Search

Tuesday, July 24, 2007

Reading Between the Lines

Seberapa sadarkah kamu bahwa apa yang kita ucapkan/tulis akan selalu memiliki makna lain?
Beberapa minggu yang lalu seorang rekan kerja (a newbie in my workplace) bertanya kepadaku,
“Ms. Nana tuh pakai kacamata minus atau plus?”
Aku langsung “membacanya” sebagai, “Ms. Nana umurnya udah tua yah?” karena yang terpatri di benakku adalah orang yang biasanya menderita rabun jauh (rabun jauh atau dekat yah yang tidak bisa melihat barang yang di dekatnya dengan jelas?) sehingga perlu memakai kacamata plus adalah mereka yang dikategorikan telah mencapai middle ages (read  more than forty years old). Sedangkan aku merasa bahwa usiaku masih bisa dikategorikan young age karena belum mencapai usia empatpuluh.
Do I really look older than my real age?
Well, ini adalah pengalaman pertama aku bertemu dengan orang “menuduhku” berusia lebih tua dari semestinya. (“There is always THE FIRST in everything”  motto yang dulu sering kujadikan bahan candaan dengan seseorang yang kuanugerahi dengan sebutan “Lelaki Terindah” dalam hidupku. LOL.) Biasanya orang mengira aku masih berusia di bawah tigapuluhan, atau yah ... the beginning of thirties lah, sehingga mereka selalu terkaget-kaget tatkala mereka tahu aku telah memiliki seorang anak gadis yang sekarang telah duduk di bangku kelas II SMA.
Tatkala aku bercerita tentang hal ini kepada seorang rekan kerja yang lain, dia gantian bercerita kepadaku tentang pengalamannya yang kurang mengenakkan pula.
Rekan kerjaku yang ini baru saja melahirkan anaknya yang kedua, sekitar dua bulan yang lalu. Dia menikah sekitar tiga tahun yang lalu, pada usia yang dianggap “terlambat”, in the middle of thirties. Beberapa minggu setelah melahirkan, dia pergi ke satu toko untuk membeli ‘pilis’, I don’t know whether there is a word in Bahasa Indonesia for this. LOL. FYI, ‘pilis’ ini bisa dikategorikan semacam obat oles untuk perempuan yang baru saja melahirkan. ‘Pilis’ ini dioleskan di kening, kalau tidak salah. Apakah fungsinya? Aku sendiri kurang tahu. Nyokapku yang orang Gorontalo tidak mengajariku untuk mengoleskan pilis setelah aku melahirkan Angie di tahun 1991 lalu. Kesimpulan sementara, ‘pilis’ merupakan kebiasaan orang Jawa. 
Di toko, tatkala temanku mengatakan kepada si penjaga toko bahwa dia akan membeli pilis, si penjaga toko berbasa basi bertanya, “Pilis untuk anaknya ya Bu?”
GUBRAK!!!
“Buat saya sendiri!” jawab temanku galak. LOL.
“Waduh mbak, emang dikira usiaku udah berapa kok sampai dianggap aku punya anak yang baru saja melahirkan?” yang berarti aku dianggap sudah pantas punya cucu? LOL. LOL.
Setelah terbengong sejenak tatkala mendengar ceritanya yang kurang mengenakkan itu, akhirnya aku tertawa bersamanya. Oh ... poor her! LOL.
Cerita lain yang berkebalikan terjadi kepada nyokapku. Satu hari ada tamu datang ke rumah. Tatkala si tamu melihat Angie, si tamu bertanya, “Anak bungsu ya Bu?”
Nyokapku bengong. LOL. Masih dengan nada heran, dia menjawab, “Ini cucu saya yang pertama.”
Waktu menceritakan pengalamannya kepadaku, nyokapku yang biasanya memandang masalah dari kacamata yang berseberangan denganku LOL, mengeluh, “Masak usia sudah setua ini, mana suami sudah lama meninggal lagi, kok Mami dianggap punya anak seusia Angie? Dengan siapa coba?” LOL. LOL.
Dengan serta merta, aku pun menjawab, “Loh, itu berarti Mami dianggap masih cukup muda sehingga masih pantas memiliki anak seusia Angie.” LOL.
Nyokapku pun tertawa mendengar ‘bacaanku’ mengenai ‘tuduhan’ bahwa dia punya anak seusia Angie.
How good in reading between the lines are you?
PT56 22.46 220707

No comments: