Search

Sunday, June 03, 2007

Kodrat???

Mengomentari artikel yang berjudul “Dilema Gerakan Perempuan” yang dimuat surat kabar Suara Merdeka 18 April 2007 halaman 21.

Ada dua poin utama yang ingin kukomentari, yakni mengapa gerakan kesetaraan jender dikatakan baru dimulai pada abad ke 19, dan bahwa mendidik anak secara eksklusif merupakan tugas perempuan
Ali Anshori sebagai penulis artikel tersebut mengemukakan bahwa perjuangan perempuan untuk kesetaraan jender dimulai pada abad ke 19. Sebenarnya kalau mau merunut lebih jauh lagi, tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh kaum perempuan untuk kesetaraan telah dimulai jauh dari abad ke 19. Contoh, Margaret Cavendish (1623-1674) yang tulisannya dikagumi oleh Virginia Woolf, terutama yang berjudul, “Female Orations” (Gilbert & Gubar halaman 72-73), Mary Astell (1666-1731) dengan tulisannya yang berjudul “A Serious Proposal to the Ladies” serta Mary Woolstonecraft (1759-1797) yang sangat terkenal berkat bukunya yang berjudul “A Vindication of the Rights of Woman”. Ketiga judul tulisan tersebut berisikan himbauan maupun ajakan kepada kaum perempuan untuk meyakini bahwa mereka setara dengan kaum laki-laki.
Meskipun begitu, gerakan kesetaraan jender memang mulai “mengkristal” di abad 19 ketika pertama kali dilaksanakan KTT perempuan pertama pada tanggal 19 Juli 1848 di Seneca Falls, New York, Amerika Serikat. KTT ini dimotori oleh Elizabeth Cady Stanton, ysng di kemudian hari menulis “The Woman’s Bible” untuk mengkritik bias jender dalam Tradisi Kristen Yahudi.
Revolusi Industri yang merambah dataran Eropa mulai pertengahan abad 18 dan abad 19 di Amerika memang telah mengubah kehidupan masyarakat kedua benua tersebut. Dengan semakin banyaknya didirikan pabrik, pergeseran ekonomi terjadi. Jika semula keluarga-keluarga berfokus kepada industri rumah tangga maupun bercocok tanam, kaum laki-laki mulai membanjiri pabrik-pabrik. Jika semula laki-laki dan perempuan bahu membahu bekerja mengelola industri rumah tangga maupun bercocok tanam bersama-sama, yang berarti pula mendidik anak-anak secara bersama-sama, karena keduanya tinggal di rumah, Revolusi Industri tiba-tiba menghasilkan gaya hidup baru, laki-laki keluar rumah dan perempuan tinggal di rumah untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak.
Ahli sejarah Barbara Welter menyebutkan bahwa Revolusi Industri telah mengubah kaum laki-laki Amerika menjadi kaum yang materialistik, dan tidak lagi relijius seperti nenek moyang mereka di awal abad 17. Merasa bersalah karena telah mengubah the New World (baca Amerika) dari tanah suci yang berisikan orang-orang terpilih oleh Tuhan menjadi tempat untuk mencari uang semata, demi urusan duniawi semata, kaum laki-laki Amerika bekerja sama dengan Gereja “menciptakan” domain baru bagi perempuan, yakni untuk tetap tinggal di rumah, dan tidak ikut berbondong-bondong memasuki dunia kerja di luar rumah, karena mereka memiliki “tugas suci” yakni mendidik anak-anak agar menjadi generasi baru yang selalu ingat Tuhan, yang relijius. ((http://pinzler.com/ushistory/cultwo.html) Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa gaya hidup “baru” ini hanya berlaku di kalangan masyarakat golongan menengah ke atas. Bagi masyarakat kalangan bawah, maupun orang-orang Amerika Afrika (yang masih terbelenggu perbudakan), tentu saja hal ini tidak berlaku, karena perempuan-perempuan di golongan ini harus tetap bekerja demi kelangsungan hidup. Sehingga, mereka tidak mampu ikut serta mengikuti gaya hidup “baru” ini.
Melihat perkembangan dampak Revolusi Industri di abad 19 terhadap perempuan inilah yang melatarbelakangi mengapa kaum perempuan Amerika pada waktu itu bersatu dan memulai gerakan kesetaraan jender secara solid, dan tidak secara individual melalui tulisan-tulisan yang belum tentu dipublikasikan secara umum mengingat pada waktu itu, profesi penulis sangat disakralkan sebagai milik laki-laki. Conduct Literature (Sastra Tingkah Laku) yang banyak dipublikasikan pada waktu itu untuk “membentuk” kaum perempuan menjadi makhluk domestik menyebutkan bahwa perempuan hanya boleh membaca Injil dan bukan yang lain-lain. (http://muse.jhu.edu/demo/legacy/v017/17.2ash_worth.html) Perempuan dilarang membaca novel, apalagi menulis novel? Kalaupun ada novel hasil tulisan seorang perempuan (contoh “Uncle Tom’s Cabin” yang ditulis oleh Harriet Beecher Stowe) tidak jauh dari Conduct Literature yang sedang marak pada waktu itu. Ini pun, jumlahnya jauh di bawah tulisan yang dihasilkan oleh kaum laki-laki.
Poin yang kedua bahwa mendidik anak merupakan tugas ekslusif perempuan, demi membentuk generasi mendatang. Hal ini tidak bisa kita pisahkan dari apa yang didengung-dengungkan di Amerika pada abad ke 19 melalui ikut campur Gereja dan banyaknya publikasi Conduct Literature.
Kalau kita berbicara mengenai dikotomi tugas laki-laki dan perempuan, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari perbincangan apa yang disebut sebagai kodrat. Apakah yang disebut kodrat? Kodrat adalah segala sesuatu yang terberi oleh Tuhan, yang bersifat tidak berubah, baik di zaman dahulu maupun sekarang, di belahan dunia yang satu maupun di belahan dunia yang lain. Di luar itu, yang misalnya merupakan satu kebiasaan di satu daerah di satu waktu, sedangkan di daerah lain di waktu yang lain hal ini tidak ditemui maka tidak bisa disebut sebagai kodrat.
Apakah kodrat perempuan?
1. Menstruasi. Tubuh perempuan diciptakan oleh Tuhan sedemikian rupa sehingga tatkala seorang perempuan memasuki masa akil balik, dia akan mengalami hal ini.
2. Mengandung. Setelah seorang perempuan menstruasi, maka tubuhnya pun siap menghasilkan sel telur yang jika dibuahi oleh sperma akan membuat seorang perempuan mengandung.
Ada satu catatan penting di sini, atas kuasa dan izin Tuhan semata lah seorang perempuan akan bisa mengandung. Tuhan juga yang telah menggariskan bahwa meskipun mengalami menstruasi, tidak semua perempuan bisa mengandung. Hal ini merupakan rahasia Tuhan.
3. Melahirkan dan menyusui. Konsekuensi dari mengandung tentu saja adalah melahirkan. Tubuh perempuan telah dikondisikan oleh Tuhan bahwa setelah melahirkan payudaranya akan mengeluarkan air susu yang bisa diberikan kepada bayi yang baru saja dilahirkan.
Ada juga satu catatan yang penting ditambahkan di sini, yakni tidak semua perempuan yang telah melahirkan mampu mengeluarkan air susu. Konon, Nabi Muhammad SAW pun tidak disusui oleh ibunya sendiri, Aminah.
Keempat hal yang tersebut di atas berlaku kepada semua perempuan, di zaman kapan pun dan dimana pun dia berada. Dengan catatan mungkin hanya berhenti di nomor satu saja jika seorang perempuan ditakdirkan oleh Tuhan untuk tidak pernah mengandung. Keempat hal ini tidak mungkin berlaku kepada laki-laki karena tubuh laki-laki yang diciptakan untuk tidak mungkin menstruasi, sehingga tidak mungkin melakukan hal yang tercatat di nomor dua dan tiga.
Lantas, dimanakah letak mendidik anak? Untuk mendidik anak, seorang perempuan tidak membutuhkan kandungan, vagina, maupun payudara sehingga praktis mendidik anak tidak bisa disebut sebagai salah satu kodrat perempuan. Pandangan bahwa mendidik anak merupakan tugas eksklusif perempuan adalah hasil konstruksi masyarakat tertentu, di zaman tertentu. Ketika zaman berubah, apakah hasil konstruksi ini tidak mungkin berubah? Tentu saja jawabannya adalah “sangat mungkin berubah”.
Kembali ke tulisan Ali Anshori. Dalam salah satu paragraf Ali menuliskan “... perempuan bisa menuntut haknya untuk menjadi wanita karir, sembari tetap melaksanakan tugas dalam lingkup rumah tangga. Persoalan justru muncul ketika hak bisa berdiri tegak, sementara kewajiban terabaikan.”
Kewajiban yang manakah yang dimaksud? Menyusui anak tidaklah sama dengan mendidik anak. Apakah orang pun akan mengatakan bahwa mengandung pun merupakan kewajiban seorang perempuan? Di zaman dahulu tatkala belum ditemukan alat kontrasepsi ataupun cara untuk menghindari kehamilan, bisa jadi seorang perempuan melahirkan satu anak setiap tahun setelah dia menikah, bahkan mungkin sampai dia meninggal, atau katakanlah sampai dia menopouse. Di zaman sekarang? Dengan ditemukannya berbagai macam alat kontrasepsi, seorang perempuan bisa memilih apakah dia akan melahirkan satu anak setiap tahun setelah dia menikah (dengan catatan Tuhan mengizinkannya hamil), ataukah dia akan mengaturnya setiap lima tahun sekali, hal ini merupakan hak prerogatif perempuan.
Selain itu, dengan semakin terbukanya pintu karir bagi perempuan, tidak menutup kemungkinan untuk adanya “profesi” baru bagi laki-laki yakni bapak rumah tangga. Seorang perempuan yang karirnya cukup bagus, dan butuh dukungan penuh dari suami, bisa jadi kemudian keduanya memutuskan untuk sang suami yang tinggal di rumah, sehingga mendidik anak lebih cenderung menjadi tugas suami yang lebih sering berada di rumah. Adakah yang salah dalam hal ini? Jika hal ini adalah keputusan yang diambil berdua, tentu saja tidak ada yang salah. Berlawanan dengan kodrat? Kodrat yang mana?
PT56 06.55 220407


Mengomentari artikel yang berjudul “Perempuan Makhluk Sekunder?” yang dimuat surat kabar Suara Merdeka tanggal 21 April 2007 halaman 6.
Dalam salah satu paragraf artikel ini, Martin Moentadhim menulis “Konon, versi bahasa Inggris buku itu (baca è Habis Gelap Terbitlah Terang tulisan RA Kartini) sampai ke daratan AS. Ibu Negara AS—kalau tidak salah—Nyonya Franklin Delano Roosevelt, the First Lady, memidatokannya di mana-mana. lahirlah kemudian apa yang disebut gerakan Womans Liberation.”
Lahirnya gerakan Woman’s Liberation di Amerika Serikat tidaklah semudah seperti apa yang ditulis oleh Martin Moentadhim, bahwa Ibu Negara Amerika Serikat pada waktu itu terinspirasi oleh buku RA Kartini. Saya tidak bermaksud untuk mengecilkan nama RA Kartini yang entah bagaimana ceritanya dipilih oleh penguasa Orde Baru sebagai ikon pejuang perempuan dibandingkan perempuan-perempuan pahlawan lain, seperti Dewi Sartika dari Jawa Barat, Cut Nyak Dhien dari Aceh, dan lain-lain.
Gerakan perempuan di Amerika bisa dikatakan mulai dilaksanakan dengan solid oleh kaum perempuan di sana semenjak dilaksanakannya Konvensi Perempuan pertama di Seneca Falls, New York pada tanggal 19 Juli 1848. Elizabeth Cady Stanton menulis draft The Declaration of Sentiments sebagai ganti The Declaration of Independence (1776) yang menyatakan “All men are created equal”. Kata “men” dulu dianggap juga mewakili “women” jika kata “men” itu bermakna jamak. Namun kenyataannya kata “men” dalam The Declaration of Independence memang hanya dimaksudkan untuk “white men”; lebih lengkapnya lagi “white Anglo Saxon Protestant men”, karena dalam prakteknya, kesetaraan itu hanya untuk laki-laki berkulit putih yang beragama Anglo Saxon Protestant. Yang diluar itu, tentu saja masih mengalami diskriminasi, termasuk kaum perempuan, dan kaum kulit hitam yang masih terbelenggu perbudakan.
Stanton berpendapat bahwa seharusnya kalimat itu diubah menjadi “All men and women are created equal.”
Satu hal yang diperjuangkan oleh kaum pejuang perempuan fase pertama ini, yakni hak memilih dalam Pemilihan Umum. Para perempuan pada waktu itu berpikir bahwa jika mereka memiliki hak untuk memilih, mereka setara dengan laki-laki. Sebagian perempuan lain yang berpendapat bahwa jika perempuan mampu mandiri secara finansial akan menjadikannya setara dengan laki-laki masih kalah gaungnya dibandingkan yang memperjuangkan hak memilih.
Lewat perjuangan yang panjang, selain juga berjuang untuk kemerdekaan para kaum kulit hitam yang terbelenggu perbudakan, kaum perempuan Amerika akhirnya memperoleh hak pilih pada tahun 1920 di bawah pemerintahan Presiden Woodrow Wilson (memerintah dalam kurun waktu 1913-1921).
Setelah perjuangan mereka terpenuhi—memperoleh hak pilih dalam Pemilihan Umum—gerakan kaum perempuan gelombang pertama ini mulai menurun. Selain itu juga kebanyakan para pejuang perempuan tersebut telah mencapai usia yang uzur dan belum mendapatkan ganti. http://college.hmco.com/history/readerscomp/rcah/html/ah_030901_ifromitsorig.htm
Setelah perang dunia kedua, 1950-an merupakan domestic decade (dekade domestikisasi) kaum perempuan. Budaya massa yang muncul pada waktu itu lebih menekankan peran domestik perempuan, mengolok-olok wanita karir, merendahkan kaum ibu yang bekerja, dan melabeli kaum feminis sebagai kaum penyimpang.
Namun begitu, pada dekade yang sama kampanye pedidikan tinggi bagi kaum perempuan juga meningkat dengan pesat. Jumlah kaum perempuan yang melanjutkan kuliah tambah banyak. Di antara mereka inilah muncul Betty Friedan yang menuliskan pengalamannya sebagai seorang perempuan terpelajar yang “dikungkung” tembok rumah tangga (dan juga banyak perempuan yang lain yang dia wawancara sebelum menuangkannya dalam buku yang berjudul “A Feminine Mystique” (1963).
Selain itu, kebutuhan konsumerisme yang semakin meningkat, dan dengan semakin meluasnya kehadiran “kaum kelas menengah” dalam mencukupi kehidupannya, banyak keluarga yang akhirnya memiliki dua pencari nafkah—baik suami maupun istri. Dari sinilah muncul kebutuhan akan perlakuan yang sama kepada pekerja laki-laki maupun perempuan, termasuk di antaranya adalah gaji dan kesempatan untuk meningkatkan karir yang sama.
Bersama-sama dengan para pejuang kulit hitam untuk menghapus segregasi antara kulit putih dan kulit hitam dengan adanya Jim Crow Law, para feminis muda ini menyuarakan women’s liberation.
PT56 12.05 240407

No comments: