Search

Monday, July 17, 2023

GAY: Korban atau Pelaku?

 


Gegara membaca satu status seorang kawan maya, saya baru ngeh kalau ada berita viral tentang seorang selebgram yang diselingkuhi oleh suaminya. Berita ini kian heboh lantaran sang suami selingkuh dengan seorang laki-laki.

 

Ketika membaca beberapa komentar di status itu, saya mendapati bahwa orang-orang menyalahkan si laki-laki yang tidak gentle mengapa tidak sejak awal dia mengaku kalau dia itu gay, ketimbang memaksa diri menikahi seorang perempuan dan akhirnya si perempuan ini menjadi korban KDRT.

 

Sampai di sini, saya setuju. Mengapa kok tidak sejak awal si laki-laki jujur pada diri sendiri bahwa dia tidak 'greng' terhadap perempuan. Apakah dia memiliki motif ekonomi di balik pernikahan ini? (mengingat si perempuan adalah seorang selebgram, yang mungkin bergelimang uang.)

 

Sekian puluh tahun yang lalu, saat Ibu masih langganan majalah 'wanita' sejenis KARTINI maupun FEMINA, saya beberapa kali membaca kisah curhat orang-orang homo yang dipaksa menikah dengan lawan jenis -- terutama laki-laki  yang dipaksa menikahi perempuan -- konon karena 'menjadi homo' ini adalah penyakit; entah penyakit psikis atau penyakit 'sosial'. Dan salah satu jenis pengobatannya adalah menikah dengan lawan jenis. Setelah menikah, dan mungkin 'merasakan' nikmatnya berhubungan seksual dengan lawan jenis, mereka akan 'sembuh'. Kenyataannya? Beberapa tulisan itu mengisahkan betapa mereka tersiksa dalam pernikahan itu. Hingga akhirnya malah kedua belah pihak -- sang suami maupun sang istri -- menjadi korban paksaan keluarga. Tidak mudah untuk bercerai, apa lagi jika orangtua mereka adalah orang yang terpandang di masyarakat. Perceraian akan mencoreng nama baik mereka, apa lagi jika masyarakat tahu penyebab perceraian itu.

 

Jika pun ada kisah rumahtangga pasangan yang seperti ini yang bertahan lama, tentu di baliknya ada perasaan dan emosi yang kudu dikorbankan. Atau, seperti menurut beberapa artikel yang saya baca di jurnal ilmiah: setiap dari kita memiliki sekian persen kecenderungan untuk menjadi biseksual. Bisa jadi kecenderungan sebagai seseorang 'straight' lebih besar ketimbang menjadi 'gay', jadi mungkin saja ada orang-orang tertentu yang kemudian mengaku 'sembuh' dari kehomoan mereka.

 

Namun, tidak kah kita sadari bahwa orang-orang seperti mereka menjadi korban (atau sebagai pelaku KDRT) karena keengganan masyarakat menerima bahwa sekian persen dari jumlah seluruh manusia di dunia ini memang terlahir sebagai gay/lesbian? Don't worry akan keberlangsungan kehidupan manusia di planet Bumi ini (karena biasanya ini yang menjadi kambing hitam para agamawan), yang terlahir sebagai gay/lesbian hanya sekian persen kok, kurang dari 10%. (Just google it by yourself.)

 

Andai masyarakat mau menerima orang-orang yang terlahir sebagai gay/lesbian, mereka akan merasa diterima seperti apa adanya di masyarakat, mereka tidak perlu menyeret orang lain ke dalam pusaran kehidupan mereka.

 

PT56 15.23 17.07.2023

 

You may read some posts of mine here


No comments: