Search

Wednesday, June 30, 2010

Love


love is an energy that dwells between us and our beloved, to whom we (should?) project to transform ourselves ...
~ quoted from someone ~


Does it mean that our beloved is the mirror where we can see the projection of ourselves? without 'it' we will not be able to see (ourselves)? or worse, we will not have any energy?

What if we consider our own 'love' as the mirror? As I oftentimes believe that 'I love the feeling that I am in love with someone'.

See? Not my beloved is the 'mirror' I need to see my own projection, but my own feeling. (it will be 'easy' for me to 'move' that feeling love of mine from someone to someone else, as long as I 'find' someone incredible!)

"Then comes loyalty!" said he!

Hey! one best friend of mine labeled me as 'foolishly loyal' when in love!

Anyway, what a nice (though very short) chat. Thanks pal! continue next time? :)

PT56 16.50 300610

Tuesday, June 22, 2010

Di Jogja 22 Juni 2010

Setelah nongkrong di KFC seberang Mirota Kampus Sekip selama kurang lebih empat jam -- usai makan siang, aku lanjutkan dengan membaca beberapa cerpen di KumCer milik Dewi Ria Utari, scribble dikit di diary, nyerutup kopi hitam yang meski sudah pakai gula tetap terasa pahit di lidahku yang terbiasa minum cappuccino manis (aaahhh jadi ingat si doi yang hobbynya nyerutup kopi hitam tanpa gula!!! kayak gimana rasanya ya? LOL) -- akhirnya aku beranjak keluar dari KFC. My dearest buddy sudah ga sabar bertemu denganku!!! :)

Nyaman dan nikmatnya memiliki saat-saat seorang diri. :) Oh well, anak semata wayangku sudah besar, sudah kuliah semester 2, dia sudah ga terlalu banyak ngerecokin nyokapnya, tapi ternyata benar keputusannya untuk tidak ikut ngabur aku ke Jogja. Kita berdua masing-masing bisa menikmati kesendirian sendiri-sendiri. :)


Dalam perjalanan dari perempatan Sekip, aku naik colt jurusan Kaliurang, aku sengaja tidak meminta sobatku untuk menjemput, karena justru dengan naik kendaraan umum, atau berjalan kaki lah aku benar-benar serasa kembali ke zaman kuliah dulu. Despite the earthquake in 2006, Jogja memang berkembang dengan cepat. Melewati Gedung Pusat, aku menatapnya tak berkedip, gedung yang rasanya tak pernah berubah sedikit pun sejak aku masuk kuliah di English Department tahun 1986, gedung yang membuatku bergumam, "Oh UGM-ku, I love you!" Melewati selokan, nah ... kujumpai lah deretan toko-toko yang tentu membuat para koser (alias boarder) akan menjadi semakin konsumtif dibandingkan zaman aku kuliah dulu. Kujumpai toko-toko baru, dan tentu saja resikonya hilanglah beberapa toko lama yang dulu kulewati dalam perjalanan dari kos ke kampus atau sebaliknya. Mantan kos tempat aku bergulat dengan tesis di tahun 2005 masih berdiri kokoh, dengan cat kuning mencolok di belakang RM Pondok Bello.


Melewati perempatan ring-road, naaahhh ... bukan lagi tempatku bernostalgia karena dulu aku keluyuran paling pol hanya sampai perempatan ring-road (mahasiswa kuper berat pokoknya, hahaha ...)


Aku turun di daerah Ngabean Wetan, daerah dimana sobatku tinggal bersama suami dan dua anaknya. Ups, dia berusan kirim sms mengabari kalau dia sedang mengantar anak sulungnya les! Ya udah, mampir di warnet sebentar, untuk menulis ini, agar bisa kuakhiri tulisan note ini dengan "JOGJA bla bla bla ..." xixixixi ...


Rencana entar malem, well ... ngerumpi dengan sobatku di balkon rumahnya, bergaya a la dua gadis remaja, hahahaha ... Besok? entahlah, tergantung sobatku mau ngajak kemana. Kalo dia ga ngajak kemana-mana, aku akan berkunjung ke FIB atau perpustakaan UGM tempat aku dulu menghabiskan waktu membaca buku, melarikan diri dari kos karena gangguan rasa mengantuk. :-p


Ah ya, aku pengen ke 'shopping' beli sampul plastik!!! hihihihi ...


Udah ah ya!


Jogja, 17.10 220610

Monday, June 21, 2010

1st day of Holiday


LIBUR TELAH TIBA!!! YAY!!!

Well well … ga hanya para siswa/mahasiswa yang bersuka cita tatkala libur tiba loh? para guru ataupun dosen tentu pula lah bergembira ria tatkala libur tiba, karena mereka bisa berjeda dalam mempersiapkan ubo rampe mengajar, sebangsa membuat lesson plan (dengan ‘objectives’ yang harus dipersiapkan dengan rinci, menyediakan activities yang mengikuti Bloom’s Taxonomy untuk kemudian menuju puncak ‘assessment’ yang telah diolah sedemikian rupa dalam bentuk ‘objectives’ itu: BY THE END OF THE LESSON, STUDENTS WILL BE ABLE TO ... BLA BLA BLA ...)

Biasanya jauh-jauh hari aku sudah mempersiapkan a list of activities untuk menyambut liburan dengan gegap gempita. Tapi kali ini, aku ngikut aja where the wind blows.

Hari pertama. As you can guess, di pagi hari aku bersepeda menuju tempatku bercinta dengan bau semak terbakar sinar matahari, jalanan naik turun ala ombak yang bergelombang, (yang akan berlumpur ganas seusai turun hujan) dan di ujung jalanan yang lumayan panjang itu (sekitar 20 menit naik sepeda dari bandara Ahmad Yani), aku akan menemui semilir angin bercampur bau asin air laut, hamparan pasir berwarna coklat yang mungkin tak menarik pandangan mata! Yup, bagi para penggemar blog dan statusku tentu mengenal daerah ini dengan baik: PANTAI MARON!

Sempat nongkrong di pinggir pantai selama kurang lebih 30 menit : menikmati sinar mentari pagi, berciuman dengan angin semilir yang tak terlalu sejuk karena musim kemarau, fesbukan (telah menjadi pacar pertamaku ia, huh? LOL.) menulis status yang sok puitis di FB, akhirnya aku pun pulang, ketika sekelompok anak remaja mendekatiku. Salah satu dari mereka memberanikan diri menyapa,

“Tinggal dimana Bu?”

“Pusponjolo, dekat kok dari sini.” Jawabku. “Kalian dari mana?”

“Jatingaleh.” Jawabnya. Wuih ... bakal menanjak nih entar mereka pulangnya? “Kok sendirian aja Bu? Anggota b2wer yang lain mana?” lanjutnya.

Hmm ... kupikir tentu mereka melihat bike tag di bawah sadel sepedaku, maka mereka tahu aku anggota b2w.

“Ini kan hari Senin. Yang lain masuk kerja lah. Kebetulan saja saya libur. Kalian sedang menikmati liburan nih?”

“Iya. Kita anggota b2s (bike to school).” jawabnya bangga.

OOPPPSSS!!! Kalimat ini membuatku memperhatikan sepeda mereka. Dari mereka berlima, ada dua yang memiliki biketag, “bike to school” di bawah sadel sepeda mereka.

Akhirnya dengan mereka berlima, aku menempuh perjalanan pulang, sampai di bandara. Di sana kita berpisah, mereka ambil jalur lain.

Siang hari aku bercinta dengan beberapa buku kumpulan puisi, kumpulan cerpen, dan novel. Nah, satu cerpen yang ingin kutulis ulasannya berjudul ‘KLISE’ hasil karya Dewi Ria Utari. Aku membeli kumpulan cerpennya yang berjudul “Kekasih Marionette” dua hari lalu. Aku mengenal nama Dewi Ria Utari tatkala membaca salah satu cerpennya yang termuat di “20 Cerpen Indonesia terbaik tahun 2008” yang berjudul SINAI dan satu cerpen lain yang dimuat di “Cerpen Kompas Pilihan 2008” yang berjudul MERAH PEKAT. Gaya penulisan Dewi Ria Utari yang surealis dengan mudah menarik perhatianku.

KLISE

Sesuai judulnya, awal cerita pun mengalir secara klise. Pertemuan seorang perempuan dan lelaki karena secara tak sengaja ‘bertabrakan’ di sebuah mall. Begitu kerasnya ‘tubrukan’ tersebut sampai dua tas tangan di bahu sang perempuan terjatuh. Dari salah satu tas tersebut, terjatuh pula sepasang bra dan celana dalam berwarna ungu.

Cerita berlanjut secara klise. Untuk meminta maaf, sang lelaki mengajak sang perempuan makan ice cream. Rupanya sang lelaki ini merupakan salah satu tokoh ‘idaman’ sang perempuan -> penyayang anak, karena saat jalan-jalan di mall ini dia tidak seorang diri, melainkan bersama anaknya yang mungil dan secantik boneka Russia.

Acara makan ice cream ini ternyata bukanlah peristiwa terakhir yang melibatkan sang perempuan dalam kehidupan bapak anak yang sedang dalam proses perceraian dengan calon mantan istri. (once again, you can say: CLICHE!!!) so, you can continue imagine the rest of the story, secara klise.

Setelah membiasakan diri membaca beberapa cerpen karya Dewi R Utari, aku tahu dia selalu memikat pembaca di akhir kisah, dengan TWIST ENDING yang benar-benar mengejutkan. Bisa jadi juga akan membuat patah hati para pembaca. Apalagi yang terbiasa membaca cerpen-cerpen yang memiliki plot klise, yang berakhir dengan happy ending, bersatunya sang tokoh lelaki dan perempuan, persis kisah-kisah fairy tale a la Cinderella yang diakhiri dengan “then they got married and lived together happily ever after”.

Tak sabar aku mencapai akhir cerpen yang berjudul KLISE ini. Kejutan apakah yang akan dipaparkan oleh Dewi?

Aku tertarik menulis sesuatu (sebenarnya not really sebuah ‘ulasan’, tapi lebih cenderung, mmm ... apa ya? curcol kali ya? hahaha ...) yang berhubungan dengan cerpen ini karena ketertarikan yang dimiliki oleh sang tokoh perempuan: seorang ayah penyayang anak.



Hal ini mengingatkanku pada sebuah peristiwa tatkala aku masih setia menyambangi sebuah fitness center di kotaku, di tahun 2006-2008, sebelum aku menyibukkan diri berkutat sebagai seorang guru yang jam kerjanya memaksaku tak mampu lagi menjadi anggota fitness center tersebut. Dua tahun tersebut, pada hari Minggu aku rajin berenang. (aku belum bersepeda ria.) Ada seorang lelaki yang kulihat rajin mengantar anaknya berenang. (aha ... aku telah menuliskannya di blogku. Ini dia linknya http://themysteryinlife.blogspot.com/search/label/father-children%20relationship )

Ketertarikan sang tokoh perempuan dalam KLISE yang berhubungan dengan baik dengan rasa ketertarikan yang sama yang kumiliki, membuatku bertanya-tanya, apakah banyak perempuan lain yang share the same feeling and opinion with me? Padahal dalam kehidupanku sehari-hari aku akan sangat amat patah hati jika anak semata wayangku lebih dekat dengan bokapnya dari pada denganku. :)

Ah, tiba-tiba teringat seorang teman SMA yang sempat kutemui secara tak sengaja dalam sebuah acara beberapa bulan lalu. Dia bercerita telah bercerai dengan suaminya, yang ternyata juga teman satu SMA pula. Anak semata wayangnya tinggal dengan mantan suaminya. Waktu dia bercerita, rasanya aku ingin berurai air mata, tak terbayangkan jika anakku memilih tinggal dengan my ex, apalagi di kota lain.
Kalau tidak salah, berdasar hukum di Indonesia, anak-anak yang berusia di bawah 12 tahun akan hidup dengan sang ibu jika terjadi perceraian kecuali beberapa hal. Pertama, sang ibu dianggap ‘tidak bermoral’ – yang menyebabkan perceraian terjadi – sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan anak-anak akan ketularan ‘tidak bermoral’. (NOTE: ‘tidak bermoral’ di Indonesia ini memang tidak jelas definisinya. Namun sebagai contoh, lihat saja kasus perceraian Tamara Blezinsky maupun Anang + KD.) Kedua, sang ibu terbukti tidak memiliki pendapatan yang mencukupi untuk menghidupi anak-anak, sementara sang ayah memilikinya.

Kedua alasan ini seharusnya ‘patah’ jika dikaitkan dengan kasus perceraian teman SMA ku itu. Konon, mantan suaminya lah yang berselingkuh. Sejak awal selingkuh dengan perempuan lain, konon sang mantan suami mengakuinya dengan bangga, karena ‘budaya’ di kota dimana mereka tinggal konon memang mengelu-elukan kaum lelaki yang bergelimang harta sehingga amat sangat dipahami (bahkan mungkin ‘dituntut’) untuk berpoligami. Selain itu, temanku ini setelah jatuh bangun memulai usaha sendiri, akhirnya bisa berdiri di atas kaki sendiri, untuk membiayai hidupnya, dan mungkin juga menghidupi seorang anak, meski tidak sampai bergelimang harta seperti tatkala hidup bersama sang ayah.

Ketika aku bertanya apakah ia berniat untuk ‘menjemput anaknya’ agar hidup bersamanya, dia mengatakan tidak. Alasannya sangat menyedihkan menurutku (menyedihkan bagi seorang perempuan yang tak mampu menyediakan gelimang harta bagi anaknya): “Mantan suamiku kan kaya sekali Na. Biarlah dia menikmati gelimang harta itu, dia berhak. Daripada denganku. Biarlah aku sendiri di sini. Toh kalau libur sekolah dia kesini mengunjungiku.” I was SPEECHLESS. REALLY DUMBFOUNDED.

Lah ... nulisnya kok jadi jauh melenceng gini ya? Maklum, ini bukan ulasan cerpen yang ‘layak’ melainkan hanya sekedar curcol.

Kembali ke cerita KLISE. Can you guess what happened by the end? Satu catatan: it has TWIST ENDING.
Well, lama-lama karena terbiasa dengan cara Dewi R Utari mengakhiri cerpennya, kadang-kadang aku bisa juga menebak akhirnya. :)

PT56 17.45 210610

Wednesday, June 09, 2010

Puisi yang belum jadi

mungkin tak perlu lagi kugantungkan asa
pada bintang gemintang di langit di malam pekat
jika telah kau padamkan suluh yang pernah
kau nyalakan di ujung cakrawala
dan halilintar pun meluluhlantakkan bianglala
tanpa senoktah pun jejak tersisa

PT28 20.55 090610

Saturday, June 05, 2010

Bunga Tidur

kau jemput aku dengan kereta angin beroda empat
dengan singgsana yang terhiasi bunga melati putih di segala penjuru
namun kudapati aku duduk sendiri di kereta bak pualam itu
sedang kau duduk di kursi dengan menghela kuda yang juga berwarna putih

dan aku pun termenung kala membuka mata
di keesokan hari seusai mentari pagi menyapa

“Perjalanan kita masih panjang, Sayang ...”
PBIS 09.42 290410

Bunga Tidur

kau jemput aku dengan kereta angin beroda empat

dengan singgsana yang terhiasi bunga melati putih di segala penjuru

namun kudapati aku duduk sendiri di kereta bak pualam itu

sedang kau duduk di kursi dengan menghela kuda yang juga berwarna putih

dan aku pun termenung kala membuka mata

di keesokan hari seusai mentari pagi menyapa

“Perjalanan kita masih panjang, Sayang ...”

PBIS 09.42 290410

Mimpi


 

Seberapa percayakah engkau dengan mimpi?

Ketika mengadakan riset untuk tesis, aku menemukan pernyataan Sigmund Freud yang mengatakan bahwa mimpi adalah harapan yang tersembunyi di bawah sadar sang pemimpi. Saking kepinginnya, namun dia pendam hal tersebut di bawah sadarnya, maka hal tersebut akan muncul dalam mimpinya. Aku pikir dengan pernyataan ini mungkin Freud mau menyatakan bahwa apa pun yang kita sembunyikan di alam bawah sadar kita, satu saat akan muncul juga, meski hanya lewat mimpi.

Sekitar satu minggu yang lalu, di kelas POETRY ANALYSIS CLASS, aku membagi dua buah puisi yang memiliki tema DEATH untuk dibahas bersama-sama bagaimana dua penyair menyikapi tema yang sama dalam dua buah puisi yang berbeda. Puisi pertama berjudul "Because I could not stop for Death" oleh Emily Dickinson, yang kedua berjudul "Death" ditulis oleh Mary Frye.

Singkat kata, diskusi pun melebar menjadi pernyataan seorang mahasiswa bahwa dia tidak memeluk salah satu agama yang 'dilegalkan' oleh negara, karena dia lebih memercayai 'produk lokal' alias kepercayaan kejawen. Salah satu hal menarik yang dia katakan adalah bahwa dalam hidup ini, jika kita 'ngeh' ke semua hal yang terjadi di sekitar kita, maka kita sebenarnya mendapatkan banyak petunjuk untuk melakukan sesuatu, atau ketika kita harus memilih sesuatu. Salah satu petunjuk itu bisa saja hadir dalam bentuk mimpi.

Aku mengiyakan apa yang dia bilang karena akhir-akhir ini pun aku mulai mencoba 'ngeh' dengan segala yang terjadi di sekelilingku, untuk mencari dan menangkap petunjuk-petunjuk tersebut. (Well, anggap saja aku tengah menghadapi satu hal yang membuatku harus benar-benar 'alert' untuk melakukan satu pilihan.) Mengenai mimpi, aku sendiri pernah mencatat 'kebenaran' mimpiku. Beberapa tahun yang lalu aku mencatat mimpi di diary. Aku merasa aneh dengan mimpi itu, 'masak sih begitu alasannya'? tanyaku pada diri sendiri. Tapi, beberapa saat kemudian, ternyata yang kumimpikan itu menjadi kenyataan!!! Nah lo!

Memang semenjak itu pun aku jadi rada rajin nyatet mimpi-mimpi yang teringat tatkala aku terbangun di pagi hari. Masalahnya, KONON, dari kesehatan mental, orang 'normal' itu ga bakal ingat apa yang dia impikan pada waktu tidur. NAH KAN??? Dan, mengingat ga selalu kita memiliki waktu untuk mencatat mimpi langsung di diary tatkala bangun pagi, ternyata ada juga kecenderungan kita akan lupa mimpi itu ketika kita punya waktu untuk menulis, entah di siang atau malam hari. Aku sering kesel jika aku ingat, nampaknya aku mimpi indah, atau aku mimpi seseorang yang indah, yang ingin kuabadikan di diary, ehhh ... lupa!!! :)

Tapi ...

Kok ingatan apa yang dikatakan oleh Freud jadi ngeselin ya? Mimpi yang muncul dalam tidurku itu berupa harapan di bawah sadarku, atau petunjuk untuk masa depanku?

LL Tblg 15.37 050610

June 5, 2010

This is international environment Day. So I thought. But I will not write anything about it here. :)

Well, as some 'loyal' people have paid attention to my blogs (PERHAPS, LOL) I have been very idle in blogging recently. The first 'scapegoat' was when in the middle of August 2008 I got a full time job in one school in my hometown, Semarang. :) And since then on, I became less and less active in posting anything on my blogs. LOL.

The following 'scapegoat' is perhaps FACEBOOK. LOL. I signed up on FB around a year ago, if I am not mistaken, although I am not sure what month. Although people said that FB was very user-friendly, I took some weeks to adjust myself with it. LOL. However, after some months, and I got the hang of it, I enjoyed it a lot. LOL. Well, you can say that I am in fact suffering from an obsession to be a celebrity (LOL) so that I enjoyed updating status on FB. LOL.

It eventually 'reached a peak' (well, if I may say so) when a lovely friend introduced me to some people I labeled as 'spiritualists'. I got more involved with FB since I really enjoyed reading those spiritualists' notes or discussion via statuses. In one side, it made me have some ideas to write anything related to spirituality, but I was more interested in posting my writing on FB since I got more comments easily and quickly there than on blogs.

After some time, out of the blue I became like a poet, obsessed in writing poems!!! LOL. When finding some quite popular poets from my hometown on FB, let's say Timur Sinar Suprabana, I became more attracted to poetry -- both reading and writing. NAH LO. LOL. I have been like 'this' for some weeks (or months?) and I even somewhat lost enthusiasm in reading my most favorite topic -- feminism. WOW. If before this, you would find a book with feminism topic in my backpack, recently, you will find books on poetry collection in it. LOL. And I have been really 'blunt' in ideas to write articles related to gender or feminism.

In fact, I really cannot divide my attention to some things at the same time; let's say writing social issues about gender bias plus writing poems. Why can't I, for example, write poems on gender bias? (a self introspection)