Search

Monday, July 31, 2023

Berproses menjadi post feminist

 


Well, sebagai seseorang yang dalam hidupnya berproses, tentu aku pun mengalami proses dalam memahami 'feminisme' (baca -> satu ideologi yang mengusung 'persamaan' hak antara laki-laki dan perempuan). 'gerakan' ini muncul di pertengahan abad 19 di Eropa, yang kemudian dibawa menyeberang ke Amerika. Gerakan ini dimaksudkan untuk 'memasyarakatkan' pandangan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan lelaki. Hak-hak ini mengacu ke hak untuk bersekolah, bekerja (terutama bekerja di luar rumah), dan juga hak untuk turut serta dalam pemilu. Ini mengingat bahwa sebelum masuk abad ke-20, perempuan-perempuan kelas menengah jarang mendapatkan privilese untuk bersekolah. (apalagi kelas bawah, utopia banget.) Hanya perempuan-perempuan dari keluarga kaya raya yang bisa membayar tutor (yang diundang ke rumah) yang mendapatkan kesempatan untuk bersekolah. Sebaliknya, perempuan-perempuan dari keluarga kaya raya ini dianggap tidak perlu bekerja; sedangkan perempuan-perempuan dari keluarga miskin jelas harus tetap bekerja untuk sekedar survive. Pekerjaan jenis apa? Jelas pekerjaan-pekerjaan kasar yang tidak memerlukan pendidikan tinggi.

 

Sedangkan hak untuk turut serta memilih dalam pemilu diperjuangkan untuk semua perempuan dari segala kalangan, dikarenakan perempuan waktu itu dianggap kurang cukup cerdas (atau kurang memiliki pengetahuan) maupun matang dari segi emosional untuk turut memilih.

 

Jika di kemudian hari gerakan feminisme ini bisa dikategorikan ke banyak jenis (misal: feminist liberal, feminist radikal, feminist Marxist, dll) kita tidak bisa mengelak dari kemungkinan bahwa banyak orang menghasilkan banyak jenis isme. Bagi orang yang kurang kerjaan (atau orang-orang yang 'usil' lol), mereka tentu akan suka membenturkan jenis-jenis feminisme ini.

 

Dan dari banyak jenis feminisme itu, akhirnya ada yang 'leading' ke post-feminism. Mengapa? Seperti yang kukatakan di atas, orang-orang berproses. Aku pun. Jika di awal aku mempelajari feminisme, aku bisa dengan keukeuh mengatakan bahwa seorang perempuan yang feminist itu tidak boleh bergantung kepada orang lain -- misal suami. Dia harus mampu mandiri, misal di bidang finansial. Namun di kemudian hari, aku berpendapat bahwa yang penting lagi adalah seorang perempuan tahu apa yang dia inginkan dalam hidupnya, mengambil keputusan sendiri apa yang akan dia lakukan dalam hidupnya. Inilah point utama dalam feminisme, in my two cents.

 

Ketika menilik kembali tulisanku di link ini maupun yang ini, aku menyadari bahwa aku pun telah masuk ke kelompok post feminism, tanpa aku merasa perlu 'berpindah' ke ideologi selanjutnya. 😛

 

Bagaimana dengan praktek poligami?

 

Di satu tulisanku di blog, aku pernah menulis bahwa poligami bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang haram. (baca tulisanku di sini.) namun, seperti konon para ahli agama bilang, perceraian itu boleh, meski sangat dibenci Tuhan. Begitulah aku memandang poligami. Aku tidak menyukai (pelaku) poligami -- terutama mereka yang bersembunyi di balik ayat-ayat alquran demi merayakan nafsu syahwatnya -- namun apa yang bisa kulakukan, jika tetap ada yang mempraktekkannya, dan ada pihak-pihak yang diuntungkan dari praktik ini, plus tidak ada pihak yang dirugikan, just go ahead.

 

PT56 12.37 31.07.2023

 

P. S.:

no need to confront feminism ideology versus post feminism ideology, do you agree with me? 😄

I am not a feminist, I am a humanist

Below is not my writing, it was written by one dearest friend of mine on facebook, 11 years ago, July 2012. She wrote it to respond my writing here.


"Aku bukan seorang feminist," 

 

Dengan santai kukatakan kalimat itu, yang segera disambut dengan seruan tak percaya dari teman-temanku. Bahkan ada yang bernada marah.

 

Saat itu kami berlimabelas sedang duduk di sekitar api unggun, di bawah langit yang berkilau permata, beberapa ratus kilometer dari kehidupan moderen.  Lima belas orang, 6 perempuan dan 9 lelaki, yang benar-benar beragam, usia, warna, agama dan orientasi-orientasi yang menempatkan kami pada kotak-kotak yang berbeda dalam peradaban. Dua pasang suami istri berusia awal 40an, satu berkewarganegaran Amerika, anggota gereja Baptist, yang satu lagi dari Swiss menganut agama Buddha.  Sepasang pasangan kekasih dari Jepang, mengaku atheist, dan sepasang lagi pasangan gay dari Inggris, Jason dan Adrian si tampan yang sempat membuatku menoleh dua kali.  Selebihnya, adalah kami tujuh orang tanpa ikatan, 2 perempuan dan 3 laki-laki asli Australia, satu lelaki Brazil bermata hijau dan perempuan berkulit coklat bernama Dita, aku.  Satu-satunya persamaan yang ada pada kami adalah kecintaan pada alam terbuka, telinga kami senantiasa rindu akan penggilan mengenal sang Bunda lebih mesra.  Malam ini adalah malam terakhir penjelajahan kami belahan utara bumi Australia yang jelita dalam keliarannya.

 

Aku tak ingat persis apa topik awal pembicaraan kami malam itu, tapi yang jelas topik ini menghangat, seperti selalu, ketika membicarakan tentang perempuan, keberadaannnya, kedudukannya dan perjuangannya dalam mencapai kesetaraan gender. Kami berlima belas, memiliki beragam pendapat dalam hal ini, walau pada dasarnya ada kesepakatan tentang perempuan sebagai mahkluk yang tak mungkin dipingirkan lagi.  Aku tidak ikut menyumbang pendapat dalam diskusi yang kadang membelok ke arah perdebatan yang bersahabat ini, karena, pasti banyak yang tidak percaya, aku ini sebenarnya orangnya pendiam dan pemalu.

 

Karena itu, agak tergagap aku, ketika pertanyaan dilontarkan padaku tentang bagaimana pendapatku tentang gerakan feminisme.

 

"Aku bukan feminist," Begitu jawabanku.

 

"Bullshit!, "salah seorang berkata. Ah, ya, Kylie si rambut pirang yang tak pernah segan mengemukakan pendapat, entah diminta atau tidak.

 

"Kamu adalah perempuan yang paling merdeka yang pernah kukenal. Aku tahu tulisan-tulisanmu selalu mempertanyakan ketakadilan dan ketaksetaraan yang dialami perempuan.  Dan aku tahu kegetiranmu setiap kali kamu mendengar kisah-kisah dari perempuan-perempuan teraniaya di shelter tempatmu bekerja". Itu si Darren, kawan lama yang mengajak aku serta dalam petualangan kali ini.

 

Aku hanya nyengir, sangat tak nyaman merasakan 14 pasang mata menatapku menunggu penjelasan.

 

"Aku bukan penentang feminisme, jangan salah sangka.  Aku bisa seperti sekarang ini tak lepas dari kiprah para pejuang feminisme itu,"Kataku perlahan, sadar akan betapa sederhananya aku dibandingkan beberapa anggota kelompok ini yang menyandang gelar-gelar tinggi kependidikan.

 

"Feminisme, adalah serangkaian pergerakan dan ideologi yang bertujuan memberi definisi, memperjuangkan tempat dan hak kesetaraan perempuan dalam hukum, pekerjaan dan pendidikan.  Suatu usaha yang luar biasa, yang bisa kita lihat dampaknya di seluruh dunia. Suatu perjuangan yang masih belum selesai dan masih mendaki jalan yang curam."

 

"Namun, feminisme, juga menciptakan pengkotakan baru dalam belantara manusia yang sudah terlalu banyak terkoyak oleh berbagai isme lain"

 

Perempuan Jepang berwajah teduh itu menatapku. Katanya,"Jadi menurutmu, feminisme itu tidak perlu?"

 

Aku menggeleng, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang ada di dalam benakku.

 

"Gerakan feminisme itu mulia, mencoba mengangkat derajad perempuan, yang di sebagian besar kebudayaan dunia, dianggap sebagai mahkluk kelas dua.  Hanya kembang kertas yang dipakai untuk hiasan, bisa dibuang ketika layu. Hanya seperti sarana untuk menghadirkan manusia-manusia baru ke dunia ini. Karena gerakan feminisme, di berbagai penjuru bumi, perempuan bisa mendapatkan pendidikan, bisa bekerja, bisa mempunyai hak pilih dalam politik, bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Mulia, sungguh!"

 

Semua mengangguk setuju.

 

"Tapi lain pihak, gerakan feminisme menempatkan perempuan pada posisi berseberangan dengan lelaki.  Us against them.  Yang tertindas melawan yang menindas.  Terkadang mengalienasi diri bahkan terhadap perempuan juga.  Bukankah kita sering mendengar perdebatan yang bersifat cela mencela, antara perempuan yang bekerja berhadapan dengan perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga misalnya?  Kesalahkaprahan, memang, tapi itu terjadi."

 

Hanya suara angin gurun, dan derak detak kayu terbakar api unggun yang terdengar.

 

"Seandainya, sejak awal, manusia memandang sesamanya sebagai sesama mahluk yang setara, yang saling membutuhkan, yang saling menghormati, yang saling mengasihi, tanpa mempermasalahkan perbedaan jenis kelamin.... sama halnya dengan tak membedakan warna kulit, agama, orientasi seksual, ... tentunya kita tak perlu berdiri berhadapan dalam posisi antagonis seperti ini. Perempuan dan laki-laki seharusnya tak berposisi bersebarangan, tetapi bersisian.  Tak bertentangan, tapi bahu membahu."

 

"Aku bukan feminis, aku memilih menjadi humanis.  Dengan segala keterbatasanku, aku ingin memperjuangan kesetaraan manusia, lepas dari kotak-kotak yang merupakan ciptaan ratusan tahun peradaban itu."

 

Serentak terdengar beberapa pendapat, entah mengiyakan ataupun menentang, aku tak perhatikan lagi, karena kantuk perlahan membuat kelopak mataku berat.  Tapi dalam hati sempat terlintas pemikiran, apakah aku terlalu utopian?  Apakah aku ini pemimpi?

Saturday, July 29, 2023

L A B E L

 


Pertama kali medsosan -- facebook terutama, di tahun 2009 -- aku memang sengaja membentuk 'label' ini: aku ingin orang-orang mengenalku sebagai seorang feminis. Itu sebabnya aku sering mengunggah (ulang) artikel-artikel yang aku tulis di blog di 'note' facebook yang berhubungan dengan feminisme. I did it intentionally. Ini di awal-awal aku main facebook ya. You can say I was like I wanted to change the world! Lol. I wanted my facebook 'friends' to understand feministic point of view so that the equality between men and women was 'quickly reached'. (utopia banget ya? Hahaha)

 

Kegelisahan sebagai seorang feminist ini pun 'menjalar' ke kegelisahan cara pandangku pada agama. (FYI, aku 'menjadi' seorang agnostik juga bermula dari membaca buku-buku tentang feminisme.) orang-orang yang merasa mengenal 'The Absolute Truth' dari agama yang mereka anut ini 'harus' mengenal cara pandang yang lain. Hanya satu keinginanku: orang-orang saling menghormati kepercayaan masing-masing.

 

Jika kemudian kawan-kawan facebook juga mengenalku sebagai pesepeda -- entah sebagai bike-to-worker maupun tukang dolan pitpitan -- ini adalah satu konsekuensi dari postingan-postinganku tentang sepedaan. I did it accidentally.

 

Satu ketika, mendadak namaku viral di facebook -- hingga 'menyeberang' ke instagram juga -- karena sesuatu hal. Ini berhubungan dengan cara pandangku sebagai feminist sekaligus sebagai seorang agnostik. Nampaknya kejadian ini membuatku sadar betapa utopis keinginanku untuk 'mengubah dunia', minimal dunia orang-orang yang terhubung denganku di facebook. Hingga aku -- tanpa aku sadari -- tak lagi menulis status-status tentang feminisme ini. Dan, semakin banyak 'teman maya' di facebook yang ada di friendlist, aku pun semakin selow: sudah semakin banyak orang yang memahami the equality between men and women. So? Nyantai saja lah.

 

Hal ini membuatku berpikir bahwa kawan-kawan facebook yang terhubung denganku dua-tiga tahun terakhir tidak tahu tentang aku yang feminis (plus agnostik). (Oh ya, satu kali, aku mengunggah tulisan di grup alumni tentang pandanganku pada agama, yang membuat sebagian orang tahu aku ini agnostik, beberapa teman menulis komentar, "Kamu berani sekali sih mbak mengaku sebagai agnostik? Aku ini agnostik in practice, tapi enggan mengakuinya di depan publik.")

 

Beberapa minggu yang lalu, gegara tulisanku tentang Chuando Tan, ada kawan yang menulis komen, "yuk mumpung di lapak mbak Nanna, kita bebas menulis pandangan kita tentang hak-hak perempuan, apa saja, ga bakal diomelin yang punya lapak." aku heran, kok mereka tahu ya aku ini feminis? Dan barusan kemarin seorang kawan mengundangku ke satu acara yang juga berhubungan dengan hak-hak perempuan, bilang, "mbak, aku sangat berharap mbak Nanna datang. You are very sharp in this topic."

 

Nah ini. Ternyata, nampaknya, di jidatku ini telah tertulis "NANNA SANG FEMINIS" tanpa aku perlu menulis status atau kepsyen tentang feminisme. Haha …

 

MS48 10.38 29.07.2023

 

Friday, July 28, 2023

Carried Away

  


Di satu postingan akun @penerbitkpg, sang admin bertanya apakah para followernya pernah begitu terbawa suasana tema buku yang dibaca sehingga menangis. Kebetulan beberapa hari lalu aku habis membaca tulisanku sendiri di sini. Well, aku mungkin memang sudah cocok masuk di komunitas Kagapi alias Kagama tapi pikun, lol. Kalau aku tidak menulisnya di situ, aku lupa bahwa aku pernah membaca sebuah cerpen di pinggir sungai, dan kemudian menangis terguguk gegara tema cerpen yang menyentuh hati.

 

(Well, Iksaka Banu sebagai penulis kisah yang berdasarkan sejarah tidak begitu saja menulis satu cerita, I believe. Pasti dia telah membaca satu literatur yang mengisahkan hal-hal yang mirip yang dia tulis di cerpen berjudul "Semua untuk Hindia" itu.)

 

Seperti yang aku tulis di satu status di media sosial, aku ini a slow reader. Saat membaca, aku biarkan otakku berpikir ke sana ke mari, menghubung-hubungkan apa yang aku baca dengan apa yang aku punya di 'otak', eh, 'ingatan'. Maka, maklumlah, jika aku bisa butuh waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan membaca sebuah novel. (Meski pernah juga aku selesai membaca sebuah novel hanya dalam hitungan kurang lebih 8 jam, saking 'ringannya' topik novel yang kubaca. Haha …)

 

Hal yang sama dengan saat menonton film yang aku suka. Misal: film seri SEX AND THE CITY. Sudah beberapa artikel aku tulis di blog berdasarkan topik beberapa episode yang aku tonton (berkali-kali). I am oftentimes carried away by the stories.

 

THE AGONY AND THE 'EX'TASY

 

Semua penggemar SATC pasti tahu hubungan Carrie dan Big yang on/off beberapa kali di season 1 - 6. Di episode pertama season 4 ini, mereka sedang 'off' relationship. Dikisahkan di episode itu, Carrie akan berulangtahun yang ke-35. Di satu percakapan -- saat keempat sekawan itu sedang makan siang bersama, Carrie mengatakan perasaannya: "I feel so lonely knowing that I have no one I call a soul mate. Now that I am nearing 35 years old, I even feel more miserable." Karena kebetulan keempatnya sedang 'kosong' saat itu, mereka pun saling menguatkan. (well, kecuali that warrior Samantha! You know her! Haha …)

 

Untuk menghibur Carrie, Samantha mempersiapkan small birthday celebration, dengan memesan satu meja dan beberapa kursi di malam ultah Carrie, di satu resto. "Call and invite Big to come. You two are friends now, right?" kata Samantha. Carrie benar-benar menelpon Big. Sayangnya saat itu, Big dikisahkan sedang berada di London for some business.

 

Malam itu, ternyata tak satu pun datang ke resto yang telah dipesan oleh Samantha, kecuali Carrie sendiri. Everybody else was trapped in some things: traffic, job, etc. Saat meja sebelah juga sedang ada perayaan ulang tahun, Carrie felt discarded, alone, lonely.

 

Big and Carrie

 

Luckily saat pulang ke apartment-nya, Carrie melihat mobil yang ditumpangi Big berhenti di depan. Big membawakannya beberapa balon berwarna merah, mungkin sebagai ganti a bunch of flowers, dan sebotol champagne. Mereka ngobrol sebentar di dalam mobil Big.

 

Carrie: "How do you feel about 'soul mates'?"

Big: "I like the word 'soul'. I like the word 'mate'. Other than that, you got me."

 

For sure, Big's coming, although very late, and only for a while, had made that day a fabulous day for Carrie.

 

Tiba-tiba aku jadi ingat satu episode -- entah lupa episode berapa, season berapa -- ketika Carrie dan Miranda merasa tidak bisa berteman dengan their ex boyfriends. Di episode 1 season 4 ini, kita melihat bahwa Carrie dan Big 'akhirnya' bisa 'berteman'. Apakah karena diam-diam mereka masih saling mencintai dan saling mengharapkan untuk bisa kembali menjalin kasih?

 

Well, anyway, konon memang Candace Bushnell memilih Big untuk menjadi Carrie's last boyfriend, bukan Aidan, apa lagi Berger, lol. "Because my mother doesn't like Aidan!" kata Bushnell, lol. "Aidan is just so not for Carrie."

 

PT56 16.55 28.07.2023

Thursday, July 27, 2023

'Menembak

 


Satu ketika dulu, long long time ago, Angie pernah bertanya padaku apakah boleh seorang perempuan 'menembak' terlebih dahulu. Aku jawab boleh saja, mengapa tidak? Kemudian dia bilang, "Tapi kan malu Ma kalau ditolak?" aku jawab, "Yaaa mungkin saja malu. Apakah kamu pikir lelaki yang menembak kemudian ditolak itu ga malu? Ya sama sajalah."

 

Meski aku menjawab seperti itu, aku sendiri seumur-umur belum pernah nembak cowo.  Naksir cowo duluan ya pernah, tapi paling-paling yang kulakukan ya hanya sekedar memberi sinyal-sinyal tertentu. Misal, saat duduk di bangku SMP dulu, aku sengaja nongkrong di rumah seorang bestie sepulang dari sekolah demi menunggu cowo yang aku taksir lewat untuk say hi dari kejauhan.

 

Did it work?

 

Well, dia tahulah aku naksir dia. Entah dia naksir aku atau tidak di awalnya, lol, tapi akhirnya kami jadi akrab, tanpa salah satu pun dari kami yang nembak. Hohoho … Dia adik kelasku 2 tingkat. Sayangnya waktu SMA, dia tidak melanjutkan sekolah dimana aku bersekolah. Tapi kami tetap kept in touch. Aku kadang dolan ke rumahnya, kedua orangtuanya sudah mengenalku dengan baik. Lulus SMA, aku lanjut kuliah ke Jogja, dia masih SMA. Dua tahun kemudian, saat dia akan lulus SMA, aku menyempatkan diri mampir ke rumahnya saat pulang ke Semarang. Waktu aku bertanya dia akan melanjutkan kuliah dimana, to my surprise dia bilang mau nikah saja. What the … lol. Dan ibunya membenarkan, anak lelakinya itu ingin ibunya melamarku. Aku jawab bahwa aku belum ingin menikah, aku ingin lulus kuliah dulu.

 

Dan, setelah itu kami malah putus hubungan. Lol.

 

Dengan bokapnya Angie, dia yang menembakku duluan. In case you, the readers of my blog, wanna know. Lol.

 

*******

 

Di dunia maya, aku mengenal ada tipe lelaki yang suka flirting, nekad nembak, namun tetap tebar pesona pada perempuan-perempuan lain. (FYI, aku medsosan setelah menginjak usia 40an ya, berarti sudah cukup matang.)  lelaki satu ini nekad nembak, dan memaksaku untuk menerimanya, Dan … sok kegantengan pula, perempuan yang dia flirt banyak! Lol. Beberapa perempuan bercerita padaku tentang hal ini, hahaha. Aku akhirnya unfriend dia saja, dari pada bikin rusuh di wall-ku, lol. Oh ya, dia sudah menikah! Dan dengan terang-terangan di akunnya, dia menulis "hobi jatuh cinta namun susah untuk setia." sangar kan? Wkwkwkwk …

 

Namun aku juga mengenal beberapa lelaki yang suka flirting tapi ga berani nembak. Sekitar 10 tahun yang lalu ada seseorang yang kadang flirting aku, di medsos. Saat bertemu langsung -- di satu event sepedaan, dia main musik di event itu -- tahu aku ada di situ, dia biasa saja, tidak flirt. Jadi aku pikir, dia Cuma main-main saja flirting aku di medsos.

 

Tapi, ketika satu kali aku naksir seseorang, aku menulis status-status retjeh bahwa aku sedang jatuh cinta, tiba-tiba orang itu nginbox, "who is the lucky guy?" dan bilang, "you made me jealous. I wish I were him."

 

Beberapa bulan kemudian dia nginbox lagi, pamer punya pacar. Bahkan dia sempat mengirimiku foto dia sedang ciuman dengan perempuan itu. Heran. Buat apa yak? Lol.

 

Beberapa tahun terakhir, aku bertemu dengan tipe lelaki yang seperti ini lagi, lol. Suka flirting, ga berani nembak, eh, tahu-tahu pamer foto seorang perempuan, "ini calon istriku," katanya. Saat aku menyelamatinya, dia bilang, "kamu sih ga ngerti-ngerti sinyal yang kukirimkan ke kamu. Aku pilih yang lain deh." leh, kenthir, lol.

 

********

 

Honestly, sekitar 19 tahun yang lalu aku sempat dekat dengan seseorang. Kami kadang keluar bareng makan siang. Waktu itu aku masih kuliah di Jogja. Tapi pas aku pulang ke Semarang, kadang kami ngedate makan siang. Tapi karena dia ga pernah nembak aku, ya aku anggap dia just friend, atau, well, we were in undefined relationship, wkwkwkwk.

 

Lelaki tuh harus tahu, ada tipe perempuan yang mungkin menganggap 'menembak' itu tidak penting. Jika dirasa sudah cukup dekat, kemana-mana pergi berdua, orangtua sudah tahu, maka dia bisa menganggap bahwa hubungan itu 'pacaran'. Namun ada tipe perempuan lain lagi yang mewajibkan 'menembak' untuk meyakinkan diri what kinda relationship two people have.

 

PT56 16.27 27.07.2023

 

Wednesday, July 26, 2023

G r u d g e

 


I just stumbled to one old post of mine. There I wrote my own amazement to my own beloved daughter how she didn't have any grudge to someone she was supposed to have.  How could I be blessed to have such a very loving daughter?

 

Then, when browsing 'threads' I found the quote above.

 

I really have to learn how to control my dislike feeling to some people. It is indeed very hard to act mature even in this age of mine. As someone who believes in karma -- anything we do will be back to ourselves, both good things as well as bad things -- I must be able to behave.

 

Or I think I had better come back to my 'aloof world', no need to be so sociable in social medias. First thing, perhaps I can do some detoxing. I detox myself from social medias, especially facebook that has sucked my time a lot.

 

PT56 13.48 26.07.2023

 

 

Tuesday, July 25, 2023

Lee Majors

 


Saya mendaku diri sebagai salah satu big fan of Lee Majors, sang manusia enam juta dollar.  Saya ingat waktu duduk di bangku SD saya pertama kali nonton film seri THE SIX MILLION DOLLAR MAN di TVRI, saya lupa kelas berapa. Saya juga ingat saya nonton film seri THE BIONIC WOMAN, the spinoff of THE SIX MILL saat masih duduk di bangku SD.

Saking cintanya saya pada Lee dulu, Ibu sampai khawatir jika saya menjadi gila loh 😂😃😄 satu kali Ibu bilang, "iya dia ganteng jika dilihat di televisi, eh siapa tahu saat lihat aslinya dia buruk rupa, sudah tua pula," bla bla bla ... wkwkwkwk ... 

Saya tahu Lee (pernah) menikah dengan Farrah Fawcett yang sebelum jadi aktris di Hollywood, dia adalah seorang model. Saat kuliah, dia pernah menjadi juara beauty pageant tingkat universitas. Saya masih SMP waktu membaca berita ini di satu majalah gosip, lol. dan saya yang masih innocent heran ketika seorang sobat bilang, "gile! tingkat universitas! bukan hanya tingkat fakultas loh. cantik sekali dia." owalaaah, bedanya apa antara universitas dan fakultas? tanya saya pada diri sendiri. o'on banget dah, lol. mohon dimaafkan, saya masih kecil dan innocent. wkwkwkwk ...

Meski dalam film seri THE SIX MILL maupun THE BIONIC WOMAN, Lee (sebagai Steve Austin) beberapa kali bersanding dengan Lindsay Wagner (sebagai Jaime) -- mereka dikisahkan saling jatuh cinta, sebelum Jaime mengalami amnesia setelah operasi menjadi bionic, saya tidak pernah merasa cemburu melihat mereka berdua acting berpacaran. wkwkwkwk ... sebaliknya, saya paling tidak suka melihat Lee dan Farrah bersama, karena saya yakin Lee cinta banget pada Farrah. I used to be very jealous of Farrah 😛😜😝

 

Steve Austin and Jaime Sommers

Lee and Farrah

Meski saya mendaku sebagai salah satu big fan dari Lee, baru di menjelang akhir tahun 2021 saya kembali 'melanjutkan' ketergila-gilaan saya pada aktor yang alhamdulillah diberi usia panjang ini. Something triggered me (ga usah saya tulis di sini ya 😁😀😆) dan saya mulai menghabiskan kuota internet untuk nonton film-film lamanya, yang bisa saya akses di internet. Saya pun mulai bergabung di grup fans of THE SIX MILL and THE BIONIC WOMAN di facebook. Dari grup ini, saya dapatkan banyak foto-foto Lee yang belum pernah saya lihat, potongan-potongan klip THE SIX MILL, hingga saya tahu bahwa dia dan Lindsay reuni main film bareng di EAT PLAY LOVE one motivational movie by Hallmark. It was very exciting to see Lee acting in his senior age! and he looks as stunning as ever! in my eyes! 😍 aren't I a super loyal fan? 💓

dan mendadak saya pun juga menyibukkan diri membaca artikel-artikel lama, hingga saya tahu bahwa salah satu penyebab Lee dan Farrah bercerai bukan hanya karena Farrah menyelingkuhi Lee dengan Ryan O'neal, namun terlebih karena Lee itu ternyata seorang lelaki konvensional, yang ingin istrinya berada di rumah ketika dia pulang bekerja, memasak makan malam untuknya dan menghabiskan waktu bersama. 'Sayangnya' tak lama setelah mereka menikah, Farrah yang semula 'hanyalah' model, mendapatkan tawaran bermain dalam film seri CHARLIE'S ANGELS dan sibuk syuting. dua-duanya sibuk syuting sehingga konon dalam setahun mereka bertemu hanya dalam kurun waktu 2 minggu!

setelah film seri THE SIX MILL berhenti, Lee berharap dia dan Farrah bisa hidup 'normal' sebagai pasangan suami istri, namun ternyata Farrah justru kian sibuk dengan pekerjaannya dan ketenarannya. 


dua hari yang lalu foto Lee dan Farrah ini beredar di satu grup fans. sebagian komentar menyudutkan Farrah yang begitu saja meninggalkan Lee. sebagian lain menyudutkan Lee yang ternyata adalah seorang lelaki yang konvensional. 

well, menurut saya pribadi, tidak salah jika Lee berpikir bahwa perempuan itu tempatnya di rumah (helloo, itu masih dekade 1970an loh). toh Lee tidak melarang Farrah untuk berkiprah di luar rumah sebagai model. Farrah masih boleh bekerja untuk mengaktualisasi diri asal dia sudah sampai rumah ketika sang suami pulang bekerja. 

"Will you accept a man behaving that way?" tanya seseorang kepada saya beberapa bulan lalu. Jawaban saya diplomatis saja, "Akan selalu ada something/someone extraordinary dalam hidup saya atau hidup orang lain. tentu saja saya mau menerima Lee yang seperti itu. kalau lelaki lain yang seperti itu? ya belum tentu saya akan menghormatinya," 

Saya akhirnya pun jadi mengerti mengapa Lee bercerai dengan istri ketiganya, Karen Velez. the same reason? dan jika pernikahannya dengan istri keempatnya langgeng sampai lebih dari 20 tahun, tentu karena Faith tipe perempuan yang mendedikasikan hidupnya untuk sang suami. 

Jadi ingat satu kali dulu, saya ngobrol dengan Abang. Jika saja (ex) suami saya bisa memenuhi segala kebutuhan saya dulu, saya tidak akan bertransformasi menjadi seorang feminis. dan tentu juga tidak akan menjadi seorang agnostik.

C'est la vie.


Monday, July 24, 2023

G L A M P I N G

 

I wanna visit this place next year!

saat kecil, aku blas ga pernah ikut kemah alias camping. aku ga dibolehin ikut oleh Ibu. 'ndilalah' kok pas aku duduk di bangku SMP maupun SMA itu tidak wajib ikut kegiatan pramuka. jika Angie mengalami camping di kelas 10 alias 1 SMA, karena itu merupakan satu kegiatan wajib untuk semua murid, zamanku SMA, belum ada kegiatan seperti itu.

pertama kali aku camping -- alias tidur di dalam tenda -- waktu ikut event JOGLO ATTACK di pelataran Candi Prambanan.  aku tidur di tenda mungil yang dibawa oleh Cipluk. tidak hanya kami berdua yang tidur di situ, tapi bertiga dengan Ranz juga. syumuk pol! wkwkwkwk ... padahal panitia sudah menyediakan tenda besoooaaarrr yang biasa dipakai oleh TNI. tapi, ya gitu deh, aku ga enak hati menolak ajakan Cipluk waktu itu. tenda punya Cipluk kecil, tidur berdesakan, plus kamar mandi jauh. wis jian, bukan pengalaman camping pertama yang menyenangkan, lol.

camping yang kedua, bikecamping bersama para cewe pelor a.k.a Semarang Velo Girls. tenda yang kita sewa lumayan besar, jadi ga syumuk-syumuk amat. meski lokasi kamar mandi yang disediakan penduduk lokal jauh, gapapa karena air melimpah di sini, dan kamar mandi cukup bersih.

camping yang ketiga waktu ultah Komselis yang kesembilan, ke Teluk Awur. tidak begitu menyenangkan karena tenda yang disewa panitia bocor, dan malam itu hujan lebat! plus kamar mandi yang tersedia jelek, mana air terbatas pula. hadeeeh.

namun, nampaknya aku lumayan excited dengan pengalaman tidur di 'tenda' ini. so, ketika 'nemu' ada glamping, alias glamorous camping, waaah, aku senaaang sekali, meski sewanya mihil, jika dibandingkan dengan menginap di hotel 'biasa'. 

pertama kali, aku dan Angie menginap di Sunrise Hill, Gedong Songo. meski jalan menuju ke sini ngeri-ngeri sedap, tanjakan curam menjelang sampai, nampaknya Angie senang dengan pengalaman ini. (Angie blas ga mau kuajak camping. katanya pengalaman saat duduk di kelas 10 dulu sudah lebih dari cukup!)

 yang kedua, di Pijar Park, Kudus. kalau menilik postingannya di IG maupun FB story, Angie suka sekali ke Pijar Park. ini karena lokasinya ada di tengah hutan. Angie kebetulan sempat lihat tupai, dan beberapa kali seekor kupu-kupu menempel di topinya!

next time, kalau ada waktu luang bareng dan duit nganggur lagi, kami berdua akan dolan ke glamping lain lagi.

wish us luck yaaaa. 💓

Wednesday, July 19, 2023

I'll never love again

 

Liriknya gombal banget yak. tapi, ketika seseorang jatuh cinta, bukankah otomatis cara berpikirnya gombal? 😜😛 atau mungkin ini hanya berlaku pada seseorang yang romantis bawaan orok, sepertiku? 😉😊

 


 

Wish I could, I could've said goodbye
I would've said what I wanted to
Maybe even cried for you
If I knew it would be the last time
I would've broke my heart in two
Tryin' to save a part of you

Don't wanna feel another touch
Don't wanna start another fire
Don't wanna know another kiss
No other name falling off my lips
Don't wanna give my heart away
To another stranger
Or let another day begin
Won't even let the sunlight in
No, I'll never love again
I'll never love again, oh, oh, oh, oh
Oh

When we first met
I never thought that I would fall
I never thought that I'd find myself
Lying in your arms
And I want to pretend that it's not true
Oh baby, that you're gone
'Cause my world keeps turning, and turning, and turning
And I'm not moving on

Don't wanna feel another touch
Don't wanna start another fire
Don't wanna know another kiss
No other name falling off my lips
Don't wanna give my heart away
To another stranger
Or let another day begin
Won't even let the sunlight in
No, I'll never love

I don't wanna know this feeling
Unless it's you and me
I don't wanna waste a moment, ooh
And I don't wanna give somebody else the better part of me
I would rather wait for you, ooh

Don't wanna feel another touch
Don't wanna start another fire
Don't wanna know another kiss
Baby, unless they are your lips

Don't wanna give my heart away
To another stranger
Don't let another day begin
Won't let the sunlight in
Oh, I'll never love again
Never love again
Never love again
Oh, I'll never love again

 

Tuesday, July 18, 2023

R A S I N A

 


Tanya:

 

  1. Mengapa Iksana Banu menggunakan tokoh berkulit putih sebagai tokoh utama dalam novel RASINA? Dan bukan 'Rasina' itu sendiri? Dan sang tokoh ini memiliki kepedulian yang cukup terhadap orang-orang pribumi. Apakah Iksaka ingin lebih melegitimasi posisi orang kulit putih yang lebih 'tinggi' ketimbang orang-orang kulit berwarna?
  2. Ada kemiripan dengan kisah di buku Multatuli, seseorang yang berkulit putih namun sangat peduli pada bangsa yang dijajah oleh negaranya.

 

Iksaka menjelaskan bahwa novel RASINA merupakan 'kepanjangan' dari cerpennya yang berjudul "Kalabaka", salah satu cerpen yang ada dalam buku kumpulan cerpen yang berjudul "THE DAN PENGKHIANAT". Kalabaka adalah salah satu tokoh yang hidup di Banda di awal abad ke-17. Kalabaka menjadi 'jembatan' komunikasi antara VOC dan penduduk asli Banda saat VOC akan melakukan 'perdagangan' pala, mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Portugis dan Inggris.

 

Pandemi sedang melanda dunia waktu Iksaka Banu melakukan riset untuk menulis RASINA. Semula dia akan berangkat ke pulau Banda sendiri untuk melakukan riset yang lebih mendalam, namun pandemi menghalanginya. Maka, dia hanya bisa melakukan riset secara online, dari jurnal-jurnal ilmiah, disertasi (tentang kondisi Banda di abad 17 itu) dll. 

 

Mengapa menggunakan POV orang pertama? 

 

Karena kalau menggunakan POV orang ketiga, si pengarang layaknya Tuhan mengetahui segala yang terjadi. padahal dengan resources yang baginya kurang memadai, Banu jelas tidak berani menggunakan POV orang ketiga ini. maka dia menggunakan POV pertama, yang sekaligus juga memiliki kelebihan: pembaca merasa turut merasakan emosi sang tokoh utama, sang 'aku'. 

 

Ada dua plot dalam RASINA, yang pertama terjadi di awal abad 17, setting di Banda. tokoh utama -- sang aku -- adalah Hendriek Cornelis Adam. Plot kedua terjadi menjelang akhir abad 18 (ada jeda sekitar 150 tahun), setting di Batavia. tokoh utamanya Joost Borstveld. 

 

Untuk menyoroti apa yang terjadi di Banda di awal abad 17: tentang perbudakan dan pembasmian penduduk Banda oleh Belanda, Iksaka menciptakan tokoh Hendriek sebagai juru tulis, yang menulis apa saja yang terjadi. Di plot kedua, Joost membaca buku harian Hendriek, yang merupakan kakek Jan Aldemaar Staalhart, atasan Joost. 

 

RASINA, judul novel ini, adalah seorang budak yang hidup di menjelang akhir abad 18. Adalah tidak mungkin menceritakan segala tentang perbudakan dan pembasmian penduduk Banda ini dari kacamata seorang budak seperti Rasina. itulah sebabnya, Iksaka menggunakan dua plot yang berkelindan satu sama lain. Iksaka tidak bisa menggunakan Kalabaka sebagai tokoh utama karena dalam kenyataannya dia mati saat pembasmian penduduk Banda. Jika di awal abad 17, Iksaka menyoroti tingkah laku para pejabat VOC zaman itu, yang sewenang-wenang terhadap penduduk asli Banda, di plot yang kedua, Iksaka lebih menyoroti tindak korupsi yang dilakukan para pejabat VOC, yang di kemudian hari menyebabkan jatuhnya VOC.

 

PT56 16,39 18.07.2023

 

Monday, July 17, 2023

GAY: Korban atau Pelaku?

 


Gegara membaca satu status seorang kawan maya, saya baru ngeh kalau ada berita viral tentang seorang selebgram yang diselingkuhi oleh suaminya. Berita ini kian heboh lantaran sang suami selingkuh dengan seorang laki-laki.

 

Ketika membaca beberapa komentar di status itu, saya mendapati bahwa orang-orang menyalahkan si laki-laki yang tidak gentle mengapa tidak sejak awal dia mengaku kalau dia itu gay, ketimbang memaksa diri menikahi seorang perempuan dan akhirnya si perempuan ini menjadi korban KDRT.

 

Sampai di sini, saya setuju. Mengapa kok tidak sejak awal si laki-laki jujur pada diri sendiri bahwa dia tidak 'greng' terhadap perempuan. Apakah dia memiliki motif ekonomi di balik pernikahan ini? (mengingat si perempuan adalah seorang selebgram, yang mungkin bergelimang uang.)

 

Sekian puluh tahun yang lalu, saat Ibu masih langganan majalah 'wanita' sejenis KARTINI maupun FEMINA, saya beberapa kali membaca kisah curhat orang-orang homo yang dipaksa menikah dengan lawan jenis -- terutama laki-laki  yang dipaksa menikahi perempuan -- konon karena 'menjadi homo' ini adalah penyakit; entah penyakit psikis atau penyakit 'sosial'. Dan salah satu jenis pengobatannya adalah menikah dengan lawan jenis. Setelah menikah, dan mungkin 'merasakan' nikmatnya berhubungan seksual dengan lawan jenis, mereka akan 'sembuh'. Kenyataannya? Beberapa tulisan itu mengisahkan betapa mereka tersiksa dalam pernikahan itu. Hingga akhirnya malah kedua belah pihak -- sang suami maupun sang istri -- menjadi korban paksaan keluarga. Tidak mudah untuk bercerai, apa lagi jika orangtua mereka adalah orang yang terpandang di masyarakat. Perceraian akan mencoreng nama baik mereka, apa lagi jika masyarakat tahu penyebab perceraian itu.

 

Jika pun ada kisah rumahtangga pasangan yang seperti ini yang bertahan lama, tentu di baliknya ada perasaan dan emosi yang kudu dikorbankan. Atau, seperti menurut beberapa artikel yang saya baca di jurnal ilmiah: setiap dari kita memiliki sekian persen kecenderungan untuk menjadi biseksual. Bisa jadi kecenderungan sebagai seseorang 'straight' lebih besar ketimbang menjadi 'gay', jadi mungkin saja ada orang-orang tertentu yang kemudian mengaku 'sembuh' dari kehomoan mereka.

 

Namun, tidak kah kita sadari bahwa orang-orang seperti mereka menjadi korban (atau sebagai pelaku KDRT) karena keengganan masyarakat menerima bahwa sekian persen dari jumlah seluruh manusia di dunia ini memang terlahir sebagai gay/lesbian? Don't worry akan keberlangsungan kehidupan manusia di planet Bumi ini (karena biasanya ini yang menjadi kambing hitam para agamawan), yang terlahir sebagai gay/lesbian hanya sekian persen kok, kurang dari 10%. (Just google it by yourself.)

 

Andai masyarakat mau menerima orang-orang yang terlahir sebagai gay/lesbian, mereka akan merasa diterima seperti apa adanya di masyarakat, mereka tidak perlu menyeret orang lain ke dalam pusaran kehidupan mereka.

 

PT56 15.23 17.07.2023

 

You may read some posts of mine here


Sunday, July 16, 2023

One weekend in Solo with Angie

 


Pada hari Sabtu 24 Juni 2023, out of the blue, aku dan Angie dolan ke Solo.

 

Kami meninggalkan rumah sekitar pukul 9 pagi. Perjalanan lancar, alhamdulillah. Angie sempat mengajak mampir di satu mini market di daerah Tengaran untuk beristirahat. (Aku ingat ada Candi Klero di daerah ini, tapi aku lupa di sebelah mana kita harus belok kiri jika mau mampir. Jadi? Ya ga mampir lah kita. Hihihi …)

 

 


Tujuan pertama kami adalah De Tjolomadoe, satu eks Pabrik Gula yang sudah direnovasi sedemikian rupa sehingga menjadi satu destinasi wisata yang cukup menarik dan edukatif. Kami sampai di sini pukul 12.30. Aku ke sini pertama kali di tahun 2018, saat berdua dengan Ranz bersepeda dari Semarang menuju Solo, untuk bergabung dengan event ultah Seli Solo Raya. Waktu itu gratis masuknya. Beberapa bulan kemudian, aku dengar kabar bahwa pengunjung ditarik tiket seharga Rp. 25.000,00 jika ingin masuk ke dalam gedung. So? Ya sudah, aku tidak kepengen masuk lagi, kan sudah pernah sebelumnya.

 

Mengapa kali ini aku mengajak Angie masuk ke De Tjolomadoe? Ya jelas karena Angie belum pernah ke sini. Dan, waktu Ranz mengajakku mampir ke sini beberapa bulan lalu untuk berfoto-foto di luar gedung, aku berpikir pasti Angie suka juga kuajak mampir untuk berfoto-foto di sini. Dan, ternyata saat Angie aku tawari apakah dia mau masuk ke dalam gedung, dia sangat antusias. So? Kami pun masuk ke dalam gedung. Tiket masuk Rp. 40.000,00 per orang.

 




Setelah masuk, aku baru ngeh, ternyata ada 'museum' dengan segala pernak-perniknya yang sangat menarik di dalamnya, satu hal yang dulu di tahun 2018 belum ada. Dari penjelasan yang ada, aku baru ngeh satu hal penting dari eks Pabrik Gula ini adalah bahwa De Tjolomadoe adalah pabrik gula pertama di Nusantara yang dibangun oleh orang pribumi, yakni Mangkunegara IV di tahun 1861. sebelumnya tentu sudah ada pabrik gula lain, namun pabrik-pabrik lain ini dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda.

 

Bagi yang belum pernah masuk ke museum De Tjolomadoe, apalagi jika anda mengaku sebagai salah satu penggemar museum, masuk lah, you're gonna love this museum too!

 



 



Aku dan Angie makan siang di café Besali di dalam museum. Karena sudah telanjur kelaparan. Padahal semula aku pengen mengajak Angie makan di RM Kusumasa** yang legendaris di kota Solo itu. Usai makan siang, kami masih foto-foto di luar gedung.

 

Sekitar pukul 15.30 kami merasa cukup puas. Aku menawari Angie apakah akan langsung ke Omah Prahu -- Waduk Cengklik, atau kami ke rumah Ranz terlebih dahulu. Aku yang kepengen ke Omah Prahu di sore hari karena ingin mendapatkan moment memotret sunset di Waduk Cengklik. Jika kami langsung ke sana, kami bakal perlu menunggu kurang lebih 2 jam. Cukup lama juga. Akhirnya, kami pun meluncur ke kota Solo terlebih dahulu, untuk 'check in' di rumah Ranz di kawasan Jongke.

 

Sesampai sana, ternyata Ranz sedang ngegym di fitness center tempat dia telah latihan sejak Oktober 2020.  Fitri yang katanya juga akan ke rumah Ranz malah sedang makan di RM Kusumasari.

 

Akhirnya menjelang pukul 17.00 aku dan Angie memutuskan untuk berangkat ke Omah Prahu, berdua saja. Sebenarnya, Fitri sendiri ke Solo hari itu untuk menghadiri satu event yang diselenggarakan di Mangkunegaran. Jadi, pasti dia ga bisa ikut dolan ke Omah Prahu.

 



 



Di Omah Prahu, seperti yang telah kami perkirakan, bakal susah untuk mendapatkan tempat duduk yang strategis untuk bisa membidik sunset. Tapi, eh, belum sampai lokasi, sang matahari sudah bersembunyi di balik mendung. Apa boleh buat? Untunglah tak lama kami berdua bingung how to get a seat, saat adzan maghrib berkumandang, ada beberapa orang yang buru-buru menyelesaikan makan mereka dan meninggalkan tempat duduk mereka. So? Aku dan Angie segera gercep untuk duduk.

 

Karena perut masih lumayan kenyang setelah makan di Besali Café, di Omah Prahu kami hanya makan satu piring nasi dan uborampenya berdua. Tapi, khusus untuk Angie sendiri, dia aku ambilkan pepes ikan nila yang cukup besar ukurannya. Kami ga sempat berfoto-foto karena rasanya ga nyaman foto-foto dengan begitu banyak orang di sana. Fotonya pasti 'bocor'! Wkwkwkwk …

 

Pukul 19.00 kami berdua sudah kembali ke rumah Ranz. Setelah itu, aku menemani Ranz 'nyusu' di kedai susu segar langganannya.

 

Minggu 25 Juni 2023

 

Sekitar pukul 07.00 Ranz sudah siap jalan-jalan ke CFD bersama Deven keponakannya. Karena aku tidak tahu -- Ranz ga bilang dia mau ke CFD -- aku ga ikut. Aku, Angie dan Fitri sarapan ke RM soto Hj. Fatimah sekitar pukul 07.15.

 

Sekitar pukul 08.45 kami berempat -- aku, Angie, Fitri dan Ranz -- sudah siap meluncur ke The Heritage Palace. Aku, Angie dan Ranz naik taksi online, sedangkan Fitri naik motor sendiri. Dia akan langsung pulang dari The Heritage Palace.

 

Apa acara kami di The Heritage Palace? Tentu saja HANYA foto-foto doang. Hoho … kali ini kami hanya beli tiket outdoor Rp. 30.000,00. Angie tidak tertarik untuk masuk ke bagian 'indoor' yang aku bilang isinya museum 3 dimensi. Oh ya, seperti saat aku dan Ranz dolan ke sini bulan Mei lalu, kami berempat makan siang di resto THEE CULTUR.

 


 

Setelah maksi, Fitri pulang ke Semarang. Kami bertiga masih lanjut foto-foto. Sekitar pukul 13.00 kami pulang ke Jongke. Satu jam kemudian, aku dan Angie sudah meluncur menuju Semarang.

 

Well. Nampaknya kapan-kapan aku akan mengajak Angie dolan ke Solo lagi. Hoho …

 

PT56 20.38 07/07/2023

 
















Wednesday, July 12, 2023

Membeli Pertemanan 2

 


Saat duduk di bangku SMA, aku punya seorang kawan yang baik banget, hobinya nraktir kawan-kawan sekelas, terutama aku. (hanya ada 4 siswa di kelas jurusan BAHASA waktu itu.) Ayahnya seorang polisi, ibunya pedagang (yang berhasil tentu saja) di pasar. Saat itu, uang jajannya seribu rupiah satu hari (sebagai perbandingan, di dekade 1980an itu, jajan kenyang di kantin sekolah hanya butuh uang seratur rupiah. Jajan kenyang = misal soto satu mangkuk, gorengan dua biji, dan es the segelas.) uang jajanku hanya empat ribu rupiah SEBULAN. Wkwkwkwk …

 

Aku tentu saja memandangnya sebagai seseorang yang sangat murah hati dan baik hati. Dan kami berdua sangat akrab.

 

Melihat keakraban kami berdua, satu kali Ibu bilang, "Jangan terlalu akrab dengan seseorang. Karena jika sampai terjadi friksi di antara kalian berdua, kalian akan sangat saling melukai satu sama lain."

 

Sejak semester pertama belajar di jurusan BAHASA (angkatanku adalah angkatan terakhir penjurusan dengan 3 jenis IPA, IPS, BAHASA dan penjurusan dimulai dari semester 2 di kelas 1.) aku berada di ranking 1. saat duduk di bangku SD, aku selalu berada di ranking 1. I lost that first rank ketika duduk di bangku SMP. Kawan-kawan sekelas/seangkatan terlalu 'powerful' untuk kusaingi. Hahahahah … Maka, saat aku kembali 'menyabet' ranking 1 di jurusan BAHASA itu (dengan jumlah siswa hanya 4, lol) aku merasa excited sekaligus biasa-biasa saja. Excited karena akhirnya aku kembali menyandang juara 1, biasa-biasa saja ya karena aku 'hanya' mengalahkan 3 siswa lain.)

 

Ternyata, di balik kemurahhatiannya, kawanku ini sangat mengincar posisiku sebagai ranking 1. apa pun akan dia lakukan demi mendapatkannya: mendekati guru-guru, membaiki guru-guru, selain juga bermurah hati kepadaku. Well, mungkin agar aku terlena, lol.

 

Satu kali kami bertengkar di kelas 2 atau awal kelas 3 ya, tapi aku lupa triggernya apa. Dan memang betul kata Ibu, meski akhirnya kami berbaikan lagi, keakraban kami tak sama. Ada 'luka' di sana.

 

You know, karena kami sekelas hanya berempat, kami tentu tidak leluasa ngobrol satu sama lain ketika pelajaran. Yang namanya murid, pasti kadang bosen mendengarkan guru menjelaskan sesuatu. Agar kita tetap bisa ngobrol, aku dan dia punya sebuah buku khusus dimana kami saling menulis untuk tetap berkomunikasi, di tengah-tengah pelajaran. We talked about anything, our crush, teachers, bla bla bla … dan kami berdua berjanji bahwa buku itu milik bersama. Jika ada yang menyimpannya, keesokan hari gantian. Rahasiaku adalah rahasianya, rahasianya adalah rahasiaku juga.

 

Hingga satu kali, dia mengkhianati janji itu. Satu hari dia membawa buku itu dan bilang buku itu hilang. I was innocent, but of course I didn't believe in her just like that. Aku kejar-kejar, dan dia tetap keukeuh ga mau berbagi buku itu lagi denganku. It was gone. Period.

 

Puncak ini semua adalah ketika guru-guru membombong kami berempat bahwa pasti kami semua bakal lolos PMDK. (Padahal kata kepala sekolah, jumlah siswa yang bakal diterima via jalur PMDK itu hanya 25% dari jumlah keseluruhan siswa di satu jurusan. Di jurusanku, BAHASA, hanya ada 4 siswa. 1 siswa lolos PMDK, jumlahnya sudah 25% kan ya?) Bombongan ini membuatnya mengajak kami merencanakan untuk mengadakan perpisahan di Bandungan. Dia yang akan membiayai semua kebutuhan. Kami bertiga ya iya iya saja. Beberapa guru yang kami undang sudah tahu juga.

 

Hingga tiba hari pengumuman PMDK. Di jurusan kami hanya namaku yang tertulis keterima di Universitas Negeri tanpa tes.

 

Dan, dia menghilang begitu saja tidak bisa kuhubungi sejak itu. Rencana perpisahan itu hanya menjadi wacana.

 

(Well, waktu kami kuliah, kami masih berkomunikasi, dia malah pernah mengunjungi kosku di Jogja. Tapi ya itulah, keakraban kami telah terluka. Kami memang nampak 'dekat' namun itu hanya di permukaan saja.)

 

Sejak saat itu, aku selalu mencurigai ketika seseorang yang baru datang dalam hidupku tiba-tiba begitu baik hati. Baik laki-laki maupun perempuan. Menawari ini itu. "There is no free lunch," kata Abang. Well, meski kadang aku tetap terlalu innocent untuk bisa melihat seseorang, aku tetap mempercayai intuisiku.

 

Minimal telah ada 2 orang di dua tahun terakhir yang seperti ini padaku. Dua-duanya perempuan. Yang satu tiba-tiba memblokir akunku. Yang kedua menghinaku KERE. Kalau di kasusku dengan kawan SMA-ku dulu itu kami terlalu akrab, sehingga ketika terjadi friksi, kami (mungkin) sama-sama terluka. Kalau di kasus dengan 2 'kawan' maya ini, mungkin karena aku menolak untuk terlalu akrab dengan mereka.

 

Kalau memang mereka itu tulus mendekat padaku, ketika aku menolak tawaran mereka, ga mungkin lah mereka mendadak berkelakuan seperti itu. Perutku mual jika mengingatnya. Tapi, jika tidak aku tulis ini, dadaku sesak.

 

MS48 12.31 12.07.2023

 

Membeli pertemanan 1 bisa dibaca di link ini.


2 gambar di bawah aku skrinsyut dari reels yang lewat. Pas banget.