Search

Monday, July 31, 2023

Berproses menjadi post feminist

 


Well, sebagai seseorang yang dalam hidupnya berproses, tentu aku pun mengalami proses dalam memahami 'feminisme' (baca -> satu ideologi yang mengusung 'persamaan' hak antara laki-laki dan perempuan). 'gerakan' ini muncul di pertengahan abad 19 di Eropa, yang kemudian dibawa menyeberang ke Amerika. Gerakan ini dimaksudkan untuk 'memasyarakatkan' pandangan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan lelaki. Hak-hak ini mengacu ke hak untuk bersekolah, bekerja (terutama bekerja di luar rumah), dan juga hak untuk turut serta dalam pemilu. Ini mengingat bahwa sebelum masuk abad ke-20, perempuan-perempuan kelas menengah jarang mendapatkan privilese untuk bersekolah. (apalagi kelas bawah, utopia banget.) Hanya perempuan-perempuan dari keluarga kaya raya yang bisa membayar tutor (yang diundang ke rumah) yang mendapatkan kesempatan untuk bersekolah. Sebaliknya, perempuan-perempuan dari keluarga kaya raya ini dianggap tidak perlu bekerja; sedangkan perempuan-perempuan dari keluarga miskin jelas harus tetap bekerja untuk sekedar survive. Pekerjaan jenis apa? Jelas pekerjaan-pekerjaan kasar yang tidak memerlukan pendidikan tinggi.

 

Sedangkan hak untuk turut serta memilih dalam pemilu diperjuangkan untuk semua perempuan dari segala kalangan, dikarenakan perempuan waktu itu dianggap kurang cukup cerdas (atau kurang memiliki pengetahuan) maupun matang dari segi emosional untuk turut memilih.

 

Jika di kemudian hari gerakan feminisme ini bisa dikategorikan ke banyak jenis (misal: feminist liberal, feminist radikal, feminist Marxist, dll) kita tidak bisa mengelak dari kemungkinan bahwa banyak orang menghasilkan banyak jenis isme. Bagi orang yang kurang kerjaan (atau orang-orang yang 'usil' lol), mereka tentu akan suka membenturkan jenis-jenis feminisme ini.

 

Dan dari banyak jenis feminisme itu, akhirnya ada yang 'leading' ke post-feminism. Mengapa? Seperti yang kukatakan di atas, orang-orang berproses. Aku pun. Jika di awal aku mempelajari feminisme, aku bisa dengan keukeuh mengatakan bahwa seorang perempuan yang feminist itu tidak boleh bergantung kepada orang lain -- misal suami. Dia harus mampu mandiri, misal di bidang finansial. Namun di kemudian hari, aku berpendapat bahwa yang penting lagi adalah seorang perempuan tahu apa yang dia inginkan dalam hidupnya, mengambil keputusan sendiri apa yang akan dia lakukan dalam hidupnya. Inilah point utama dalam feminisme, in my two cents.

 

Ketika menilik kembali tulisanku di link ini maupun yang ini, aku menyadari bahwa aku pun telah masuk ke kelompok post feminism, tanpa aku merasa perlu 'berpindah' ke ideologi selanjutnya. 😛

 

Bagaimana dengan praktek poligami?

 

Di satu tulisanku di blog, aku pernah menulis bahwa poligami bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang haram. (baca tulisanku di sini.) namun, seperti konon para ahli agama bilang, perceraian itu boleh, meski sangat dibenci Tuhan. Begitulah aku memandang poligami. Aku tidak menyukai (pelaku) poligami -- terutama mereka yang bersembunyi di balik ayat-ayat alquran demi merayakan nafsu syahwatnya -- namun apa yang bisa kulakukan, jika tetap ada yang mempraktekkannya, dan ada pihak-pihak yang diuntungkan dari praktik ini, plus tidak ada pihak yang dirugikan, just go ahead.

 

PT56 12.37 31.07.2023

 

P. S.:

no need to confront feminism ideology versus post feminism ideology, do you agree with me? 😄

No comments: