Search

Wednesday, June 24, 2020

Have you ever been on my shoes?

Kadang -- atau malah justru sering -- orang sulit memahami kondisi orang lain karena mereka belum pernah mengalami apa yang dialami orang lain. Meski tentu ini tidak berarti bahwa tidak ada orang yang bisa memahami cara pandang orang lain tanpa perlu berada pada situasi seperti itu; mungkin cukup dengan membaca buku dan menghayati apa yang dia baca; atau mungkin ada seseorang terlahir dengan rasa empati yang dalam sehingga cukup melihat orang lain mengalami sesuatu, dan dia akan paham mengapa dan bagaimana.

 

*********

 

Sekitar 10 tahun lalu di satu lapak yang akhirnya almarhum di akhir tahun 2012, seorang kawan maya mengadakan lomba menulis dengan tema 'xenophobia'. (Saya dan kawan maya satu ini terus berkawan di facebook sampai sekarang.) Saya takjub membaca tulisan-tulisan bertema xenophobia ini dan saya belajar satu hal. Saya lahir dan besar dalam keluarga yang homogen, bersekolah di sekolah Islam  -- meski hanya waktu di sekolah dasar -- tinggal pun di lingkungan Islami dimana setiap jarak 50 meter ada masjid, saya harus bersusah payah melepaskan brainwashing yang kuat bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, bahwa hanya orang Muslim lah yang akan masuk surga, dan bahwa alquran akan selalu terjaga keasliannya (plus interpretasi tunggal dari kacamata laki-laki) hingga akhir zaman.

 


Membaca tulisan-tulisan lain bertema xenophobia yang ditulis oleh orang-orang yang 'nampaknya' berada di posisi saya yang dulu namun mereka memiliki cara pandang yang jauh lebih rileks ketimbang saya yang dulu itu sungguh-sungguh menakjubkan. WL -- inisial kawan yang mengadakan lomba -- pun jika ditilik dari postingan-postingannya seharusnya adalah seseorang yang saklek. Namun ternyata tidak. Dari 'diskusi' di komen-komen tulisan-tulisan itu, akhirnya saya tahu penyebabnya: mereka terlahir dalam keluarga yang heterogen. Mereka terbiasa tumbuh dalam keluarga yang heterogen sehingga terbiasa menghormati perbedaan-perbedaan yang niscaya.

 

 

***********

 

 

Barangkali orang tidak akan paham bahwa untuk menjadi saya yang sekarang -- saya 'bermetamorfosa' dari seorang Muslim yang saklek, menjadi seseorang yang sekuler, hingga menjadi seorang agnostik -- gegara saya 'bertemu' dengan ideologi feminisme -- sebuah 'isme' yang ternyata ditertawakan oleh sebagian (atau 'banyak'?) orang. Padahal bagi saya, mungkin tanpa isme satu ini, saya masih akan menjadi Nana yang sama, atau pun jika saya berubah, saya akan butuh waktu yang jauh lebih lama.

 

 



Anak saya lahir dalam keluarga yang sama; waktu kecil juga dia belajar membaca alquran dan shalat sejak TK -- tidak beda dengan saya ibunya; belajar berpuasa sejak kelas 1 SD. Yang sedikit membedakan adalah saya tidak 'membebaninya' untuk mengaji satu juz satu hari di bulan Ramadhan, tidak seperti orangtua saya dulu. Namun saat dia menginjak jenjang SMP, ibunya mulai berkenalan dengan feminisme yang kemudian membawanya ke ranah agnostik. Dia melihat ibunya rakus membaca buku-buku tentang kesetaraan, juga melihat ibunya mulai melepas kemelekatan pada agama. Dia jarang saya ajak berdiskusi hal ini namun bahwa dia kuliah di Psikologi mau tidak mau itu membuatnya memahami saya dan ternyata kemudian menjadikannya memiliki cara pandang seperti saya, meski mungkin dia tidak akan melabeli dirinya seorang feminis -- no matter what, pengalaman hidup kita berbeda. Dia 'hanya' mengaku sebagai seorang agnostik, yang jika saya runut maknanya adalah 'deist', bukan agnostik seperti saya. But what is in a name, anyway?

 

PT56 16.23 24-June-2020


No comments: