Search

Thursday, June 18, 2020

Pemotor versus Pesepeda

Kebanyakan pemotor itu bisa naik sepeda, namun belum tentu pesepeda bisa naik motor; minimal saya punya dua orang kawan yang bisa naik sepeda, kuat mengayuh pedal sepedanya hingga lebih dari seratus kilometer sehari, namun tidak bisa mengemudikan kendaraan bermotor dengan lancar. :)

 

 

Tetapi, pemotor yang mungkin waktu kecil dulu bersepeda, apakah mereka masih bersepeda di masa dewasa? Kalau iya, apakah mereka bersepeda untuk berolahraga? Atau mereka memanfaatkan sepeda sebagai moda transportasi? Beda lho pengalamannya, meski sama-sama bersepeda.

 

 

Ini pengalaman pribadiku ya.

 

 

Kalau tidak salah, pertama kali aku dibelikan sepeda oleh ayahku saat aku duduk di kelas 4 SD, setelah aku bisa naik sepeda, dengan mencoba sepeda milik kakakku. Tentu saja sepeda ini hanya kumanfaatkan untuk bermain-main saja, karena sekolahku terletak hanya sekitar 200 meter dari rumah, jadi tidak perlu moda transportasi. Awalnya, ibuku tidak keberatan melihatku bermain sepeda, hingga aku ikut-ikutan kawan saat bersepeda aku duduk di bangku boncengan di belakang, jadi kakiku menjulur ke depan untuk mengayuh pedalnya. Nampaknya karena khawatir terjadi sesuatu pada selaput daraku -- gegara cara dudukku yang tidak lazim -- ibuku akhirnya sering melarangku sepedaan.

 

 

Kalau tidak salah, ketika aku duduk di bangku SMP, aku sudah sangat jarang sepedaan. Aku juga lupa apakah sepedaku masih ada di rumah, atau mungkin sudah berpindah pemilik entah siapa. Kakakku yang masih rajin bersepeda, dia berangkat sekolah dengan naik sepeda, juga mengantarku sekolah (SMP) dengan naik sepeda. Oh ya, aku pernah sekali naik sepeda ke sekolah waktu duduk di bangku kelas 3 SMP dengan alasan sepele: cowo gebetanku yang duduk di bangku kelas 1 naik sepeda ke sekolah. Lol.

 

Sejak kelas 2 SMA aku mulai naik motor. Kakakku juga sudah mulai naik vespa. Entah kemana sepeda-sepeda saat kita kecil itu.

 

Sekitar tahun 1990 kakakku pindah ke Cirebon, ternyata kesukaannya bersepeda berlanjut, dia membeli sepeda federal, yang saat itu sedang booming. Setelah itu, dia membeli satu sepeda lagi, yang dia kirim ke Semarang untuk adik-adiknya. Maka, terkadang aku sepedaan lagi, hanya untuk berolahraga, meski jarang sekali.

 

Tahun 2008, aku dijawil oleh beberapa kawan medsos untuk bersama 'membentuk' wadah pesepeda ke kantor di kota Semarang, Bike to Work Chapter Semarang. Karena merasa turut serta bergabung dalam satu komunitas pesepeda, aku pun mulai mempraktekkan bersepeda ke kantor, menggunakan sepeda yang dikirim oleh kakakku ke Semarang di tahun 1992 itu. Dan … aku mulai memperhatikan bagaimana tingkah laku pemotor terhadap pesepeda, tidak seperti dulu waktu kecil.

 

Tahun 2008 itu, sepeda masih merupakan satu moda transportasi yang tidak begitu lazim, (Well, duluuuu mungkin sepeda pernah menjadi 'raja jalanan' ya, dekade2 sebelum 1980-an. Ayahku pernah bercerita beliau pernah bersepeda keliling Jawa Tengah di dekade 1960-an, mungkin sebelum menikahi Ibuku.) terasa banget para pemotor itu -- baik naik kendaraan bermotor roda 2 maupun roda 4 -- tidak menganggap pesepeda itu berhak menggunakan jalan raya; apalagi kendaraan bermotor yang lebih besar, misal bus dan truck.

 


 

Bukan satu hal yang lebay jika kukatakan dengan terbentuknya wadah pesepeda, tahun-tahun berikutnya kian banyak orang bersepeda, meski bukan untuk berangkat kerja ke kantor. Kian banyak pihak-pihak tertentu yang menyelenggarakan event fun bike. Ini adalah satu kemajuan yang bagus karena aku sendiri mulai merasakan bahwa pengguna jalan lain mulai memperhatikan pesepeda. Jika di tahun 2008 aku sering diklakson orang ketika menyeberang jalan, semakin 'kesini' semakin kulihat mereka sedikit bersabar dengan menekan rem kendaraan mereka ketika melihat seorang pesepeda menyeberang.

 

 

Satu kali hal ini menjadi obrolan dengan kawan-kawan pesepeda. Jika seorang pemotor beralih menjadi pesepeda -- meski mungkin hanya seminggu sekali -- dia akan menjadi lebih sabar di jalan raya ketika naik motor dan berpapasan dengan pesepeda. Dia tidak akan grusa grusu melihat pesepeda menyeberang jalan, atau ketika ada rombongan pesepeda di depannya.

 

 

Aku pikir (well, berharap) bahwa akan kian banyak orang yang semakin menghormati keberadaan pesepeda di jalan raya. Namun nampaknya ini hanya menjadi angan-anganku belaka, entah sampai kapan. Ketika kaos lawas disain seorang kawan mendadak viral , komentar-komentar yang ditulis menunjukkan ketidaksadaran orang-orang bahwa bagaimana pun juga, saat lingkungan kian terpolusi, saat jumlah BBM kian menipis, sepeda adalah pilihan moda transportasi yang paling handal, apalagi di tengah pandemi covid 19 ketika orang-orang disarankan untuk mengurangi ketergantungan pada moda transportasi massal. Bersepeda ke tempat kerja atau dimana pun kita melakukan kegiatan adalah pilihan yang paling tepat: (1) kita berolahraga sehingga kita bisa meningkatkan imun tubuh (2) kita menjaga jarak dari orang lain karena tidak naik moda transportasi massal (3) tetap mengurangi polusi yang terbuang ke udara (4) tetap mengurangi ketergantungan pada BBM sekaligus mengirit keuangan.

 

 

Jadi, bagi para pemotor yang tidak pernah memahami pesepeda, bagaimana kalau anda mencoba bersepeda ke tempat kerja, minimal satu minggu saja, dan rasakan sendiri bahwa frasa "SING PINTER NGEREM SING GOBLOK NGLAKSON" itu memang benar adanya.

 

 

PT56 16.23 18/06/20


No comments: