu dangdut ala Rhoma Irama dan Ida Laila (kuno banget yak, nunjukin umurku berapa, lol) karena Mom dulu juga suka mendengarkan lagu-lagu itu. Namun aku tidak pernah merasa ingin memiliki kaset-kasetnya.

Saat KLA pertama kali muncul dengan nama KLA Project, aku juga suka lagu-lagunya, namun tidak memiliki kasetnya, secara lengkap seperti aku punya kaset-kaset Ebiet. Namun, aku punya banyak mp3-nya di komputer yang pertama kupunya. Selain lagu-lagu Ebiet dan KLA, waktu itu aku juga punya lagu-lagu milik Chrisye dan Iwan Fals. Untuk lagu-lagu Iwan Fals ini karena my ex -- bokapnya Angie -- suka.

Aku beli laptop pertama tahun 2011. Seingatku aku tidak memiliki file lagu-lagu Ebiet sebanyak yang dulu, tapi lumayan lah buat penghilang rasa rindu. cie ... Laptop ini rusak di awal tahun 2018, untunglah harddisk masih bisa diamankan sehingga aku masih punya file lagu-lagu Ebiet. Akhir tahun 2018 aku beli laptop baru. Atas jasa Ranz aku bisa donlod banyak video music dari youtube.com Tentu saja aku donlod lagu-lagu Ebiet. Aku juga sempat donlod lagu-lagu milik Chrisye dan KLA.

Semenjak nonton Bohemian Rhapsody, mendadak aku suka lagu-lagu Queen, padahal semula aku hanya familiar dengan lagu-lagunya yang booming dulu, misal Love of My Life, Friends will be Friends, Bohemian Rhapsody, etc. Dan, atas kebaikhatian seorang kawan maya, aku memiliki file album Queen lengkap. Wow. Saat tergila-gila pada Queen, setiap hari aku mendengarkan lagu-lagu Queen, lagu-lagu penyanyi lain lewat semua. lol.

Ketika aku mulai mendengarkan lagu-lagu super jadul yang mengingatkanku saat aku duduk di bangku SD, -- misal lagu-lagu milik Tetty Kadi -- karena jika mendengarkan lagu-lagu itu aku jadi terkenang Mom yang masih muda, yang masih kuat dan sehat, aku pun tak beranjak mendengarkan lagu-lagu yang lain. Setiap hari aku nyetel youtube demi mendengarkan lagu-lagu Tetty Kadi ini. (karena sesuatu dan lain hal, aku ga bisa donlot ... hiksss 😓) untuk ndengerin lagu-lagu Tetty Kadi, aku harus nyalain data dan mengakses youtube. boros euy!

Dan ... ketika fenomena sang Lord of the Broken Heart memasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat luas, begitu saja aku pun ikutan penasaran mendengarkan lagu-lagunya Didi Kempot. Memang ya, tema lagunya kebanyakan patah hati dan sedih. Dan ... mosok ta begitu saja aku pun ikut nglangut saat mendengarkan lagu-lagunya, padahal jika aku nonton vlog yang 'live' di panggung, si penyanyi saja ketawa ketiwi, nggodain penonton, lha aku malah nglangut. lol. Lagu yang berjudul Layang Kangen yang memiliki lirik "umpama tanganku dadi suwiwi, iki uga aku mesti enggal bali" dengan mudah membuatku mimbik-mimbik sedih. lol. Lha padahal aku ga LDR-an dengan siapa-siapa yang membuatku perlu merasa nelangsa. hohoho ... Apalagi waktu ndengerin lagu Cidra, aku ga pernah sesakit itu diingkari janji oleh seseorang, tapi aku kok ya ikut merasa nelangsa. kekekekeke ... Dan ... jika aku habis mendengarkan satu lagu milik Didi Kempot, kemudian aku melakukan kegiatan lain, lirik lagu dan melodinya itu terus menerus terngiang-ngiang di telingaku. Haduuuuw ... lol.

Tanpa kusengaja, aku telah menjadi sobat ambyar. hiksss ...

IB180 20.35 17-September-2019


 ini versi bukan keroncong / dangdut

Thursday, August 22, 2019

Nostalgia




Beberapa bulan lalu setelah lelah browsing beberapa barang yang kita butuhkan di dua toko buku yang letaknya tak berjauhan, kita beristirahat di satu kedai teh yang terletak di satu area dengan satu toko buku yang kita kunjungi. Sembari menunggu pesanan kita datang, aku membuka plastik buku yang barusan kubeli, untuk mengecek bahwa buku yang baru kubeli memiliki halaman yang lengkap. Tentu sambil kita berdua lanjut ngobrol.


Waktu itu hari Jumat, menjelang pukul 11.00 siang. Tak lama kemudian aku mendengar suara puji-pujian dari masjid terdekat, yang terletak di area Simpang Lima. Suara puji-pujian itu dengan serta merta membawaku kembali ke ingatan ketika masih duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah. Dulu, saat duduk di bangku SD, aku sering ke masjid itu, kadang bersama kawan sekolah, kadang bersama keluarga. (Waktu SD, libur sekolahku hari Jumat.)


Ingatan ke masa kecil ini membuatku merasa nyaman. Nampaknya setelah puluhan tahun berlalu, puji-pujian yang sama masih diputar di masjid yang sama, menjelang waktu Shalat Jumat.


Kemudian aku bercerita kepada Ranz tentang hal ini. Bahkan aku ingat ketika duduk di bangku kuliah S1, satu kali diajak berkunjung ke rumah seseorang (entah oleh siapa) yang rumahnya terletak di satu gang tak terlalu lebar, dimana ada masjid di dekatnya. Aku juga mendengar suara puji-pujian yang sama.


Hal ini mengingatkanku pada satu masa dulu ingin memiliki rumah yang terletak tak jauh dari masjid.


You can imagine, Ranz pun melengak keheranan mendengarnya. Nana, si agnost pernah ingin tinggal di rumah yang tak jauh dari masjid? Lol. Bukannya banyak orang yang komplain dengan suara-suara yang disambung dengan TOA dari masjid yang mengganggu kenyamanan, entah tidur malam hingga menjelang Subuh di pagi hari, hingga istirahat siang (afternoon nap).


Hal ini membuatku mencoba menganalisis rasa itu. Inilah hasilnya:


Yang paling penting adalah suara yang melantunkan puji-pujian maupun adzan itu merdu, jadi enak didengar. Yang kedua mengapa terbersit rasa damai nan syahdu ketika mendengarnya tentu karena nada suara-suara itu sangat familiar bagi telingaku ketika kecil, masa kecil yang biasanya membahagiakan bagi banyak orang. Hanya itu.


Mengapa jika aku mendengar puji-pujian maupun adzan dari masjid dekat kos Ranz – jika aku sedang solitaire butuh menyendiri disana berjam-jam – aku merasa terganggu (hingga kadang aku memilih memasang earphone sambil mendengarkan lagu) karena (1) suaranya sember (2) nadanya ga ngalor ga ngidul. Apalagi tajwidnya.


Ouw em ji … ternyata hanya sesimpel itu! Lol.


LG 15.15 22-Aug-2019

Tuesday, August 20, 2019

Berbusana pantas

pic diambil dari link ini



Di satu grup parenting yang (tak sengaja) saya ikuti, beberapa saat yang lalu ada seorang perempuan yang menulis status, meminta saran bagaimana mengatasi anak perempuannya yang berkeinginan mengenakan celana pendek ke sekolah di hari Jumat, karena kebetulan peraturan sekolahnya para siswa bebas mengenakan baju apa saja. Si perempuan ini melarang anaknya mengenakan celana pendek karena menurutnya itu tidak pantas. Sementara sang anak bersikeras ingin melakukannya dengan alasan kawan-kawan sekolahnya melakukan hal yang sama. Ibu anak ini pun bersitegang tentang hal ini. Si ibu khawatir jika dia terus menerus melarang anaknya, satu saat nanti, ketika (mungkin) terlepas dari kontrol orang tua, si anak akan melanggar larangan sang ibu. You know, sifat khas remaja adalah melanggar aturan.


Curhatan ini mengingatkan saya pada pengalaman saya ketika mengajar di satu sekolah swasta yang mengacu ke kurikulum internasional. Sekolah ini pun membebaskan anak-anak dari seragam di hari Jumat. Banyak anak perempuan dari SD hingga SMA yang mengenakan celana pendek.


"Praktis dan nyaman Miss," ini adalah alasan yang selalu mereka kemukakan.


Mungkin karena saya juga perempuan, bagi saya pakaian mereka biasa-biasa saja. Entah kalau guru laki-laki ya? Namun sepengamatan saya selama bekerja disana, tidak pernah saya mendapati pelecehan seksual kepada anak-anak perempuan 'hanya' karena mengenakan celana pendek. Satu hal yang saya angkat topi disana adalah terbangunnya kultur saling menghormati: apa pun pakaian yang kamu kenakana, entah terbuka maupun tertutup, kamu berhak saya hormati. Memilih baju yang kamu kenakan itu adalah hak prerogatifmu secara penuh.


Itulah sebabnya saya pun menulis komen bernada mendukung si anak. Jika seorang anak merasa nyaman di sekolah, minimal dengan mengenakan busana yang mereka pilih sendiri, dia tidak akan mogok berangkat sekolah. They will feel at home at school.


Namun banyak komen lain yang bernada mengecam, yang intinya adalah "kamu adalah baju yang kamu pakai." misal ada komentar, "jika kamu ingin laki-laki menghormatimu (atau tertarik padamu) karena apa yang ada dalam otakmu, jangan undang laki-laki untuk lebih fokus pada kulit luarmu (alias busanamu yang terbuka."


Well, laki-laki memang (kebanyakan) makhluk lemah kan ya. Disodori daging langsung deh lupa isi otak. Kekekekekeke …


Komen-komen yang lain pun kemudian menjalar kemana-mana, tidak hanya dibatasi mengenakan celana pendek ketika berangkat sekolah, namun juga bercelana pendek ke tempat-tempat lain, misal ke mall. Salah satu komen menulis, "Jangan salahkan laki-laki yang menyuit-nyuitin kamu di mall karena pakaianmu yang mengundang." Dan komen sejenis ini ditulis oleh perempuan-perempuan, tidak hanya laki-laki yang ingin disadari bahwa mereka harus 'diselamatkan' dari godaan syahwat.


Kembali ke pernyataan saya di atas, laki-laki memang makhluk lemah. Ketika dia dituduh melakukan 'cat calling' mereka akan menyalahkan perempuan. Lol.


Bercelana pendek ke sekolah menurut saya pribadi masih bisa diterima. Lingkungan sekolah itu terbatas, tidak seluas mall, misalnya. Seberapa pun besar sebuah sekolah, anak-anak yang bersekolah di sekolah itu tentu tahu batasan wajar/tidak wajar dalam kultur sekolah. Sedangkan kalau di tempat lain, misal mall, beda lagi kasusnya, menurut saya. Meski, well, sebagai seorang feminis yang mendukung penuh perempuan mau mengenakan busana apa saja, seharusnya ya bebas juga lah.


"Ajari anak laki-lakimu menutu matanya dari pandangan yang sekiranya akan menggodanya (secara syahwat)." ada hadits yang berbunyi begini kan ya? Mengapa perempuan melulu yang harus dikarungi?


Namun, ya, saya setuju dengan komen yang menyarankan untuk berdiskusi antara ibu dan anak mengenai batasan busana yang pantas/tidak pantas ketika berada di satu tempat. Diskusi yang nyaman untuk kedua belah pihak, bukan 'diskusi' yang bersifat 'mengancam', misal dengan mengatakan, "jangan salahkan laki-laki jika dia menggodamu karena kamu bercelana pendek." bull shit ini.


  1. B.
    mendadak saat menulis ini, saya rindu saat berjalan-jalan di Bali bersama siswa-siswa SMA saya -- laki-laki / perempuan -- saat kita field trip besama. Seperti anak-anak, saya pun bercelana pendek waktu itu. Ketika berkunjung ke pura, pihak pura meminjami kita kain batik, yang berarti kita tidak dilarang mengenakan celana pendek kan? Karena mereka sudah mempersiapkan solusi agar kita nampak pantas di depan altar pura.


LG 11.30 19-Aug-2019

Friday, August 02, 2019

Perempuan dan Usia




Seorang kawan fb saya tengarai adalah pemuja perempuan karena dia begitu perhatian pada apa-apa yang biasa dirasakan atau dipikirkan oleh perempuan. Di salah satu status, dia menulis bahwa perempuan paling tidak suka ditanya tentang berat badan dan usia. (sounds familiar? Hihihihi …)

Well, di medsos, tidak semua perempuan ingin menyembunyikan usia mereka sih. Saya mengenal beberapa kawan perempuan yang tidak sungkan menyebut usia mereka. Namun tentu lebih banyak lagi perempuan yang memilih untuk tidak berbicang tentang usia. :D

Beberapa hari lalu ada seseorang ngeshare satu link berita di satu grup yang saya ikuti. Berita itu membahas tentang para selebriti perempuan yang nampak jauh lebih muda ketimbang usianya.

Jadi ingat beberapa dekade lalu, (saya masih duduk di bangku SMP) beberapa kawan perempuan di sekitar saya membahas perempuan-perempuan yang nampak kinclong padahal kalau diperhatikan wajahnya biasa saja, tidak cantik-cantik amat. Kesimpulan kita waktu itu -- tentunya juga sudah banyak diketahui umum -- adalah uang banyak bisa membantu perempuan (lebih cenderung perempuan ya ketimbang laki-laki) yang sebenarnya biasa saja nampak lebih cetar. Untuk perawatan ke salon untuk 'sekedar' perawatan kulit dll dan beli skin care butuh dana ga sedikit kan ya.


Postingan itu menarik saya simak bukan lantaran isi beritanya. Melainkan komen-komen yang ada di thread tersebut. Banyak perempuan yang menyertakan foto diri dan menyatakan usianya berapa. Mengherankan ini buat saya. Lha biasanya perempuan-perempuan itu menyembunyikan usia, lha kok kali ini mereka nampak berlomba-lomba memamerkan usia mereka berapa disertai dengan foto diri, dimana banyak foto itu terlihat dijepret menggunakan aplikasi beauty plus atau minimal menggunakan hp yang memiliki kamera 'jahat'. Kekekekekekeke …

Seorang perempuan yang beberapa bulan lalu sempat jadi salah satu teman di friendlist saya, dan sempat saya kepoin identitas dirinya, juga menulis komen, menyertakan satu foto, dan menulis, "ini saya, usia 50-an ke atas." lhah saya heran, lha wong di akun fbnya dia menulis tahun lahirnya tahun 1975. entah yang mana yang dia tulis dengan jujur: di komen di thread itu, atau di akun fbnya? Lol.

Well, yes, kadang saya memang se'selaw' itu. Kekekekekeke …

LG 16.16 02-08-2019


N. B.:

keterangan foto

yang di atas foto tahun 2008, yang di bawah tahun 2006, saat saya sering "dituduh" berusia di bawah 30 tahun, padahal Angie, anak saya sudah duduk di bangku SMA kelas 11 (2008) dan SMP kelas 9 (2006) hingga tuduhan berikutnya adalah, "kamu hamil waktu masih duduk di bangku SMA ya?" haghaghaghag ...

Saturday, July 27, 2019

What are you afraid of death?


Aku ingat ketika masih duduk di bangku SD, lupa kelas berapa, seorang guru bercerita tentang apa yang terjadi setelah seseorang meninggal. Jika seseorang memiliki amalan yang baik selama hidup di dunia, misal, melakukan semua perintah Tuhan (menyembahNya sesuai 'tata cara' dalam agama dan memperlakukan sesama makhluk dengan baik, berarti memiliki hablum minallah dan hablum minannas yang baik) dan menjauhi semua laranganNya, maka setelah meninggal, orang itu 'tinggal di alam kubur' dalam damai. Dia akan seperti 'tidur' nyenyak, hingga tiba hari 'kebangkitan' datang. Maka, meski 'hari kebangkitan' itu bisa jadi baru datang ribuan tahun lagi, dia tidak akan merasa lama, karena tidurnya yang super nyenyak. Namun jika seseorang itu melakukan yang sebaliknya, dia akan terus menerus disiksa di alam kuburnya. Jangankan menunggu 'hari kebangkitan' yang mungkin akan datang ribuan tahun lagi, dalam hitungan jam saja, dia sudah tidak tahan.


Tentu saja menjaga hablum minallah dan hablum minannas yang baik tidak semudah yang diomongkan orang. Itu sebab Nana kecil lebih 'fokus' pada siksa kubur yang tak habis-habis hingga ribuan tahun lamanya. Ini sebab kematian adalah satu hal yang sangat menakutkan bagiku. Dulu.


**********


Sekian puluh tahun berlalu.


Nana yang dulu bersekolah di madrasah ibtidaiyah menyeberang ke ranah agnostik, setelah waktu kecil dulu terbrainwash menjadi seseorang yang 'relijius Islam'. Sekian dekade berikutnya, Nana membiarkan cara berpikirnya 'meliar' melepaskan diri dari brainwash yang telah membayang-bayangi puluhan tahun.


Lalu, bukankah kematian tak lagi menakutkan? Karena seorang agnost itu tak mudah percaya (apa bukti Tuhan itu ada/tak ada? Apa bukti siksa kubur itu ada/tak ada? Apa bukti kehidupan di alam akhirat itu ada/tak ada? Dst … dst … Semua hal adalah keragu-raguan bagi seorang agnost.)


Akhir-akhir ini (Juli 2019) pengguna medsos (facebook) sedang hobi bermain 'faceapp'. Salah satu kawan facebook memainkannya, sembari menulis kepsyen, "aku ga ingin hidup setua ini. Yang penting jika anakku sudah siap mandiri, aku sudah siap mati." kujawab, "aku masih ingin hidup lama, yah sekitar 20 - 30 tahun lagi, ingin melihat selepas dipimpin oleh Pak Jokowi, apakah Indonesia akan seberuntung ini dipimpin oleh seorang presiden yang bisa dikategorikan 'telah selesai dengan dirinya sendiri.' apakah Indonesia justru akan mengalami kemunduran, seperti Jakarta selepas 'ditinggal' Ahok." Jawabannya, "ah, sebagai minoritas, aku sudah pesimis sih mbak. Pinginku jika bisa mengirim anakku tinggal di luar negeri, sudahlah." obrolan kita masih ada kelanjutannya …


Well, memang sebagai seseorang yang tentu memiliki curiosity yang cukup tinggi, aku jujur, aku sangat ingin tahu what will Indonesia be like 20 - 30 years later. Jika berbincang tentang kematian dan kondisi politik di Indonesia, entah mengapa aku sedikit menyesalkan mengapa ayahku meninggal dalam  usia yang masih cukup muda, 56 tahun, sehingga beliau tidak sempat mengalami rezim OrBa ditumbangkan oleh kekuatan rakyat. Meski dulu aku dan ayahku tidak pernah berbicang tentang kondisi politik ini, aku tahu beliau tidak menyukai OrBa.




Aku serius menulis komen seperti itu di lapak kawan itu. Tapi, kemudian aku bertanya pada diri sendiri, apakah sebenarnya di bawah lapisan kesadaran, aku masih menyimpan ketakutan yang dulu kusimpan puluhan tahun gegara brainwashing yang dilakukan oleh guru SD itu? Hingga aku terkesan ingin 'menunda' kematian hingga 20 - 30 tahun lagi? Bukankah usia itu misterius?


Melepas kemelekatan memang tidak semudah membalikkan tangan. Seberapa pun pahit hidup ini, kita tetap bisa memilih untuk berbahagia, bukan? Mungkin itu sebab aku begitu mencintai hidupku, dan belum siap untuk berpindah ke dimensi berikutnya. Aku masih ingin menemani anakku menikmati hidupnya, hingga (who knows) dia menemukan tambatan hatinya dan beranak pinak.


LG 18.21 27-Juli-2019

Wednesday, July 10, 2019

Dolan ke Dieng Saat Bersalju


Setelah tujuh tahun berlalu, akhirnya aku dan Angie plus Ranz berkesempatan dolan ke Dieng lagi, tanpa rencana muluk-muluk. 😃 Jika di bulan Januari 2012 dulu kita bertiga dolan ke Dieng setelah aku mendapat undangan nikahan seorang (eks) rekan kerja di Wonosobo, kali ini kita "ngikut" rencana yang dibuat oleh Tami dan Dwi, dua gadis pelor yang ternyata telah tak kuat lagi bersepeda jarak jauh. 😔




Tiga hari sebelum berangkat, aku baru menawari Angie apakah dia mau ikut ke Dieng. Ternyata matanya langsung berbinar-binar waktu mendengar tawaranku itu, padahal beberapa tahun lalu sepulang dia dari Dieng diajak tantenya, dia nampak enggan mendatangi kawasan yang terkenal berhawa dingin itu. 😀


Sabtu 29 Juni 2019




Kita bertiga -- aku, Angie, Ranz -- bersama Fitri sobat lama Angie yang telah beberapa kali menemani kita jalan-jalan telah sampai di terminal mini Sukun pukul tujuh pagi. Ternyata Dwi dan Tami yang mengajak kita berkumpul di Sukun jam itu belum kelihatan. Setelah menitipkan motor, sarapan ringan di warung yang ada disitu, Dwi dan Tami muncul.


Pukul 08.00 kita berangkat ke Wonosobo naik shuttle car  jurusan Purwokerto. Biayanya Rp. 60.000,00 per orang. Di tengah jalan kita harus melewati beberapa kawasan yang sedang diperbaiki, yang berarti perjalanan kita agak tersendat. Untunglah kita naik shuttle car yang lebih mudah mobile ketimbang bus. Kendaraan yang kita naiki sudah berbelok ke arah Barat, sebelum sampai Secang. (Aku molor di hampir sepanjang jalan, lol, gegara malam sebelumnya aku tidak bisa tertidur nyenyak.) Kita melewati satu hutan (karet?) yang nampak kering kerontang di tengah musim kemarau ini, dan jalan yang dipilih bapak sopir nampaknya bukan jalan yang biasa dilewati orang, sempit dan tentu tidak beraspal. (hari gini, di Pulau Jawa, ada jalan yang tidak beraspal? Kudu dilaporin Pak Jokowi nih. Lol.) Untunglah saat lewat jalan sempit ini kita tidak berpapasan dengan shuttle car lain dari arah berlawanan, bakal ga cukup space-nya.


Menjelang pukul 12.00 kita telah sampai terminal Wonosobo. (Diam-diam aku deg-degan excited karena ingat 7 tahun lalu kita turun disini, kemudian aku dan Ranz gowes ke arah alun-alun, sementara Angie naik angkot kesana. Ya, aku memang lebay. Hihihi … ) Di bangku depan, Fitri dan Angie yang duduk di samping bapak sopir yang bekerja ngobrol, Fitri memberitahu bapak sopir bahwa kita akan ke Dieng. Maka, ketika kendaraan yang kita naiki melewati bus yang menuju Dieng (tulisannya WONOSOBO - DIENG - BATUR) bapak sopir memberi tanda agar bus itu berhenti karena ada calon penumpang yang akan ikut naik.


Dwi menandai jam 12.20 kita pindah ke bus mini itu. Biayanya Rp. 20.000,00. Semula bus itu hanya ada 1 penumpang, plus kita berenam, lama-lama bus pun penuh, meski sebagian dari mereka tidak menempuh jarak jauh. Jika 7 tahun yang lalu, aku molor di bus menuju Dieng, lol, kali ini aku cukup alert memandang jalan yang kita lewati. Ternyata trek menuju Dieng cukup sempit dan berkelok-kelok nanjak. Duh, trek yang sulit nih jika naik sepeda karena jalan yang sempit itu dipadati kendaraan yang lalu lalang dari dua arah. Mending nanjak Bromo deh kayaknya.


Sekitar satu setengah jam kemudian kita sampai di kawasan Dieng.  Horraaaaay. Kita turun tepat di depan losmen Bu Djo** yang lumayan terkenal di google itu. Dwi telah booking dua kamar disitu. Ranz pun kemudian juga booking satu kamar lagi setelah dia kuberitahu bahwa Angie dan Fitri positif ikut kita. Jika dua kamar yang dibuking Dwi itu tanpa kamar mandi (dalam), kamar yang dibuking Ranz ada kamar mandi dalam. Ketika kita akan check in, kita baru ngeh jika satu kamar yang dibuking Ranz terletak di homestay yang berbeda. :( Kita baru nyadar bahwa pihak losmen Bu Djo** itu semacam makelar. Angie, Fitri, Dwi, dan Tami sudah diantar seseorang untuk masuk kamar yang sudah dibuking, sementara aku dan Ranz masih menunggu diantar ke homestay yang dipesankan oleh pihak makelar.


Setengah jam kemudian kita baru diantar ke homestay PRATAMA yang terletak di Gang Pandawa, tak jauh dari minimarket Indo*****. Setelah melihat kamar yang dipesankan untuk kita disini, Ranz langsung memutuskan untuk memindah keempat gadis di losmen Bu Djo** ke homestay yang sama dengan kita. Meski kita bisa saja berkomunikasi lewat WA untuk memutuskan kita mau ngapain bersama, ga enak lah ya jika kita menginap di penginapan yang berbeda. Tak lama kemudian, mereka berempat menyusul ke homestay PRATAMA.





Sementara menunggu kamar yang satu lagi dibereskan, kita berenam ke Telaga Warna dengan menyewa 3 sepeda motor. Biaya sewa satu sepeda motor Rp. 100.000,00. sebelum sampai di Telaga Warna, kita melewati satu post dimana ada pihak wisata lokal menjual tiket seharga Rp. 10.000,00 yang bisa dipakai untuk masuk ke beberapa spot wisata, yang tidak masuk itinerary kita, misal Museum Kaliasa. :D Untuk masuk Telaga Warna, kita membeli tiket seharga Rp. 15.000,00 per orang.


Jika di tahun 2012 dulu belum ada spot-spot instagrammable untuk pengunjung selfie, kali ini sudah ada beberapa lokasi yang menjadi 'rebutan' para pengunjung untuk foto-foto. 😍Memasyarakatnya media sosial -- gegara android yang memudahkan orang online -- telah mengubah wajah destinasi wisata, dengan dibangunnya spot spot instagrammable selain membuatnya kian ramai dikunjungi wisatawan.






Dari Telaga Warna kita ke Kawah Sikidang. Kawasan kawah yang 7 tahun lalu berupa tanah lapang kosong, selain beberapa spot kawah, tanpa ada spot spot instagrammable, sekarang malah terkesan kumuh dengan spot-spot yang nampak dibuat secara ngawur disana sini. 😧 belum lagi ada sepeda motor trail dan ATV yang bersliweran. 😞

Menjelang maghrib kita meninggalkan kawah Sikidang kembali ke penginapan. Kita mampir makan malam dulu di satu rumah makan. Lagi aku membandingkan suasana yang jauh berbeda; 7 tahun lalu area ini sangat sunyi selepas maghrib, sekarang hiruk pikuk. Sangat bagus untuk orang lokal yang berbisnis ya, tapi bagi pengunjung, ini terlalu penuh sesak. 😒 Duh, ga kebayang suasana sini di masa penyelenggaraan DIENG CULTURE FESTIVAL. Hmft … mungkin penuh sesaknya ngalahin area Borobudur saat Waisak?

mie ongklok

Setelah makan, kita kembali ke penginapan. Dan … aku mulai menggigil kedinginan. Wedew. Di kamar yang kutempati, aku berbagi dengan Angie dan Fitri. Sedangkan di kamar satunya lagi, Ranz, Dwi, dan Tami shared the bed together.


Malam itu, Angie sempat keluar sebentar menemui temannya yang menyusul ke Dieng bersama suaminya setelah tahu Angie pun dolan ke Dieng. Sementara aku melawan kedinginan dengan mengenakan dua kaos lengan panjang plus jaket dan meringkuk di bawah selimut yang tebal,  ternyata, tanpa kutahu, tiga perempuan di kamar sebelah jalan-jalan menikmati suasana malam. 😖😕😔😒


Minggu 30 Juni 2019


Semula Dwi dan Tamii berencana ke Sikunir pagi ini, menjaring sunrise view disana. Namun atas rekomendasi si Ibu yang punya/penjaga homestay, mereka ga jadi ke Sikunir. Area yang bersalju adalah Candi Arjuna. Sebaiknya pagi ini kita jalan ke Candi Arjuna jika ingin mendapatkan pemandangan rerumputan yang digayuti embun bersalju di pagi hari, sebelum pukul tujuh. Sedangkan sunrise di Sikunir bisa kita dapatkan pada kesempatan lain. 😃


Pukul setengah enam kita sudah bersia-siap, kemudian mulai jalan. Kawasan Candi Arjuna hanya terletak kurang lebih 1 kilometer dari homestay, kita lebih baik kesana jalan kaki karena jalan yang macet. (WHATTT? M-A-C-E-T??? 7 tahun yang lalu area ini sunyi sepiiiii, aku dan Ranz kesulitan mencari orang yang berjualan makanan untuk sarapan. Namun sekarang area ini macet! Banyak orang berbondong-bondong ke kawasan Candi Arjuna, untuk membuktikan embun yang berupa butiran salju.  Hmmm … barangkali jika tidak sedang bersalju, kawasan ini ga sepenuh sekarang ya?






Di halaman parkir (dalam) dekat pintu masuk Candi Arjuna yang penuh dengan rerumputan, penuh orang-orang yang nampak menikmati hawa dingin, dan terheran-heran dengan embun berupa salju yang menggayuti rerumputan yang ada. Bagiku pribadi yang menakjubkan disini bukan hanya salju yang membuat rerumputan yang mengering itu berwarna putih, namun pemandangan gunung-gunung yang ada di sekitar kita sangat indah!


Lebih dari pukul tujuh, kita masuk ke kawasan candi, setelah sebelumnya menikmati kentang dan jamur goreng. Selain itu, aku juga sempat minum secangkir kopi hitam.









Waktu kesini bulan September 2019 bersama kawan-kawan kerja, aku tidak berjalan memutari kawasan candi, (dibandingkan waktu pertama kali kesini tahun 2012, aku bersama Angie dan Ranz menjelajah sampai ke Candi Bima) karena kawan-kawan kerja yang nampak enggan berjalan jauh. Eh, ternyata pergi kesini lagi bersama gadis-gadis muda ini sama saja. Mereka enggan mengeksplor jauh, yang penting telah dapat foto buat ngeksis di media sosial. Hadeeeh. Ya sudah, aku manut saja. 😂


Pukul delapan lebih kita keluar. Saat sarapan! Kita mampir ke satu rumah makan yang kita lewati saat berjalan kaki menuju homestay. Jika tadi malam aku memesan mie ongklok, pagi ini aku memesan nasi goreng ayam.


Setelah sarapan, kita kembali ke homestay. Beberes bentar, ganti pakaian, kemudian kita berenam beranjak ke Batu Ratapan Angin, naik motor. Biaya sewa Rp. 100.000,00 untuk kita pakai selama kita berada disitu, kurang lebih dua hari.


















Ini kali kedua aku ke Batu Ratapan Angin, yang pertama bulan September 2018 waktu kesini bersama kawan-kawan kerja. Pemandangannya cukup ciamik, kita bisa melihat Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari atas. Disini juga banyak spot instagrammable, dimana untuk foto-foto di spot-spot itu, kita harus membayar limaribu rupiah per orang, per spot. Tami sempat mencoba ayunan, dan untuk itu, dia harus membayar Rp. 25.000,00.


Pukul dua belas kita telah kembali ke homestay. (NOTE: jalanan macet!) Saatnya kita beberes, kemudian check out. Kurang lebih pukul setengah dua kita meninggalkan homestay, setelah foto bareng dengan si Ibu yang telah 'melayani' kita dengan baik.


Kita cukup jalan kaki kurang dari 5 menit telah sampai di jalan dimana kita bisa menunggu bus menuju Wonosobo. Namun jalanan macet membuat kita berjalan kaki menuju pertigaan, dimana jika lurus kita akan sampai Telaga Warna, jika belok kiri, kita akan menuju Wonosobo. Sebelum ada bus yang bisa kita naiki lewat, kita melihat tiga kawan KOMPAL, komunitas pesepeda dari Gunung Pati telah sampai. Yang lain sedang dalam perjalanan nanjak. Wah, hebat Om Ali dan Om Har Aj. (yang satu lagi, aku lupa namanya, hihihi …)


Setelah foto bareng dengan kawan-kawan KOMPAL, kita melihat sebuah bus jurusan Wonosobo lewat, kita langsung mencegatnya dan naik. Beruntunglah karena 5 dari kita mendapatkan tempat duduk, Ranz satu-satunya yang terpaksa berdiri karena bus penuh. Jalan turunan/menanjak itu penuh kendaraan yang lewat, jauh lebih penuh ketimbang sehari sebelumnya. 😏


Pukul tiga sore kita telah sampai di alun-alun Wonosobo. Kita janjian dengan seorang sopir shuttle car pukul empat sore. Kita masih ada waktu untuk makan siang yang kesorean di satu pujasera yang terletak disitu. Kali ini aku memesan capcay ayam.


Setelah ada sedikit 'masalah' dengan shuttle car yang akan kita naiki, akhirnya kita mendapatkan mobil yang akan mengantar kita kembali ke Semarang. Pukul 17.17 kita naik mobil yang menjemput kita di alun-alun, tak jauh dari pujasera tempat kita makan. Dari sini, pak sopir mengajak kita mampir sebentar di terminal, katanya dia harus lapor ke pak bos terlebih dahulu. Mobil benar-benar meluncur ke arah Semarang pukul 17.37. alhamdulillah perjalanan lancar, kita telah sampai di Sukun pukul 21.00.


Ranz masih harus melanjutkan perjalanan menuju Solo dengan naik bus. Dia melaporkan bahwa dia tidak mendapatkan tempat duduk karena bus penuh penumpang. 😟


Dan … rasanya aku ingin segera kembali ke Dieng lagi, untuk menikmati rasa menggigil kedinginan. Hahahahaha …


PT 56 17.17 03 July 2019