Search

Monday, June 12, 2006

Emily

Satu hari, di kantor, aku berteriak, “I want to kill him!” 
 
Tak kusangka ternyata ruang kelas di sebelah sedang ada kuliah. Mahasiswa semester 2. beberapa saat setelah itu, beberapa mahasiswa melongokkan kepalanya ke ruang dosen. Salah satu dari mereka, Merlin, menyapaku, “Ms. Do you really wanna kill someone?” Bukannya tersipu malu, namun aku tertawa terbahak-bahak. Aku membalas, “Yes, I wanna kill him!” Dan Merlin pun melongo, “Hah?” Tak jelas apakah dia menganggap omonganku itu serius atau tidak. Namun aku sempat juga berpikir seandainya kemudian ada peristiwa pembunuhan yang menimpa seseorang yang berada di lingkunganku, polisi akan dengan mudah menuduhku telah merencanakan dan melakukan pembunuhan itu. 
 
  *****  
 
Aku ingat Emily dalam cerpen karya William Faulkner. Emily membunuh kekasih hatinya. Bukan karena Emily membenci laki-laki itu, agar laki-laki itu segera enyah dari hidupnya. Bukan. Emily membunuh kekasihnya agar laki-laki itu tak lagi meninggalkannya sendirian; agar kekasihnya itu bisa terus menerus berada di sampingnya. Aku pikir itu adalah ide yang bagus. Aku ingin membunuh kekasihku agar dia menjadi milikku semata. Agar dia selalu berada di sisiku. Akan kubuatkan kamar yang indah untuknya. Tempat tidur yang berharga jutaan, yang kasurnya empuk tak kalah dari kasur hotel berbintang lima. Akan aku hiasi dengan berbagai macam bunga di atasnya sehingga selalu menyeruakkan bau wangi. Aku ingin membunuh kekasihku agar dia tak perlu lagi membagi waktunya dengan yang lain. Agar aku selalu bisa bercinta dengannya. Menghabiskan malam-malam sepiku dengan lelaki yang telah mencuri seluruh hati, jiwa, dan ragaku. Tak lagi sendiri. Namun bersamanya. Aku ingin membunuh kekasihku karena dia lah the one and only. Dialah satu-satunya lelaki yang telah membuatku begitu ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya.  
 
*****  
 
Tiba-tiba muncullah bayangan lelaki lain, berkelebat di ingatanku. Dan muncullah kalimat yang sama dari bibirku, “I want to kill him!” Ini adalah ide yang cemerlang. Aku harus membunuh laki-laki itu agar dia tak lagi merongrong hidupku. Agar aku tak perlu lagi merasa kesal setiap kali menemukan jalan buntu dari diskusiku dengannya. Dia yang seperti tembok, dingin, tak berhati, tak pernah mau mengerti apa yang aku ingini. Dia yang selalu ingin aku menjadi miliknya karena selembar surat yang telah dia dapatkan dari KUA; surat yang menurutnya membuatku bisa menjadi seorang pesakitan yang dia penjarakan dalam suatu institusi yang disebut sebagai pernikahan; bersamanya.  
 
****  
 
Aku ingin membunuh dua laki-laki yang telah hadir dalam hidupku. Aku ingin membunuh kekasihku agar dia tetap menjadi milikku, tetap berada di sampingku. Dan seperti yang dilukiskan oleh William Faulkner, aku akan bahagia, seperti Emily yang akhirnya memiliki Homer Barron. Aku ingin membunuh seorang laki-laki lain agar hidupku bebas dari segala tuntutannya padaku. Seandainya aku tak hanya menulis di sini ... Seandainya aku benar-benar merencanakan dengan baik keinginanku itu ... 
 
Seandainya ... 
 
 PT56 12.23 110606

No comments: