Search

Tuesday, November 22, 2011

Nemu henfon

Alkisah pada satu malam minggu, aku dan seseorang yang paling kusayangi -- selain Angie, my Lovely Star -- makan malam di sebuah warung tenda yang berjualan menu serba penyet. Kita memilih duduk di sebuah meja yang terletak di pojok (aku hobi duduk di pojokan soalnya :-D) Di atas meja yang ukurannya tidak terlalu luas itu, kita taruh beberapa barang milik kita, misal helm, kaos tangan, dompet, topi, kacamata dan hape. Praktis meja itu hampir penuh ketika makanan pesanan kita datang, dua porsi nasi putih, satu ayam bakar plus lalapan, dan satu bebek bakar plus lalapan beserta dua gelas es jeruk.

Tak lama kemudian datanglah serombongan keluarga yang terdiri dari dua perempuan dewasa, dua laki-laki dewasa, dan tiga anak kecil. Satu perempuan dan satu laki-laki dewasa beserta anak-anak duduk di meja sebelahku, sedangkan satu laki-laki dan satu perempuan dewasa duduk di hadapanku, sehingga mereka akan 'share' meja bersamaku dan seseorang yang kusayangi itu. Ketika makanan mereka datang, memang agak sulit bagi 'waiter' untuk menaruh piring-piring makanan mereka. Mungkin itu sebabnya sehingga sang laki-laki berteriak kepada sang 'waiter',

"Mas, ini barangmu dibuang saja!" sambil menyerahkan tempat tissue dan tempat sendok kepada waiter itu.

Sementara itu, si laki-laki yang satu ini terlihat begitu sibuk dengan dua henfon miliknya. Sebegitu sibuknya, hingga dia tidak sesegera mungkin menyantap makanannya. Dan sebegitu tidak perhatiannya, tiba-tiba ketika dia akan minum, dia meraih gelas berisi es jeruk milik seseorang yang kusayangi tersebut karena kebetulan mereka duduk saling berhadapan.

Ranz langsung berkata, "Ini gelas milik saya!"

Laki-laki itu, dengan sedikit malu, berkata, "Oh, maaf." Kemudian kepada istrinya, "Kok aku ga dipesankan es jeruk?" tanyanya.

Sang istri (nampaknya sih sang istri), "Lha kan kupesankan teh?"

Mereka makan dengan cepat atau memang Ranz makan begitu pelan sehingga mereka selesai terlebih dahulu. Walhasil, mereka pun meninggalkan tempat terlebih dahulu.

Ranz nampak sedikit geram kepada laki-laki yang dia anggap tidak tahu sopan santun itu. Namun tak lama kemudian, dia nyadar bahwa si laki-laki yang tidak tahu sopan santun itu telah dengan tidak sengaja meninggalkan salah satu handphone yang telah membuatnya sibuk melulu sebelum makan.

"He accidentally left one cell phone of his!" kata Ranz kepadaku.

Aku kaget dan langsung merasa tidak nyaman. Khawatir 'terlibat' hal-hal yang tidak diinginkan, aku inginnya menyerahkan handphone itu kepada si penjual agar bisa dikembalikan kepada yang kehilangan. Namun Ranz tidak setuju. Dia khawatir jika justru si penjual tidak mengembalikannya kepada yang berhak. Aku pikir kalau sudah kuberikan kepada si penjual dan ternyata si penjual tidak mengembalikannya, that is none of my business. Namun Ranz berpikir jika yang kehilangan itu sadar bahwa telah meninggalkan hapenya di tempat makan itu, dan kembali untuk mengambilnya dan tidak menemukannya, maka mereka akan menuduh Ranz dan aku yang telah mengambilnya dan kemudian ngacir.

Bingunglah aku what to do.

Aku memilih menunggu mereka menelpon nomor hape yang ketinggalan itu. Ranz menyarankan untuk menelpon salah satu nomor yang mungkin nomor istrinya atau salah satu anggota keluarganya. Namun ternyata aku merasa tidak nyaman to do it.

Aku tetap memilih tidak melakukan apa-apa selain menunggu seseorang menelpon nomor hape tersebut. Praktis kemudian kita ga bisa sesegera mungkin meninggalkan tempat tersebut.

Hingga akhirnya Ranz mengambil keputusan untuk menelpon nomor telpon yang di phonebook di hape tersebut bernama "ayah".

Ranz, "Hello, ini hape siapa ya ketinggalan di tempat makan di daerah bla bla bla ..."

Dari suara yang menerima telpon tersebut terkesan bahwa dia sedang panik mencari kira-kira hape tersebut kesingsal dimana.

Setelah menunggu kurang lebih 15 menit, mereka datang kembali. Ranz memintaku untuk menyerahkan hape itu kepada si laki-laki.

Laki-laki itu, "Terima kasih ya mbak?"

Aku, "Sama-sama." sambil tersenyum ramah.

Setelah menyimpan hape itu kedalam kantong celananya, dia mengambil dompet, mengambil dua lembar uang dan menyerahkannya kepadaku.

Aku sempat bengong, mau menolak atau menerimanya.

"Tolong diterima ya mbak? Sebagai ungkapan terima kasih saya." katanya.

Akhirnya aku menerimanya.

Setelah mereka pergi, Ranz bilang, "Itu sebab aku ga mau menjadi pihak yang menyerahkan kepada laki-laki itu karena aku khawatirnya kita bakal dikira mau mengembalikan hape itu karena mengharapkan imbalan tertentu."

hadeeeehhhhh ...

Makanya kan di awal aku sudah kepengen menyerahkan hape itu kepada si penjual agar tidak tertuduh mengharapkan imbalan?

hadeeeeeehhhhhhh ...
PT28 17.04 211111

Tuesday, November 15, 2011

A friend in need is a friend indeed

pic was taken from here


Pertama kali nonton serial “Sex and the City” aku terkesan dengan friendship keempat tokoh utamanya: Carrie, Miranda, Charlotte, dan Samantha. Mulai dari keempatnya masih merupakan single girls sampai dengan Charlotte dan Miranda yang menikah (dalam serialnya), hingga Carrie menikah dalam film layar lebar. Pernikahan tidak lantas membuat keempatnya melupakan komitmen untuk tetap meluangkan waktu untuk berkumpul berempat tanpa perlu mengajak anak (khusus untuk Charlotte dan Miranda) maupun suami (kecuali Samantha yang tetap single dalam film “Sex and the City 2”.


Di Indonesia, at least in my very own life, aku jarang menemukan friendship yang sedemikian solid. Apalagi di kalangan mereka yang sudah menikah. Konsensus yang ada bahwa suami/istri seyogyanya juga menjelma sebagai teman yang paling dekat akhirnya menjadikan friendship yang telah ada semenjak sebelum menikah renggang.


Mengacu ke tulisanku yang sebelum ini – bahwa kebanyakan teman yang kudapatkan berasal dari komunitas yang kumasuki, misal sekolah, kuliah, kos, dan bekerja dimana kemudian ketika aku lulus sekolah/kuliah atau keluar dari satu tempat kos/kerja maka berhenti pula lah hubungan pertemanan, meski tidak semuanya  -- aku jarang merasa perlu meluangkan waktu yang khusus bersama teman karena toh kita bertemu di kampus/kantor.


Ketika aku bekerja di sebuah uni swasta di Semarang, aku dan rekan kerja lumayan sering juga hang out bareng dimana they were all still single hanya aku yang sudah double. Untuk hangout (sekedar piknik kecil-kecilan keluar kota) aku selalu menyertakan Angie kecil dimana tak ada satupun rekan kerja yang komplain karena Angie yang selalu manis dan tidak merepotkan.


Tatkala aku kuliah di American Studies – di luar kota yang notabene berarti aku tinggal jauh dari keluarga, sehingga serasa ‘pure single’ – aku masih sering jalan bareng dengan teman (kuliah) di luar jam kuliah meski itu pun tetap untuk urusan pergi ke perpustakaan, toko buku atau ke dosen pembimbing tesis yang notabene tetap berhubungan dengan kuliah.


Lulus kuliah kembali ke Semarang dimana kebetulan kemudian aku quit dari uni swasta dimana aku sempat menjalin hubungan akrab dengan beberapa teman. Yang satu pindah keluar negeri, yang satu ke Malang, yang satu lagi tetap di Semarang, namun dia sibuk dengan keluarganya mana suaminya tidak memberinya keleluasaan untuk melakukan kegiatan tertentu yang tidak ada hubungan langsung dengan pekerjaan.


Practically aku mulai merasa friendless but my diary, my blogs and Lovely Star. Kehidupanku hanya bekerja dan bekerja. Sesekali hanging out dengan Angie. Aku benar-benar menjelma menjadi the homebody type.


Ketika mulai berinteraksi dengan komunitas b2w, aku mulai (lagi) mengenal kehidupan lain selain bekerja dan hangout bersama Angie: bersepeda. Jika sebelum berbike-to-work sepulang kerja aku langsung pulang ke rumah, setelah itu aku mulai sering kelayapan di jalan-jalan Semarang: city night ride. Merupakan suatu kebetulan jika seorang teman yang pindah ke Bandung pada tahun 2003 untuk mengikuti suaminya melanjutkan kuliah, pada tahun 2008 dia bersama keluarga pindah ke Jogja dimana suaminya mendapatkan pekerjaan. Aku pun mulai merasa perlu dolan keluar kota, my second hometown, Jogja. J Jogja dekat dari Semarang dan I am quite familiar with it karena pernah tinggal disana selama sekian tahun.

Beberapa bulan terakhir ini aku kembali dikaruniai (lebay! LOL) seorang teman yang kedekatan kita berdua membuatku serasa kembali seperti ketika aku masih berusia belasan tahun. Teman yang bersamanya kita akan melakukan hal-hal yang kita ingini tanpa ada kekangan “a married woman is supposed to bla bla bla ...” atau dalam kasusku yang seorang single parent “a mother is supposed to bla bla bla ...” Jika kebetulan kegiatan bersepeda yang mempertemukan kita ya bersepeda bersama kemana-mana yang ingin selalu kita lakukan. Mungkin tak perlu jauh-jauh kembali ke masa usia belasan tahun, kembali saja ke masa aku kuliah di American Studies beberapa tahun lalu, dimana ketika berada di Jogja aku adalah seorang single – without a kid – hingga aku tak perlu merasa tidak nyaman ketika melakukan ini itu bersamanya.

Meski jarak usia kita lumayan besar: 20 tahun. Untunglah dia selalu lupa – atau pura-pura lupa ya – bahwa usianya 20 tahun di bawahku. J Kelupaan yang membuatnya merasa nyaman-nyaman saja berinteraksi denganku, tanpa perlu merasa ‘pekewuh’ yang sering menimpa orang-orang di kultur Timur bahwa yang muda harus menghormati yang tua; yang tua harus memberi contoh yang baik ke yang muda. Hihihihi ... yang penting kita saling sayang deh. :-D

If only this friend of mine were a guy, perhaps I would marry him. LOL. Namun karena dia adalah seorang perempuan, maka jadilah kita “a real friend in need is a friend indeed.“


Kembali ke serial “Sex and the City” dimana friendship keempat perempuan cantik itu tetap kokoh terjaga meski mereka telah menikah maupun memiliki anak, bukankah aku pun layak menikmati friendship yang sedemikan rupa? And my beloved Lovely Star telah menginjak usia duapuluh tahun hingga dia tidak selalu butuh kusiapkan makanan, dlsb setiap hari. I will always be a loving mother for her no matter with whom I have friendship and do anything with my bestest one.


P.S.:
Dedicated to my sweetest and loving Ranz. Let us go bikepacking anywhere we want.

Friends will be friends?

pic was taken from here


Again, demi memenuhi ‘curiosity’ one best friend of mine, aku menulis ini.


Aku yakin, seiring usia kita yang bertambah, seiring pendidikan yang kita serap, juga seiring jenis ‘community’ dimana kita bergaul, maka ‘definisi’ teman atau sahabat yang kumiliki pun berubah dari tiap level kehidupan (misal: kanak-kanak (SD), remaja (SMP-SMA), awal dewasa (kuliah), dan setelah itu.) Maka jika ditanya, “what kinda ‘friends’ have you got so far so that you ‘label’ them friends?” tentu tidaklah mudah aku menjawabnya. But mungkin ada satu hal yang mungkin semua orang akan setuju untuk kriteria ‘teman’: “nyambung ketika ngobrol” tentang apa saja.


Aku sendiri tidak bisa memahami mengapa ketika aku mengatakan bahwa aku ‘friendless’ beberapa waktu lalu kepada seorang best friend, aku lebih mengacu ke bagaimana kultur Barat (alias English speaking countries) membedakan antara ‘friends’ dengan ‘workmates’ ‘playmates’ ‘schoolmates’ ‘classmates’, atau ‘mate-mate yang lain’ juga dengan ‘acquaintances’.


Ketika aku duduk di bangku SMA (selama dua setengah tahun aku menghuni jurusan ‘Bahasa’ aku ‘hanya memiliki 3 teman sekelas) tentu ketiga teman sekelasku juga adalah my best friends (waktu itu), meski dengan yang berjenis kelamin perempuan aku merasa paling dekat. We were soooo close to each other at that time sampai my mom bilang, “Don’t really get close with someone because when accidentally one of you gets hurt, it will be really really hurt. Then if that happens, it will be very difficult for both of you to get close again.” Aku sudah lupa apa kejadiannya namun ternyata ‘prediksi’ ini terjadi. After that ‘accident’ dan saling memaafkan, kita memang tak lagi bisa sedekat sebelumnya. 


Seingatku selain dengan ketiga teman sekelasku ini, aku juga masih membina hubungan baik dengan teman dekat semenjak SMP, dua bersekolah di SMA yang sama, sedangkan yang dua lain lagi bersekolah di SMA yang berbeda. 


Lulus SMA, aku ke Jogja. Ada seorang teman sekelas waktu SMA (laki-laki) yang juga kuliah di Jogja, namun berbeda universitas meski ‘hanya’ tetanggaan dengan UGM. ? Kita tak lagi seakrab waktu SMA mungkin dikarenakan kesibukan masing-masing. (Padahal suwer, waktu kuliah S1, aku ga sibuk lha wong ga ikut kegiatan apa pun selain kuliah. Hihihihi ...) Yang satu lagi, perempuan, melanjutkan kuliah di IKIP Semarang, yang satu lagi, laki-laki, was gone with the wind. 


Waktu di awal kuliah S1 aku sempat ‘akrab’ dengan seorang teman sekelas yang asli Solo (call her E) karena kita berdua sama-sama diterima lewat program PMDK. Aku yakin tentu karena kita ga begitu nyambung ketika ngobrol maka akhirnya keakraban ini tidak berlangsung lama. Di akhir semester dua aku mulai akrab dengan seorang teman sekelas lain yang asli Trenggalek (call her D)dan dengannya keakraban ini terjalin hingga kita lulus kuliah.


Renungan diri:


Aku sadar banget kalau aku ini ‘aslinya’ talkative (maka kalau aku menjelma seorang yang pendiam, that was not the real me) mungkin karena E juga seorang yang talkative. Hehehehe ... Sementara itu D was very sweet and nice (bagi si Nana yang talkative) maka ya ... begitulah.:-D


Selama tinggal di kos, aku juga lumayan akrab dengan beberapa penghuni kos, dimana yang paling akrab adalah dengan mbak Nanni yang asli Madiun, 2 years older than me. Kita berdua sama-sama Leo, padahal aku sempat menengarai apakah karena sama-sama Leo (sama-sama kerasnya) maka keakrabanku dengan E tidak berlangsung lama. Keakraban tetap terjalin hingga mbak Nanni lulus dan pindah luar kota. This means putus hubungan karena tak ada kontak sama sekali setelah itu. (belum zaman ada hape apalagi social network seperti sekarang).


When I was married, aku tidak ingat apakah aku punya teman dekat. Teman-teman zaman SMP/SMA yang sudah menikah pun sibuk dengan urusan keluarga masing-masing, juga pekerjaan masing-masing.


Ketika mulai bekerja di sebuah kursus Bahasa Inggris maupun di sebuah univ swasta di Semarang, aku mendapatkan new good friends. (Selalu karena kita saling merasa nyaman dengan keberadaan masing-masing ketika bersama plus nyambung ketika ngobrol. Selain itu tentu karena kita bekerja di tempat yang sama, kita memiliki interest yang tidak jauh beda: Sastra, Bahasa Inggris, dan mengajar)


Waktu kuliah S2, aku ‘menjadi’ akrab dengan seorang rekan kerja di univ swasta yang bagiku menjelma menjadi seseorang yang lain. (We happened to resume our study together in the same program). Mungkin dia bisa kukategorikan sebagai seseorang yang ‘menderita’ multiple personality disorder. LOL. Dia begitu ‘autis’ (‘untouchable’) ketika berada di tempat kerja. Namun ketika berada di Jogja, dia adalah seorang teman yang hangat dan lumayan ‘rame’. Maka jika sebelum kita kuliah bareng itu we were just ‘workmates’, berbicara seperlunya saja ketika bertemu di kantor, setelah kuliah bareng, aku dan dia bisa ngobrol berjam-jam sambil makan atau pun jalan kaki ke satu tempat. (kebetulan kita berdua sama-sama penggemar jalan kaki. )


Dikarenakan satu dan lain hal maka di awal tahun 2005 itu aku mulai dekat dengan adik kelas. Meski bermula dari ‘hanya’ sekedar menghadiri kelas yang diampu oleh dosen tamu dari Michigan, tentu karena nyambung ketika ngobrol, tanpa kusadari kita mulai akrab. 


Keberadaan hape tentu sangat membantu kita berdua to keep in touch setelah lulus. Aku balik ke Semarang, dia balik ke Purwokerto. Sedangkan si ‘autis’ (LOL) pindah ke Malang karena mendapatkan pekerjaan disana. And you know, setelah jauh, dia pun kembali menjelma sebagai seseorang yang autis lagi alias hape tidak terfungsi to keep us in touch dengan baik. LOL. 


Kok jadi panjang ya? Bosan dah yang baca. LOL.


But the main point kupikir sudah kutulis. Yang membuatku merasa ‘berteman akrab’ dengan beberapa teman yang kutulis di atas tentu karena kenyamanan to be myself when being with them plus nyambung ketika ngobrol. Juga ketika seorang teman mengkritikku, aku tidak perlu merasa terluka karena kritik itu disampaikan langsung mengena.


Btw,beberapa saat lalu aku sempat juga menulis tentang ‘sorry pal, no more click between us’ well ... begitulah. Ketika bertemu (kembali) dengan beberapa teman lama yang dulu pernah akrab, mendadak aku menjadi awkward. Maka, kembali ke apa yang kutulis di awal: usia yang kian bertambah, pendidikan yang membuat cara kita berpikir tentu berubah (entah sedikit maupun drastis), komunitas dimana kita berinteraksi, pengalaman-pengalaman hidup yang tentu berbeda satu dengan yang lain akan membuat kita merasa bahwa teman lama kita menjadi begitu asing.


Untuk mengakhiri tulisan, aku ingin mengutip kalimat seorang online buddy (rada beda sedikit gapapa ya?), “Avoid people who make you feel insecure to be yourself.”


GL7 14.27 20102011

Obrolan 'biasa'

Beberapa bulan terakhir ini di lapak sebelah aku bergabung dengan grup SMP N 1 Semarang angkatan 1983 (lulus tahun 1983). Sebenarnya 'pengalaman' ketika bergabung dengan grup ALSTE 1986 (alumni SMA N 3 Semarang lulus tahun 1986) membuatku agak malas berhubungan lagi dengan 'teman-teman' lama karena belum tentu 'click' lagi (misal dalam tulisanku yang ini. Namun karena entah mengapa, akhirnya toh aku ga nolak juga ketika dimasukkan ke dalam grup alumni SMP ini.

Seperti di grup Alste '86, di grup SMP pun aku semula anteng-anteng saja, tidak ikut posting di wall grup atau pun komen di wall post maupun di foto reuni yang dilaksanakan beberapa bulan yang lalu. (Aku dengan sengaja tidak ikut hadir.)

Namun cerita akhirnya melenceng dari yang kurencanakan semula, (yakni bersembunyi di pojokan sambil nonton teman-teman lain berinteraksi) Semua gara-gara sang panitia 'reuni setelah 30 tahun' memunculkan foto-foto alumni per kelas, kemudian secara acak foto-foto itu diposting satu persatu, lengkap dengan nama lengkap, waktu kelas 3 masuk kelas yang mana, plus alamat. Aku pun penasaran mengasah ingatanku yang ternyata terbukti parah.

Dan aku mulai komen dari satu foto ke foto yang lain.

Sampai ketemu dengan seorang teman ex sekelas dulu yang kebetulan masih ingat aku dengan baik. Dan obrolan biasa khas bertemu 'teman lama' pun terjadi.

Dia bertanya, "Anakmu berapa Na?"

Entah mengapa aku selalu merasa 'terselamatkan' dengan keadaan bahwa aku punya anak satu jika seseorang dari masa lalu bertanya hal ini. Mengapa aku harus merasa 'terselamatkan'? Karena toh ternyata aku tetap saja tidak atau belum bisa melepaskan 'stigma' bahwa orang-orang seusiaku tentu akan dilabeli 'kasian yaaa belum punya anak ...' atau 'kasian yaaa umur segini belum laku juga' (emang jualan?)

Aku menjawab, "Satu."

Dia, "Anakku sudah tiga Na. Yang paling besar umur 4 tahun. Yang paling kecil 1,5 tahun."

Aku sempat heran sebenarnya, dia satu angkatan denganku, yang berarti usianya sama dong denganku, atau paling tidak yahhh ... jarak satu dua tahun lah. (zamanku belum ada kelas 'akselerasi' yang membuat seseorang bisa menyelesaikan sekolah yang harusnya ditempuh 3 tahun menjadi 2 tahun). Ini berarti untuk anak bungsunya dia hamil dan melahirkan di atas usia 40 tahun, usia yang riskan untuk seorang perempuan untuk hamil dan melahirkan.

Namun toh, hal ini kupendam saja. Well, people have their own business, don't they?

Aku, "Anakku sudah besar, usianya 20 tahun. Sekarang sudah kuliah di Psikologi Undip semester 5."

(bingung mau jawab apa, maka ya kalimat itu lah yang keluar. )

Dia, "Lho? Anakmu kok sudah besar sekali?"

GLEG!

Aku jadi bingung. Kok begitu komentarnya yak? Dan aku yang terlalu terbiasa mencoba membaca between the lines atau mengira-ira ada apa di balik kelambu, langsung pikiranku menerawang jauh, apa maksud komentarnya itu?

Padahal mungkin saja dia berkomentar itu hanya sekedar komentar saja ya? Tanpa dia pikir panjang sebelumnya. (Maka, yang kupikir adalah mengapa orang ngomong asal ngomong saja ya? Ga dipikir apa akibatnya? hadeeeeehhhh ...)

Aku, "Aku menikah usia 23 tahun. Punya anak usia 24 tahun."

Dia, "Oooo ..."

Dan entah mengapa, 'usil'ku pun kumat, untuk 'membalas' keasal-njeplakannya.

Aku, "Lha, anakmu kok masih kecil-kecil?"

hihihihihi ...

Namun toh aku tetap saja merasa ga enak hati karena telah bertanya sesuatu yang mungkin akan membuatnya merasa tidak nyaman. Maka kalimat tanya itu segera kusambung dengan, "Berarti kamu melahirkan pada usia yang sudah sangat riskan ya? Ckckckck ... Kamu pemberani sekali mengambil resiko."

*curcol biasa ga penting.

PT28 18.18 141111

Tuesday, November 08, 2011

Idul Adha versus vegetarian

Beberapa hari lalu menjelang Idul Adha, beranda ef be ku penuh dengan status-status yang kontradiktif, seperti yang terbaca di judul postingan ini. Sebagian dengan gencar menulis betapa pentingnya mengurangi konsumsi daging -- terutama daging binatang yang berkaki empat -- demi ikut mengurangi semakin cepatnya pemanasan global menghanguskan bumi. Di sisi lain orang-orang menulis tentang ikut merayakan Idul Adha dengan memotong kambing atau pun binatang lain yang dianjurkan demi berbagi dengan sesama, terutama para kaum miskin yang mungkin hanya bisa makan daging binatang berkaki empat satu tahun sekali, yakni pada hari raya Idul Adha.

Berhubung waktu kecil aku bersekolah di madrasah ibtidaiyah, aku lumayan hafal di luar kepala mengapa 'diwajibkan'  bagi kaum Muslim yang mampu untuk 'berkorban' dengan menyembelih satu kambing atau tujuh orang bersama berkorban seekor sapi. Minimal sekali dalam seumur hidup. Kalau mau setiap tahun sekali tentu lebih baik (?). 'Korban' kambing (atau sepertujuh sapi) yang telah kita korbankan konon nantinya akan membuat perjalanan menyeberang 'jembatan' menuju surga akan menjadi secepat kilat. Dan semua ini bermula dari kisah Ibrahim yang konon mendapatkan wahyu untuk menyembelih Ismail, anak yang dia tunggu kehadirannya selama beratus tahun. (konon, duluuuu para Nabi selain Isa dan Muhammad hidup hingga ratusan tahun umurnya). 

My parents telah memberi contoh kepada anak-anaknya untuk berkorban setahun sekali, dengan menyisihkan uang tiap bulan demi bisa membeli seekor kambing ketika Idul Adha datang. Ini menunjukkan bahwa mampu atau tidak mampu bersifat relatif (seperti juga untuk melaksanakan 'ibadah' naik haji ke Mekkah).

Meskipun begitu, di rumah, yang suka makan daging kambing hanya my parents. Anak-anak tidak begitu suka. Aku pribadi tidak anti makan daging kambing, namun 'hanya' bisa menikmati makan sate kambing. Jenis masakan lain yang bahan utamanya kambing, aku lebih memilih untuk menghindarinya. No any special reason. Hanya karena tidak begitu suka saja.

Ketika aku membaca novel AKAR karya Dewi Lestari (Dee) dimana sang tokoh utama dikisahkan setengah 'cenayang'. Di salah satu 'scene' ditulis betapa dia ketakutan ketika dia melewati sebuah lapangan dimana disana berkumpul binatang-binatang yang siap disembelih karena mata-mata binatang itu menyorotkan ketakutan yang luar biasa. Si tokoh yang 'cenayang' ini merasa sorot mata ketakutan itu 'tertransfer' kedalam dirinya, hingga dia bisa tahu persis ketakutan seperti apa yang dirasakan oleh para binatang itu.

Mungkin aku yang terhipnotis cara Dee melukiskan 'adegan' itu, atau keseluruhan kisah dalam novel AKAR itu. Namun itulah pertama kali aku baru bisa melihat dan mencoba memahami bahwa binatang-binatang itu pun merasakan ketakutan ketika akan disembelih. (Jadi ingat si psikopat dalam film CHANGELING yang menangis ketakukan ketika akan dihukum gantung, tanpa ingat bagaimana dengan sadis dia telah membunuh anak-anak kecil tak berdosa, hanya demi kepuasan psikologisnya semata.)

Untunglah aku tidak pernah begitu menikmati makan daging berkaki empat, meski aku bukan seorang veggie.

Ketika berkisah tentang hal ini kepada Angie, dia pun bertanya, "Don't you think that also happens to chickens, Ma?" FYI, Angie sama sekali menghindari makan daging kambing. Kalau rendang daging sapi masih doyan dia. :)

Absolutely, that makes sense too. Call me a hypocrate then because I still often consume chicken. :-(

Itulah sebabnya ketika my FB buddies berkontradiktif menyikapi Idul Adha, aku memilih apatis. Mulai dari status-status yang menaifkan para pengikut Ibrahim (betapa goblog seorang ayah yang bersedia mengorbankan anaknya demi sebutan 'nabi'), betapa goblog mereka yang percaya binatang yang dikorbankan di dunia ini akan menyelamatkan diri ketika menyeberang jembatan di akhirat ini (lha gimana? aku pernah 'percaya' je ... :-D bukankah semua agama meminta para pengikutnya percaya without reserve? iman itu hanya ada percaya dan percaya. ) sampai status para pendukung pengurangan pemotongan binatang demi menyelamatkan bumi. 

Namun akhirnya aku 'terprovokasi' juga menulis komen di sebuah status yang menertawakan para 'veggie' yang dia sebut sebagai 'pahlawan kesiangan'; mosok binatang yang dibela hanya kambing dan sapi maupun kerbau? namun tetap saja  membunuh nyamuk, kecoa dan binatang-binatang kecil lain. 

hadeeeehhhhh .... :-P

PT28 16.58 081111