Search

Saturday, July 07, 2007

New Term 3/2007

Setelah libur kurang lebih 10 hari, hari Rabu 4 Juli aku kembali masuk kerja. Kebetulan untuk hari Senin-Rabu, aku mendapatkan dua kelas, jam 15.00-17.00 kelas Advanced 4, dan jam 17.00-19.00 kelas High Intermediate (HI) 4.
Seperti kebanyakan kelas dengan level tinggi, jumlah siswa di dua kelasku itu tidaklah menunjukkan jumlah yang menggembirakan bagi si pengelola kursus, namun mungkin lebih menyenangkan bagi para siswa yang benar-benar ingin memaksimalkan kesempatan untuk berlatih—speak English, write in English, and listen to English speeches. Di kelas Advanced 4, tadi yang datang hanya ada 2 siswa out of 4 students on the list. Di kelas HI4, hanya datang 1 siswa out of 2 students on the list.
Pengalamanku selama ini, minimal jumlah siswa yang ada di kelasku adalah 4 for the whole term. Kebetulan term 3 dan term 4 tahun 2006 lalu, I got Advanced 2 and Advanced 3 class, with the same students. Jumlah siswa yang hanya sedikit, membuat kita semua berbicara lebih banyak dibanding di kelas dengan jumlah siswa yang banyak. Dan aku menyukai kelas itu karena the students were active to speak, and also always enjoyed doing any activity, including discussing things yang kadang bagi anak-anak siswa SMA kurang menarik.
Kembali ke dua kelasku hari ini.
Kelas Advanced 4. None came until more than 30 minutes after the bell rang. Aku sempat pesimis apakah none of the students would come, mengingat ini adalah pertemuan pertama. Seorang siswa yang telah mencapai kelas Advanced 4, level tertinggi di program General English di tempatku tentu telah mengambil kursus selama bertahun-tahun. Di level-level rendah, biasanya pada pertemuan pertama aku sering memberi game untuk saling mengenal satu sama lain. Karena biasanya, bagi siswa-siswa tertentu mereka kadang menjadi malas berangkat, karena toh “paling ya begitu-begitu aja, kenalan, game for ice breaker, etc.”
Karena itulah aku menyibukkan diri melihat-lihat dan membaca buku HI 4 sembari mendengarkan musik dari the cutie di kelas, sembari menunggu a student to come. FYI, term 3/2007 ini di tempat kerjaku di Semarang, baru kali ini ada level HI 4. HI merupakan bagian dari program baru yang disebut English for Adult (EA) for General English, setara dengan program yang disebut Advanced menggunakan kurikulum yang lama.
Ketika ada seorang siswa, perempuan, datang, aku malah heran. LOL. “Loh, akhirnya ada yang datang juga toh?” kataku dalam hati. LOL.
Melihatnya cukup ramah, dan cukup active berbicara dalam bahasa Inggris (cukup sering aku bertemu dengan siswa yang aktif, namun berbicara dalam bahasa Indonesia, meskipun di kursus Bahasa Inggris ), aku senang. Awal yang bagus untuk memulai sebuah kelas dengan jumlah siswa yang sangat terbatas. Kebetulan dia belum pernah berada di kelasku sebelumnya, sehingga aku sangat menikmati “mewawancarainya”.  Dia seorang siswa SMA yang baru saja naik kelas 3.
Sekitar 20 menit kemudian siswa kedua datang, seorang mahasiswa yang mengaku sedang sibuk mengerjakan riset untuk skripsinya. Kali ini dia termasuk “wajah lama” bagiku karena aku ingat dia pernah berada di kelasku, Intermediate 1. I was happy to welcome him too because I remember him as an active student, always enthusiastic to do any activity I gave the class. And because he is already a college student, in a quite high semester, jalan berpikirnya cukup matang, sehingga aku senang bertukar pikiran dengannya.
I “survived” with the two students until the bell rang signing that the session was over.
Kelas HI4 pukul 17.00-19.00 ternyata I got only 1 student. Aku mengenal siswa ini sebagai seseorang yang cukup pendiam, meskipun ramah. Dia tidak banyak berbicara tatkala dua term yang lalu dia beberapa kali “temporary transfer” ke kelasku.
Surprisingly ternyata dia mengatakan dia lebih suka berada di kelas kecil karena dia akan mendapatkan perhatian yang cukup besar dari class teacher. Surprisingly juga tatkala I found out dia banyak bicara tatkala sendirian. He answered all questions I gave him in English. He really tried his best to always speak English.
Satu manfaat yang kupetik dari perbincangan dengannya.
Dia baru saja dinyatakan diterima di UNDIP melalui program UM (Ujian Masuk) yang merupakan program individu satu PTN, berbeda dengan program SPMB yang dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Dia bercerita waktu mendaftar di UNDIP, dia mengisi formulir “uang sumbangan” Rp. 15.000.000,00 Dan dia diterima. Total uang yang harus dibayar oleh orang tuanya sekitar Rp. 19.000.000,00 plus biaya lain-lain.
Tatkala aku mengatakan padanya bahwa katanya di UGM seorang calon mahasiswa tetap diterima melalui program UM meskipun untuk uang sumbangan dia menulis Rp. 0,00 karena hasil tes yang bagus, dia gantian bercerita bahwa ada juga seorang temannya yang diterima di UNDIP dengan uang sumbangan Rp. 0,00.
“Is he really brilliant?” I asked him.
“Well, not really Ma’am,” he said.
Jawaban yang agak melegakan bagiku karena aku sadar Angie is not considered brilliant. 
Sayangnya kemudian dia bilang, “But he is smarter than me although I said that he is not genius.”
When I asked him about his memorable experience when he was in junior/senior high school, he answered, “When I was in junior high school, I joined the acceleration class. There were only 18 students. Because there were only 18 students in one class (compared to other regular classes that usually consisted of more than 40 students), the friendship among us was solid.
HAH? Acceleration program? Ya berarti dia termasuk cerdas di atas rata-rata dong?  Yang cerdas di atas rata-rata saja membayar Rp. 15.000,00, bagaimana nanti Angie yang biasa-biasa saja? 
Anyway, aku masih percaya bahwa sometimes miracles do come to someone’s life, to my life too. Let us wait and see.
Angie baru naik kelas 2 SMA. Dia masih butuh sekitar 2 tahun lagi untuk menyelesaikan SMAnya. Dan aku sudah mulai nyicil pusing dari sekarang. CUMA NYICIL PUSING DOANG!!!!!!!!!!!!!!!! :( :(
PT56 23.05 060707

1 comment:

triesti said...

In RI, the so called Acceleration programme cut off IQ is merely 120. When it was proposed to use higher cut off (130 thus gifted child) most of the headmasters complain citing that children with IQ higher than 130 are more difficult to teach. So most of the student in AP in RI have IQ between 120-130(bright child). Those with higher IQ might fall off the AP wagon as they are prone of having other (learning) difficulties, so the teacher labeled them lazy, stupid, whatever.