Search

Wednesday, June 10, 2020

Uang saku

Seingatku orangtuaku bukan tipe orang yang suka makan di luar; jadi jarang anak-anaknya diajak 'ngiras' (bahasa Jawa) alias eating out (English, lol). Bahkan ketika ada acara 'outing' a.k.a piknik di kantor ayahku, ibuku akan mempersiapkan sendiri cemilan-cemilan untuk anak-anaknya. Jadi di tempat yang dituju, kita tidak akan jajan di warung/resto, tapi makan cemilan yang dibawa sendiri.

 

dua setengah rupiah, atau dulu juga disebut 'seringgit'


 

Mungkin karena itu, aku tidak ingat apakah ibuku memberiku uang saku ketika berangkat sekolah, apalagi ketika duduk di bangku SD. Apalagi letak sekolah dekat sekali dari rumah, mungkin hanya sekitar 100 - 200 meter. Waktu itu ketika istirahat, kita diperbolehkan keluar sekolah untuk jajan, di sekolah tidak ada kantin khusus. Nah, saat istirahat tentu aku akan pulang ke rumah untuk minum atau ngemil sesuatu di rumah. Pastinya ibuku memberi uang saku, tapi tidak banyak, dan terutama jika di hari itu ada pelajaran 'olah raga' karena kita perlu pergi ke lapangan olahraga Kalisari untuk kegiatan olahraga ini, sekolahku tidak punya lapangan olahraga yang memadai. Jarak Kalisari ke rumah lumayan jauh lah, jadi tentu aku butuh uang saku untuk beli minum.

 

Tentang jajan saat duduk di bangku SD ini, sampai saat ini yang masih kuingat dengan baik adalah uang dua setengah rupiah, alias 'seringgit', yang dulu waktu duduk di kelas 2 SD, uang seringgit cukup untuk membeli sebungkus mihun. Karena jarang jajan, rasanya waktu jajan sebungkus mihun dengan harga seringgit aku merasa sangat kaya. Hahahaha …

 

Saat itu aku sekolah di satu sekolah Islam, yang liburnya jatuh di hari Jumat. Jadi bisa dibayangkan susahnya ayahku mengajak 'dolan' aku (dan kakakku plus adikku) karena beliau libur kerja kan hari Minggu.

 

lima rupiah, atau dulu juga disebut 'mangpi'


Masuk SMP tentu aku mulai diberi uang saku secara kontinu; sekolahku lumayan jauh (dibandingkan waktu SD yang hanya satu menit sampai, lol) untuk uang transport (berangkat aku diantar kakakku naik sepeda, baru pulang naik bus kota) dan jajan di sekolah. Tapi seingatku ya secukupnya, ga sampai aku bisa beli makan 'besar' (nasi + lauk + sayur) untungnya dulu itu jam 13.00 sekolah sudah selesai.

 

Ketika mulai punya kawan pena, sehingga aku butuh beli perangko, aku mulai membiasakan diri pulang sekolah jalan kaki, agar uang jatah bayar transport kupakai untuk beli perangko.

 

Masuk SMA, ayahku memberi uang saku mingguan; aku masih ingat jumlahnya, empat ribu rupiah seminggu. Dan karena ayahku bekerja di satu bank BUMN, beliau selalu memberi uang kertas gres baru; yang bikin orang eman-eman untuk memakainya membayar. Hihihi … Teman sebangkuku menerima uang saku seribu rupiah SEHARI! Wow. Lol. Tapi, aku ga perlu ngiri-ngiri banget sama dia, karena teman satu kelas ada yang sama sekali tidak mendapat uang saku buat jajan, kecuali untuk uang transport. Dan kawanku yang satu itu suka nraktir kawan-kawan sekelasnya. Lol. (Waktu aku SMA, aku masuk jurusan Bahasa, dengan jumlah siswa hanya 4 orang satu kelas.)

 

SMA kelas 1 aku masih diantar kakakku untuk berangkat sekolah. Pulangnya aku kadang jalan kaki, agar uang transport bisa kupakai untuk beli perangko. Hihihi … Setelah aku naik kelas 2, aku mulai naik sepeda motor ke sekolah, hadiah dari ayahku karena aku diterima di sebuah sekolah negeri. Jadi aku ga pernah jalan kaki lagi pulang sekolah, juga ga pernah naik bus kota lagi. Hmmm … mungkin ini sebabnya aku tidak memiliki banyak pengalaman naik bus kota.

 

Waktu kuliah? Jelas aku menerima uang saku, bulanan, karena aku kuliah di luar kota.

 

LG 12.04 10-June-2020


No comments: