Search

Monday, July 31, 2023

I am not a feminist, I am a humanist

Below is not my writing, it was written by one dearest friend of mine on facebook, 11 years ago, July 2012. She wrote it to respond my writing here.


"Aku bukan seorang feminist," 

 

Dengan santai kukatakan kalimat itu, yang segera disambut dengan seruan tak percaya dari teman-temanku. Bahkan ada yang bernada marah.

 

Saat itu kami berlimabelas sedang duduk di sekitar api unggun, di bawah langit yang berkilau permata, beberapa ratus kilometer dari kehidupan moderen.  Lima belas orang, 6 perempuan dan 9 lelaki, yang benar-benar beragam, usia, warna, agama dan orientasi-orientasi yang menempatkan kami pada kotak-kotak yang berbeda dalam peradaban. Dua pasang suami istri berusia awal 40an, satu berkewarganegaran Amerika, anggota gereja Baptist, yang satu lagi dari Swiss menganut agama Buddha.  Sepasang pasangan kekasih dari Jepang, mengaku atheist, dan sepasang lagi pasangan gay dari Inggris, Jason dan Adrian si tampan yang sempat membuatku menoleh dua kali.  Selebihnya, adalah kami tujuh orang tanpa ikatan, 2 perempuan dan 3 laki-laki asli Australia, satu lelaki Brazil bermata hijau dan perempuan berkulit coklat bernama Dita, aku.  Satu-satunya persamaan yang ada pada kami adalah kecintaan pada alam terbuka, telinga kami senantiasa rindu akan penggilan mengenal sang Bunda lebih mesra.  Malam ini adalah malam terakhir penjelajahan kami belahan utara bumi Australia yang jelita dalam keliarannya.

 

Aku tak ingat persis apa topik awal pembicaraan kami malam itu, tapi yang jelas topik ini menghangat, seperti selalu, ketika membicarakan tentang perempuan, keberadaannnya, kedudukannya dan perjuangannya dalam mencapai kesetaraan gender. Kami berlima belas, memiliki beragam pendapat dalam hal ini, walau pada dasarnya ada kesepakatan tentang perempuan sebagai mahkluk yang tak mungkin dipingirkan lagi.  Aku tidak ikut menyumbang pendapat dalam diskusi yang kadang membelok ke arah perdebatan yang bersahabat ini, karena, pasti banyak yang tidak percaya, aku ini sebenarnya orangnya pendiam dan pemalu.

 

Karena itu, agak tergagap aku, ketika pertanyaan dilontarkan padaku tentang bagaimana pendapatku tentang gerakan feminisme.

 

"Aku bukan feminist," Begitu jawabanku.

 

"Bullshit!, "salah seorang berkata. Ah, ya, Kylie si rambut pirang yang tak pernah segan mengemukakan pendapat, entah diminta atau tidak.

 

"Kamu adalah perempuan yang paling merdeka yang pernah kukenal. Aku tahu tulisan-tulisanmu selalu mempertanyakan ketakadilan dan ketaksetaraan yang dialami perempuan.  Dan aku tahu kegetiranmu setiap kali kamu mendengar kisah-kisah dari perempuan-perempuan teraniaya di shelter tempatmu bekerja". Itu si Darren, kawan lama yang mengajak aku serta dalam petualangan kali ini.

 

Aku hanya nyengir, sangat tak nyaman merasakan 14 pasang mata menatapku menunggu penjelasan.

 

"Aku bukan penentang feminisme, jangan salah sangka.  Aku bisa seperti sekarang ini tak lepas dari kiprah para pejuang feminisme itu,"Kataku perlahan, sadar akan betapa sederhananya aku dibandingkan beberapa anggota kelompok ini yang menyandang gelar-gelar tinggi kependidikan.

 

"Feminisme, adalah serangkaian pergerakan dan ideologi yang bertujuan memberi definisi, memperjuangkan tempat dan hak kesetaraan perempuan dalam hukum, pekerjaan dan pendidikan.  Suatu usaha yang luar biasa, yang bisa kita lihat dampaknya di seluruh dunia. Suatu perjuangan yang masih belum selesai dan masih mendaki jalan yang curam."

 

"Namun, feminisme, juga menciptakan pengkotakan baru dalam belantara manusia yang sudah terlalu banyak terkoyak oleh berbagai isme lain"

 

Perempuan Jepang berwajah teduh itu menatapku. Katanya,"Jadi menurutmu, feminisme itu tidak perlu?"

 

Aku menggeleng, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang ada di dalam benakku.

 

"Gerakan feminisme itu mulia, mencoba mengangkat derajad perempuan, yang di sebagian besar kebudayaan dunia, dianggap sebagai mahkluk kelas dua.  Hanya kembang kertas yang dipakai untuk hiasan, bisa dibuang ketika layu. Hanya seperti sarana untuk menghadirkan manusia-manusia baru ke dunia ini. Karena gerakan feminisme, di berbagai penjuru bumi, perempuan bisa mendapatkan pendidikan, bisa bekerja, bisa mempunyai hak pilih dalam politik, bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Mulia, sungguh!"

 

Semua mengangguk setuju.

 

"Tapi lain pihak, gerakan feminisme menempatkan perempuan pada posisi berseberangan dengan lelaki.  Us against them.  Yang tertindas melawan yang menindas.  Terkadang mengalienasi diri bahkan terhadap perempuan juga.  Bukankah kita sering mendengar perdebatan yang bersifat cela mencela, antara perempuan yang bekerja berhadapan dengan perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga misalnya?  Kesalahkaprahan, memang, tapi itu terjadi."

 

Hanya suara angin gurun, dan derak detak kayu terbakar api unggun yang terdengar.

 

"Seandainya, sejak awal, manusia memandang sesamanya sebagai sesama mahluk yang setara, yang saling membutuhkan, yang saling menghormati, yang saling mengasihi, tanpa mempermasalahkan perbedaan jenis kelamin.... sama halnya dengan tak membedakan warna kulit, agama, orientasi seksual, ... tentunya kita tak perlu berdiri berhadapan dalam posisi antagonis seperti ini. Perempuan dan laki-laki seharusnya tak berposisi bersebarangan, tetapi bersisian.  Tak bertentangan, tapi bahu membahu."

 

"Aku bukan feminis, aku memilih menjadi humanis.  Dengan segala keterbatasanku, aku ingin memperjuangan kesetaraan manusia, lepas dari kotak-kotak yang merupakan ciptaan ratusan tahun peradaban itu."

 

Serentak terdengar beberapa pendapat, entah mengiyakan ataupun menentang, aku tak perhatikan lagi, karena kantuk perlahan membuat kelopak mataku berat.  Tapi dalam hati sempat terlintas pemikiran, apakah aku terlalu utopian?  Apakah aku ini pemimpi?

1 comment:

Nana Podungge said...

my comment:

sebenarnya tidak perlu pandangan bahwa ideologi feminisme ini seperti "US AGAINST THEM" sang penindas melawan yang tertindas. tapi, apa boleh buat jika orang-orang berpandangan seperti itu? jika 'perkembangan' gerakan feminisme justru 'melenceng' menjadi kebalikannya, yang semula tertindas berubah menjadi sang penindas.

for sure, awal mula penggerak ideologi feminisme tidak bermaksud seperti ini.

just my two cents.

PT56 31.07.2023