Search

Tuesday, June 23, 2020

Mencintai Diri Sendiri

Barangkali ini adalah salah satu yang merupakan hal baru dalam hidupku. Sejak kecil, kebanyakan dari kaum perempuan -- aku yakin bukan hanya aku -- diajarkan untuk lebih mementingkan suami dan anak. Meski dalam satu hadits ada ajaran bahwa seorang ibu jauh lebih penting tiga kali lipat dibanding ayah, dalam kenyataan banyak hal dibebankan pada kaum perempuan, apalagi kultur patriarki mengemasnya sebagai satu takdir. (Wuiiih, sudah lama lho aku ga menyinggung hal ini: patriarki. Lol.)

 



Aku tidak ingat apakah Ibu dulu pernah benar-benar mengajari aku bahwa setelah menikah aku harus bangun lebih pagi dari semua anggota keluarga -- suami dan anak-anak -- untuk mempersiapkan ini itu, misal: menyiapkan sarapan, menyiapkan anak-anak berangkat sekolah dan suami berangkat bekerja.  Padahal, aku masih ingat waktu kecil dulu, ketika aku bangun pagi, Ayah dan Ibu sama-sama sibuk di dapur, mereka bekerja sama mempersiapkan sarapan untuk anak-anak, padahal di rumah ada seorang PRT. PRT mulai mengerjakan tugas-tugas rumah, pukul tujuh pagi, menyapu mengepel, mencuci baju, baru kemudian memasak untuk makan siang dan malam. Atau mungkin aku 'mempelajari' hal ini dari majalah wanita yang dulu rajin dibeli oleh Ibu. Majalah 'wanita' yang sayangnya artikel-artikel di dalamnya justru seperti melanggengkan patriarki, satu hal yang dulu tidak pernah kukenal.

 

Setelah menikah, jelas aku lebih memprioritaskan anakku dan ayahnya. Setelah bercerai, anakku adalah poros kehidupanku. Setelah aku mengenal feminisme sekitar tahun 2003, aku mulai menyadari bahwa aku pun layak diperhatikan: aku berhak memilih bahagia atas caraku sendiri. Tapi mungkin aku baru benar-benar melakukan hal-hal 'hanya' demi kebahagianku semata setelah aku mengenal bikepacking alias dolan dari satu kota ke kota lain dengan bersepeda. (Big thanks to my biking soulmate!)

 



Satu ketika, sepulang aku dari bikepacking, anakku bercerita bahwa dia ditanya neneknya (Ibuku), "Kenapa sih Mama suka sepedaan jauh-jauh?" anakku menjawab, "Mama bahagia ketika bersepeda. Itu membuatnya tidak stress." Hal ini membuatku termangu, jangan-jangan seumur hidupnya, Ibuku belum pernah benar-benar mencintai dirinya sendiri, melakukan hal-hal yang akan membuatnya bahagia, lepas dari 'tanggung jawab'nya sebagai seorang Ibu dan istri.

 

*******

 

Pandemi covid 19 yang tak berkesudahan ini membuatku (dan Ranz) benar-benar kangen dolan ke kota-kota yang belum kita kunjungi dengan bersepeda. Aku bisa sih bersepeda sendiri ke kota-kota sekitar Semarang -- misal Demak, Kudus, Purwodadi, Kendal, Ungaran -- tapi rasanya ada yang ga lengkap tanpa Ranz. Ga ada yang motretin. Hihihi …

 

PT56 16.26 22 Juni 2020


No comments: