Search

Tuesday, December 25, 2018

H i j r a h

Entah kapan kata hijrah ini mengalami proses peyoratif.


Akhir-akhir ini kata satu ini mudah diucapkan orang, salah satunya untuk menggambarkan satu kebiasaan baru, misal mengenakan hijab (syar'i) dari semula mungkin tidak berjilbab; atau dari mengenakan jilbab biasa kemudian mengenakan jilbab yang panjang, longgar, dan biasanya berwarna gelap.

Mengapa aku mengatakan peyoratif?

Karena biasanya yang terjadi adalah mereka yang 'hijrah' ini merasa telah mendapatkan pencerahan, dengan kata lain merasa telah menjadi the chosen, plus merasa yang paling berhak untuk masuk surga. Yang mengesalkan dari fenomena ini adalah jika diikuti oleh pandangan merendahkan pada mereka yang tidak berada dalam perahu yang sama; bahkan yang sesama agama pun akan mereka anggap ahlunnaar, alias bakal masuk neraka, jika tidak sevisi dengan mereka.

Kata hijrah yang dulu digunakan oleh Rasulullah SAW untuk masa depan kaum Muslim yang lebih baik, (banyak kisah yang diceritakan bahwa di Madinah Rasulullah tetap bergaul baik dengan mereka yang non Muslim, dan tidak judgmental dengan yang berbeda.) Sekarang kata satu itu akan dibarengi dengan su'udzon pada yang berbeda.

PT56 20.23 25/12/2018

Tuesday, October 16, 2018

Dolan ke Tana Toraja 2

aku dan nte Ria di Bori Kalimbuang


di Lolai, Hesti, Da, nte Ria, aku, Avitt


Kamis 13 September 2018
                                                            
Kita berencana meninggalkan penginapan pukul empat pagi menuju LOLAI, satu daerah yang terletak di ketinggian 1300 mdpl sehingga juga disebut sebagai “Negeri di atas Awan”. Karena akan berangkat pukul empat pagi, tentu saja kita harus mulai melakukan ritual pagi (di kamar mandi lol) sebelumnya.

Well, kenyataannya kita meninggalkan penginapan MARIA menjelang pukul 04.30, ga usahlah ditulis who was the culprit that made our departure late. LOL. Konon, yang menarik di Lolai bukanlah pemandangan matahari terbit seperti di Punthuk Setumbu – Magelang atau Gunung Bromo – Probolinggo, melainkan sekumpulan awan yang elok, yang bisa kita lihat berada DI BAWAH tempat kita berdiri. Tidak heran lah jika LOLAI ini disebut sebagai NEGERI DI ATAS AWAN.

Meski kita baru berangkat pukul 04.30, Lolai terletak tak begitu jauh dari penginapan kita. (Ingat, kita ke Lolai naik mobil, bukan bersepeda. Lol.) Kita pun sampai di Lolai sebelum pukul lima pagi. Suasana masih gelap gulita, dan suhu udara masih cukup dingin, meski tidak sampai membuat gigi-gigi gemeletuk. LOL. Dua sopir kita – om Ali dan om Anto – sangat piawai menyetir mobil meski trek tinggi curam. Berbeda dengan area Gunung Bromo dimana kita harus menyeberangi lautan pasir, di Lolai tak ada lautan pasir.





Di Lolai kita bertemu dengan kawan sesama pehobi sepeda lipat dari Tasikmalaya, om Ayung Lim dkk. Benar-benar banyak peserta jamselinas 8 yang memanfaatkan kedatangan mereka di Makassar untuk sekaligus berkunjung ke Tana Toraja. J

Pagi itu kita kurang beruntung. Saat sang mentari terbit, sekumpulan awan menutupinya. J Namun seperti yang saya tulis di atas, Lolai adalah tempat yang paling pas untuk melihat awan yang berarak di bawah tempat kita berdiri. Semakin siang, awan yang berarak terlihat semakin banyak, pun semakin indah.

Tidak banyak yang kita lakukan disini kecuali berfoto-foto, baik dengan latar belakang awan yang berarak, maupun dengan deretan tongkonan yang Nampak cantik dan semarak. Deretan tongkonan yang terletak tak jauh dari lokasi berfoto ini merupakan ‘guest house’ yang bisa disewa para turis yang ingin menikmati sensasi menginap di dalam rumah adat Toraja sekaligus sensasi kedinginan yang pastinya bakal bikin kita meringkuk lebih dalam semalaman. Lol. Oh ya, selain menyewa tongkonan untuk bermalam, para turis juga diperbolehkan membangun tenda di tempat yang disediakan. Selain itu tentu ada juga kafe tempat ngopi dan menikmati kudapan yang disediakan.

Sebelum pukul 08.00 kita sudah sampai di penginapan MARIA. Kita langsung menuju tempat dimana kita bisa sarapan. Sarapan kita berupa setangkup roti tawar yang diberi margarine dengan satu butir telur rebut. Untuk minum kita bisa memilih teh panas maupun kopi hitam panas.

Usai sarapan, saatnya kita mandi dan berkemas-kemas. Kita harus meninggalkan Rantepao dan kembali ke Makassar.

Sekitar pukul 10.30 WITA kita meninggalkan penginapan Maria, menuju satu lokasi yang disebut sebagai KALIMBUANG BORI. What is it? Well, I myself had no idea. LOL. (Jadi ingat waktu ke Probolinggo bulan Desember 2017. Ranz yang bikin plan, bikin itinerary, dan saya ngikut saja. Kenyataannya saya tetap menikmati dolan ke Gili Ketapang dan BJBR (Bee Jay Bakau Resort).




Dalam perjalanan menuju destinasi wisata yang kadang juga ditulis sebagai BORI KALIMBUANG, saya membayangkan akan mengunjungi satu tempat dimana kita akan menemukan deretan tongkonan. Kebetulan dalam perjalanan menuju Bori Kalimbuang kita beberapa kali melewati kawasan yang ada deretan tongkonannya. Namun, menurut google maps (hahaha … baik om Ali maupun om Anto belum pernah berkunjung ke Bori Kalimbuang, jadi kita menggunakan google maps), kita masih diminta untuk terus dan terus. Mana kita sempat ‘tersesat’ pula dalam perjalanan. Lol.

Hingga akhirnya … kita pun sampai ke lokasi. Bori Kalimbuang terletak di Jalan Poros Barana, kelurahan Bori, kecamatan Sesean, kabupaten Toraja Utara. Letaknya hanya sekitar 5 kilometer dari pusat kota Rantepao. (Namun toh kita sempat tersesat juga. Lol.)

Begitu masuk ke area Kalimbuang, alamaaaak … I LOVE THIS PLACE! Berasa ada di satu kawasan yang mirip STONEHENGE. (judulnya ngarep.com lol.) ratusan batu menhir dengan ukuran beragam tersusun seakan muncul dari bawah tanah dan menjulang tinggi. Ada yang tinggi sekali (jika kita berdiri di sampingnya kita bakal merasa bak liliput) ada juga yang berukuran kecil. Di antar ratusan batu menhir itu, konon yang tertua ditanam pada tahun 1657, warna batunya yang paling gelap. Konon saat itu 100 ekor kerbau disembelih untuk upacara kematiaan Ne’ Ramba. Upacara kematian yang kedua di lokasi ini dilakukan pada tahun 1807 dimana sekitar 200 kerbau disembelih dan 5 buah batu menhir ditanam untuk pemakaman Ne’ Padda’.  

Batu-batu tersebut mewakili tokoh-tokoh bangsawan atau sesepuh adat yang telah meninggal. Upacara adat yang disebut “Rapasan Sapurandan” dilaksanakan sebagai bagian dari proses penanaman batu. Untuk ‘menanam’ batu disini keluarga harus menyembelih minimal 24 ekor kerbau. Untuk ukuran batu, terserah pihak keluarga yang menginginkan jasad satu anggota keluarganya untuk ditanam disini. Namun tentu saja jika memilih batu yang besar, biayanya akan semakin banyak, karena mencari batu yang pas itu tidak mudah, apalagi membawanya menuju Bori Kalimbuang. Butuh bantuan banyak orang sekitar yang berarti butuh banyak biaya.



Selain deretan batu menhir, di lokasi ini kita juga bisa mendapati “Balakkayan”, satu bangunan seperti rumah panggung yang difungsikan untuk tempat membagikan daging sembelihan kerbau maupun bagi dalam ritual yang dikenal dengan sebutan “mantunu”. Selain “balakkayan” disini juga ada “Lakkian” tempat disemayamkannya jenazah selama berlangsungnya upacara kematian. “Lakkian” terbuat dari kayu, bagian atapnya seperti atap tongkonan, seperti perahu. Perbedaan lakkian dari tongkonan adalah ukuran lakkian lebih kecil, serta tidak berdinding, meski juga terdiri dari 2 tingkat. Tingkat atas digunakan untuk meletakkan jenazah, sedangkan tingkat di bawah digunakan untuk tempat duduk anggota keluarga selama upacara pemakaman.



Di daerah yang agak jauh dari tempat ‘menanam batu menhir’ ini, kita bisa mendapati ‘baby graves’ alias tempat memakamkan bayi, setelah melewati tangga batu sekian ratus meter. Bayi-bayi yang belum tumbuh gigi namun sudah meninggal bisa dimakamkan disini, yakni di dalam batang pohon ‘tarra’ yang sudah dilubangi. Setelah jasad bayi dimasukkan ke dalam pohon, lubang pohon ditutup menggunakan ijuk serta pasak-pasak kayu. Konon, lama kelamaan lubang pohon tersebut akan tertutup dengan sendirinya.

Tidak jauh dari lokasi ‘baby graves’ ada tongkonan yang dihiasi dengan 200 tanduk kerbau. Coba bayangkan betapa banyak uang yang harus dikeluarkan untuk dekorasi ini.

Oh ya, di lokasi ini kita bertemu dengan rombongan ‘bikeberry’ komunitas sepeda lipat dari Surabaya. Mereka baru sampai di Tana Toraja! Jika dari Bori Kalimbuang kita berencana balik ke Makassar, mereka baru akan ke Londa dan keesokan hari ke Lolai. J

Setelah kita merasa cukup (bagi saya pribadi belum, lol) kita kembali ke arah pusat kota Rantepao. Kita makan siang di satu rumah makan Surabaya. Ternyata letaknya tidak jauh dari penginapan Maria tempat kita menginap semalam. (yaaah … Rantepao mah Cuma ‘segitu’ luasnya. Hihihi …)




Usai makan siang, om Ali dan om Anto mengarahkan mobil ke jalan poros Makale, untuk kembali menempuh jarak ratusan kilometer yang akan kita tempuh selama  8 jam, menuju Makassar. Namun sebelumnya kita ingin mampir dulu ke Buntu Burake dimana para turis bisa melihat patung Yesus dalam ukuran raksasa di atas bukit.

Sesampai di patung Selamat Datang Toraja, ada sedikit salah komunikasi. Mobil om Anto tidak mengarah ke Buntu Burake, namun langsung menuju luar kota. Setelah berkoordinasi lewat hape, dua mobil kita beriringan menuju Buntu Burake.


Buntu Burake terletak di atas bukit, trek menuju kesana cukup bikin hati keder, curam dan berkelok-kelok. Duh, kalo bersepeda kesini ogah lah. Lol. Kalau di Semarang ini sedikit mirip tanjakan awal naik jalan Papandayan, tapi trek seperti itu terus menerus tanpa henti. Lol. Ngilu nih dengkul mbayangin nanjak Buntu Burake naik sepeda. Hahahahah …

Sesampe Buntu Burake, kembali kita bertemu rombongan pehobi sepeda lipat dari Jakarta. Wuiiiih … banyak banget yaaa. Thanks to Jamselinas 8, Tana Toraja jadi dikunjungi tambah banyak turis domestik. Kita pun heboh foto-foto bareng. LOL.


Ternyata Buntu Burake masih dalam kondisi sedang dibangun. Masih banyak yang harus dibenahi disana sini, termasuk areal parkir. Masih di daerah yang sama, namun arah yang berbeda juga ada ‘Goa Maria’ namun trek menuju kesana belum beraspal, masih jalan batu-batu. Dan … karena kita sudah cukup kelelahan, mana masih harus menempuh perjalanan 8 jam lagi, (padahal kita Cuma tinggal tidur dalam mobil, om Ali dan om Anto yang ‘berjuang’ nyetir. Lol) kita ga lama berkunjung kesana. Setelah foto-foto, kita langsung kembali ke mobil, melanjutkan perjalanan.

Ada sedikit masalah dalam perjalanan balik ke Makassar. Om Ali yang tidak bisa menyetir mobil dalam kecepatan sedang (harus ngebut dia lol), dengan cepat meninggalkan mobil yang disetir om Anto. Sampai di satu lokasi, (mungkin kita baru menempuh jarak kurang lebih 60 kilometer), om Anto menelpon mengabari jika salah satu ban mobilnya meletus. Waktu ditanya dimana lokasinya, om Ali bilang jarak kita terpaut 20 kilometer! Hwaaaa … lol. Om Anto meminta kita balik ke arah mereka. Tapi gelinya, setelah kita sampai kesana, mobil yang disetiri om Anto sudah siap melanjutkan perjalanan. Lol. Om Ali bersungut-sungut lah. LOL. Sebelum melanjutkan perjalanan, om Ali meminta om Anto berada di depannya. Ini berarti om Ali harus mencoba nyetir mobil dengan kecepatan sedang. Lol.

Mobil yang saya naiki – disetiri om Ali – kembali berhenti ketika kita tak lagi melihat mobil yang satunya. Setelah menelpon, kita baru menyadari bahwa kembali mobil yang disetiri om Anto tertinggal jauh di belakang. Hahahahahah …

Di Pare-Pare kita berpisah dengan om Ali yang ternyata tidak bisa mengantar kita sampai Makassar. Om Ali diganti seorang kawannya, tapi saya lupa namanya. J

Akhirnya kita sampai di hotel tempat kita menginap di Makassar menjelang pukul dua dini hari, Jumat 14 September 2018. Alhamdulillaaah … 

To be continued ...

Friday, September 28, 2018

Dolan ke Tana Toraja



DOLAN SULAWESI

Barangkali magnet Sulawesi jauh lebih kuat ketimbang Bangka bagi kawan-kawan dan juga saya. Ini mengingat ketika kita memutuskan bergandeng tangan saling mendukung untuk menghadiri jamboree sepeda lipat nasional a.k.a jamselinas kedelapan yang diselenggarakan di Makassar pada pertengahan bulan September 2018. Satu hal yang tidak kita lakukan ketika kita tahu bahwa jamselinas keenam diselenggarakan di Bangka. J

Namun barangkali karena keterikatan kita satu sama lain saat itu (September 2017) terasa sangat kuat setelah kita sama-sama bekerja bersama mewujudkan kesuksesan penyelenggaraan jamselinas ketujuh. Sedangkan di tahun 2015 ketika kita tahu bahwa jamselinas keenam akan diadakan di Bangka kita tidak merasakan hal yang sama. J

Well, apa pun trigger-nya, saya dan kawan-kawan telah sukses mewujudkan impian kita bersama untuk dolan ke Sulawesi bareng-bareng, baik untuk menghadiri jamselinas kedelapan maupun untuk jalan-jalan ke Tana Toraja.

TANA TORAJA

Alhamdulillah bahwa saya dan beberapa kawan diberkahi kemudahan untuk meninggalkan tempat kerja selama beberapa hari untuk berpetualang ke Tana Toraja. Meski ternyata Tana Toraja terletak lumayan jauh dari Makassar, kota dimana jamselinas kedelapan diselenggarakan. Kenyataan ini tidak menciutkan nyali kita. Mengapa Tana Toraja? Saya pikir pasti banyak orang yang mengerti mengapa Tana Toraja begitu eksotis meskipun cukup mistis. J Tana Toraja memiliki kekhasan destinasi wisata yang tidak dimiliki daerah-daerah lain: goa Londa yang dimanfaatkan sebagai kuburan.

Selasa 11 September 2018

Pada hari Selasa 11 September 2018 8 orang pehobi sepeda lipat berangkat menuju Makassar, dibagi menjadi dua kloter; 4 orang berangkat pukul empat sore WIB (Tayux, Da, Iffan dan Desi); 4 orang lain berangkat pukul delapan malam WIB (Ranz, Hesti, Avitt dan saya). Sesampai bandara Sultan Hasanuddin, tentu saja Tayux dan Da memiliki tujuan yang sama dengan rombongan saya, menunggu kehadiran kami. Sementara itu, Iffan dan Desi yang ingin menikmati keelokan pantai Tanjung Bira telah memisahkan diri dari Tayux dan Da. 

dengan wajah lusuh, sesampai bandara Sultan Hasanuddin

Malam itu kita tidak hanya berenam, nte Ria yang berangkat dari Jakarta turut bergabung dengan rombongan yang akan ke Tana Toraja. Kita bertujuh dijemput dua mobil, yang pertama disetiri oleh Om Ali (dalam mobilnya ada saya, Ranz, dan nte Ria; mobil yang kedua disetiri oleh Om Anto, Tayux, Da, Hesti dan Avitt ada di dalamnya.

Hampir pukul 23.30 WITengah kita meninggalkan bandara menuju arah Tana Toraja. Dalam perjalanan saya terheran-heran melihat masih banyak toko yang buka. Di satu toko yang berjualan oleh-oleh kita diajak mampir, bukan untuk belanja, (orang kita juga baru sampai. Mosok sudah mau beli oleh-oleh. Lol.) namun untuk mencicipi roti khas daerah situ dan teh hangat yang disediakan gratis untuk para pelancong. Wow. 

Setelah mampir di toko itu, tak lama kemudian saya tertidur ketika mobil melanjutkan perjalanan. Mata saya yang minus tentu tidak bisa melihat kondisi di luar yang gelap gulita, lol, plus setiap dalam perjalanan saya selalu diserang rasa kantuk. Lol. Saya tahu beberapa kali mobil berhenti entah mampir dimana, tapi saya tetap lanjut molor. Lol. Nte Ria yang duduk di depan, disamping om Ali juga tidur nyenyak (nampaknya nyenyak sih. Lol.) sedangkan Ranz yang duduk di samping saya sering ikut turun dari mobil ketika mobil berhenti.

Rabu 12 September 2018

Hingga menjelang pukul enam pagi WITengah hari Rabu mobil berhenti di satu toko oleh-oleh sekaligus rumah makan. Ranz mengajak saya turun karena katanya pemandangan di belakang rumah makan itu bagus sekali. Dengan langkah terseok-seok saya mengikuti Ranz. Karena rumah makan itu tidak besar ukurannya, hanya dalam beberapa langkah ternyata kita sudah sampai di ujung belakang dimana kita langsung disuguhi pemandangan Gunung Nona yang spektakuler! Di bawah terletak jurang yang cukup dalam dan hamparan pegunungan yang bentuknya mirip satu sama lain Nampak cantik sekali. Kabut masih menyelimuti beberapa area, meski tidak mengurangi kecantikannya. Hawanya? Sangat sejuk! 

Kawasan ini disebut Enrekang





Disini saya memesan teh panas untuk melegakan tenggorokan. (sebelum meninggalkan Semarang, saya sudah terserang batuk-batuk yang cukup mengganggu kenyamanan. L) yang lain ada yang pesan kopi, selain mi rebus instan. 

Sekitar pukul tujuh kita melanjutkan perjalanan. Saya pikir Tana Toraja sudah cukup dekat dari kawasan itu. Namun ternyata kita baru sampai Rantepao – ibu kota Toraja Utara – dua jam kemudian. LOL. Jauhnyoooooooo. LOL.

Yang pertama kita lakukan adalah mencari penginapan yang cukup murah namun nyaman untuk kita beristirahat. Di hotel MARIA 1 itu kita menyewa empat kamar; saya, Ranz dan nte Ria satu kamar; Avitt dan Hesti satu kamar, Tayux dan Da satu kamar, yang satu kamar lagi untuk Om Ali dan Om Anto. Setelah mandi dan ganti baju, saya mengajak Ranz dan nte Ria jalan-jalan ke sekitar situ. Saya butuh membeli celana panjang / kulot untuk ganti. 

becak motor ala Tana Toraja

penampakan pusat kota Maleo, TaTor



Berempat bersama Da kita berjalan-jalan santai. Ternyata tak jauh dari situ ada pasar tradisional. Kita tidak bemaksud membeli apa-apa di pasar tradisional ini, hanya jalan-jalan saja. Namun ternyata tak jauh dari situ ada deretan toko-toko yang berjualan oleh-oleh khas Tana Toraja, mulai dari gantungan kunci, tas, selendang atau slayer, sampai kaos-kaos yang bertuliskan TORAJA maupun TANA TORAJA. Dan, meski kita baru saja sampai di Rantepao ini, dan belum berkunjung kemana-mana, kita berempat belanja kaos dll untuk orang rumah. LOL. 

Sekitar pukul 12 WITA kita kembali ke penginapan. Setelah yang lain siap, kita keluar lagi untuk makan siang di satu rumah makan yang terletak tak jauh dari situ. 

LONDA

dengan latar belakang bukit Patabang Bunga
 Sekitar pukul 14.15 kita meninggalkan rumah makan menuju Goa LONDA. Kita beruntung diantar oleh Om Ali dan Om Anto yang meski orang Pare-pare lumayan mengenal daerah Rantepao ini sehingga tidak butuh waku lama, kita telah sampai Londa. Menjelang sampai tempat pakir destinasi wisata satu ini kita melihat rombongan mengenakan jersey GOSBASTER dengan sepeda lipat mereka. Wahhh … ternyata ada juga peserta jamselinas 8 yang memiliki ide yang sama dengan kita, yakni dolan dulu ke Tana Toraja. Bedanya adalah jika kita benar-benar piknik sehingga merasa tidak perlu mengeluarkan sepeda lipat dari mobil (sebagian sepeda lipat masih dalam kondisi terbungkus, sebagian yang lain dalam tas). 7 orang yang mengenakan jersey GOSBASTER itu ke Londa dengan naik sepeda! Wow. J Kita sempat ngobrol-ngobrol sebentar sebelum kita membeli tiket dan masuk ke pelataran Londa.









Harga tiket Rp. 15.000,00 per orang. Ketika kita bertujuh berjalan menuju goa Londa, ada seorang pemandu yang menawarkan diri menyewakan lampu petromaks. Kita setuju untuk menyewa 1 lampu petromaks. Lampu ini sangat berguna untuk menerangi ketika kita masuk ke dalam goa. 

Goa Londa terletak di kawasan bukit Patabang Bunga. Hawanya cukup sejuk meski matahari bersinar terik. Mendekati pintu masuk goa, kita ‘disambut’ oleh sederet tau-tau atau patung yang dibuat persis orang yang sudah meninggal dan peti matinya diletakkan di dalam goa. Agar seseorang yang sudah meninggal bisa dibuatkan patung dan didandani persis seperti dirinya kala masih hidup, keluarganya harus mengadakan upacara adat tertentu dengan menyembelih kerbau dalam jumlah tertentu. Selain deretan tau-tau, kita juga bisa melihat peti mati peti mati yang digantungkan di bukit, di atas pintu goa. Kata si bapak pemandu, di atas goa yang akan kita masuki ada lokasi lain yang digunakan untuk kuburan. Semakin tinggi strata social sebuah keluarga, semakin tinggi lokasinya. Ini mengingat kadang keluarga ikut serta memasukkan barang-barang berharga kesayangan anggota keluarga yang sudah meninggal di dalam peti hingga jika lokasinya tinggi akan sulit dijangkau mereka yang berniat menjarah. 

Setelah memasuki goa, kita bisa mendapati banyak tengkorak dan juga peti mati peti mati lain yang diletakkan di dalam goa. Sang pemandu memberi informasi bahwa lokasi di dalam goa telah terbagi sedemikian rupa sehingga di satu lokasi yang sama, peti mati peti mati dan tengkorak yang ada milik satu keluarga. Lokasi lain milik keluarga yang lain. Dengan ini mudah bagi keluarga yang masih hidup ketika akan melakukan ziarah karena kuburan para pendahulu mereka tidak berserakan. Jika kita melihat ada rokok, kaleng (minuman) dll di dekat peti mati atau tengkorak itu bukanlah orang yang membuang sampah sembarangan, namun merupakan sesaji. 

Kita meninggalkan Londa sekitar pukul 15.40. dari Londa kita melanjutkan perjalanan menuju Ke’te Kesu. Kita sampai di Ke’te Kesu sebelum pukul 16.00 karena memang jaraknya tidak terlalu jauh dari Londa (dan kita naik mobil, bukan sepeda. Lol.) Harga tiket masuk juga Rp. 15.000,00 per orang. 

KE’TE KESU

Ke’te Kesu dikenal sebagai objek wisata tempat wisatawan bisa melihat rumah adat Toraja dari dekat. Salah satu dari deretan tongkonan (nama rumah adat Toraja) ada satu yang berfungsi sebagai museum. Di dalamnya kita bisa melihat foto-foto yang berkaitan dengan adat Toraja. Namun kita tidak masuk ke dalamnya dengan dua alasan. Pertama, kita harus membayar (lagi) sejumlah sepuluh ribu rupiah per orang. Kedua, saat itu museum dalam kondisi terkunci, yang bertugas menjaganya sedang keluar. Akhirnya kita hanya foto-foto disitu.












Setelah cukup puas berfoto-foto, kita menuju satu tempat dimana ada petunjuk ‘KUBURAN BATU’. Karena penasaran, aku kesana, diikuti oleh Ranz. Setelah berjalan menuruni tangga sekitar 300 meter, kita menemukan bukit yang juga dimanfaatkan untuk kuburan. Jika ingin ke kuburan batu itu, kita harus menapaki tangga ke atas. Karena yang lain tidak ada yang mengikuti kita, dan tidak ada pemandu yang bisa menjelaskan ini itu kepada kita, Ranz mengajak sayakembali ke deretan toko-toko yang menjual berbagai cendera mata, di dekat deretan tongkonan tempat kita berfoto-foto sebelumnya.

Setelah puas berbelanja beberapa jenis merchandise, kita kembali ke penginapan. Dan ternyata, sesampai penginapan, aku dan nte Ria sama-sama teller, jadi kita tidur. Lol. Sekitar pukul Sembilan malam WITA kita bangun, nte Ria kelaparan, sehingga dia mengajak saya menyusul yang lain. Yang lain sedang jalan-jalan mencari tempat ngopi. :D malam itu kita makan nasi goreng di satu lapangan sejenis alun-alun, tak jauh dari penginapan. 

To be continued.

LG 15.15 28092918