Search

Thursday, June 04, 2020

T a a r u f

Segala sesuatu dalam hidup ini selalu bisa dilihat dari dua sisi yang berlawanan, positif dan negatif, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Termasuk dalam hal ini adalah: agama. Agama, bisa membuat (sebagian) orang melakukan kebaikan pada orang lain, namun agama bisa juga membuat orang melakukan kejahatan pada orang lain dengan tanpa merasa bersalah.

 

Cliché banget yak? Memang. Di tulisan ini, saya ingin mengangkat tema taaruf.

 


Sebagian masyarakat, konon, mengharamkan 'pacaran' karena mereka menginterpretasikan kata 'pacaran' sebagai satu proses pengenalan antara sepasang laki-laki perempuan sebelum memutuskan menikah; proses pengenalan ini tidak hanya sekedar bertemu, saling memandang, namun lebih dari itu, pergi berdua kemana-mana, dimana mereka meyakini bahwa jika ada seorang laki-laki bertemu dengan seorang perempuan di satu tempat sepi, maka pihak ketiga adalah setan. Nah, kalau setan telah hadir di antara seorang laki-laki dan perempuan, bayangkan apa yang akan terjadi. :)

 

Intinya ya ini: pacaran itu haram karena mereka meyakini dalam proses penjajakan yang disebut 'pacaran' akan terjadi hal-hal yang 'enak-enak'. Lol. 'enak-enak' yang diharamkan agama yang mereka yakini.

 

Lha padahal kalau menikah tanpa saling kenal lebih dahulu, bisa-bisa kita seperti memilih kucing dalam karung? Asal menikah tanpa tahu sifat-sifatnya terlebih dahulu. Jangan khawatir, mereka menyodorkan cara lain, yakni 'taaruf'.

 

Apa itu taaruf?

 

Menurut https://kitaumroh.com/blog/penjelasan-dan-cara-taaruf/ taaruf diserap dari Bahasa Arab ta'arafa yang artinya saling mengenal. Pada prakteknya taaruf adalah proses yang dilakukan oleh dua orang yang ingin mengenal satu sama lain sebelum lanjut ke jenjang pernikahan.

 

Lho, apa sama dong dengan 'pacaran'?

 

Beda dong gaes. 'pacaran' itu Bahasa Indonesia, sedang 'taaruf' itu Bahasa Arab. Konon, bagi sebagian masyarakat segala yang berbau Arab itu lebih baik, dan lebih menjanjikan syurga. Lol. (Bercanda nih)

 

Yak, saya setuju, bahwa tidak ada bedanya antara pacaran dan taaruf, selain menggunakan bahasa yang berbeda. Masalah melakukan yang 'enak-enak' sih ya tergantung pasangan yang bersangkutan dong.

 

Sekarang, coba perhatikan dua gambar yang saya unduh dari satu grup facebook. Si pengunggah bilang dia mengambil gambar ini dari grup taaruf.

 




Menurut info yang saya ambil dari blog yang saya sebut di atas, langkah pertama untuk melakukan taaruf adalah 'membuat biodata atau CV taaruf'. Nampaknya, dua gambar ini merupakan langkah pertama, yakni membuat biodata, entah dilakukan oleh yang bersangkutan sendiri, atau oleh anggota keluarganya yang lain.

 

Waktu 'menemukan' 2 gambar ini, saya anggap ini bercanda. Emang ada perempuan bego yang mau menaarufkan diri dengan laki-laki yang mokondo begini? That's why I didn't give it a damn. Tapi waktu membaca komen-komen yang ada, apalagi kemudian seseorang lain menulis status untuk meng-counter; something like 'seorang laki-laki yang mengaku pintar mengaji mencari perempuan mandiri untuk membiayai kehidupan pernikahan mereka di kemudian hari". Komen-komen yang ada di status ini membuatku miris. Di zaman milenial ini masih banyak perempuan yang mau 'diplekotho' (hmmm, bahasa Indonesianya apa ya?) oleh laki-laki atas nama agama? Ada yang kemudian sadar dan akhirnya menceraikan suaminya, namun ada yang tetap adem ayem saja, mungkin dengan dasar pikiran, "As long as I am married." ketakutan menjadi 'janda' (dan terstigma sebagai perempuan 'nakal'?) membuat mereka pasrah dalam perkawinan yang tidak seimbang.

 

Sekali lagi saya ulangi: atas nama agama. Bukan atas kesepakatan bersama atas consent suami istri.



LG 15.00 04 Juni 2020

No comments: